“Gimana, Dang? Sekarang
udah jam dua belas!” tanya Luki makin cemas. Idang meraih HT dari tangan Luki. Ia
menghubungi OSC Badak. Dengan sangat terpaksa ia menceritakan kejadian tim
mereka pada Kang Jack. Benar saja, Badak jadi geger karena berita itu. Bahkan
mungkin mulai tersiar ke seluruh Tim SAR. Terkesan unik dan konyol jika ada tim
SAR tiba-tiba berubah menjadi survivor
dan masuk daftar pencarian orang. Untung Kang Jack bisa mengerti dan paham. Ia
melarang SRU 7 untuk bergerak. Karena akan dikirimkan tim bantuan ke posisi
mereka. Mereka disuruh menunggu sambil terus menyelidiki ke mana arah Ganes
menghilang.
Hujan telah reda. Waktu
terasa begitu lambat dirasakan Ganes. Semua gejala-gejala alam dirasakannya
dengan jiwa yang kacau. Saat itu dia lagi berusaha menghidupkan api unggun
dengan matches-nya. Perutnya berontak
lagi. Gue harus tetap bertahan. Coklat ini tinggal dua batang. Gue nggak thau
dampai kapan akan begini. Gue harus survival.
Ia berdiri ke luar celah akar pohon. Dengan bayonetnya ia mengumpulkan kayu, ranting
dan dedaunan. Ia ingin membuat bivak
di celah itu. Selanjutnya ia masuk ke dalam bivak dan mencoba membuat perapian.
Usai menggigit coklat dan meminum air ia duduk mendekam di dekat perapian. Entah
bagaimana ceritanya, tiba-tiba ia merasa ngatuk. Dengan posisi duduk bersandar,
Ganes tertidur. Dibuai sesal, didera lapar juga lelah.[]
Jumat, Pukul 7.00 WIB.
Sudah sehari semalam
Ganes tersesat di rimba Gunung Gede. Dengan langkah yang tidak sesehat kemarin.
Ia sempat bimbang ingin melanjutkan pencarian ke tim SRU 7 atau tetap bertahan
di bivak, akhirnya ia memutuskan
untuk terus bergerak sambil terus mengumpulkan makanan menu survival. Sekarang ia berjalan melintasi
medan becek dan licin. Uufss! Ganes terpeleset,
refleks ia meraih rimbunan belukar yang ada di sampingnya. Aduh! Ia menjerit kesakitan. Eh,
bukankah ini yang biasa kami sebut arbei hutan itu? Wah syukur, buahnya banyak!
Gumamnya cerah. Ganes mengapai-gapai buah-buah berwarna merah itu. Lalu
memakannya dengan lahap. Lumayan untuk mengganjal lambungnya. Ia ambil semua
buah-buah itu. Tak hanya yang matang, yang mentah juga. Ia masukkan ke dalam body bagnya. Setelah merasa cukup, dia
melajutkan penjelajahannya kembali. Tak lupa mematahkan ranting sebagai marka di
setiap medan yang diterobosnya. Ganes menemukan turunan yang di bawahnya ada
genangan air hujan. Itu—ciplukan! Buah
ciplukan! Wajahnya berbinar. Dia juga memetik dan memakani buah-buah itu.
Dari tadi gue Cuma makan
buah-buahan kecil melulu, kapan kenyangnya? Gue mesti cari buah lain atau bambu,
atau—tunas pakis itu aja! Ganes memetiki beberapa pucuk pakis itu.
Memasukkannya ke mulut dan mengunyahnya. Yaakkkhhh! Pahitnya! Terus begitu,
sambil membayangkan menggigit paha ayam goreng yang enak. Usai itu ia menggigit
batang coklatnya sedikit. Sebagai pencuci mulutnya yang pahit. Menguyahnya dengan
lama baru barulah menelannya.
Sementara sekitar jam
satu siang, tim bantuan untuk SRU 7 sudah tiba. Mereka hanya bertiga yakni Heru,
Anto, dan Tedy. Mereka tiba dengan cepat, karena SRU 7 sudah menginformasikan
kordinat mereka, serta marka yang dibuat SRU 7 juga cukup jelas. Idang dan
rekan-rekannya menceritakan kembali kronologis lenyapnya Ganes.[]
Jam empat sore, Ganes
dihadapkan pada jurang semak sedalam tiga meter. Dia terlihat ragu, mau
berbalik rasanya tak sanggup lagi, akhirnya ia berusaha untuk menuruninya.
Sayang, tubuhnya sudah terasa lemas. Akh! gussrraaak! Ganes jatuh terperosok.
