“Jangan biarkan asamu pecah oleh kerasnya
kehidupan,
tapi biarkan kerasnya kehidupan mengajarkan ketabahan,
kesabaran,
dan menegarkan asamu yang berkilau!”
[Ganezh/Mei 1998]
Remaja itu berlari ke emper pertokoan di kawasan Jalan
Sudirman. Menghindari rintik hujan yang menderas. Memang saat ini cuaca tak
menentu. Padahal dua jam yang lalu matahari terik menyengat. Lalu tiba-tiba
mendung, hujan gerimis dan sekarang pun deras. Para
pejalan kaki lari kalang kabut. Mencari perlindungan ke emper-emper pertokoan.
Hanya ada beberapa pejalan kaki yang tetap nekat meneruskan perjalanan. Remaja
itu tak lain si Ganes. Berdesakakan di antara para peneduh jalan. Terjebak di
kawasan Pasar Baru. Ganes baru beli celana jean dan kaos di Mier Market, dan sekarang berniat ke International Plaza.
Ia ingin membeli kaset Kitaro. Koleksi
band instrumental asal Jepang itu memang makin memenuhi raknya.
Sudah beberapa minggu, ia tidak ngeceng ke plaza andalan budak-budak
Palembang itu.
Biasanya, tiap liburnya atau ada uang lebih, ia main game di Time Zone, nongkrong di Food Bazar atau ke toko buku. Kalau tak
lagi berniat beli buku, ya, cari bacaan gratis, atau nongkrong di konter kasetnya.
Tak jarang si Gokil membikin kesal pramuniaga yang ramah-ramah itu. Tak jarang
ia sekedar bertanya seputar lagu-lagu baru, dan dengan ramah pramuniaga itu menjawab
pertanyaannya, plus senyum yang
manis-manis. Mereka kira si Gokil memang akan membeli. Ternyata mereka salah, usai
bertanya-tanya, si Ganes malah cuek
ngeloyor pergi, “Makasih lho, Mbak!
Atas informasinya. Mbak-mbak semua emang baek!” Begitu ucapnya. Kontan saja
para penjaga konter itu ngedumel sebel.
Merasa dikerjain begitu.
Hingga saat ini, hujan belum menunjukkan
tanda-tanda mau berhenti. Pandangan Ganes tersedot pada beberapa anak lelaki
dan perempuan yang asyik berhujan ria. Semua anak-anak itu membawa payung.
Bibir mereka membiru dan bergetar kedinginan. Tapi tetap terlihat ceria dan
saling bercanda. Merekalah sosok-sosok yang paling bahagia dengan hujan deras segede-gede biji jagung ini. Karena mereka
anak-anak pengojek payung. Dalam keadaan tubuh menggigil kedinginan.
Mereka menawarkan jasa payung, pada orang-orang yang sedang berteduh di emper
pertokoan.
Ganes kagum melihat semangat mereka. Melihat
anak-anak seusia itu sudah bisa cari uang tambahan sendiri. Rela berhujan-hujan
untuk memayungi orang-orang menyeberang atau melintas antar emper pertokoan.
Mengharap imbalan uang recehan. Entah sekedar untuk uang jajan, atau bukan tak
mungkin cari uang tambahan. Entah untuk membeli buku, uang bayaran sekolah,
atau memang membantu orang tua. Sepertinya, mereka tak berasal dari keluarga
yang kurang mampu. Kaum marjinal di perkotaan.
Diam-diam Ganes merasa malu pada diri sendiri. Ingat
sering minta uang ke orang tua hanya untuk membeli barang-barang sekunder yang
kurang perlu. Kini pandangannya beralih pada seorang wanita gemuk dengan kedua
anaknya yang gendut. Di tangan kedua anak itu memegang roti yang tampak enak
dan berharga lumayan. Di tangan kiri mereka memegang mainan yang masih dalam
bungkusan. Tentunya cukup mahal pula harganya. Mungkin ibu muda itu tergolong keluarga
borjou. Anak-anaknya itu pasti manja-manja. Yang merengek serta dengan tangisan
kecil. Langsung bisa mendapatkan apa-apa yang mereka inginkan. Mending kalo
mereka pada pinter. Kalo otaknya jeblok? Cuma perutnya aja yang digendutin!
