Berlembar kisah
’tlah terjalin
Berhadap kendala
yang meng hadang, tak peduli,
demi memenuhi serangkum kata, yang ‘tlah tersusun
rapi menjadi sebuah, janji."
[ganezh/10
Sept’1994]
Note: Sebelum membaca cerita ini sebaiknya baca cerita Setangkai Edelweiss Lawu lebih dulu.
Dua
jam lagi sekolah bubaran. Kelas Ganes tampak gaduh karena Pak Hombing, guru
matematika belum masuk ke kelas. Ganes mendatangi bangku Togar, stengah
berbisik ia menanyakan sesuatu.
“Gar,
Jumat entar kita libur, ya?” Togar yang lagi asyik ngupil mengangguk.
“Memangnya
kenapa kau tanyain itu, Nes? Mau jalan kau?”
“Kagak,
cuma mastiin aja!” jawab Ganes. Belum sempat Togar menjawab, Pak Hombing masuk
keburu masuk kelas. Buru-buru Ganes kembali ke bangkunya.
Memang kalau hari libur yang mepet-mepet
hari Minggu, dianggap harpitnas alias
hari kejepit nasional. Hari besar yang tak masuk agenda kalender nasional, bagi
para siswa yang doyan bolos. Baru beberapa menit belajar matematika, Ganes
sudah tampak gelisah, entah apa yang sedang berkecamuk diotaknya. Ganes tak
sadar kalau gerak-geriknya diawasi oleh sepasang mata cantik, Katrina Dewi
Sari. Siswi baru, pindahan SMU 600 Bandar Lampung. Ia baru tiga bulan sekolah
di SMU 2000. Entah bagaimana ceritanya, si Katrin diam-diam suka sama si Gokil.
Saking nge- fans-nya, ia sering
bicara sendiri dengan kucingnya, ikan Koinya, atau sama kaca rias di kamarnya. “Tau gak kalian, kalo gue lagi suka ama
cowok? Namanya Ganes, tapi kayaknya ia cueeek banget ama gue. Cool kayak es Bon-bon.
Atau jangan-jangan doi emang udah punya kecengan lain? Tapi kata si Tami doi
jomblo? Menurut kalian gimana?” tanya Katrin. Terang aja hewan-hewan itu
tak bisa menjawab selain mengeong, berkecipak, atau bungkam kayak kaca rias
itu. “Ah, kayaknya sulit banget nyelamin hati elo, Nes?!” Begitu katanya akhirnya
ngomong sendiri. []
Pada hari kamis Ganes tak masuk sekolah.
Dia titip surat ijin lewat Adhie. Dia titipin pada hari Rabu sore. Setelah tahu
kabar itu, Togar jadi bertanya-tanya sendiri. Ia jadi curiga dengan pertanyaan
soal hari libur kemarin. Jadi sepulang sekolah nanti ia berencana mengajak Abon
dan Adhie untuk datang ke rumah Ganes. Mereka mengecek secara langsung. Tapi
sesampainya di sana mereka malah dibrondong pertanyaan oleh Anis, adiknya Ganes
yang masih SMP.
“Ngasih tau? Ngasih tau apa, Nis? Orang kita
ke sini mo nyariin Gokil!” kata Adhie sedikit kebingungan.
“Lho? Jadi Bang-bang ini gak tahu juga
kemana peginya si Gokil?” Kata Anis tak kalah bingung. Anis memang suka menyingkat
kata ulang, misalnya Abang-abang menjadi Bang-bang. Togar, Adhie, dan Abon
melongo bloon. Ketiganya menggeleng bareng.
“Apa dia gak ninggalin pesen, Nis?” tanya
Abon.
“Oh iya, ada kertas lecek, dengan tulisan
cakar ayam itu. Entar...” Anis masuk kemar Ganes. Tak lama ia muncul sambil
membawa kertas lecek itu. Sepertinya itu kertas habis diremas kuat-kuat. Kalau
diperhatikan ternyata itu kertas hasil ulangan ulangan matematika Ganes yang
dapet bebek kelelep. Tergesa Abon membacanya.
