Tuesday, February 11, 2014

Survival [Bagian 3]



Api! Gue mesti bikin api SOS secepatnya! Siapa tahu helikopter itu akan melihatnya. Dia juga membakar topi serta ranting-ranting kering, lalu meniupnya dengan tergesa-gesa. Nah, apinya mulai gede! Ia juga memasukkan ranting-ranting pohon yang cukup besar. Api makin berkobar, suhu di situ jadi lebih hangat. Terkahir ia  memasukkan dedaunan basah ke dalam kobaran api. Seketika muncul asap putih kekuningan yang tebal, bergumpal dan bergulung-gulung. Ganes menjerit lantang. Setangah hiteris, juga panik. Idaaang!Toloooong! Suara jeritannya dipantulkan oleh bukit dan lembah Gunung Gede.[]

“Syukurlah, heli tim SARNAS udah dioperasikan!” kata Heru dan wajah berbinar. Wajah-wajah mereka makin derah. Mereka masih menyelusuri patahan-patahan ranting itu. Tiba-tiba HT yang tergantung di pinggang Heru berbunyi. OSC Badak memberitahukan bahwa korban Reza telah ditemukan oleh SRU 5. Reza ditemukan dalam keadaan meninggal dunia. Antara sedih dan gembira mereka mendengarnya. Saat melanjutkan pergerakan kembali. Tiba-tiba Anto yang berada di depan berteriak.
“Tanda-tanda putus! Berhenti di depan jurang semak ini!” serunya. Yang lain melongo mendengarnya. Untuk memastikan, mereka menyebar di area situ. Memang benar tanda-tanda jejak itu habis sampai di situ.
“Jangan-jangan—ia jatuh ke jurang itu, Bang?” celetuk Luki cemas. Mereka jadi terdiam. Heru meneliti keadaan jurang semak. Memeriksanya lebih seksama. Memang ada beberapa ranting yang patah, dahan perdu yang bengkok, serta dedauanan yang terbalik-balik.
“Benar, ada seseorang yang jatuh di sini!” Ucap Heru dengan wajah lesu bercampur cemas. Mereka makin bungkam mendengar perkataan Heru tadi. Sesaat mereka berunding untuk memutuskan, menuruni jurang itu atau melipir mencari lintasan lain. Heh?! Spontan mereka mendongkan kepala. Sambil menajamkan indera pendengaran. Sayup-sayup terdengar suara teriakan. Cukup jauh, halus nyaris tak terdengar.
“Ganes!” Pekik Idang, Boby, Luki dan Jajang berbarengan.
“Bang, itu suara Ganes, Bang!” seru Idang panik. Heru berusaha menenangkannya.
“Her, itu asap atau kabut?!” Pekik Anto sambil menujukan ke arah benda putih yang membubung tinggi. Sehadap jurang semak. Serentak semua menoleh ke sana.
“Asep, To! Warnanya kekuningan, dan tersembur dari bawah!” jawab Heru cerah. Lagi pula saat itu langit sangat cerah. Hembusan angin pun nyaris tak ada. Dengan sigap mereka menuruninya jurang semak. Menuju ke sumber asap yang makin jelas. Idang dan kawannya bergegas melangkah mengikuti Heru yang berada paling depan. Mereka berteriak-teriak memanggili Ganes. []

“Rin—sadarlah. Jangan mati... Bertahanlah! Mereka pasti datang!” Ganes menepuk-nepuk pipi, mendekap, hingga mengucang-guncang tubuh Rina. Perlahan Rina membuka matanya. Lalu berusaha berkata.
“Nes...” Ganes kaget dan memeluknya erat.
“Rin, bertahanlah. Mereka pasti ngejemput kita. Jangan mati, Rin! Kuatlah...” Bisiknya ke telinga Rina dengan suara parau. Di sudut matanya menyembul titik air yang berusaha ditahannya sejak tadi. Hatinya campur aduk tak karuan.
