Siang itu,
Kota Palembang terasa lebih panas dari biasanya. Matahari melotot garang dengan
teriknya. Tampak Ganes berdiri gelisah di halte bis di ruas Jalan Basuki
Rahmat. Mulutnya sudah ngedumel sendiri. Merasa kesal belum juga dapat
tumpangan. Kendaraan yang lewat selalu beda jurusan atau sudah sarat penumpang.
Tampak doyong kelebihan muatan. Para sopir dan kondektur bis kota memang tak pernah jera, meski sering
terjadi kecelakaan akibat kelebihan muatan. Merasa tak perduli dengan kondisi bis
yang oleng ke kiri. Pikirannya hanya dapat memburu setoran sebanyak-banyaknya.
Anehnya, masih ada saja penumpang yang mau naik. Meski harus berdiri, berdesakan
atau bergelantungan, sampai ke kedua pintunya. Tak memikirkan keselamatan mereka
sendiri. Merasa penting cepat sampai ke tujuan. Padahal jika terjadi
kecelakaan, akan lebih cepat sampai ke rumah sakit atau malah akhirat!
Ganes
sedikit bernafas lega, bis jurusan Kertapai-Perumnas yang dinantinya akhirnya muncul
juga. Bis yang belum penuh itu gesit menghampirinya. Ganes bergeas melompat
naik dan duduk di bangku deretan belakang. Bis melaju dengan kecepatan tak
beraturan. Bahkan sering berhenti mendadak, untuk meraup penumpang yang
berjejer di halte atau di jalanan. Bagi penumpang yang belum mantap berpegangan
atau meletakkan pantatnya siap-siap saja terjengkang. Entah kalau kalau ada penumpang
yang hamil, mungkin bisa-bisa beranak di tempat.
Bis
yang ditumpangi Ganes, mulai melaju susul menyusul di antara bis-bis lainnya.
Seakan takut calon penumpangnya direbut oleh bis yang lainnya. Sang kondektur
bergelantungan di bibir pintu. Berteriak meneriakkan tujuannya dengan penuh
semangat. Lalu bersiul nyaring, ketika bisnya berhasil mendahului bis yang
lain. Sepertinya, ia begitu menyenangi aksinya itu.
Bis
kota paling suka
menyerobot jalur kiri lampu merah. Meski kadang harus memutar ke jalan lain.
Sopir-sopir itu tak pernah jera, walau pun sering kena tilang aparat. Mungkin
dengan memberikan ‘tips’ sedikit ke oknum aparat, mereka sudah bisa bebas
kembali. Mereka juga sering menyalip kendaraan lain. Membikin mobil-mobil
angkot atau mobil pribadi lari menghindar. Mereka yang takut body
mobilnya tergores atau malah keserempet si Raja Jalanan, harus menyingkir
sambil memuntahkan kata-kata makian. Sementara bis kota tetap melaju tanpa beban.
Makin
lama bis kota
yang ditumpangi Ganes makin dipenuhi penumpang. Berdiri dan berdesakan. Udara
gerah bercampur peluh juga berbagai bau membaur jadi satu. Ada yang marah sambil memaki-maki, saat
kakinya terinjak. Ada
yang marah ketika ‘bagian’ tubuhnya tersentuh penumpang lain. Terutama kaum
perempuan, harus lebih hati-hati, karena ada penumpang berhidung belang, atau
penumpang bertangan panjang [copet] yang pandai memanfaatkan kesempatan dalam
kesempitan. Soal pedagang asongan di bis ini, tergolong ‘agak mendingan’,
karena tak seagresif asongan bis ekonomi luar kota. Yang sering berlari melompat naik atau
turun dari kendaraan. Atau sengaja meletakkan barang daganganya ke pangkuan
penumpang. Di bis ini, mereka berteriak-teriak dari luar. Tak ada juga yang
‘berceramah’ lalu meminta sumbangan atau pengamen yang ‘berpuisi’ ala penyair
kawakan, seperti di kota-kota besar lainnya.
Di
kota yang terkenal dengan pempek, Jembatan Ampera dan Sungai Musi ini, nyaris
semua kendaraan angkutan umumnya punya ‘sound system’ yang bakal
‘menggedor’ jantung para penumpang. Entah sub
woofer bagus atau speaker sember
siap berdendang. Menambahi keriuhan penumpang, Pak Sopir akan menyetel tape
mobilnya yang sember dengan volume yang keras. Dari musik dangdut
klasik, koplo, disko, house, hingga album kenangan akan didentumkan. Tak akan
pernah terdengar lagu-lagu berirama jazz atau instrumental yang lembut
mendayu-dayu di bis kota.
Sopir tak perduli dengan suasana bis kota
yang sudah sangat sumpek. Kepalanya tampak bergoyang-goyang mengikuti irama
musik yang menghentak. Bis kota
terus saja melaju membelah jalan raya.