Gumam Ganes dalam hati. Ih, si Gokil su’udzon
banget!
Hujan masih turun dengan deras. Pandangan Ganes beralih
ke Gadis kecil pengojek payung. Di antara yang lainnya dia yang paling kecil.
Mungkin kalau sekolah baru kelas satu. Bibirnya yang mungil sibuk menawarkan
jasa payungnya. Tapi tak ada yang mau. Mungkin karena payungnya itu paling
jelek dan butut. Dibanding payung-payung yang lain. Eh, tubuhnya belum kuyup! Mungkin
tak ada yang mau menyewa jasanya. Mungkin juga gara-gara payungnya yang butut
itu. Tak lama ia tampak termenung di bawah pohon Angsana. Persis di depan
wanita gemuk dengan kedua anaknya yang gendut itu. Tatapan gadis kecil tertuju
pada kedua sebayanya itu. Matanya menjilati ke makanan dan mainan mereka. Entah
apa yang sedang dipikirkannya saat itu. Mata bening itu menyiratkan rasa
keinginan yang besar.
Mungkin
dia kepingin banget, ya? Gumam
Ganes merasa tersentuh. Melihat pemandangan kontras di hadapannya. Di satu
sisi, anak-anak yang selalu dimanja oleh kekayaan orang tuanya. Satu sisi lagi,
anak-anak yang harus berjuang di tengah guyuran hujan deras. Dengan tubuh kedinginan
tanpa alas kaki. Mengharapkan uang recehan dari orang-orang yang berteduh.
Selagi asyik memperhatikan pemandangan itu, tiba-tiba sebuah Volvo Silver masuk dan berhenti di
parkiran. Dekat pohon Angsana. Gadis kecil terkejut. Ia bergeser dari tempatnya
berdiri. Dari dalam sedan itu ke luar remaja sebaya Ganes. Ia membawa payung
menghampiri wanita gemuk. Yang entah mungkin maminya itu. Di mata Ganes, gaya pemuda itu tampak pongah,
sok kece! Padahal jauh. Tak lama mereka bergegas memasuki sedan silver itu. Sedan itu bergerak
mundur, setengah memutar, dan Crrieeett!! Ban mobilnya mendecit, dan Praass!!
Ban mobil itu berputar deras memercikkan gengangan air hujan. Tak sengaja mengenai
si Gadis kecil pengojek payung. Gadis kecil terpekik kaget. Bajunya cukup
basah. Mendadak Ganes geram sendiri. Spontan dia berteriak...
“Heiiiiy!!” Orang-orang yang ada di dekatnya
terkejut dan heran. Melihatnya remaja di dekat mereka tiba-tiba membentak
nyaring. O-ow! Ganes tersadar dan malu sendiri. Untuk mengurangi rasa malu, ia mengacungkan
jari tengahnya ke arah sedan silver yang melesat pergi. Gadis kecil itu
mengusap-usap bagian bajunya yang basah. Ganes merasa makin iba melihatnya.
“Dek,
sini!” Panggilnya melambaikan tangan. Gadis kecil mendekat dengan sorot mata berbinar.
Namun belum sampai ke dekat Ganes, tiba-tiba tiga anak laki-laki berhasil memotong
langkahnya. Memburu ke arah Ganes.
“Payung, Bang! Payung, Bang!” Tawar mereka. Langkah
Gadis kecil terhenti. Wajahnya tampak kecewa.
“Nggak!” Bentak Ganes galak. Ternyata bukan cuma bis dan oplet aja yang main serobot! Rutuk
Ganes dalam hati. Melihat wajah Ganes yang tak bersahabat, mereka langsung
ngeloyor pergi.
“Dek, sini!” Panggilnya lagi. Wajah Gadis kecil
kembali cerah. Dengan setengah berlari ia menghampiri Ganes.
“Payung, Bang?” Tawarnya.
“He-eh, eh! Entar dulu.” Ganes mengangguk, lalu ia membuka
tas yang di bawanya. Mengambil kresek
gede pembungkus pakaian yang baru
dibelinya tadi. Ia bagian tengah dasar kresek dan sudut kiri-kanannya. Olala!