“Jangan nangis, Nes. Gue akan bertahan. Elo jangan sedih...” jawab Rina pelan. Mendengar itu Ganes mendekapnya makin erat. Air matanya mulai membasah di pipinya. Tiba-tiba Ganes tersentak. Ia mendengar ada teriakan-teriakan yang memanggil namanya. Ya, Tuhan, jangan beri gue ilusi itu lagi. Jangan terulang lagi! Tepisnya. Ia tak mau halusinasi itu muncul lagi. Baik suara-suara seperti suara heli, atau suara-suara minta tolong saat ia pertama kali tersesat.
“Nes, ssus-suara itu...” Mendengar perkataan Rina, dia jadi terkejut.
“Elo dengar juga?” tanyanya tak percaya. Suara memanggil-manggil itu terdengar kembali. Makin jelas dan dekat.
“Idaaaaang!” pekik Ganes dengan sisa-sisa suaranya. Suara-suara itu menyahutinya.
“Rin, itu mereka! Mereka datang! Mereka menemukan kita!” ucapnya dengan bibir bergetar. Hati kecil Ganes bersyukur bahwa Tuhan telah menyelamatkan mereka.
“Itu Ganes! Lho?! Dengan siapa??!” pekik idang bersemangat bercampur heran. Mereka menemukan Ganes sedang memangku, setengah memeluk tubuh seorang gadis. Dengan sigap orang-orang itu memapah Rina. Memberinya makanan berprotein dan karbohidrat. Mengganti jaket Rina dan memasukkannya ke dalam sleeping bag. Tim Bhuanapala, bergantian memeluk Ganes. Dengan rasa haru dan bahagia. Bahkan mereka menangis. Mereka mengganti pakaian Ganes yang lembab. Selanjutnya, orang-orang itu mendirikan tiga tenda.
Heru melapor pada OSC Badak. Memberitahukan telah berhasil menemukan Ganes, lagi bersama korban yang bernama Rina. Mereka juga mengiformasikan kordinat posisi mereka. Setelah keadaan tenang, Ganes menceritakan semua kejadian yang dialaminya itu. Dari dia bermimpi, mendengar suara rintihan, hingga kesasar dan bertemu Rina. Juga tentang benda berwarna merah yang ada di dalam jurang bleng itu.
“Jadi elo ketemu Denisa juga?” tanya Anto melotot tak percaya.
“Gue nggak tahu pasti, Bang. Di jurang itu, tampak benda berwarna merah, itu aja. Entah itu jaket, entah ransel atau apa?” jelas Ganes dengan muka serius.
“Kira-kira lo sanggup nganterin ke sana nggak?” tanya Heru.
“Sanggup, Bang! Nggak jauh dari sini.” Tanpa berpikir lama mereka segera mempersiapkan peralatan rapelling. Tedy  dan Luki tetap berjaga-jaga di base camp. Sementara Heru, Anto, Idang, Jajang dan Bobby bergerak mengikuti Ganes menuju jurang batu. Jejak patahan ranting dan jejak sepatu Ganes tadi masih cukup jelas.
“Hati-hati Bang, itu jurangnya!” kata Ganes memberitahukan.
“Ya, Tuhan, jurang ini emang berbahaya. Apa lagi kalo ada kabut tebal!” seru Anto bergidik ngeri.
“Itu, Bang! Titik merah itu!” seru Ganes menujuknya. Mereka melihat dengan menggunakan teropong medan. Heru dan Anto mulai menyiapkan peralatan rapelling.
“Dang, Jang, lo berdua bikin tandu darurat! Ganes, lo hubungi Badak. Laporkan kordinat posisi kita. Tapi jangan dulu melapor kalo kita udah nemuin korban. Karena harus dipastiin dulu. Tunggu tanda dari gue!” Jelas Heru pada mereka. Dengan sigap, Anto memasang anchor ke celah cadas dan batang pohon. Heru membuka gulungan kernmantle mengikatnya ke anchor, lalu melemparkannya ke mulut jurang. Tali itu melayang menuju dasar jurang. Ada dua lintasan tali yang mereka bikin. Usai itu, Anto dan Heru memakai harnest, memasang figure of eight, dan carabiner. Mereka berdua mulai menuruni jurang.