Tubuhnya meluncur deras menabrak apa saja yang ada di depannya. Lalu
bergulingan menembus semak belukar. Baru berhenti, ketika tubuhnya membentur
pohon lapuk yang tumbang. Masih dalam posisi terlentang, ia merasa pandangannya
berkunang-kunang. Ganes mengedip-ngedipkan mata untuk pandangannya normal
kembali. Kepalanya terasa pusing. Ya,
Tuhan, jauh juga gue jatuh. Perlahan Ganes berdiri. Menatap ke atas bibir
jurang semak itu. Rasanya ia tak sanggup ia memanjatinya. Ia menebarkan
pandangan ke sekelilingnya. Haah!
Matanya melotot dengan mulutnya mengangga. Apa
gue nggak lagi ngayal? Sekali lagi ia mengucek matanya. Tak jauh dari posisinya
jatuh, tampak tergeletak sebuah topi. Entah dapat doping dari mana Ganes memburunya. Masih baru. Ditebarkannya lagi
pandangannya—bodybag! Pekiknya
gembira. Barang-barang ini pasti milik
mereka. Mereka pasti pernah ke sini! Ganes makin bernafsu untuk mencari-cari
lagi, namun ia tak menemukan apa-apa lagi, selain ranting-ranting patah yang
terinjak atau jejak sepatu di lumut tanah. Tampaknya jejak yang masih baru.
Heeii?! Ada orang si sini?! Hoooii—apa ada orang di sini?! Pekik Ganes dengan suara yang
lantang. Hening. Tak ada sahutan atau erangan sekalipun. Dengan perasaan kecewa
dia menelusuri jejak-jejak itu. Masa
Allah! Pekiknya bergetar lebih terkejut dari tadi. Di depannya tergeletak
tubuh seorang gadis. Dalam keadaan diam tak bergerak. Posisinya miring. Dengan
gemetaran Ganes mendekat. Degup jantungnya tak karuan. Apakah—apakah ia sudah tewas? Perlahan Ganes mendekat.
Menelentangkan tubuh itu. Ia seorang gadis. Ganes menatap wajahnya yang pucat.
Perlahan Ganes menyentuh pipinya. Dingin bagai es. Perlahan ia memegang
pergelangan tangannya. Memeriksa denyut nadi, lalu mendaratkan telinganya ke
dada gadis itu. Hah? Detak jantungnya masih
ada! Serunya cerah. Ganes mengguncang-guncang tubuh itu sambil mengerak-gerakkan
tangannya. Belum ada reaksi apa-apa. Dia mulai kebingungan. Tuhan, apa yang mesti gue lakukan?
Katanya gemetar. Tergesa Ganes membuka bodybag-nya.
Mengoleskan minyak angin ke hidung dan pelipis gadis itu. Maapin gue ya, Ganes
menekan-nekan dadanya, hendak memacu jantungnya. Lalu dengan sedikit ragu, dia
memberikan napas buatan. Berulang-ulang. Ukh-huk!
Huk! Gadis itu terbatuk. Bahunya berkerut. Ia memuntahkan cairan beberapa
kali. Lalu mata cekung itu terbuka perlahan. Lalu melotot terbelalak ketika ada
sosok wajah di hadapannya. Dia seperti hendak bicara, tapi buru-buru Ganes
memotongnya.
“Jangan bicara dulu, lo
masih lemah! Puji syukur kepada Tuhan, lo masih baik-baik aja! Sekarang, elo nggak
sendirian lagi. Ada gue, Ganes!” katanya Ganes lembut. Namun tak disangka sama
sekali, gadis itu malah menubruk dan memeluknya dengan erat. Dalam pelukan
Ganes ia menangis mengharukan. Ganes berusaha menyalami perasan gadis itu. Dia
yang telah didera rasa kesendirian, ketakutan, kedinginan, serta kelaparan di
rimba Gunung Gede ini.
“Gu—gue nggak-nggak lagi—mim—mimpi—kkan?”
Gadis itu terisak. Ternyata ia memang salah satu korban yang tersesat itu.
Ganes tak langsung menjawab. Ia malah memberinya minum beberapa teguk. Ketika
sudah sedikit tenang baru Ganes menjawabnya.
“Benar, bukan mimpi.
Sekarang ada gue. Eh, jaket elo basah. Gua ganti, ya” Gadis itu melepas
pelukannya. Tanpa menunggu persetujuannya, Ganes menganti jaket gadis itu dengan
jaket yang dipakainya. Usai itu Ganes membuka body bagnya. Ia mengeluarkan sebatang coklat dan membantu memakankannya.