Yth, Bapak dan Ibu, juga
Anis. Maap Ganes berangkat mendadak. Maap juga gak minta ijin dulu. Sebab kalo minta,
pasti gak diijinin. Cuma empat atau lima hari kok, Pak, Bu. Insya Allah, Senin
Ganes udah pulang. Ganes tau, Bapak dan Ibu pasti marah. Ganes minta maaf.
Ganes siap menerima konsekwensinya. Wasalam, Ganes.
“Dikit
amat pesennya. Kayak telegram aja!” kata Abon kecewa. Jidat Togar berkerut
tampak sedang berpikir.
“Kira-kira
ia mau pergi ke mana?” Gumam Togar tak jelas siapa yang ditanyanya. Semua tak
memiliki jawaban.
“Nng—semua
peralatannya dibawa gak, Nis?” tanya Abon serius. Maksud Abon adalah peralatan
mendakinya Ganes.
“Ada
di kamarnya. Bang. Di atas lemari. Emang kenapa, Bang?”
“Berarti
ia gak lagi pergi mendaki!” Tukas Adhie. Abon dan Togar mengangguk setuju. Tiba-tiba
pintu depan terbuka Ibu masuk terburu-buru. Saat melihat teman-teman Ganes, tak
sabar ia menanyakan keberadaan anaknya itu.
“Nah,
ada Nak Adhie! Ini si Gegar dan Ambon, ya?”
“Togar
dan Abon, Bu,” Adhie meralatnya.
“Oh,
ya, ya! Maaf ibu lupa. Ibu cemas banget, kalian tahu Ganes pergi ke mana?”
tanya Ibu sambil mengelap keringat di dahinya. Wajahnya kelihatan tegang dan
panik.
“Maaf,
Bu. Kami ke sini juga mo nyariin Ganes,”
jawab Adhie serius. Wajah Ibu tampak bingung mendengarnya.
“Jadi—kalian
juga nggak tahu?” tanya Ibu makin cemas. Mereka mengiyakannya.
“Jangan-jangan
dia pergi mendaki, Gar?” Bisik Abon pelan.
“Tapi
semua peralatannya ada?” Tepis Togar. Mereka semua terdiam.
“Aduh,
Ganes! Kamu kok begitu, sih! Kalo liburan nggak apa-apa. Inikan masa-masa
sekolah. Ganes, Ganes!” keluh Ibu sambil duduk di kursi. Melihat itu Adhie,
Togar dan Abon makin bungkam.
“Bapak
udah ngomel waktu Ibu kabarin ke kantor. Di rumah Om Handri juga nggak ada!” Tambah
Ibu lagi dengan mata merah. Ibu terlihat sangat sedih sekaligus kesal.
“Udah,
sekarang Ibu tenang dulu. Kami akan menghubungi teman-teman kami yang ada di
Jawa dan Sumatera, siapa tahu Ganes ada di sana. Ibu gak usah panik dulu, ya.”
Adhie mencoba menenangkannya, Ibu hanya mengangguk lesu. []
Malamnya,
keluarga Ganes berkumpul di ruangan tengah. Bapak bertanya pada Ibu dan Anis.
Menanyakan apa ada kejadian sesuatu sebelum Ganes berangkat. Kata Ibu, tak ada
kejadian apa-apa. Apa lagi keributan. Ganes sedang tak dimarahi, tak ribut sama
Anis, atau ngambek juga tidak. Pokonya adem ayem saja. Lho? Kalo gitu emang lagi
kumat gokilnya kali, ya?
“Udah,
sekarang kita tunggu kabar dari Adhie dan teman-teman yang lain dulu. Yang
penting kita selalu berdoa untuk keselamatanya.”
“Lho,
kok cuma begitu. Pak? Lapor Polisi, kek, siapa tahu Ganes diculik?!” Protes Ibu
cemas. Bapak malah tersenyum mendengarnya.
“Ibu
ini gimana, memangnya yang mau nyulik siapa? Diculik kok ninggalin pesen. Udah,
Ganes itu sudah besar. Dia pasti punya alasan yang kuat untuk melakukan
tindakan ini.”