Tak sampai lima menit, keduanya sudah sampai di dasar jurang. Dan, titik merah itu memang jasad seorang wanita. Itu korban Denisa. Gadis malang itu meninggal dengan keadaan yang sangat menyedihkan. Kepalanya rengkah dan ada beberapa bagian tubuh yang patah. Darah yang telah beku membanjir di mana-mana. Mereka terpana sesaat, baru tersentak sadar setelah mendengar teriakan Ganes dari atas.
“Gimana, Bang?!” Anto mendongak ke atas sambil menujukkan jempolnya ke bawa. Tanda untuk menyatakan ia sudah meninggal. Tubuh Denisa dimasukkan ke dalam kantung mayat. Lalu Heru berteriak.
“Ulurkan tandunya! Ganes, hubungi badak!” Ganes mengangguk. Lalu Idang, Boby, dan Jajang dengan carabiner mereka mengaitkan tandu ke pulley yang dipasang ke tali yang dipakai Heru untuk turun tadi. Anto dan Heru menarik tali itu agar lebih kencang. Tandu mulai diluncurkan turun ke bawah. Sesekali mereka menyentakkan tali, ketika tandu itu tersangkut. Setelah tandunya sampai. kantung mayat berisi jasad Denisa itu diikatkan ke tandu dengan webbing. Anto memasang kembali carabiner harnest. Ia bertugas mengiringi tandu ke atas. Agar tandu tak menyangkut di akar pohon atau bebatuan.
“Tariiik!!” pekik Heru lantang. Perlahan tandu itu mulai terangkat naik. Ganes, Idang, Bobby, dan Jajang mengerahkan seluruh tenaga untuk menariknya ke atas. Sedangkan Anto terus mengiringi tandu dengan bantuan jumar. Ia bergelantungan bersisian dengan tandu. Ketika tandu sampai ke atas. Heru mulai melakukan jumaring ke atas. Evakuasi korban Denisa dari jurang itu berjalan cukup lancar walau pun sangat melelahkan.
Baru saja usai mengemasi peralatan-peralatan rappeling, cuaca berubah gelap. Awan hitam menyelimuti langit, serta menjatuhkan titik-titik air hujan sedingin salju. Angin pun mulai menampakkan keganasanya. Byuurr! Hujan deras serasa tertumpah dari langit. Sesekali petir menggelegar dahsyat. Mereka bergegas kembali ke base camp. Ada berita buruk dari OSC Badak. Mengabarkan bahwa helikopter yang hendak dikirim tak bisa dioperasikan, karena adanya badai itu. Mereka diperintahkan menunggu badai reda. Namun jika badai itu berlangsung hingga sore. Mereka dianjurkan bermalam di sana. Dengan diketemukannya korban terakhir, maka operasi SAR Gunung Gede dihentikan. Seluruh SRU yang diterjunkan ditarik mundur kembali.[]
    
Menjelang malam, keadaan cuaca kembali tenang. Badai tadi sore telah berhenti. Ganes beranjak memasuki tenda yang ditempati Rina. Ganes membawakannya makanan.
“Hai...” Sapa Ganes pelan. Rina tersenyum manis. Gila! Kenapa baru sekarang gue kepikir kalo senyumnya begitu manis! Gumamnya dalam hati.
“Sekarang elo harus banyak makan. Biar makin sehat. Coba lihat menu ini. Ada nasi, kornet tumis, abon, ada mi-nya juga. Minumnya pun coklat susu asli. Bukan coklat rebus. Mumpung masih anget, lo habisin, ya?!” Terang Ganes penuh semangat. Ia tak sadar ketika  ia menyebutkan nasi dan lauk pauknya itu, Rina memperhatikannya. Akhirnya Ganes jadi jengah sendiri dipandangi begitu.
“Kok, malah bengong? Makan, gih!” Rina masih diam, terus menatapnya, Tap! Tangan Ganes digenggamnya erat, Ganes terkejut.
“Nes... Gue nggak tahu harus ngomong apa lagi. Elo baik banget. Entah gimana nasib gue kalo nggak ketemu elo, Nes. Benar kata mereka, elo emang dewa penolong gue...” ucap Rina pelan. Ganes hanya diam mendengarkan.
