istockphoto.com |
"Setiap pendaki yang baik pasti sudah
tahu sebatas mana kemampuannya. Sudah paham, kapan
saatnya untuk maju, berhenti, atau untuk mundur." [Ganezh/2012]
Karena akhir-akhir ini
banyak beberapa pendaki kita yang gugur akibat penyakit ketinggian. Meski ini
bukan tulisan orang pertama perihal penyakit ketinggian, namun saya merasa
perlu untuk mencoba menulisnya kembali. Minimal akan me-refresh ingatan kita tentang bahaya pendakian tanpa persiapan
fisik, mental, pengetahuan dan peralatan yang standar. Induk dari semua
penyakit ketinggian itu adalah Hipoksia [hypoxia].
Hipoksia gunung adalah kondisi kekurangan
suplai oksigen pada jaringan atau organ tubuh yang terjadi akibat pengaruh perbedaan
ketinggian. Namun, bila aklimatisasi dan penanggulangannya cukup baik, tubuh
akan mulai menyesuaikan dan berangsur-angsur kembali normal. Hipoksia bisa juga diakibatkan karena tenggelam, atau terjebak di ruang gas (selain oksigen) atau juga terjebak saat kebakaran.
Semakin tinggi sebuah daratan atau puncak akan semakin
tipis lapisan oksigennya. Hipoksia ini
akan mempengaruhi aktivitas dan kinerja tubuh seorang pendaki. Tentu akan
banyak penyakit ketinggian atau mountain
sickness yang akan mengintai. Sebenarnya penyakit-penyakit ketinggian ini
relatif bisa diprediksi, diperhitungkan, bahkan ditanggulangi dengan pengetahuan yang dimiliki. Memang tak semua
pendaki akan dengan cepat bisa dipengaruhi oleh penyakit ketinggian, karena
ketahanan fisik masing-masing individu berbeda-beda. Ada yang sudah mulai merasa error di ketinggian 1.000, 2.000 atau
4.000 mdpl lebih.
Seseorang yang sempat berlatih fisik dan berolah
raga relatif lebih mudah menghadapinya, ketimbang yang tak punya persiapan sama
sekali. Pendaki gunung yang sehat tentu tak mudah dipengaruhi efek hipoksia. Berolahraga jauh
hari sebelum melakukan pendakian dan aklimatisasi adalah cara yang bijak. Jadi
jangan hari ini olah raga besoknya mendaki. Apa lagi jadi pendaki dadakan tanpa
persiapan fisik sama sekali.
Gejala-gejala
mountain sickness akibat hipoksia adalah:
- Sakit kepala atau pusing.
- Sesak nafas.
- Tak nafsu makan.
- Mual dan muntah.
- Kedinginan.
- Tubuh terasa lemas, malas, bahkan mengantuk di jalur pendakian.
- Nadi dan jantung berdetak lebih cepat.
- Efek selanjutnya, muka penderita lebih pucat, jadi susah tidur, kuku dan bibir kebiruan.
- Kontrol tubuh berkurang dan emosionil.
Umumnya gejala-gejala ini akan menghilang setelah
24 hingga 48 jam kemudian. Penderita diajurkan beristirahat agar kebutuhan
tubuh akan oksigen dapat dikurangi. Namun bila usaha ini tak menolong juga,
penderita wajib segera dibawa turun! Gejala-gejala hipoksia di atas relatif akan berkurang bila penderita dibawa turun
sekitar 500 sampai 600 meter dari tempatnya semula bertahan. Penderita hipoksia
yang tak tertanggulangi dengan baik akan akut, salah satunya hipotermia. Baca artikel Hantu Itu Bernama Hipotermia
Tindakan
preventif menanggulangi hipoksia:
- Menghirup tabung oksigen.
- Bernafas menghirup oksigen sebanyak mungkin melalui hidung, lalu membuangnya lewat mulut. Usahakan beberapa kali dan berulang.
- Aklimatisasi—usaha untuk menyesuaikan tubuh dengan lingkungan, ketinggian dan lapisan udara. Jangan berpikir aklimatisasi itu hanya diperuntukkan pendakian di gunung es! Bila perlu menginap dulu di pondok pendaki atau kaki puncak. Jangan buru-buru ingin summit attack!