“Iya,
Bu! Lagian siapa yang mau nyulik orang Goki—“ Anis tak jadi melanjutkan
kata-kata karena ibu sudah memelototinya. Ibu tak suka kalau Anis memanggil
abangnya Gokil. Lebih-lebih dalam situasi seperti itu. Ibu berdiri dari tempat
duduk.
“Tenang,
Bu. Nanti kalau info teman-temannya sudah jelas. Dan, Ganes masih tak juga ada
kabarnya kita baru bikin laporan anak hilang.”
“Bapak
memang kelewat percaya dan selalu memanjakannya!” katanya kesal. Ibu berlalu masuk
ke kamar. Ia merasa tak puas dengan kata-kata Bapak barusan. Bapak cuma
menghela napas panjang. Anis diam membisu.
Di
sekolah Ganes juga mulai tersebar isu, bahwa Ganes minggat dari rumah. Entah,
sudah berapa kartu telpon anak-anak Wanacala
yang Togar pinjam buat menelpon teman-teman pecinta alam mereka yang ada di
Pulau Jawa dan Sumatera. Namun, berita tentang Ganes tetap nihil. Bagai ditelan
bumi. Makin menasional-lah berita kehilangan Ganes. []
Di
ruang tamu itu tampak seorang gadis cantik berambut pendek. Ia sedang asyik
membaca majalah remajanya. Tet! Tet! Teet! Tiba-tiba telponnya berdering. Sang
gadis tampak sedikit kaget, bergegas meraih gagang telepon.
“Hello. Donna, ya?” Ada suara dari seberang
sana. Gadis yang dipanggil Donna ini tampak terkejut.
“Eh. Gokil! Minggat ke mana aja sih, elo?
Bokap elo, Nyokap elo, adek elo, pada bingung nyariin! Teman-teman juga, elo kudu
cepat pulang, Nes. Ibu lo tuh, cemas banget tau!” Cecar Donna, begitu tahu
siapa yang menelepon. Ya, itu si Gokil, Ganes!
“Ssstt, entar dulu, Na! Belon apa-apa, elo
udah nyerocos gitu. Gue dulu dong, yang ngomong!” protes Ganes dari ujung sana.
“Sorry!
Habis elo, pake acara minggat segala. Bikin cemas semua orang!”
“Iya deh,
maaf. Tapi tolong sampein ke Ibu, ke keluarga gue, kalo gue lagi di Jawa Tengah.
Bilangin juga, kalo gue baik-baik aja!”
“Nggak mau. Lo kudu nelpon sendiri, Nes!
Ngapain juga gue harus terlibat ama keisengan elo. Gak mau!” tolak Donna kesal.
“Tolong, Na, please! Bukannya apa-apa, kalo ngomong langsung, gue nggak bakal sanggup dengerin suara Ibu. Nggak bakal
tenang, karena merasah bersalah, sih. Makanya gue minta tolong elo, ya. Udah, itu
aja dulu ya, Na, salam buat yang laen-laennya.” Suara Ganes terdengar pelan dan
memelas, lalu—trep!
“Eh, entar dulu, Nes! Nes—hallo?! Hallo?!”
Donna berusaha terus memanggilnya. Tut! Tuut! Ganes sudah menutup teleponnya.
Donna melongo. Dia benar-benar merasa kesal dengan tingkah sobatnya yang Gokil
ini. Tapi ia tetap merasa lega karena sudah mendapat kabar darinya. Bergegas ia
memencet tombol telepon rumah Ganes. Untuk menghubungi Ibu.
“Cuma itu saja, Na, pesannya?” Suara Ibu
terdengar begitu penasaran.
“Iya, Bu. Waktu Donna panggil-panggil eh,
telponnya udah ditutup!”
“Ganes, Ganes. Kadang Ibu nggak ngerti apa
kemauannya!” kata Ibu sebelum menutup teleponnya. Tapi sedikit banyak keluarga
Ganes sudah merasa sedikit lega. Karena sudah tahun tentang keberadaan Ganes.
