pict:albertjoko |
Mungkin...
Lidahku
adalah perih
Hatiku adalah batu
Nyata kau rasa
Namun…
Jauh dalam sanubari
Batin ini
Hatiku adalah batu
Nyata kau rasa
Namun…
Jauh dalam sanubari
Batin ini
Rindu
tak terhingga
Sayang
tak terkira
Adalah sungguh milikmu
[Milikmu, Bintan, Ganezh, Juni 2003]
“Amit-amit, deh!” Pekik Dimie kesal. Sambil meremas kertas warna pink yang tak berdosa itu. Entah sudah berapa kali ia bersikap seperti itu. Riska, sahabatnya cuma bisa menggelengkan kepala melihatnya.
Adalah sungguh milikmu
[Milikmu, Bintan, Ganezh, Juni 2003]
“Amit-amit, deh!” Pekik Dimie kesal. Sambil meremas kertas warna pink yang tak berdosa itu. Entah sudah berapa kali ia bersikap seperti itu. Riska, sahabatnya cuma bisa menggelengkan kepala melihatnya.
“Jangan
gitu dong, Mie. Nggak baik membenci orang yang suka sama lo.”
“Iya,
tapi Egy udah kelewatan! Gue kan
udah terus terang. Gue nggak suka ama orang yang nggak gentle gitu. Ngomong langsung gak berani. Tapi hampir tiap hari
dia ngirimin gue puisi picisan kayak gini!” Dimie masih terlihat kesal. Riska
tersenyum melihatnya.
Kedua
orang ini sudah bersahabat sejak SMP, hingga SMU. Mereka sama-sama siswi kelas
dua. Ceritanya Dimie lagi ditaksir berat oleh Egy, anak sispala sekolah mereka, SMU 501. Sayangnya Dimie tak menanggapi
cinta tulus Egy. Cuma Egy nekat dan terus berjuang untuk mendapatkan cinta
Dimie. Sayangnya, si Egy memang belum punya keberanian buat ngomong langsung ke
Dimie. Jadinya hampir tiap hari dia mengirimi puisi-puisi cinta ke Dimie. Kurir
Egy pun banyak. Doi tak segan-segan untuk mentraktir para kurir yang bertugas menyampaikan pesan cintanya itu. []
Siang
itu, sepulang sekolah Dimie kembali dapat kiriman puisi Egy. Kali ini malah sohibnya
Riska yang jadi kurir. Dimie benar-benar bete dibuatnya.
“Elo
gimana sih, Ris! Kan lo udah tau kalo gue gak suka. Ee, mau-maunya aja lo dijadiin
comblangnnya si Egy!” kata Dimie dengan mulut cemberut cucut.
“Habis,
Egy-nya melas banget, Mie. Gue gak tega ngeliatnya,” jawab Riska pelan.
Sambil memainkan tali tasnya.
“Alaa!
Lo pasti udah makan suapannya kan?!”
kata Dimie tak percaya.
“Ya—dua-duanya,
sih!” jawab Riska kalem. Sembari meringis.
“Dasar
matrek, lo!” tukas Dimie sewot. Riska nyaris ngakak disebut begitu. Mereka
berdua jalan beriringan menuju ke sebelah timur parkiran SMU 501. Menuju mobil
Riska yang diparkir di sana. Setelah keduanya berada di dalam mobil...
“Mie,
menurut gue, si Egy nggak jelek-jelek amat. Tergolong borjou lagi! Kenapa lo antipati banget ama doi?” Mendengar
perkataan Riska, Dimie menghela nafasnya. Lalu menatap Riska yang sedang
menyetir. Perlahan mobil memasuki ruas jalan raya.
“Kita jangan mandang ganteng atau borjou-nya,
Ris. Tapi liat kelakuannya, dong. Rada norkin
[norak] dan begajulan [berandalan]
gitu!” ujar Dimie serius.
“Tapi
kalo lo terima, siapa tau doi jadi insyaf.” Sahut Riska tanpa mengalihkan
pandangannya dari jalan.
“Sudah
ah, Ris! Elo gak usah nasehatin gue!” potong Dimie cepat.
“Tapi
tetangga gue...”