- Makanlah makanan yang sesuai dengan kebutuhan mendaki, mungkin yang berkalori. Jangan cuma makan mi.
- Mendakilah dengan strategi sesuai kemampuan, logistik dan pengetahuan yang kita miliki.
Efek hipoksia
bisa menimbulkan berbagai macam penyakit ketinggian yang umumnya akan menyerang
ketika mendaki Gunung Indonesia
dari ketinggian 1.000 sampai 3.800-an mdpl. Entah kalau di ketinggian 4.000-an mdpl ke atas—macam
puncak-puncak Papua, karena pengalaman saya masih di bawah angka 4000 mdpl.
Beberapa penyakit ini relatif tak berbahaya, namun cukup menyakitkan dan merepotkan bila kita alami saat mendaki. Di antara penyakit itu adalah:
- Pilek, atau tiba-tiba hidung kita meler beringus. Penyebab utamanya aklimatisasi yang kurang. Siasat: Istirahat dan aklimatisasi yang cukup. Sisikan ingusnya lalu tekankan tissue, sapu tangan atau bandana dengan lembut, jangan mengusapnya dengan gerakan menyamping. Karena akan bikin lecet atau luka yang perih.
- Perut kembung atau terasa konclang :P Penyebabnya telat makan, kurang asupan makanan, masuk angin, kebanyakan minum air sepanjang perjalanan. Siasat: Makan tepat waktu, makanlah dengan porsi yang cukup. Minumlah per teguk, jadi atur intervalnya, jangan kebanyakan sampai jeglukan atau perut jadi konclang gitu!
- Kram otot. Efek asam laktat berkumpul di jaringan otot kulit akibat berkurangnya garam dalam tubuh, dikarenakan garam tubuh ke luar lewat keringat yang berlebihan. Siasat: Berolahragalah yang cukup; Persiapkan diri sebelum melakukan pendakian. Penanggulangan: Baringkan penderita, renggangkan otot yang kram dengan menarik atau mendorongya. Beri minum air yang dicampur garam secukupnya.
- Nyeri punggung atau sakit pinggang. Bukan berarti kita tua, bisa saja diakibatkan kurang minum air putih atau membawa beban yang berlebihan, packing yang buruk, ransel yang tak sesuai tubuh/ kebesaran. Terkadang ransel itu membentuk tubuh, menyesuaikan dengan pemiliknya. Entah juga kalau ransel pinjeman, kadang susah untuk disesuaikan. Siasat: Bawalah beban sesuai dengan idealnya dan kekuatan tubuh kita. Jangan memaksakan diri demi doi atau gengsi, apa lagi hanya ingin dinilai kuat bawa beban berlebih, pada hal diam-diam tersiksa.
- Teklok seperti kelumpuhan mendadak. Ini akibat sakit otot kaki, betis atau paha karena bekerja secara berlebihan. Biasanya karena terlalu berat membawa atau menahan beban, berjalan terlalu lama. Siasat: Olah raga yang cukup sebelum mendaki. Membawa beban ransel yang sesuai dengan kekuatan tubuh. Istirahat yang cukup. Minum air yang dicampur garam. Sebagian orang merasa nyaman ketika bagian bagian otot yang teklok dibebat. Saya pernah kena teklok, pas menuruni Bukit Hayak-Hayak (Ajek-Ajek) menuju Ranukumbolo. Entah kondisi yang tak fit, eh, ditambah manggul ransel berisi logistik dan tabung blue gas. Ini bukan pingin dibilang hebat, tapi di tim saya saat itu, sayalah yang paling junior. Jadi tak mungkin nyuruh senior yang bawain blue gas! Uniknya sakit teklok itu hilang ketika medan menanjak, tapi begitu di medan turun, rasanya mau membuang ransel!:P
- Kulit kaki lecet atau Ujung Kaki Sakit. Disebabkan gesekan kulit kaki dengan sepatu, meski kita sudah pakai kaus kaki. Sepatu kebesaran atau kekecilan. Siasat: Pakailah sepatu yang pas dan nyaman. Pakai kaus kaki yang cukup tebal. Lindungi kaki dengan plester di bagian yang sering lecet. Mungkin di mata kaki, tumit, pangkal jempol, sisi kiri-kanan kaki bagian atas dan samping.