Ternyata dia membuat sebuah rain coat
darurat buat si Gadis kecil. Gadis kecil itu tak mengerti apa yang sedang Ganes
bikin. Itu pelindung hujan darurat kalau Ganes mendaki gunung, dan kehilangan rain coat. Tapi biasanya yang ia pakai trash bag.
“Lain kali. Kalo mau ngojekin payung. Kamu bikin sendiri,
ya. Biar nggak basah kehujanan!” Ucap Ganes sambil memakaikannya. Gadis kecil
itu masih kelihatan bingung tapi diam saja. Semua memperhatikan tingkah Ganes
yang terlihat “aneh” di mata mereka.
“Eh, itu adiknya, ya? Kok, disuruh ngojek payung,
sih?” Dua cewek ABG mencoba menggodanya. Ganes tak menggubrisnya. Hanya
memelototkan mata ke arah mereka. Kedua cewek centil itu langsung mengkeret. Lalu Ganes menaruh kresek di kepala Gadis kecil. Jadilah
sebuah topi. Beberapa orang yang memperhatikannya jadi tersenyum sendiri.
“Makasih ya, Bang!” Ucap Gadis kecil itu tulus.
Ganes mengangguk seraya tersenyum.
“Yuk!” Ajaknya. Ganes membuka payung butut itu. Lalu
melangkah bersisian dengan si Gadis kecil.
Walah! Ternyata payungnya memang
sudah kadaluwarsa. Sudah banyak yang bolong di sana-sini. Ganes kebocoran .
Hihihi.
“Nama adek, siapa?”
“Intan, Bang.”
“Ooo… Intan udah sekolah?” Mendengar itu wajah
Intan berubah. Diam sesaat.
“Belum. Bang. Emak nggak sanggup nyekolahin Intan.”
“Kok Emak, Bapak ke mana?” Mendengar pertanyaan itu
Wajah Intan berubah murung. Ganes merasa tidak enak. Tapi penasaran.
“Kata Emak, Bapak meninggal waktu Intan masih dalam
kandungan.” Jawabnya polos. Ganes terdiam sesaat. Dia tak mengiranya sama
sekali. Ternyata gadis kecil ini sudah tak punya ayah sejak lahir. Ganes
memperlambat langkah. Mengimbangi langkah Intan yang kecil-kecil.
“Jadi, Emak yang kerja?”
“Iya, Emak jual kantong kresek di pasar! Kalo hujan
gini, Intan ngojekin payung. Biar bisa jajan Intan. Kalo dapet banyak, Intan
juga ngasih Emak juga!” Jawab Intan polos dan lugu.
“Oh! Gitu. Itu keren!” Ujar Ganes tersenyum. Hati
kecilnya tersentuh. Mendengar pengkuan Intan yang polos. Anak sekecil ini sudah
punya pikiran begitu. Masa kecilnya tersita oleh kerasnya hidup. Intan salah
satu dari sekian banyak anak yang didewasakan oleh kerasnya kehidupan ini.
“Intan, udah makan?” Tanya Ganes saat mereka
menuruni jembatan penyeberangan yang membelah Jalan Sudirman. Intan tampak
ragu.
“Udah, tapi—tadi pagi.” Jawabnya agak
malu-malu. Ganes tersenyum.
“Intan punya saudara?” Gadis kecil itu
menggelengkan kepala. Ganes berbelok ke arah martabak HAR. Ia membeli dua
bungkus martabak. Usai menerima dan membayarnya. Mereka berjalan kembali menuju
gerbang mall International
Plaza.
“Nah, sampai sini, aja. Ini bayaran
Abang—dan ini bonus buat Intan.” Ganes memberikan martabak itu, juga uang dua
puluh ribu. Sepertinya budget untuk beli kaset Kitaro itu akan berkurang. Lo
serius, Nes?
“Beneran, Bang? Ini semua buat Intan?” Tanya
Intan belum percaya. Ganes mengangguk tersenyum.
“Wah, uangnya gede banget! Intan nggak
punya kembaliannya?”
“Ini semua buat Intan. Jadi nggak perlu
kembalian!”
“Semuanya?” Tanyanya lagi belum
percaya.