“Gue juga udah tahu, kalo, kalo Denisa, Reza udah pergi. Bang Heru udah cerita banyak. Gue nggak tahu harus ngapain lagi, mau nangis rasanya air mata gue udah habis.” ucapnya lirih dengan wajahnya tertunduk sedih. Ganes menghela napas. Lalu balas menggengam erat tangan Rina.
“Udah... Kita harus rela dan berdoa buat mereka. Semoga mereka mendapat ridho-Nya. Eh, ya, sekarang makan dulu. Kalo dingin, nggak enak!” Ucap Ganes sambil membantunya duduk.
“Gue suapin atau makan sendiri?”
“Makan sendiri aja.” Jawab Rina. Ia mulai memasukkan makanan itu ke mulutnya. Tapi baru beberapa suap ia malah tertawa sendiri. Ganes sedikit bingung.
“Kenapa ketawa sendiri?”
“Nggak. Cuma inget menu kita kemarin.” Sahutnya tersenyum.
“Oh, itu namanya menu survival!”
“Elo banyak tahu, ya. Jujur aja, gue ngeri memakannya. Takut keracunan!” ujarnya polos sambil tersenyum. Ganes tertawa meringis. Lumayan, Rina nyaris menghabiskan makanannya. Setelah membantu Rina minum. Ganes malah memakan sisa Rina tadi. Gadis itu tersenyum manis menatapnya. Usai makan malam Ganes menyuruhnya istirahat. Ia merapikan sleeping bag yang dikenakan Rina. Tapi ketika hendak ke luar tenda, Rina memanggilnya. Ia memintanya agar Ganes tidur di tendanya. Ia tak mau tidur sendirian di tenda. Ganes mengangguk lalu ke luar tenda.
“Gimana?” tanya Heru saat melihat Ganes ke luar tenda.
“Makannya lumayan banyak, Bang. Tapi sisanya gue yang habisin, hihih...” jawabnya meringis. Dasar Gokil!
Good job, Nes! Semoga kondisinya makin membaik. Entar lo tidur di tenda dia aja. Jangan biarkan sendirian. Awasi terus gerak-geriknya. Kita juga belum tahu kondisi sebenarnya. Karena seharusnya ia udah ditangani medis yang sesungguhnya. Cuma cuaca ini menghambat jemputan kita!” Kata Tedy sambil menepuk bahu Ganes. Mereka duduk mengelilingi api unggun. Berkali-kali Ganes minta maaf dengan pada mereka. Karena sudah bertindak konyol sampai memisahkan diri. Tapi mereka bisa memakluminya.
“Nggak apa-apa, kalo lo nggak konyol dan nyasar, elo nggak akan ketemu Rina. Itu hikmah dari kekonyolan lo juga, kan?!” Ujar Heru tertawa. Diringi tawa yang lain. Ganes meringis sambil garuk-garuk kepala.
“Elo juga jadi ngetop, Nes. Jadi buah bibir di posko Badak, bahkan di seluruh tim SAR.  Masuk media pemberitaan, lagi!” tambah Anto.
“Waduh... kalo itu bukan berita bagus, Bang!” Ganes terlihat cemas. Mereka merasa heran mendengar jawabannya barusan.
“Lho, bukannaya lo merasa bangga?” tanya Tedy bingung.
“Karena orang tua gue bakal tahu." jawab Ganes lirih.
“Lho? Kecewa kenapa?” tanya Luki. Lalu Ganes menceritakan semuanya.  
 "Kalo mereka tahu gue nyasar. Jangan-jangan mereka akan ngelarang gue naik gunung lagi...” Ucap Ganes menutup ceritanya. Mendengar itu Heru mendekat sambil memegang bahunya.