- Lecet di paha atau selangkangan. Mukngkin akibat memakai celana jeans, celana sempit, atau celana berbahan tebal dan basah. Gunakan celana katun atau celana berbahan sintetis yang ringan.
- Sakit di ujung kuku kaki. Biasanya akibat sepatu kesempitan, atau kukunya panjang atau malah kependekkan saat dipotong. Umumnya ini menyerang ketika turun gunung. Saya pernah mengalami kehilangan empat kuku kaki sepulang SAR di Gunung Kerinci! Akibat kuku kaki agak panjang dan sepatunya agak sempit. Siasat: Potonglah kuku seidealnya, jangan sampai kependekan. Pakailah sepatu yang pas dan nyaman.
- Diare atau mencret! Ini akibat kebanyakan minum air mentah, banyak makan pedas, nasi setengah matang, alergi makanan tertentu, misalnya cabe botol yang berpengawet. Siasat: Saya rasa kita tahu cara menghindarinya.
- Sering Haus padahal sering minum. Bisa saja akibat kita kebanyakan minum yang manis-manis, banyak minum air minuman kemasan (berkarbonat atau bergula buatan). Jadi minumlah banyak air putih yang sesekali diselingi meminum air yang manis. Jangan juga mendaki gunung langsung pakai jaket kayak film 5 cm itu. Karena kita menjadi gerah, panas dan banyak ke luar keringat yang bisa memicu dehidrasi.
- Sesak Nafas pada hal tidak memiliki penyakit asma, kemungkinan penyebabnya karena kurang aklimatisasi, mendaki terlalu cepat, atau merokok saat beristirahat, atau pas sambil jalan? Hindarilah!
- Cidera angkel tumit. Biasanya mendera pendaki melangkah kurang hati-hati dan hanya memakai sendal gunung atau sepatu kets. Siasat standar: Pakailah sepatu gunung, jungle boot yang pas, sesuai dan nyaman. Mendaki hanya menggunakan sendal gunung, memang tak dianjurkan. Meski kita tergolong memiliki kaki yang kuat, tapi mencegah lebih baik dari pada celaka. Jungle boot semata kaki, atau di atasnya mata kaki bisa melindungi angkel mata kaki (tumit) dari cidera. Baik kebentur, kesandung batu atau akar, kejeblos atau kejengklok.
- Wajah Panas. (Lihat Sengatan Matahari).
Sengatan
Matahari.
Untuk medan
pendakian yang terbuka (sabana atau stepa), sinar matahari akan terasa lebih
menyengat membakar kulit, merasakan panas yang berlebihan atau lejar panas (heat exhaustion). Ini menyebabkan urat-urat di bawah kulit akan
mengembang, sehingga aliran darah ke otak dan organ tubuh lainnya akan
berkurang. Misalnya panas di kepala, hidung dan pipi. Kulit muka akan memerah
terasa panas dan perih. Efek selanjutnya adalah mual, pusing, haus (dehidrasi),
nadi berdenyut cepat, lemas, hingga tak sadarkan diri.
Siasat:
- Pakai penutup kepala, topi, bandana, atau sebaiknya topi rimba.
- Jangan gengsi untuk beristirahat dan berteduh.
- Gunakan sun block atau krim anti UV. Bisa dioleskan ke kening, hidung dan pipi. Kalau mau seluruh wajah juga boleh.
- Pakai pakaian berlengan panjang.
Penanggulangan
Penderita Sengatan Panas:
- Bawa penderita ke tempat teduh. Ke bawah pohon juga bagus.
- Beri minum air dingin hingga ia merasa nyaman. Air yang diberi sedikit garam juga bagus. Karena dehidrasi akan membuang banyak garam tubuh lewat keringat.
- Kompres atau basahi kepala penderita dengan air dingin.
Penyakit
Ketinggian dan Ancaman Mendaki Gunung Es
Bukan berarti menyepelekan gunung-gunung negara
tropis atau gunung non salju, namun ancaman penyakit ketinggian di gunung es, relatif lebih tinggi resikonya. Karena itu peralatan pendakian gunung es
akan lebih banyak segambreng! Terlebih
bagi manusia tropis seperti kita, tentu persiapannya lebih ketika ingin mendaki gunung es.
Ancaman
Penyakit Ketinggian (Umumnya) di Gunung Es:
- Hipotermia dan Hipoksia, tentunya: Lihat Hipotermia dan hipoksia.