Yang jadi pertanyaan mereka, kenapa anaknya pergi ke sana. Padahal mereka tak
ada sanak saudara di sana. Sanak saudara mereka cuma ada di Jakarata dan
Bandung. []
Selain keluarga dan teman-teman Wanacala, ada sosok lain yang juga
diam-diam blingsatan mikirin Ganes. Siapa lagi kalau bukan si Manis, Katrin.
Siang itu dia asyik duduk di balkon kamarnya yang gede. Maklum doi termasuk
dari keluarga yang mampu! Kamarnya aja luas banget seperti ruang tamu. Kali ini
dia seperti sedang mengobrol dengan bunga anggreknya, “Kemana sih, peginya elo, Nes? Pantes waktu di kelas, gue peratiin elo
kelihatan gelisah, gak taunya gini kelanjutannya. Semua pada sibuk nyariin. Apa
bener lo minggat dari rumah? Denger-denger elo ada di Jawa. Mau ngapain ke
sana? Tapi gue yakin elo pasti nggak
lagi minggat. Elo emang suka nekat, emang gak salah kalo elo dipanggil Gokil.
Suka aneh, suka sableng gitu. Tapi—sejujurnya, gue jadi suka, gara-gara elo sableng
gitu. Emang sih, lo gak sekeren Irvan, yang sering nelponin gue itu. Nggak
kayak si Ricky yang bawa Lancer itu, atau si Jay yang anak band itu. Elo cuma
Ganes yang terkesan bandel dan jahil. Doyan main ke gunung. Tapi elo punya
kharisma tersendiri di mata gue. Dan—Udah, ah! Gue jadi senewen sendiri kalo
mikirin elo, Nes. Sementara lo cuek bebek gak peduli!” Gumam Katrin
tersenyum sendiri di depan kaca riasnya. Kemudian matanya memandang jauh ke
langit biru. Berharap ada bintang jatuh di siang bolong. []
Tet!
Teeet! Tergesa-gesa Donna memburu ke meja telepon.
“Assalamualaikum?
Hallo?” Setelah Donna menjawab salamnya.
“Nah,
sekarang lo ada di mana?!” tanya Donna cepat pada si penelpon yang ternyata si
Ganes.
“Di
terminal, Na!”
“Nes,
pulang, gih! Kasihan Ibu!” kata Dona Pelan membujuknya.
“Iya-iya.
Gue udah mo pulang, tapi—”
“Tapi
apa lagi? Elo udah lima hari minggat. Tau?!” potong Dona mengingatkan.
“
Iya, gua ngerti, Na. Makanya gue nelpon elo lagi. Gue mau pulang, tapi kehabisan duit. Gue pinjem duit, ya? Transfer ke rekening gue!” kata Ganes dengan suara memelas.
“Tapi
lo beneran mo pulang, kan?” Donna masih ragu.
“Iya,
beneran, Na. Gue jg gak mau berlama-lama di sini, kok!”
“Awas,
kalo bohong. Tapi entar sore transfernya, ya. Gue gawean dikit!”
“Sekarang,
dong, Na! Gue mo beli tiketnya sekarang!”
“Iya,
iya! Dasar Gokil, nyusahin orang aja!”
“Iya,
emang. Hehehe...” jawabnya tertawa, pasti lagi nyengir sambil garuk-garuk
kepala.
“Gak
lucu tau! Eh, alasannya apa, elo sampe nekat gitu, Nes?”
“Ceritanya nanti aja, Na. Kalo udah nyampe, gue samperin ke rumah lo, ya,. Eh! Na, tolong jangan
bilang ke ibu, kalo gue nelpon.”
“Beres,
asal elo bener-bener mo pulang!” Ancam Dona padanya.
“Oke.
Udah dulu ya, gue tunggu transferannya, sekarang, ya!”
“Iya,
Iya, bawel!”
“Eh,
Na!”
“Apa
lagi?”
“Elo—baek,
deh!” Trep! Telepon Ganes ditutup. Dona melongo bloon.
No comments:
Post a Comment