Dengan perlahan gadis itu menggigit dan menguyahnya. Ganes menatapnya. Untung kondisinya masih kuat dan untung juga
coklat ini belum gue habisin. Tapi ia hanya mampu makan setengah. Ia bilang
masih merasa mual. Ganes menyimpannya. Lalu memberinya minum lagi.
“Ma-makas—sih.” ucapnya
serak. Meski masih pucat dan lemah. Ketegangan di wajah gadis itu sedikit berkurang.
Ganes menebarkan padangan. Dia melihat ada ceruk batuan cadas. Mungkin itu bisa
dijadiin bivak. Ganes membawanya ke
sana. Tapi ia masih terlalu lemah untuk berjalan. Ganes diam menatapnya.
“Gue gendong, ya?” tanpa
menunggu jawaban, Ganes langsung menggendongnya. Aduh—berat banget! Lebih-lebih tubuh gue udah loyo gini! Gumamnya dalam
hati. Di mulut celah cadas Ganes meletakkannya. Ia memeriksanya celah cadas
bagian dalam. Celah cadas itu berupa lubang batu menjorok ke dalam sekitar satu
setengah meter. Lantainya berpa tanah yang lumayan kering. Setelah merasa cukup
aman, dan sedikit dibersihkan, ia melapisi lantai ceruk cadas dengan dedaunan.
Kemudian membawa Rina masuk ke dalam. Tak lama Ganes berusaha untuk membuat
perapian dengan ranting-ranting kecil. Ketika perapian menyala. Suhu di sekitar
celah cadas terasa lebih hangat. Ganes masuk ke dalam celah cadas. Duduk di
sebelah Rina.
“Jangan tidur, ya.
Tetaplah terjaga.” Pesan Ganes. Gadis itu mengangguk lemah. Gue butuh air hangat. Ganes membuka
peplesnya. Ia melepas nesting
kecilnya. Lalu menggali tanah di depan celah cadas mengunakan bayonetnya. Ia
ingin membuat tungku darurat. Usai menggali, ia mencari tiga bongkah batu untuk
dijadikan ganjal perapian. Lalu disusun layaknya kompor tanah. Setelah dirasa
cukup pas. Ganes meletakkan nesting
peples itu dulu karena ia harus membuat perapian tungku. Ia mengambil bara
api unggun untuk membuat perapian tungkunya. Ia memasak air menggunakan nesting peples-nya. Sambil sesekali dia
menambahi ranting ke perapian. Api ini
nggak boleh padam. Gue harus menghemat matches gue. Katanya dalam hati. Sambil
mengerjakan itu semua. Sesekali Ganes memandang ke arah gadis itu. Untuk terus mengawasi
gelagat dan bahasa tubuhnya. Ganes yakin kondisi gadis itu belum aman. Belum benar-benar
terbebas dari ancaman hipotermia.
Ternyata mata kuyu gadis itu juga sedang menatap ke arahnya.
“Mau coklat lagi?” Ganes
menawarinya. Gadis itu menggeleng.
“Gue punya arbei dan
ciplukan. Lo mau? Rasanya enak, lho!” Ganes mengeluarkan isi body bag. Ganes merayunya agar mau memakan
arbei dan ciplukan. Rina berusaha untuk memakannya tapi sedikit sekali. Ia
masih merasa mual. Ganes bingung gadis itu sedikit sekali makannya. Sambil
menunggu air yang direbusnya mendidih. Ia mencoba untuk mengajaknya ngobrol.
“Nama lo siapa?” tanya
Ganes.
“Rina...” Ganes
mengangguk. Ternyata ia korban yang bernama Rina. Ganes belum berani banyak
tanya. Ia menunggu ketika kondisi Rina cukup tenang. Ganes menyentuh permukaan
air yang direbusnya. Lumayan udah cukup
panas. Ganes memasukkan semua air setengah mendidih itu ke peples. Setelah
peples ditutup ia mendekati Rina.
“Sekarang lo pegang
peples hangat ini. Sentuhkan ke bagian-bagian tubuh elo yang paling terasa
dingin. Bisa?” Rina mengangguk dan berusaha untuk duduk. Ganes membantunya.
Kedua tangan Rina memegang peples yang sudah diisi air hangat itu. Rasa hangat
dan nyaman mulai menjalari tubuhnya melalui jemari dan telapak tangannya.
“Kalo di tangan udah
merasa hangat, tempelkan juga ke ujung dan telapak kaki, ya.” Kata Ganes lagi.
Rina mengangguk. Ganes tersenyum senang melihatnya. Sekarang ia mengeluarkan
batang coklat yang tinggal separuh itu. Dimasukkannya ke dalam nesting. Ia memasak batang coklat itu
hingga mencair. Ini terlalu kental kalo
untuk diminumkan. Harus gue tambahin air sedikit. Gumam Ganes dalam hati.