“Duh,
cape, deh! Ngomong yang lain aja, ah!” potong Dimie kesal. Akhirnya Riska diam
saja. Baleno biru gelap itu melaju perlahan membelah jalan raya Sudirman. []
Di tengah taman kota, tampak seorang pemuda duduk melamun
sendirian. Wajahnya tampak berkerut. Entah sedang memikirkan sesuatu. Sesekali
tangannya meraih batu kerikil di dekatnya. Lalu—plung! Melemparnya ke kolam
di hadapannya. Tampak riak air bulat-bulat di permukaan. Tak lama sosok itu berdiri.
Mendekati motornya yang parkir tak jauh dari situ. Lalu motor dan pengendaranya itu
melesat meninggalkan taman kota.
Sosok itu tak lain si Egy. Dia berniat mengunjungi sobatnya yang gokil. Siapa lagi
kalo bukan Ganes.
Tak sampai satu jam, Egy udah
sampai di rumah Ganes. Di kawasan Basuki Rahmat. Ia menjumpai
sobatnya itu lagi asyik merapikan bonsainya yang tak jelas bentuknya.
“Naksir
cewek, tuh! Nggak musti ngirim puisi. Ngirim bunga atau kirim yang
lain-lainnya, Gy!” ucap Ganes sambil menggunting beberapa ranting bonsai. Mendengar itu Egy mengerutkan dahi.
“
Lalu apa? Duit?!” tanyanya sambil menjentikkan jempol dan telunjuknya.
“Woo!
Itu sih, relatif! Dia matre apa nggak. Pendekatannya musti langsung. Lewat
perbuatan dan perhatian. Tapi susah ya? Elo kan badung banget di sekolah.
Coba kurangi, deh. Bila perlu lo ganti kulit!” Ganes mengkritik Egy. Kalau bukan
Ganes yang ngomong begitu, mungkin sudah ditonjoknya. Egy di kenal sebagai
murid yang bandel. Suka berantem, ngebolos dan berbagai tindakan minus lainnya.
Ia keren di gunung tapi tak keren saat di sekolah! Soal bikin keributan, Egy
jagonya. Tapi soal hati dan perasaan, dia mati kutu. Sekarang ia curhat pada orang yang agak ahli ngerayu.
Ya, si Gokil Ganes!
“Ganti
kulit gimana, Nes?” Egy tampak bingung. Ganes membenahi posisi duduknya.
“Maksud
gue, sikap lo kudu berubah.
Kudu berani ngomong langsung, kalo lo emang suka ama dia. Elo juga harus
kurangi tingkah minus dan penampilan elo. Nggak perlu mentereng, yang pasti
cocok dan sesuai. Inget! Harus sungguh-sungguh!” kata Ganes serius. Mendengar
itu Egy diam sejenak.
“Tapi—apa
kata temen-temen gue nanti, Nes. Kalo gue mendadak
alim? Habis dah, gue!”
“Terserah
elo, sih. Sekarang lo pilih. Pacaran ama Dimie atau ama gank lo itu? Lagian apa untungnya sih, badung gitu. Banyak yang benci,
Gy!” Egy tersenyum kecut mendengar perkataan Ganes. Sudah berapa kali
Ganes mengkritiknya.
“Entar kalo gue udah berubah, tapi masih ditolak juga?” tanya Egy polos. Ganes
terlihat berpikir sejenak.
“Ya,
terima aja. Mungkin doi emang bukan jodoh elo. Dan lo juga harus berjiwa
besar. Tunjukin kalo lo bukan laki-laki cengeng. Bukan pengecut. Jangan
merasa kalah, apa lagi tambah begajulan lagi. Sikap itu cuma ngejatuhin harga diri elo di matanya,
juga di mata orang-orang. Elo bisa cari yang lain. Cari yang bisa menerima
cinta tulus lo itu. Elo musti tegar. Setegar batu karang, Man!” ujar Ganes bak penyair kawakan. Egy tampak bungkam. Lalu manggut-manggut
seakan mengerti. []
Seminggu,
dua minggu, si Egy tak lagi mengirim puisi atau sekedar pesan cinta ke Dimie.