- Endema Paru (Pulmonary Edema): Gangguan pernafasan akibat bocornya plasma darah ke dalam jaringan paru-paru, menyebabkan kantung-kantung udara (alveoli) tidak efektif lagi melakukan pertukaran oksigen dengan karbondioksida.
- HACE (High Altitude Cerebral Edema): Penyakit kelebihan cairan di otak, akibat kekurangan oksigen. Gejalanya halusinasi, mengantuk, berjalan terseok-seok seperti zombie, dan kehilangan kesadaran.
- Sengatan Beku (Frostbite): Radang beku akibat hawa dingin yang membekukan cairan di dalam sel-sel di antara kulit dengan pembuluh darah terkecil.
- Buta Salju (Snow Blind): Kebutaan temporer akibat sinar matahari yang dipantulkan salju ke mata yang tak terlindungi oleh kaca mata gelap (Goggles).
- Etc...
Ancaman Alam:
- Badai angin dengan kecepatan tinggi. Pengaruh wilayah geografis relatif mempengaruhi badai-badai di puncak-puncak gunung salju. Bahkan hingga ratusan km per jam kecepatannya serta suhu yang anjlok hingga puluhan minus derajat.
- Avalanche: Runtuhan atau longsoran salju.
- Crevasse: Celah, jurang atau lubang yang terdapat di hamparan salju atau gletser. Ia seperti booby traps yang menjebak langkah kaki para pendaki.
CATATAN SAYA:
- Mari kita jujur pada diri sendiri, juga pada rekan seperjalanan kita, bila kita mulai merasakan ada yang tidak beres dengan kondisi tubuh kita.
- Jangan memaksakan diri, hanya karena malu, apa lagi gengsi mengakui kondisi yang mulai payah.
- Jangan gampang percaya dengan teman yang mengatakan dia baik-baik saja, sementara gerak atau bahasa tubuhnya malah menyatakan sebaliknya.
- Awasi, temani, jagai dan ajaklah berbicara (jangan sampai ia tidur atau bengong) meski penderita hipotermia itu kelihatannya mulai pulih, mau makan, bahkan mulai bercanda. Karena beberapa kasus, penderitanya meninggal ketika ia dinilai atau terlihat membaik, ternyata akhirnya malah tewas. Mungkin seperti istilah penyakit demam berdarah disebut pelana kuda. Tampak membaik, padahal itu titik terkritis.
- Bawalah termometer badan agar bisa memastikan suhu tubuh kita baik-baik saja.
- Lengkapi peralatan pendakian yang sesuai standar safety juga nyaman.
- Sesuaikan ransel serta kapasitas bawaan dengan postur, tenaga atau kemampuan kita.
- Terkadang dibutuhkan “ketegasan” untuk memaksa rekan kita mau makan, minum obat, atau melarangnya tidur di jalan. Bahkan rekan saya pernah menampar teman saya yang minta tidur di rute pendakian, karena saat itu hujan badai dan kebasahan.
- Berolahragalah jauh hari sebelum melakukan perjalanan pendakian.
- Induk dari semua mountain sickness adalah hipoksia, jadi kita harus bisa menanggulanginya, agar tak menjelma menjadi acute mountain sickness (AMS).
- Marilah kita menjadi pendaki yang bijak pada alam, juga pada diri sendiri! [Ganezh/Feb 2014/]
Sumber:
Naskah buku Ceritakembara/Ganezh (2014); Jejak
Sang Beruang Gunung NE/Ganezh (2006) dan buku Mendaki Gunung Sebuah Tantangan Petualangan/NormanEdwin (1987);
mantap.. sesuai dengan pengalaman saya. andai saja waktu pertama kali saya mendaki gunung membaca artikel ini, pasti hal2 yg diatas dapat saya minimalisir
ReplyDeleteThank, udh mampir dan komen, senang bisa berbagi... :)
DeleteBuat bekel gua nih kedepannya artikel ini.
ReplyDeleteMakasih banyak nih om infonya...:)
Sama-sama bro Ibnu, makasih udh mampir :)
DeleteSelain itu apa ad yang lain lagi mas?
ReplyDeletekeren keren tulisannya sangat membantu mas
ReplyDeletebermanfaat sekali kak info infonya
ReplyDeleteElever Media Indonesia