Ia meminta peples yang dipegang Rina. Menuang air secukupnya ke nesting. Lalu memberikan peples itu
kembali ke Rina. Dengan patahan ranting Ganes mengaduk-aduk rebusan coklat.
“Sekarang kita punya
coklat cair, lo harus minum ini sampai habis” Rina mengangguk. Setelah
meniup-niupnya agar lebih dingin Ganes membantu meminumkannya. Benar saja, meski
sedit terbatuk, Rina mampu meminum coklat hangat itu sampai habis. Rasa hangat terus
menjalarinya lewat tenggorokannya hingga masuk ke lambungnya. Kini wajah gadis itu sudah semakin tenang.
“Rin, gue mau keliling
di sekitar bivak kita sebentar. Tadi
gue liat ada pakis. Lo bersedia kan?” Rina menatapnya ragu.
“Sebentar aja. Sebelum
hari semakin gelap, oke?” Rina menggeleng.
“Gue takut, Nes...”
tolaknya lirih. Ganes menghela nafas.
“Elo jangan takut gue
nggak akan jauh! Nggak akan gue tinggalin. Kalo ada apa-apa, elo bisa teriak
manggil gue!” katanya sambil memegang bahu Rina. Rina diam sebentar lalu
mengangguk pelan. Ganes tersenyum sambil berkata lembut. Tergesa melangkah ke
sekitar bivak. Ia memetiki pucuk-pucuk pakis. Si Gokil tampak bersemangat lagi.
Seakan tak merasakan letih di tubuhnya. Bertemu Rina adalah suntikan semangat
baginya. Beruntung di situ banyak mendapat menu survival. Dengan wajah cerah ia kembali ke bivak. Tampak Rina
sedang menghangatkan kedua telapak kakinya dengan peples hangat. Gadis itu
memancarkan kelegaan ketika melihat Ganes muncul.
“Maaf ya, agak lama.
Tapi kita meski bersyukur di sini banyak makanan.” katanya dengan muka cerah.
“Apa—semuanya bisa
dimakan?” tanya Rina dengan padangan ragu.
“Bisa, udah dua hari gue
makan beg—” Ganes menutup mulutnya. Dia tak meneruskan kata-katanya. Wajah Rina
tampak berubah.
“Dua hari? Sebenarnya
elo siapa, Nes? Apa elo—pendaki yang tersesat juga?” tanya Rina penasaran.
Ganes terdiam, merasa menyesal karena telah kebablasan bicara. Dia jadi kikuk takut
Rina akan kembali khawatir jika tahu keadaan yang sebenarnya.
“Iya, eh, nggak, bukan.
Gue kasih tahu ini dulu, ya. Ini namanya ciplukan, rasanya cukup manis. Ini
pisang kole atau pisang hutan rasanya manis sepat, dan banyak biji. Yang ini pakis,
rasanya agak pahit!” Ganes mengalihkan pertanyaan Rina. Menurutnya, belum saatnya
Rina tahu bahwa dirinya juga kesasar. Dan mungkin sekarang sudah resmi jadi
orang yang dicari juga. Ia tak mau Rina kecewa lalu drop kembali. Tapi
sepertinya Rina tak terpengaruh dengan kalimat pengalihan Ganes tadi. Ia kembali
bertanya.
“Iya, tapi sebenarnya
elo siapa? Kok, tahu-tahu ada di sini. Nolongin Rina?” Ganes tak bisa mengelak
lagi. Beberapa kali ia menghela nafasnya.
“Sebenarnya gue anggota
Tim SAR yang bertugas mencari. Tapi—gara-gara kecerobohan gue sendiri, gue
terpisah dari rombongan. Lalu keliling-keliling sendiri di rimba Gunung Gede
ini. Untungnya, gue malah menemukan elo tergeletak pingsan. Sekarang tugas
mereka bertambah. Selain mencari kalian, mereka juga akan nyariin gue. Udah
hampir dua hari di hutan ini, cuma makan sebatang coklat dan makanan yang ada
di hutan. Tapi elo nggak usah panik atau cemas. Sekarang elo nggak sendirian,
apa pun yang terjadi kita hadapi berdua. Sekarang kita harus bisa makan tumbuhan
beginian. Elo harus mau, harus bisa memakannya. Karena kita sedang surrvival. Kita harus bisa bertahan
hidup. Tenang aja, semua bisa dimakan?!” kata Ganes memaksakan untuk bisa tersenyum.
“Rina—ngerti, Nes.”
jawabnya parau. Matanya muali merah. Ganes menatapnya.