Pada awalnya Dimie merasa senang dan tenang. Tapi lama kelamaan, diam-diam ia merasa kehilangan moment itu.
Biasanya sepulang sekolah dia selalu membaca puisi-puisi rayuan Egy. Meski
usainya marah-marah, dilanjutkan dengan meremas-remas kertas tak berdosa itu.
Egy benar-benar tak mengirimkan apa-apa atau pesan lewat siapa pun. Di sekolah
juga ia mulai berubah. Terlihat bersikap kalem dan manis. Mengurangi kebandelannya.
Tak bikin ribut atau ngebolos lagi. Pakaiannya juga udah terlihat lebih rapi.
Perubahan itu membuat bingung Dimie, para guru dan teman-teman di sekolahnya.
Lebih-lebih teman satu ganknya. Mereka pikir Egy kesambet jin penunggu pohon
asem yang tumbuh di lapangan sekolah. Tapi mereka salah semua gara-gara Dimie idamannya. Perubahan Egy itu tentu menarik perhatian Riska.
“Mie,
bener gak kata gue tempo hari. Doi bener-bener berubah!” kata Riska dengan
wajah cerah.
“Mungkin
cuma sebentar, Ris! Gak lama lagi, dia balik ke sifat aslinya.” Dimie masih tak
percaya.
“Elo
memang keras kepala, Mie. Gue nyerah, deh, gue!” kata Riska angkat bahu.
Sabtu
sore hujan turun dengan deras. Titik air bagai ditumpahkan dari langit.
Aktifitas orang yang berjalan berhenti total. Para
pejalan kaki terjebak dan berteduh di emper pertokoan. Di antara
orang-orang yang berteduh itu, tampak seorang gadis sedang gelisah dan kesal.
Sesekali ia melihat ke arah jam tangannya. Hujan
sialan! Udah jam setengah tujuh, belum juga mau berhenti! Makinya kesal
dalam hati. Selagi asyik dirundung kegelisahannya, tiba-tiba seorang pengendara
motor berhenti tepat di hadapannya. Itu bukan tukang ojek. Ia seorang pemuda. Perlahan turun dari motor, dan menghampiri gadis itu. Jaket parasutnya
tampak basah kuyup oleh air hujan. Pemuda itu membuka helm, lalu wajahnya menyunggingkan senyum
ramah. Deg! Jantung gadis, yang tak lain Dimie itu terasa berhenti. Egy? Katanya dalam hati.
“Mie,
lo kejebak hujan di sini? Gue anterin, yuk?” Sapa Egy ramah sambil
menawarkan diri mengantarnya pulang.
“Ng—nggak
usah, Gy. Makasih.” jawab Dimie gugup. Sembari menoleh ke jalan. Tak berani
menatap mata Egy. Wajah Egy terlihat agak kecewa.
“Gue
temenin, boleh?” kata Egy lagi. Agak lama Dimie tak menjawab. Lalu mengangguk pelan. Oh god! Kenapa mesti ketemu
dia di sini. Tapi, mendinganlah ketimbang ketemu orang asing. Rutuk Dimie
dalam hati. Dia menoleh ke arah jalan lagi. Berharap ada taksi yang melintas!
“Elo…
pulang les, ya?” tanya Egy tetap bersikap ramah.
“Iy—Iya.
Lo sendiri?” tanya Dimie berbasa basi.
“Dari
rumah Gokil.”
“Gokil?”
tanya Dimie kelihatan bingung. Sebab setahu dia “gokil” itu artinya gila alias sableng.
Hehehe.
“Eh,
anu, si Ganes! Temen gue, anak SMU 2000,” Egy meralatnya.
“Oooh!” Usai perkataan itu, kedua remaja yang berdiri
berdampingan itu sama-sama membisu. Mungkin dibuai oleh pikiran mereka
masing-masing. Dimie terlihat makin gelisah. Dia melihat jam tangannya lagi. Hujan
belum juga berhenti. Gimana ini, udah jam
delapan malam. Aduh! Keluh Dimie lagi dalam hati. Diam-diam Egy melirik ke
arahnya.
“Kayaknya nih, hujan belon juga mau berhenti. Ini udah malam. Gue anterin aja,
ya! Ketimbang bokap nyokap lo khawatir.” Sekali lagi Egy menawarkan diri.