“Iya, semuanya. Mungkin buat
tambah-tambh beli payung baru. Biar bisa membantu Emak lagi!” Gadis kecil itu
terdiam. Wajah masih tampak ragu.
“Nggak usah, Bang. Nanti Emak kira
Intan nyolong, lagi!” katanya pelan. Ganes tertawa sambil mengucek-ucek
rambutnya.
“Nanti Intan bilang ke Emak, kalo uang
ini dikasih Bang Ganes!” Ganes meyakinkannya.
“Nanti Emak nggak percaya?” katanya
masih ragu.
“Intan pernah nyuri?” Ganes balik
tanya. Buru-buru Intan menggeleng.
“Nggaklah, Bang! Emak bilang itu dosa!”
Jawabnya dengan mimik wajah lucu.
“Kalo bohong?” Gadis itu menggelengkan kepala
lagi.
“Nah, kalo nggak pernah nakal, Emak
pasti percaya sama Intan!” kata Ganes tertawa lagi. Intan terdiam sesaat, lalu
mengangguk.
“Makasih banget ya, Bang! Abang baek—horeee!
Intan bisa beli payung baru. Payung ini sudah butut!” Ucapnya girang. Ganes
tersenyum melihatnya.
“Makasih, Bang! Intan mau pulang aja!” Ucapnya
sekali lagi. Ganes mengangguk. Lalu gadis kecil itu pergi dengan
langkah-langkah kecilnya yang ceria. Ganes menatapnya sebentar, lalu melangkah memasuki
pintu gerbang IP yang selalu penuh oleh ABG nongkrong, serta kaum grunge kampungan yang biasa mangkal di
situ. []
Wah,
rame banget! Ganes menebarkan
pandangan ke seluruh ruangan Food Bazar.
Bangku-bangkunya sudah terisi penuh. Ada
yang bersama keluaga, pacar dan tak ketinggalan para kaum gondrong and the gank. Yang sudah jadi penduduk
tetap di situ. Ada
satu bangku kosong, tapi di meja couple.
Bangku satunya di isi oleh seorang pria berambut gondrong. Duh! Tampangnya seram amat. Tampak kusam dengan bekas luka di
kening, lalu menikung ke arah pipi kanannya. Gayanya cool banget. Asyik merokok dengan minuman kaleng-kaleng yang
berserakkan di mejanya. Ganes mendekat.
“Maaf, Bang. Abang lagi menunggu
teman?” Tanyanya hati-hati. Pria gondrong itu menatap tajam ke arahnya.
“Nggak. Emang kenapa?” jawabnya dengan
suara berat. Ganes jadi deg-degan.
“Gue boleh duduk di sini?”
“Boleh,” jawabnya cuek.
“Makasih, Bang.” Hatinya Ganes berasa
sedikit lega. Kemudian dia memesan bakso dan minuman. Hujan-hujan makan bakso
hangat dan the panas, sepertinya enak. Tak lama pesanannya sudah datang.
“Mari makan, Bang,” Ganes menawarinya.
“Ya, makasih!” jawabnya dingin. Ganes
mulai menyantap bakso itu. Sesekali dia melirik ke arah pria itu. Pandangan
pria itu tampak menerawang jauh. Entah apa yang lagi dipikirkannya. Setelah
selesai makan, Ganes mengusap bibirnya dengan bandananya.
“Rokok?” Tiba-tiba Pria itu menawarinya.
“Makasih, Bang. Saya nggak merokok.”
Tolaknya sambil tersenyum.
“Baguslah kalo begitu. Nama elo siapa?”
“Ganes, Bang. Abang?” kata Ganes balik
bertanya.
“Jack, panggil gue Jack!” Ia
mengulurkan tangan mengajak salaman. Ganes buru-buru menyambutnya.
“Masih sekolah?” tanyanya lagi.
Ternyata pria bertampang seram ini cukup ramah. Ganes jadi tertarik untuk
mengajaknya ngobrol.
“Masih, Bang. Kelas dua SMU. Bang Jack,
kuliah?” Jack tak langsung menjawab pertanyaan itu. Malah mengisap rokoknya
dalam-dalam. Kemudian menghembuskan asap yang mengepul ke mana-mana. Ganes
mengerutkan keningnya.