“Udah, sekarang jangan
nangis, ya. Kita pasti bisa selamat, kok.” Ucap Ganes terus menyemangatinya.
Dengan bola mata basah Rina mengangguk.
“Sebaiknya kita makan
dulu, ya. Gue juga lapar.” Ajak Ganes. Tapi Rina menggeleng.
“Gue udah kenyang, masih
mual.”
“Eh, coba aja. Kalo
perut kita kosong. Penyakit ketinggian bakal nyamperin lagi. Kita nggak boleh
ego ama kesehatan kita. Sekarang makan, ya?” ucap Ganes sambil memberikan
ciplukan dan pisang kole. Dengan susah payah Rina mengunyah makanan dari menu survival
itu. Meski susah ia tetap berusaha menelan semuanya. Ganes merasa sedih melihat
keadaan gadis itu. Dia pasti merasa asing dengan makanan-makanan itu. Rasanya
macam-macam, ada pahit, sepat dan—aneh! Ganes juga ikut makan. Usai makan Ganes
memberinya sesuatu.
“Nih, permen buat cuci
mulut! Biar rasa aneh dari makanan-makanan ini segera berkurang” Ganes
memberikan permen yang semata wayang itu. Kemudian dia memberikan minuman
hangat kepada Rina.
“Oh ya, apa ini punya
elo, Rin?” Ganes memperlihatkan topi serta bodybag
yang ditemukannya tadi. Rina menelitinya. Ia menggeleng. Ganes kaget. Lalu
punya siapa?
“Itu punya Denisa. Elo
temukan di mana, Nes?!” jawaban Rina mengagetkan Ganes. Denisa? Berarti di area sini masih ada korban yang lain? Tapi Ganes
masih menyimpan pertanyaan-pertanyaan itu. Ia menceritakan bagaimana ia bisa
menemukan topi dan body bag itu. Mereka memeriksa isi bodybag. Di dalamnya ada dompet, obat luka, beberapa permen, dan
sebatang coklat! Ada logistik tambahan buat Rina, pikir Ganes dalam hati.
Kemudian dia mengobati luka-luka lecet di muka dan tangan Rina. Wajah Rina
meringis menahan pedih.
“Nes...”
“Ya?”
“Kata elo udah dua hari
tersesat, cuma makan menu hutan. Tapi—tadi elo ngasih dua sebatang coklat?”
“Hmm—mulanya gue punya
tiga batang coklat. Gua sadar bakal menjalani masa survival, jadi gue musti hemat. Kalo sekuat gue untuk berhemat,
jika harus memakannya itu pun penyegar mulut. Menu hutan itu kan rasanya
macem-macem. Lo tadi udah ngerasainnya sendiri!” katanya tertawa nyengir.
“Tapi—coklat itu gue
yang ngabis—,”
“Heh! Jangan ngomong
gitu! Itu harus, karena elo yang lebih butuh ketimbang gue!” potong Ganes
serius.
“Tapi—sampai kapan kita
bisa bertahan, Nes?” tanya Rina pelan dengan wajah cemas.
“Elo nggak usah mikirin
hal yang belum terjadi. Kita hadapi aja yang sekarang. Lo bisa bertahan kan
karena elo tuh emang cewek yang kuat, tabah dan berani? Kalo nggak—.” Ganes
mengagkat bahu tidak meneruskan kata-katanya. Ia berniat menumbuhkan semangat
Rina. Namun sebaliknya mata Rina malah berkaca-kaca, dan menangis. Ganes jadi
bengong. Apa gue salah omong, ya? Tanyanya
dalam hati. Akhirnya dia hanya diam membisu.
“Kami emang bodoh, kami
bertengkar, ada yang mau bertahan juga ada yang ngotot ingin turun padahal ada badai
berkabut!” ucap Rina kemudian. Dia mulai bercerita dari awal mereka mendaki, bertengkar,
turun, hingga terpisah-pisah jadi beberapa kelompok. Dan sungguh tak disangka,
ternyata sebelumnya Rina memang bersama Denisa!
“Jadi elo emang berdua
Denisa?” Ganes nyaris tidak percaya.
“Iya. Waktu itu, entah
udah berapa lama kami berjalan. Tubuh gue lebih lemah dibanding Denisa, tapi
dia lebih panik dan sering nangis. Kami sudah kelaparan dan kehausan. Karena
kami juga mulai menghemat makanan. Lalu kami menemukan air, buru-buru kami meminumnya.
Gue lihat, tiba-tiba—.” Rina mulai terisak. Ganes mendengarkan dengan seksama.