Dimie menatapnya. Masih kelihatan ragu.
“Elo...
takut, gue...”
“Nggak!
Nggak! Cuma—gue gak mau ngerepotin lo aja, Gy!” potong Dimie cepat merasa tak
enak hati.
“Ngerepotin?
Nggak kok, suer!” kata Egy tersenyum.
“Hujan-hujan? Entar basah kuyup semua?!”
“Ya,
no choice kan? Lo pake jaket gue aja.” Egy melepas jaket parasutnya. Kemudian dia berikan ke Dimie. Bahkan tanpa
menunggu persetujuan Dimie, ia membantu memakaikannya.
“Terus
elo pake apa?” Dimie masih merasa tak enak. Egy tersenyum mendengarnya.
“Cuma
air hujan, kok. Gak perlu takut. Paling-paling basah!” Akhirnya Dimie menurutinya,
membonceng di motor Egy. Di tengah guyuran hujan deras, Tiger ungu itu melesat membelah Jalan Raya Basuki Rahmat. []
Tak
lebih dari 40 menit, mereka sampai di rumah Dimie, di kawasan Multi Wahana. Hujan
belum juga mau berhenti. Orang tua Dimie sudah menunggu kedatangannya dengan
gelisah. Ketika diajak masuk, Egy menolaknya halus, dengan alasan buru-buru.
Setelah permisi, Egy kembali menerobos hujan deras menuju jalan raya.
Usai mandi air hangat dan makan malam, Dimie langsung masuk ke kamar. Pikirannya menerawang pada peristiwa yang baru dialaminya tadi. Malem minggu, gue berhujan ria dengan si Minus Egy? Gawat kalo sampai ketahuan ama yang lain. Lebih-lebih ama Riska. Mampus gue, bakal dikatain munafik nanti. Tapi—itu juga nggak sengaja. Lagian bukannya pergi berkencan. Kenapa mesti takut. Mmm—kalo dipikir-pikir, si Egy manis juga. Care banget ama gue. Tapi kenapa udah dua minggu lebih doi nggak ngirimin puisi lagi ke gue. Apa dia udah nggak suka lagi ya? Tanya Dimie dalam hati. Nah, Lo! Apa yang sedang terjadi pada diri lo, Mie? []
Usai mandi air hangat dan makan malam, Dimie langsung masuk ke kamar. Pikirannya menerawang pada peristiwa yang baru dialaminya tadi. Malem minggu, gue berhujan ria dengan si Minus Egy? Gawat kalo sampai ketahuan ama yang lain. Lebih-lebih ama Riska. Mampus gue, bakal dikatain munafik nanti. Tapi—itu juga nggak sengaja. Lagian bukannya pergi berkencan. Kenapa mesti takut. Mmm—kalo dipikir-pikir, si Egy manis juga. Care banget ama gue. Tapi kenapa udah dua minggu lebih doi nggak ngirimin puisi lagi ke gue. Apa dia udah nggak suka lagi ya? Tanya Dimie dalam hati. Nah, Lo! Apa yang sedang terjadi pada diri lo, Mie? []
Lepas
magrib, Dimie lagi asyik menghapal pelajaran Biologi, buat ulangan
hari Senin besok. Terlihat begitu khusuk. Mulutnya juga komat-kamit ngunyahin
keripik udang. Tiba-tiba terdengar suara mamanya memanggil, sembari mengetuk
pintu kamarnya. Mamanya memberitahu ada temannya datang.
“Siapa,
Ma?”
“Namanya
Egy. Buruan, gih!” kata mamanya
sambil meninggalkan Dimie yang masih melongo. Egy? Ngapain malam-malam gini ke rumah? Tapi buru-buru
Dimie menyisir rambutnya, merapikan bajunya. Aneh! Tidak ada lagi rasa kesal
atau benci. Ketika mendengar nama si Minus itu disebut. Nama orang yang pernah
dibencinya setengah mati. Malah sekarang hanya ada debar-debar aneh di dadanya.
Dengan perasaan tak menentu dia menuju ruang tamu. Egy tersenyum melihatnya.