“Kuliah—itu cuma kata idaman dulu,”
jawabnya tertawa hambar.
“Memangnya kenapa?” Pancing Ganes.
“Ceritanya panjang. Emang mau dengerin?”
“Kalo Abang nggak keberatan. Boleh
aja!” jawab Ganes sambil membetulkan posisi duduknya.
“Elo lucu, Nes. Banyak orang yang belum
gue. Pasti males bicara ama gue. Mungkin keburu ngeri lihat muka gue yang
serem. Mungkin mereka kira gue ini bandit yang suka makan orang. Nah, elo malah
nyamperin?!” Pujinya sambil tertawa. Ganes tersenyum nyengir mendengarnya. Jack
menyodorkan minuman kaleng kepadanya.
“Dulu, waktu gue masih sekolah, dari
SD, SMP hingga SMA. Gue selalu dapet rangking di kelas. Baik rangking satu, dua
atau tiga. Berarti gue termasuk anak yang gak bego-bego amat kan. Tapi sayang, waktu ujian kelulusan.
Nilai gue anjlok. Gara-gara gue dapet musibah.” Jack menghentikan ceritanya
sejenak. Meneguk minumannya, serta menyalakan sebatang rokok lagi.
“Musibah? Musibah apa, Bang?” tanya Ganes penasaran.
“Pas ngadepin ujian. Bokap masuk rumah
sakit. Gara-gara levernya bengkak.
Gue merasa sedih. Konsentrasi gue buyar! Akibatnya mempengaruhi konsentrasi
belajar gue. Masih untung gue bisa lulus dengan nilai pas-pasan. Pengumuman
kelulusan berbarengan dengan khabar dari rumah sakit. Bahwa bokap, meninggal
dunia,” katanya lirih. Wajahnya menggambarkan kesedihan mendalam.
“Sejak bokap gue meninggal. Cita-cita
gue melayang jauh. Perasaan sedih, kecewa dan putus asa. Gue udah coba melamar
pekerjaan ke sana
ke mari, semuanya menolak. Kita mesti punya koneksi. Malah ada yang minta uang
pelicin segala. Akhirnya gue nggak bisa apa-apa lagi. Selain kerja serabutan.
Lama-lama harta peninggalan bokap udah habis terjual buat makan. Akhirnya
sebagai pelariannya, gue jadi budak pasar.
Yang kerjanya cuma nongkrong sana-sini. Gue juga mulai kenal narkoba. Ngompasin
angkot-angkot yang lewat. Ngebentuk gank
pasar. Bentrok sama gank-gank lain.
Untuk ekspansi kawasan. Hingga akhirnya gue harus mendekam di penjara.
Gara-gara menggorok pimpinan gank Hero sampai mati. Ibu sangat kecewa
dengan sepak terjang gue. Untunglah sejak keluar dari penjara. Gue sedikit insyaf
dan sadar. Begitu juga teman-teman gue dulu. Nggak ngompasin orang-orang lagi.
Tapi bergabung dalam bisnis keamanan. Sekarang kami sudah pegang beberapa
kawasan pertokoan di Sudirman. Hingga pada suatu malam. Gue dapet kenangan
ini,” katanya menunjuk ke bekas luka di kening dan pipinya itu.
“Abang, berantem lagi?” Ia mengangguk.
“Satu malam, kami bertiga sedang
berkeliling ke daerah jagaan. Kami memergoki tujuh orang bertopeng. Mereka spesialis
pembobol ruko. Kami memergoki mereka dan terjadi pertarungan. Walau dengan
tubuh penuh luka. Kami berhasil mengalahkan mereka. Dua dari tujuh perampok itu
tewas di tempat. Yang lima
kami lumpuhkan dan kami serahkan pada polisi. Teman gue ada yang kehilangan tangan
dan jari. Sedang gue mendapat luka codet ini,” katanya tertawa kecut. Ganes
bergidik mendengar ceritanya yang penuh pertarungan berdarah itu.
“Sekarang gue ngerti. Gue nggak perlu
lagi mengenang cita-cita yang sudah melayang jauh. Sekarang gue harus menjalani
kehidupan yang udah jadi dunia gue. Walau keras penuh resiko, yang penting
halal! Serta nggak nyusahin Ibu atau orang lain lagi,” ucapnya mantap. Ganes
mengangguk-anggukan kepala.