“Tiba-tiba—wajah Denisa tampak
tegang, matanya melotot! Lalu—lalu dia berteriak-teriak nggak jelas dan berlari
kesana-kemari. Gue ikut panik dan ketakutan. Gue berteriak memanggilnya. Tapi—tapi—.”
Rina menagis terisak. Ganes meraih tangannya dan menggenggamnya erat. Rina
mangatur napasnya.
“Denisa nggak mau dengar.
Dia tetap berlari menerobos belukar. Gue berusaha mengejarnya, tapi tubuh gue lemas
dan jatuh bergulingan. Kepala gue terbentur sesuatu. Waktu sadar gue udah ada dipangkuan
elo, Nes.” katanya terbata. Ganes diam membisu.
“Sekarang, gue nggak
tahu di mana dan bagaimana keadaanya...” Rina mengakhiri ceritanya. Memang
kejadian yang menyedihkan. Ganes memeluk bahu Rina guna menentramkan hatinya.
“Elo jangan nangis lagi,
Rin! Kita doakan, semoga dia nggak apa-apa.” Kata Ganes pelan. Ingin rasanya
dia segera mencari Denisa saat itu juga, tapi masih ragu dengan kondisi Rina. Keadaannya
masih labil bgitu. Hatinnya cuma bisa berdoa, supaya SRU 7 atau SRU-SRU yang
lain segera menemukan mereka.
“Nes, gue kedinginan...”
ucap Rina pelan. Ganes memutar dan memeluknya dari belakang. Ganes tercenung.
Dia bingung menghadapi situasi seperti itu. Tubuh mereka sama-sama menggigil kedinginan.
Entah sudah berapa lama dia termenung, tahu-tahu Rina sudah tertidur dalam
pelukannya. Api unggunnya hampir padam. Perlahan Ganes melepas kan pelukannya,
lalu meniup bara api sambil menambahi kayunya lagi.[]
Sementara saat itu, SRU
7 lagi mengadakan briefing.
“Besok kita akan
menelusuri jejak yang sepertinya sengaja dibuat untuk kita itu ya, Bang?” tanya
Idang pada Heru.
“Betul, Dang! Jejak itu
masih baru. Meski kita nggak tahu siapa yang membuatnya. Kita harap ia belum
jauh bergeser dari posisi kita.” Sahut Heru.
“Kita harus lebih
teliti. Jangan lengah, apa lagi kehilangan jejak.” tambah Anto. Semuanya
mengangguk-angangukkan kepala. Tiba-tiba Tedy menepuk keningnya sendiri.
“Tadi gue nemuin bungkus
coklat yang masih baru!” katanya serius.
“Masih baru?” tanya
Idang dan Jajang hampir berbarengan. Mata mereka berbinar cerah.
“Iya, benar!” Sahut
Teddy serius.
“Ganes!” sahut mereka nyaris
serempak. Heru, Anto, dan Tedy melongo melihat wajah mereka begitu.
“Benar, Bang! Sebelumnya
berangkat kemarin, Ganes beli coklat banyak. Kami diberinya semua!” kata Boby
serius.
“Mudah-mudahan tebakan
kalian benar, ya. Semoga ia belum terlalu jauh.” kata Heru semangat. Pendapat
mereka cukup masuk akal. Jika bungkus coklat itu berada di jalur lintasan
pendakian, mungkin bungkus itu bisa milik siapa saja. Tapi bungkus itu
ditemukan bukan di jalur umum, bisa saja itu memang milik para survivor lainnya, atau memang milik
Ganes. Usai briefing, mereka langsungng
istirahat tidur, karena besok pagi mereka harus menyisir jejak-jejak misterisu
itu kembali. []
Sabtu, pukul 3.00 WIB, dini hari.
“Paa, Ma, maafin Rina—aaakh!Paa—Maaa...”
Ganes tersentak kaget. Buru-buru dia memegang kening Rina, tubuh Gadis itu
mendadak panas. Mungkin terkena demam. Perlahan-lahan dia membangunkannya, Rina
tersentak bangun.
“Elo ngigau. Tubuh lo
panas, Rin.” ucap Ganes pelan. Rina diam saja. Tubuhnya masih menggigil.
“Sebaiknya, lo makan
coklat ini, setelah itu minum obat demam!” Ganes memberikan coklat dari bodybag Rina tadi. Ia juga mengambil
obat pereda demam dari body bagnya.
“Tapi besok kita makan
apa, Nes?” Rina ragu-ragu.
“Lo nggak usah mikirin
besok, sekarang makan dulu!” jawab Ganes serius. Dia mengupas bungkus coklat
itu kemudian memberikannya keapada Rina.
“Kita bagi dua ya?”
Ganes menggeleng.