“Ada apa, Gy?” tanya Dimie
agak gugup.
“Aa—ada
yang harus, gue sampein ke elo, Mie.” kata Egy tak kalah gugup. Dimie
mempersilahkannya masuk. Mereka duduk berhadap-hadapan di sofa.
“Mo nyampein apa, Gy?” tanya Dimie
berdebar. Egy diam sesaat. Terlihat kikuk sekali sekali.
“Tapi
lo, jangan marah ya. Gue mau jujur ama lo. Kalo gue... gue bener-bener
suka ama elo. Cinta ama lo, Mie...” kata Egy perlahan. Cukup lancar ia
ungkapkan semua. Matanya yang sendu menatap tajam ke bola mata Dimie. Dimie
melongo mendengar perkataan Egy barusan. Secepat itu? Dimie kikuk tak
langsung menjawab. Ia juga tak berani membalas tatapan Egy. Jantungnya berdebar
tak karuan. Wajah Egy pun kelihatan pucat. Mungkin sama-sama untuk yang pertama
kalinya, ya? Dua-duanya kelihatan kaku begitu.
“Maaf
ya, Mie. Mungkin waktunya gak tepat. Tapi gue gak akan tenang. Kalo belum ngomonginnya.
Gue juga minta maaf. Udah neror elo dengan puisi-puisi kacangan gue” ujar
Egy lagi.
“Nggak
apa-apa, Gy. Tapi gue, gue gak bisa ngasih jawaban sekarang ya,”
jawab Dimie pelan dengan wajah tertunduk. Egy mengangguk tersenyum.
“Iya, gak apa-apa, gue ngerti. Lo gak usah takut. Nerima atau nggak jawaban lo nanti,
gue terima dengan lapang dada. Yang penting gue udah ngomong sejujur-jujurnya, Mie.” kata Egy serius. Dimie mengangguk setuju.
Sesaat mereka kembali terdiam.
“Eh!
Iya, lo mau minum apa, Gy?” kata Dimie tersentak. Baru ingat
belum menyuguhinya minuman. Dia berdiri, namun Egy mencegahnya.
“Gak
usah repot-repot, Mie. Gue permisi, ya.”
“Lho,
kok, buru-buru, Gy? Maaf ya, gue gak nyuguhin apa-apa.” Dimie merasa tak enak
dan tak mengira Egy akan pulang secepat itu.
“Gak
apa-apa, Mie. Udah malem aja. Lo juga pasti udah ngantuk. Tolong bilangin ke Mama kalo gue pamit pulang,” Egy berdiri dari tempat duduknya. Dimie
tak bisa menahan kepergiannya.
“Iya,
entar gue sampein. Lo hati-hati di jalan, ya.” Dimie mengantarnya sampai ke
teras depan. Egy menatapnya sebentar lalu tersenyum manis. Terbias kebahagiaan
di wajahnya yang pucat.
“Gy,
lo kelihatan pucat. Lo sakit, ya?” tanyat Dimie saat menatap wajahnya. Egy menggelengkan kepala sambil tersenyum. Memakai helm serta melambaikan
tangan, lalu melesat pergi dengan sepeda motornya. Menerobos kegelapan malam. []
Setelah
Egy pulang, Dimie langsung masuk kamar dan rebah di pembaringannya. Dia
merenung sambil menatap langit-langit kamarnya. Hingga larut malam, matanya tak
mampu terpejam. Memikirkan kata-kata Egy tadi. Gila Egy bener-bener nekat. Akhirnya doi berani ngomong langsung ke
gue. Terima nggak, ya? Kayaknya Egy sungguh-sungguh, waktu menyatakannya tadi.
Tapi—nanti apa kata yang lain, ya? Lebih-lebih si Riska? Gue bakal dikatain habis-habisan.
Tapi gue juga merasakan perasaan aneh kalo deket dia? Bodo, ah! Besok gue minta
pertimbangan Riska sekali lagi. Akhirnya Dimie tertidur pulas dibuai oleh
gelisahnya sendiri. []
Senin
pagi di gerbang SMU 501, Dimie berjalan terburu-buru. Ia hendak mencari Riska.