“Elo penegen tahu cita-cita gue dulu,
Nes?” Ganes menggelengkan kepala.
“Gue pengen jadi Arsitek. Gak tahunya
jadi arsitek jalanan. Hehehe,” Jack tertawa sendiri saat mengatakannya. Ganes jadi
ikut tertawa.
“Elo sering ke sini, Nes?”
“Kalo ada perlu atau cuma pengen cari
hiburan aja, Bang!”
“Bagus kalo gitu. Elo musti rajin
sekolah. Biar jadi orang yang berhasil. Apa pun yang terjadi, selesaikan
pendidikan lo. Soalnya itu penting. Nah, elo lihat mereka.” Jack menunjuk ke
sekelompok pemuda gondrong lainnya. Mereka melambaikan tangan ke arah Jack. Jack hanya menganggukkan kepala.
“Mereka rata-rata anak orang yang kaya.
Bahkan ada anaknya pejabat. Tapi mereka bego semua, Nes! Seharusnya mereka bisa
memanfaatkan waktu sebaik-baiknya. Mumpung orang tua mereka mampu. Masih kerja
dan berduit. Punya waktu untuk sekolah atau kuliah sebaik-baiknya. Bukan cuma
menghambur-hamburkan duit bokapnya di sini. Menyia-nyiakan waktunya di sini.
Mendewakan istilah broken home yang
mereka ciptakan sendiri. Mungkin karena mereka sudah susah untuk dinasehati. Memilih
bebas yang tak berarah…” Ujarnya sambil menghela nafas. Ganes menatap ke arah
pemuda-pemuda gondrong itu.
“Kadang gue heran juga. Ada orang yang kepingin
banget kuliah atau sekolah. Tapi tak mampu biaya. Sementara yang lahir dari
keluarga berada. Malah tak ada keinginan serius sekolah atau kuliah.
Menyia-nyiakan sekolah dan kuliahnya demi hura-hura. Apa itu emang udah hukum
alam atau apa ya?” katanya menutup pembicaraannya. Ganes tersenyum nyengir
sambil melirik jam tangannya. Dia terkejut.
“Iya, Bang. Manusia terkadang tak
pernah merasa puas.”
“Iya juga, mencari kebahagiaan semu di
jalanan…” Ganes mengangguk setuju. Tak lama Ganes melirik jam di tangannya.
“Wah, udah jam empat! Maaf, Bang, Ganes
udah harus pulang!”
“Ya, ya, makasih. Elo udah dengerin
curhatan gue yang nggak penting.” kata Jack tertawa kecil.
“Seharusnya Ganes yang berterima kasih.
Abang udah ngasih nasehat ke gue. Mari, Bang.” Jack mengangguk sambil
melambaikan tangannya. []
Ganes tak melewati pintu utama plaza. Karena pengunjungnya makin
bejibun. Lebih-lebih hari minggu seperti ini. Apa lagi ditambah hujan! Dia
melewati pintu samping. Ternyata di situ juga banyak orang yang nongkrong. Bergerombol
di mulut pintu ke luar. Entah bagaimana ceritanya, secara tak sengaja Ganes menginjak
kaki salah satu dari lima
pemuda gondrong. Buru-buru ia meminta maaf. Tapi mereka malah membentak keras.
“Ngehek! Enak aja lo minta maaf! Elo
belum tahu tau siapa gue, ya!”
“Maaf, Bang. Nggak sengaja.” Firasatnya
mengatakan harus waspada. Benar saja usai berkata begitu. Wess! Si Gondrong malah
melayangkan tinjunya. Reflek Ganes menundukkan kepala. Lalu mundur beberapa
langkah. Namun dia malah mendapat tendangan dari arah kanan. Ganes berkelit ke
kiri, sambil melancarkan serangan balik. Menyapu ke arah kaki lawan. Tak ayal
lagi—bruuk! Pembokong tadi jatuh terjengkang ke belakang. Melihat kejadian itu.
Empat orang rekannya jadi kalap. Mereka mengeroyok Ganes. Ganes terdesak hebat.