Ketika
bis kota
berhenti ‘dihadang’ lampu merah, di Perempatan Simpang Polda, naik dua pemuda
yang kelihatan dekil sambil membawa gitar tua. Memohon Pak Sopir mematikan tape-nya
sebentar, karena mereka ingin ‘menghibur’ para penumpang bis kota yang sumpek kegerahan. Si Sopir itu
cukup toleran mematikan tape mobilnya. Sejenak penumpang menarik nafas
lega, terbebas dari ‘tabokan’ tape mobil yang sember tadi. Salah
seorang pengamen tadi membuka salam ala presenter, lalu mengalunlah
tembang lagu dari mulut temannya yang pegang gitar. Sesekali ia jadi backing
vocal temannya. Dengan suara yang pas-pasan mereka menyanyikan sebuah lagu
bernadakan kritikan sosial. Mengkritik kebijakan pemerintah kita yang timpang
dan oleng bak bis kota
yang mereka tumpangi. Belum habis lagu yang dibawakan, pengamen yang berperan
sebagai ‘presenter’ tadi mulai mengedarkan kantung plastik. Mereka segera ‘menagih’
uang jasa, karena telah ‘menghibur’ para penumpang bis kota
dari rasa sumpek dan gerah di dalam bis kota.
Beberapa orang memberikan uang recehnya, begitu juga dengan Ganes. Sebelum
turun pengamen yang berperan sebagai ‘presenter’ tadi menutup ‘pertunjukkannya’
dengan ucapan terima kasih, seraya mendoakan para penumpang bisa selamat sampai
tujuan. Sebelum melompat turun mereka mengucapkan terima kasih pada Pak Sopir. Mereka
akan memburu bis kota
lainnya.
Lumayan
mereka adalah pengamen simpatik. Tak jarang di antara mereka ada tidak sopan. Agak
memaksa, memaki atau malah marah kalau tak diberi recehan. Jangan salah! Selain
masyarakat umum, di antara pengamen itu ada yang berstatus mahasiswa atau anak
sekolah yang cari uang tambahan. Entah untuk tambahan uang sekolah, kuliah,
uang beli rokok atau malah ‘minuman’. Setelah para pengamen itu turun, Pak
Sopir kembali menghidupkan tape mobilnya. Para
penumpang kembali ‘dihiburnya’ dengan suara musik yang menghentak. Duk-ces!
Duk-ces! Duk-ces!
Bis
kota kembali
berhenti untuk menaikkan atau menurunkan penumpang di halte berikutnya. Tak
jauh dari perempatan lampu merah RS. Charitas, dua orang laki-laki dengan
membawa secarik kertas dan pulpen menghampiri sopir atau kondektur. Biasa, meminta
‘jatah preman’ alias ‘pungli-pungli’ jalanan. Tak jarang terjadi keributan
antara sopir atau kondektur dengan mereka. Anehnya, aparat seperti tak perduli
dengan kejadian itu. Padahal nyaris di setiap halte bis bertengger tiga sampai lima orang yang melakukan
kegiatan tak resmi itu.
Bis
kota terus
melaju meneruskan perjalanannya dan berhenti di halte dekat Pasar Cinde.
Membarengi penumpang yang turun atau naik, dua orang bocah laki-laki dan
perempuan ikut naik ke atas bis kota.
Kondisi mereka lusuh, berdaki dan (maaf) berbau amis. Bocah perempuan itu
menggendong anak kecil yang tak henti-hentinya menangis. Dengan bermodalkan
‘kicikan’ alat musik dari tutup botol yang dipipihkan itu, mereka menyanyikan
lagu yang tak jelas juntrungannya. Pak Sopir juga tak akan mematikan tape
mobilnya hanya kehadiran para pengamen cilik itu. Bocah-bocah itu juga tak
perduli, yang penting mereka terus ‘menyanyi’ dan mendapatkan recehan para
penumpang. Akhirnya, suara tape, kicikan, vocal cempreng pengamen
cilik, pekikan kondektur, suara mesin mobil di-mixing jadi satu dalam
kotak bernama bis kota
itu. Hiruk pikuk itu masih ditambah tangisan anak kecil yang digendong oleh pengamen
cilik itu. Kalau mau jadi backing vocal tentu tak mungkin, tapi kalau ia
merasa kepanasan, kehausan bahkan kelaparan itu sangat mungkin.