Ketika ketemu, Dimie langsung menyeretnya ke sudut kelas. Ternyata Riska juga
sudah menunggunya sejak tadi. Sepertinya ada yang hendak dibicarakannya. Tapi
Riska tak diberinya kesempatan bicara. Malah Dimie yang banyak bicara.
“Ris,
semalam Egy dateng. Dia nembak gue—secara langsung, Ris! Matanya kelihatan—”
“Tapi,
Mie—” Potong Riska.
“Jangan
potong gue dulu dong, Ris! Matanya, Ris. Matanya, kelihatan begitu tulus.
Walaupun wajahnya pucat. Ternyata dia gentle
juga. Menurut lo gimana? Gue terima apa nggak?” tanya Dimie dengan
hati berbunga-bunga. Riska makin kelihatan bingung. Melihat wajah sahabatnya
begitu. Dimie bertanya heran.
“Kenapa elo begitu, Ris? Elo nggak setuju, ya?”
“Dia—dia
semalam, nemuin elo, Mie?” Riska gugup. Meski heran, Dimie mengangguk.
“Jam
berapaan?” tanyanya lagi.
“Duh,
gue lupa pastinya! Mungkin sekitar jam delapanan gitu, deh. Eh, emangnya kenapa
sih, Ris? Muka lo kayak orang bloon gitu?” tanya Dimie kebingungan.
“Elo,
nggak lagi ngimpi kan,
Mie?” tanya Riska makin melotot.
“Mimpi?
Nggak, Nek, asli! Doi datang sendiri, kenapa lo melotot gitu, Ris? Mau nakut-nakutin
gue apa?!” tanya Dimie mulai kesal.
“Elo,
sih! Nggak ngasih kesempatan gue ngomong! Nyerocos mulu. Lo nggak tahu kalo
Egy, kalo Egy, malam Minggu kemarin kecelakaan. Beritanya baru diterima
sekolah pagi ini.”
“Hah?!
Malam minggu? Malam minggu dia nganterin gue pulang, Ris! Ini gak mungkin. Elo main-main kan?” tanya Dimie belum
percaya.
“Main-main
apaan! Dia tabrakan dengan mobil travel sekitar
jam sebelasan gitu!” kata Riska serius. Mendengar itu jantungnya Dimie terasa
mau berhenti berdetak. Kalo kecelakaannya
jam sebelas, malam Minggu. Berarti kejadiannya setelah dia nganterin gue?! Tanya
Dimie dalam hati.
“Ini
seriusan, Ris?”
“Aduh,
Dimie! Gue dikabari temennya. Mereka sekelas udah pada mau ngelayatin Egy!”
“Nge—ngelayat?
Berarti—berarti…” Dimie tak bisa melanjutkan kata-katanya. Jadi yang semalam datang siapa? Mukanya pucat seperti kapas. Jangan-jangan yang
datang semalam itu han—han—bruuk! Dimie
tak sanggup meneruskan kata-kata hatinya lagi. Pandangannya mendadak gelap. Dia jatuh pingsan. Melihat Dimie begitu, Riska menjerit-jerit panik memanggil teman-temannya
yang lain. []
Dimie
pulang diantar oleh Riska. Ketika sampai rumah, Dimie langsung masuk ke kamarnya.
Dia menangis sejadi-jadinya. Hatinya sedih dan kecewa. Mamanya sampai
kebingungan. Riska mencoba untuk menceritakan semuanya. Kenapa gue malam itu harus ketemu Egy di emper pertokoan? Kenapa Egy
harus nganterin gue pulang? Itu awal kecelakaan itu terjadi. Tuhan. Kenapa
Kau renggut Egy secepat itu. Ketika gue mulai menyukainya. Ketika benih-benih
cinta pertama gue mulai tumbuh untuknya? Di saat Dimie dilanda
kesedihannya. Sayup terdengar senandung lagu dari tape rumah tetangga sebelah.
Lagu yang mengiris-ngiris hatinya. [end]
"Ada yang hilang mengisi relung
hati,
Mengharap pagi membawamu kembali,
Hariku sepi..."
[Bungaku Hilang - Pay][Nezh/ 4 Mei 1999]
No comments:
Post a Comment