Entah sudah berapa pukulan mendarat di tubuhnya. Walau punsesekali berusaha membalas.
Dia tetap jadi bulan-bulanan para pengeroyoknya. Banyak yang melihat kejadian
itu. Tapi tak seorang pun yang berusaha melerai mereka.
Hingga, tiba-tiba ada seseorang masuk
ke arena perkelahian. Dan, mereka membela Ganes! Mendapat bantuan itu, Ganes
bisa bangkit untuk melakukan perlawanan lagi. Dia mengincar orang yang terinjak
kakinya tadi. Mungkin itu pimpinan mereka. Swiing—buk! Dia berhasil melayangkan
tinju kerasnya. Tepat mendarat ke muka orang itu. Orang itu terjengkang ke
belakang. Si Penolong yang terlihat mahir berkelahi itu pun, sudah membikin
keok lawan-lawannya.
“Bangsat! Kalian udah mau jadi jagoan,
ya?!” Orang itu membentak keras. Kelima pengeroyok itu terkejut. Ternyata si
Penolong itu, Bang Jack!
“Jef, elo nggak tahu siapa yang elo
keroyok tadi!” Bentaknya sengit pada orang yang kena tinju Ganes tadi. Bibir
serta hidungnya berdarah. Tangan Ganes pun terasa sakit. Mungkin kena giginya
si Jef! Gumam Ganes dalam hati.
“Ma—maaf, Bang. Kami, kami…,” si Jef
berkata gugup sambil memegangi mulutnya yang berdarah. Ia tampak ketakutan. Tak
lama kemudian beberapa orang yang tak kalah seram mendatangi mereka.
“Ada
apa Jack?” tanya orang yang berkepala botak. Mereka teman-teman Jack.
“Si Jefri ini. Mulai bertingkah di
kawasan sini!”
“Ooo—sini, lo!” Bentak si Botak. Jefri
mendekat ragu-ragu. Plaak! Botak menampar muka Jefri dengan keras. Dia berteiak
mengaduh sambil merintih kesakitan. Kasihan juga melihatnya.
“Emang kalo gue perhatiin. Elo mulai
bertingkah! Kalian hadapin kami dulu!” Bentaknya lagi.
“Nggak, Bang. Kami benar-benar minta
maaf.”
“Betul, Bang. Nggak mungkin kami
berani.” Tambah teman Jef lagi.
“Elo nggak apa-apa?”
“Iya, Bang. Nggak apa-apa,” jawab Ganes
meringis. Padahal telinganya masih berdenging. Kena tinju para pengeroyok tadi.
“Hehehe. Diem-diem lo jago berantem
juga. Muka Jefri lo bikin bonyok begitu!” kata Botak sambil tertawa
terkekeh-kekeh. Ganes meringis, antara sakit atau tersenyum bangga dipuji
begitu.
“Sekarang kalo ada apa-apa ama keponakan
gue ini. Kalian lah yang bakal gue cari. Ngerti!” kata Jack serius.
“Iya, Bang kami ngerti,” jawab mereka
tertunduk.
“Sekarang minta maaf, cepat! Udah itu
pergi dari sini!” timpal si Botak pula. Mereka minta maaf pada Ganes. Setelah
itu mereka ngeloyor pergi.
“Sekarang lo boleh pulang, Nes!” Jack menganjurkan.
Usai mengucapkan terima kasih sama Jack dan Botak, ia melangkah pergi meninggalkan
kawasan IP. Telinga masih sempat mendengar bisikan si Botak pada Jack.
“Eh, sejak kapan elo punya keponakan,
Jack?”
“Sejak tadi,” jawab Jack santai. Lalu
disambut tawa teman-temannya. []
Dalam angkot kosong itu Ganes duduk
sendirian di belakang. Ia menyandarkan kepalanya yang terasa nyeri di beberapa
tempat. Kalo nggak ada Bang Jack tadi.
Pasti gue udah bonyok. Gumamnya dalam hati. Tiba-tiba angkot berhenti.
Sepasang remaja naik ke atas angkot. Mereka duduk bersebelahan dengan Ganes. Ganes
melirik sebentar. Mereka pasangan yang
serasi. Sama-sama ganteng dan cantik. Tapi kenapa cemberut dan kikuk begitu?