“Kasihan…” Gumaman seperti itulah yang
paling sering dilontarkan bila kita melihat mereka. Tiga bocah pengamen itu
cuma gelintir dari sekian banyak orang yang ‘berserakan’ di jalanan kota-kota
besar. Mereka sengaja ‘disebar’ untuk mencari uang oleh ‘orang-orang tua’
mereka yang kebanyakan hanya duduk-duduk mengemis di perempatan lampu merah, trotoar
jalan, atau emper pertokoan. Tanpa sadar mereka telah mengeksploitasi anak di
bawah umur! Tapi mereka memang tak mengenal istilah kata itu. Apalagi untuk
mengerti istilah itu. Yang mereka tahu, anak-anak itu sudah dilahirkan, jadi wajib
diajarkan bagaimana caranya hidup dan bagaimana cari duit di kota besar. Belum lagi ada istilah ‘sewa
bayi’. Misalnya seorang ibu dari golongan mereka punya anak bayi. Ia bisa
menyewakan bayinya, pada pengemis lain, untuk dibawa mengemis biar tampak lebih
‘meyakinkan’ atau lebih ‘menyedihkan’ dan berharap akan lebih banyak dapat uang
recehan. Golongan ini juga ada yang mengkoordinir serta ‘melindungi’ mereka
dari gangguan kelompok lain, biasanya para ‘preman’. Para
pengemis itu juga harus menyetor sekian persen kepada para ‘pengatur’ dan
‘pelindung’ itu. Kalau setorannya kurang, tanggung sendiri akibatnya.
Bis kota berhenti di halte
berikutnya. Nyanyian para pengamen cilik itu pun berakhir. Lalu kedua bocah itu
menadahkan tangan-tangan mungilnya. Beberapa penumpang bis memberikan uang
recehnya. Begitu juga dengan Ganes. Diam-diam Ganes memperhatikan anak kecil
dalam gendongan bocah perempuan itu. Ia juga bertanya dalam hati. Kenapa
orang-orang seperti mereka terus bertambah? Apa anak-anak itu cuma hasil dari
tuntutan kebutuhan biologis para ‘penghasil’ mereka? Atau, anak-anak itu memang
‘diproduksi’ untuk menghasilkan ‘generasi-generasi penerus’ mereka? Kaum
urbanisasi atau apa? Entahlah, yang pasti golongan mereka itu terus bertambah
dan akan terus bertambah. Ini memang jadi masalah negara yang kompleks.
Semestinya kita semua terlibat. Lebih-lebih pemerintah agar serius
menanggulangi nasib mereka. Sebab mereka juga bagian dari Indonesia dan mereka juga warga negara Indonesia.
Para pengamen
cilik itu melompat turun. Mungkin akan memburu bis kota lainnya. Di halte ini, lebih banyak
penumpang yang turun dari pada yang naik. Lalu seorang wanita separuh baya naik,
dan duduk tepat di depan bangku Ganes. Disusul oleh dua orang laki-laki yang
berpenampilan cukup rapi. Seorang duduk di sebelah wanita itu dan seorang lagi
duduk sebelah kiri Ganes. Tepatnya di bangku dekat pintu belakang. Ganes
mengangkat kepalanya, ia hendak melihat ke jalan. Lebih kurang lima menit lagi ia akan
sampai ke tujuannya. Ia ingin ke pasar loak yang banyak menjual majalah atau
buku-buku bekas di kawasan bawah Jembatan Ampera.
Jembatan
kebanggaan warga Kota Palembang yang memotong Sungai Musi. Ganes memang sering
ke pasar buku bekas itu. Terkadang ia bisa mendapat buku yang bagus dengan
harga murah, untuk melengkapi perpustakaan pribadinya. Belum sampai tiga menit
bis kota itu
berjalan, tiba-tiba mata Ganes melotot. Jantungnya berdegup kencang. Tak sengaja
matanya melihat laki-laki yang berada di sebelah wanita separuh baya itu
mengeluarkan sebuah pisau, dan langsung menempelkan ke perut wanita itu. Kontan
saja wanita itu gemetaran. Wajahnya memucat seperti kapas. Ganes menyaksikan
sebuah aksi penodongan!
“Jangan bertindak macam-macam, kalau ingin selamat.
Serahkan dompet dan semua perhiasan yang Ibu pakai,” ancam laki-laki itu
berbisik. Wajah penodong itu terlihat tenang dan santai. Mungkin ia sudah biasa
melakukannya. Wanita itu terlihat sangat ketakutan, ia menuruti permintaan
penodong. Ganes terlihat gelisah. Ingin rasanya ia berteriak memberitahukan
semua penumpang. Entah memang tak tahu atau pura-pura tak tahu dengan kejadian
itu. Atau mereka takut malah akan jadi korban nantinya. Lalu Ganes mencoba
menghitung-hitung jumlah penumpang. Selain penodong, di bis kota itu cuma ada tigabelas orang. Kondektur,
sopir, Ganes ditambah empat penumpang perempuan dan enam orang laki-laki.
Sementara si Kondektur sibuk berteriak-teriak cari penumpang di pintu depan.