“Elo nggak usah mikirin
gue, Rin. Elo yang lebih butuh ketimbang gue. Udah nih, makan!” ujar Ganes
serius.
“Kalo elo nggak makan, gue
nggak mau!” tepis Rina pelan. Ganes terkejut mendengar perkataannya. Ia
bungkam.
“Nes, elo selalu perhatiin
kondisi gue, tapi tubuh elo juga makin lemah. Sekarang kalo gue makan, elo juga
makan. Gue juga nggak mau lo sakit...” kata Rina pelan. Ganes bungkam. Ia
merasa sangat tersentuh. Ganes jadi serba salah dibuatnya.
“Oke, kalo gitu. Lo
lihat, ya.” Kress! Ganes menggigit coklat itu sedikit. Rina mengangguk berusaha
tersenyum.
“Sekarang coklat ini
mesti elo habisin!” Rina mengangguk. Ganes memperhatikannya sambil bergumam
dalam hati. Semoga kondisimu segera pulih, Rin. Gue tahu senyum itu,
senyum yang dipaksakan.
“Ini air hangatnya. Ini
obatnya. Sudah ini elo bisa tidur lagi...” Ucap Ganes. Tapi tiba-tiba wajah Rina
meringis sambil memegangi kakinya.
“Nes, ka-ki, kaki gue,
kk—kramm!” Rina meringis kesakitan. Ganes menahan arah tekukan kram itu sambil
memijit-mijitnya. Agar peredaran darahnya lancar.
“Nes, tubuh gue juga kedinginan...”
Kasihan. Ganes jadi sibuk, merasa bingung dan serba salah. Akhirnya Ganes,
memeluknya kembali. Membagi panas tubuhnya.[]
Sabtu. Pukul 7.00 WIB.
Pagi yang hari cerah. Tim SRU 7 sudah bergerak lagi. Mereka
masih terus menyusuri jejak yang makin jelas itu. Ada patahan-patahan ranting
belukar yang masih baru. Mereka makin bersemangat dan berharap bahwa
jejak-jejak itu memang jejak yang telah dibuat Ganes.
“Ada sisa api unggun di sini!”
seru Tedy yang ada di depan. Wajahnya penuh semangat. Di daerah itu juga,
mereka menemukan jejak-jejak jungle boot.
Mereka lebih teliti lagi menyusuri tanda-tanda itu. Mereka tak ingin kehilangan
jejak-jejak itu.[]
Syukurlah, panasnya udah turun. Gumam Ganes lega sambil meraba kening Rina
yang masih tertidur pulas. Dia merapikan jaket yang dikenakan Rina dan menutupi
kaki Rina dengan jaket yang tadi dikenakannya. Gue harus cari makanan dan air buat hari ini. Sebelum berangkat
Ganes menambahkan kayu bakar ke perapian, setelah api itu menyala, ia juga
merebus air yang tersisa di peples.
“Nes...” Ganes terkejut
mendengar panggilan itu.
“Oh, udah bangun? Mau
minum?” tanyanya ramah. Rina mengangguk. Dia membantunya minum.
“Rin, gue harus cari
tambahan air dan makanan. Gue tinggal bentar nggak apa-apa kan?” Rina
mengangguk.
“Mmm—kira-kira lo masih
inget nggak, arah Denisa lari kemarin?” tanya Ganes sedikit ragu. Maksudnya
sambil mencari makanan ia akan mencoba mendeteksi siapa tahu ada jejak Denisa
yang tertinggal. Rina mencoba mengingat-ingatnya. Ia beringsut ke celah cadas
mulut bivak.
“Kalo gak salah ke arah—pohon
besar yang di tumbuhi lumut itu! Ya, ke arah itu! Kenapa, Nes. Mau sekalian mencarinya?”
Ganes terdiam sambil memandangi pohon besar yang ditunjukan Rina dan anggrek
hutan.
“Elo mau mencarinya?”
Rina mengulangi pertanyannya. Ganes menatapnya. Wajahnya tampak ragu dan
bingung. Rina memahaminya.
“Iya, Nes. Coba sekalian
cari dia. Siapa tahu Denisa kayak kondisi gue kemarin.”
“Tapi...”Ganes
ragu-ragu.
“Nggak apa-apa, Nes. Gue
nggak apa-apa. Denisa pasti butuh pertolongan.” katanya mantap. Ganes
menatapnya sambil berkata.
“Denisa pasi bangga,
punya teman kayak elo. Baiklah, gue akan mencobanya. Kalo ada apa-apa,
berteriaklah kuat-kuat, ya!” ujarnya sambil menambah kayu ke perapian.