Pasti mereka lagi marahan. Bodo, ah! Itu urusan mereka! Gumam Ganes dalam
hati. Ia memejamkan mata, tapi telinganya masih mendengar pembicaraan mereka.
“Kenapa elo percaya ama gosip gituan sih,
Vi?” Si cowok berkata serius. Diam-diam Ganes membuka matanya dan melirik penuh
minat. Dasar usil!
“Percaya. Emang gitu kan kejadiannya!” jawab Si cewek ketus. Wih!
Cantik-cantik galak!
“Sebenarnya siapa sih, yang ngomporin
elo. Rita, Yeni atau Lia?” Mendengar pertanyaan cowoknya, Si cewek diam saja
malah membuang muka.
“Oke. Sekarang elo lebih percaya gue.
Apa biang-biang gosip itu?”
“Udah, Den. Lo nggak usah bohong. Nggak
apa-apa, kok. Yang penting gue udah tau siapa elo. Sebenarnya gue nggak ingin
percaya. Tapi—semuanya udah jelas!” kata cewek itu serius. Wah ini masalah
perselingkuhan tenyata. Cowok itu diam saja.
“Yang gue sesalin. Kenapa ini mesti
terjadi. Elo kan
tahu kalo hubungan kita udah lama, dan gue setia. Tapi elo...” Si cewek tak
sanggup meneruskan kata-katanya makin terdengar serak itu. Gadis itu memainkan
tali tasnya. Matanya mulai merah,
tuh! Kayak di sinetron aja! Gumam
Ganes.
“Jadi lo nggak percaya ama gue lagi?”
Si cowok mulai terlihat kesal. Ceweknya diam tak menjawanya. Matanya memandang
keluar jendela angkot. Tiba-tiba, teeet! Angkot berhenti mendadak. Cowok itu
turun dan—blaam! Ganes terlonjak kaget. Cowok itu membanting pintu angkot
dengan keras. Mas sopir menggerutu. Dia membayar ongkos. Lalu tanpa kata-kata
dia meninggalkan ceweknya sendirian. Angkot melaju kembali. Entah sudah berapa
kali Si cewek menoleh ke belakang. Melihat cowoknya yang masih berdiri mematung
di trotoar jalan. Tampak rasa kesal dan menyesal membias di wajahnya yang
cantik. Makanya, jangan mudah percaya ama gosip, Non. Cobalah
saling terbuka. Lacak siapa penyebar dan kebenaran gosip itu. Sekarang elo
sendiri yang blingsatan. Eh, tapi gue juga nggak tahu siapa yang benar di
antara kalian berdua. Kalo cowok itu benar berselingkuh, berarti goblok!
Menyia-nyiakan ceweknya yang kelihatan setia ini. Kata Ganes ngomong sendiri dalam hati. []
Sampai di rumah. Ganes langsung mandi
dan sholat Ashar. Kemudian tidur-tiduran di kasurnya. Badannya terasa
pegal-pegal semua. Akibat perkelahian tadi tadi. Matanya menerawang jauh.
Menatap langit-langit kamarnya. Mengenang
berbagai kejadian yang baru di alaminya hari ini. Dari pertemuannya
dengan Intan. Gadis kecil Pengojek payung, yang telah didewasakan kehidupan.
Bertemu sama Jack. Sang bromocorah yang
sudah insyaf. Yang selalu gigih menghadapi cobaan di dunia kekerasan. Dan jadi Dewa
penolongnya dari keroyokan Jefri Cs. Hingga kisah cinta sepasang remaja di
angkot tadi. Cinta yang lagi dilanda gosip perselingkuhan. Ganes menghela
nafas. Tersenyum sendiri setelah melihat, mendengar dan mengalami, beberapa
babak cerita yang meramaikan kehidupan ini. Meramaikan pentas dunia ini. Yah,
dapat tiga cerita dalam satu hari! Entah berapa lama ia tercenung sendiri. Lalu
tak ingat apa-apa lagi. Tertidur pulas—dan ngiler! [end—some parts are true
stories, Mei 1998/Nezh]
No comments:
Post a Comment