Laki-laki yang duduk di sebelah kiri Ganes itu seperti sudah membaca
pikirannya. Maka ia pun berbisik…
“Jangan
sok jadi pahlawan. Diam saja. Serahkan juga dompetmu!” Ternyata laki-laki disebelah
Ganes itu kawanan penodong. Bukan main terkejutnya Ganes. Gagal sudah
hitungan-hitungan tentang jumlah penumpang bis kota itu. Penodong ke dua itu menempelkan
ujung pisau ke arah lambung Ganes. Darahnya berdesir hebat, antara kemarahan
dan ketakutan. Ia juga terlihat gugup dan bingung. Namun otaknya tetap berusaha
untuk berpikir jernih.
“Cepat
berikan!” bisik penodong itu sambil menekan ujung pisaunya ke lambung Ganes.
Tiba-tiba bis kota
itu mengerem mendadak, entah mau menaikkan atau menurunkan penumpang.
Akibatnya, tubuh para penumpang limbung ke muka. Begitu juga dengan tubuh
laki-laki yang sedang menodong Ganes. Mata pisau yang menempel di lambung Ganes
berpindah arah ke tempat kosong! Melihat kesempatan itu, Ganes segera menepis
tangan penodong itu hingga pisaunya terlepas. Si Penodong tak mengira mendapat
serangan pemuda yang ditodongnya tadi. Sebelum pulih kesadarannya, Ganes segera
melayangkan tinjunya sekuat tenaga ke arah wajah penodong. Wajah itu terangkat
ke belakang. Penodong itu mengaduh kesakitan.
“Penodong…!”
pekik Ganes sekeras-kerasnya sambil mendorong tubuh penodong ke arah pintu
hingga tubuh penodong jatuh keluar. Akibat menolak tubuh penodong itu, Ganes
jatuh setengah terlentang di kursi. Melihat kejadian itu, para penumpang jadi
panik dan berteriak-teriak. Lebih-lebih para penumpang wanita. Melihat keadaan
temannya begitu, juga suasana bis yang mulai kacau. Penodong yang menodong
wanita, berlari ke belakang hendak melompat ke luar. Seraya melancarkan tusukan
ke arah perut Ganes—yang masih dalam posisi setengah terlentang. Merasa jiwanya
terancam, Ganes makin nekat menangkisnya dengan tangan kanan. Melihat
serangannya gagal, penodong itu makin beringas. Tangan kirinya berusaha
mencekik leher Ganes, tangan kanan yang memegang pisau terangkat ke atas dan
mengayun deras ke arah perut.
Tapi
lagi-lagi serangan itu gagal, Ganes bisa menangkis dengan melipat dengkul
kirinya. Pemuda itu bergumul mati-matian melawan penodong kalap. Tangan
penodong itu kembali terangkat dan menghujam deras ke arah dada Ganes. Para penumpang wanita menjerit-jerit dan ingin berlari
turun lewat koridor bis. Beberapa penumpang laki-laki yang hendak menolong Ganes,
bertubrukan dengan mereka. Beruntung Ganes masih bisa merapatkan serta
menyilangkan kedua tangan. Melindungi dadanya dari tusukan maut itu. Tapi kedua
lengan itu terluka dan berdarah. Tangan penodong itu kembali terangkat, tak
tahu lagi arah mana yang akan ditusuknya. Bisa saja muka, dada lagi atau perut.
Ganes makin tersengal, nafasnya sesak, wajahnya semakin merah dicekik penodong
itu. Itulah saat yang paling kritis dan membahayakan!
Tiba-tiba
kepala penodong yang menyerang Ganes secara membabi buta itu tersentak ke
belakang. Dengan keras! Ternyata wanita yang ditodong tadi telah menarik rambut
penodong itu dengan sekuat tenaganya. Dengan sisa tenaganya, kaki kiri Ganes yang
terlipat tadi, menendang ke arah dada penodong. Laki-laki itu terpental serta
membentur pintu belakang bis kota.
Kondektur bis dan beberapa penumpang laki-laki langsung merubungi penodong itu.
Menghujaninya pukulan dan tendangan.
Ganes
terbatuk-batuk, mulutnya memuntahkan cairan tapi bukan darah. Dadanya sesak dan
tenggorokannya terasa sakit. Ia juga merasakan hangat dan perih di lambung,
paha kirinya, dan bahu kirinya. Ganes mencoba untuk berdiri, namun tubuhnya
terasa lemas. Darah! Ada
darah di sekujur tubuh dan pakaiannya. Ia sempat melihat orang-orang memburu ke
arahnya seraya meneriakkan kata; luka dan rumah sakit! Tiba-tiba pandangan
Ganes jadi kabur, gelap. Gelap sekali. Kemudian ia terkulai, tak ingat apa-apa
lagi. Si Gokil jatuh pingsan. [] [end/ Ganezh/ 23/07/2000]
nice banget kak keren
ReplyDeleteElever Media Indonesia