Ganes melangkah perlahan
ke arah pepohonan yang ditunjuk Rina. Dengan hati-hati dia meneliti keadaan di situ.
Benar saja, semak dan lumut tanahnya seperti diinjak-injak tak beraturan. Ganes
menemukan jejak sepatu dan menelusurinya. Lima menit berlalu. Asap perapian
dari bivak mereka masih terlihat. Tiba-tiba
Ganes berhenti. Apa tindakannya gue ini
benar. Ninggalin Rina sendirian? Ia mulai dilanda keraguan. Kembali atau terus? Tapi, gimana kalo
keadaan Denisa lebih buruk dari Rina? Akhirnya dia meneruskan langkahnya.
Medan di depannya bukan lagi semak belukar dan lumut tanah, tapi berupa tonjolan-tonjolan
batu cadas yang ditumbuhi lumut hijau, serta daratan tanah napal. Di antara
bebatuan itu ada genangan air yang mengalir. Samar-samar juga terdengar suara
gemercik air. Perlahan-lahan kabut tipis mulai turun. Ia berhasil mengumpulkan
pakis dan rebung. Di dekat sungai ada rumpun bambu. Dengan penuh semangat ia
mencari tunas-tunas rebung. Lumayanlah
dapat rebung dan pakis. Gumamnya dalam hati.
Wah, gila pagi ini turun kabut. Untung nggak terlalu tebal. Rutuk Ganes dalam hati. Dia terus
melangkah sambil menebarkan pandangan. Ganes terpekik tertahan. Tubuhnya refleks
mundur ke belakang. Wajahnya berubah pucat. Jantung berdebar hebat. Di depannya
terbentang jurang yang menganga. Astaga! Gimana
kalo kabut pekat, bisa-bisa gue nyleonong dan—free fall ke bawah sana. Gumamnya
bergidik ngeri. Dia mendekati bibir jurang itu perlahan. Saking takutnya dia setengah
merangkak lalu melongok ke bibir jurang. Kedalamanya kira-kira dua puluh
meteran. Tampak ada air terjun kecil dan sungai kecil di dasarnya. Juga ada
taring-taring batu-batu cadas yang siap menyambut apa pun yang jatuh dari bibir
jurang sini. Apa itu? Mata Ganes tertuju pada suatu benda berwarna kontras!
Buru-buru Ganes membuka body bag dan mengambil buku kecilnya. Ia ingin membaca
ulang tentang data-data korban.
Jantungnya makin
berdegub kencang. Benda merah itu, apakah
itu jaket merah? Jangan-jangan—heh?! Ganes tak jadi melanjutkan dugaannya.
Kepalanya mendongak sambil menajamkan pendengarannya. Sayup-sayup ia mendengar
teriakan yang memanggil namanya. Rina?!
Pekiknya sambil melihat jam di tangannya. Astaga! Udah setengah jam lebih gue
meninggalkannya. Ganes berbalik dan berlari kencang kembali ke bivak. Ganes terpekik saat melihat Rina
terkulai di luar bivak. Buru-buru dia
membopongnya ke dalam.
“Maapft, Rin! Hhhh... gue kelamaan...hhh!” Napasnya tersengal habis
berlarian. Rina diam tak menjawab, matanya kuyu seperti kehilangan semangat
hidup. Ganes terkejut, karena tubuh Rina mendadak dingin.
“Ri-Rina?!” Ganes
menggucang-gucang tubuhnya. Perlahan-lahan mata Rina menutup.
“Rina?! Rina?! Jangan
mati!” pekik Ganes panik sambil menepuk-nepuk pipi Rina, tapi Rina tetap diam
tidak bergerak.
“Jangan mati, Rin!
Sia-sia usaha gue! Oh, Tuhan jangan ambil dia dulu!” ratap Ganes tak sadar. Matanya
mulai panas, rasa kesal, dongkol, dan khawatir jadi satu. Dia mendekap dan menguncang-guncang
tubuh lunglai itu. Dia pingsan lagi!
Detak jantungnya masih
ada, meski lemah. Ganes melakukan pertolongan, seperti yang pernah ia lakukan
kemarin. Memacu jantung dan CPR. Tiba-tiba, zeb! Zeb! Zeb! Terdengar suara
helikopter. Mendengar itu ia langsung berteriak-teriak panik. Meski pesawat itu
tak terlihat olehnya. Dan pelan namun pasti, suara helikopter itu menjauh, jauh
dan—hilang! Suasana kembali sepi. Ganes kecewa sekali, buru-buru dia mengambil badybag-nya. Kemudian mengeluarkan
isinya. Ia memasukkan tas itu ke dalam perapian. Bersambung ke Survival [Bagian 3]
No comments:
Post a Comment