“Tentang itu, elo tenang aja, Nes. Abang jamin mereka nggak bakal marah. Atau ngelarang lo naik gunung. Sekarangkan, elo bukan sekedar mendaki Gunung, tapi ikut operasi SAR. Buat nyari orang hilang. Bukankah itu tugas mulia? Dan itu emang udah jadi tugas kita. Jangan cuma doyan mendaki gunung, aja! Tapi begitu dibutuhin bantuan pada nggak muncul. Pokoknya elo nggak usah khawatir, mereka pasti bangga punya anak seperti elo, Nes!” ujar Heru berusaha melagakan hatinya. Idang mengangguk setuju.
“Benar, Nes. Sebentar lagi elo bakal diuber-uber ama produser film. Sebab kisah yang elo alami ini kan unik. Tim SAR yang di-SAR. Hehehe. Resmi masuk DPO, tapi di akhir cerita elo muncul bagai dewa penolong. Menyelamatkan satu nyawa, serta menemukan korban lainnya. Gimana, nggak menarik?” Kata Idang meringis tersenyum.
“Betul, Dang. Tapi Nes, jangan lupa ajak kami sebagai figurannya, ya?” timpal Heru bercanda. Kata-kata kedua orang itu diiringi tawa oleh yang lain. Lagi-lagi Ganes nyengir sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
Keesokan harinya, mereka dijemput dengan dua helikopter SARNAS. Sebelumnya Ganes sempat shock berat ketika melihat wajah Denisa, karena wajah gadis itu memang mirip dengan sosok gadis yang muncul di mimpinya tempo hari. Tapi yang lain bisa menentramkan hatinya. Rina langsung dibawa ke rumah sakit untuk perawatan selanjutnya. Ia disambut keluarganya dengan suka cita yang mendalam. Setelah mendapat kabar dari Om Handri, Bapak dan Ibu menyusul Ganes ke Bandung. Mereka mendapat kabar terakhir dari posko Badak, bahwa Ganes selamat, bahkan tampil sebagai penyelamat. Mereka sangat haru dan berbahagia mendengarnya. Ternyata benar apa yang di katakan Heru kemarin.[]
Liburan Ganes di Bandung bertambah satu minggu lagi. Keluarganya meminta perpanjangan dari sekolah. Mereka hendak menjemput Ganes dan Anis di Bandung. Sekalian menghadiri keluarga Rina akan mengadakan syukuran besar. Tim SAR kemarin juga diundang mereka. Meski tak semuanya bisa datang. Ketika acara selamatan itu hendak berakhir, Jaka, sepupu Rina, menghampirin Ganes yang lagi asyik ngobrol dengan teman-temannya dari Bhuanapala.
“Nes, elo dicariin Rina,”Jaka berbisik ke Ganes.
“Di mana, Bang?”
“Tuh, di taman!”
Ganes berpamitan sebentar pada yang lain. Mereka malah meledeknya habis-habisan, Ganes nyengir meninggalkan mereka yang masih tertawa-tawa. Di taman itu tampak sedang Rina duduk di kursi. Tampak anggun dan cantik sekali. Ganes menyapanya lembut.
“Heh! Ngelamun!” Rina kaget lalu tersenyum manis. Ganes duduk di sebelahnya.
“Suasana begini, kenapa elo malah nyepi di sini?”
“Kan acara intinya udah. Lagian ada yang mau gue omongin...”
“Oh ya, ngomongin apa?” Rina tak langsung menjawab. Suasana hening sesaat.
“Nes...” panggilnya lirih.
“Ya?” Ganes jadi kikuk dibuatnya.
“Kapan lo ninggalin Bandung?”
“Ya—kalo nggak besok, ya, lusa!”
“Secepat itu?” Dahi Rina berkerut.
“Cepat? Gue kan udah nyolong liburan! Gua kudu sekolah, kan?” jawab Ganes tertawa.
“Nggg—ntar kalo udah pulang, elo bakal lupain gue nggak?”
“Lupa? Nggak, dong! Elo kan teman gue dalam suka dukanya survival. Teman sama-sama nyasar!” Usai mengatakan itu Ganes tertawa nyengir.
“Cuma itu?” Rina menatap dengan pandangan lembut. Kemudian wajahnya tertunduk sambil memainkan jemari tangannya. Ganes sedikit bingung.
“Lho, emang mau apa lagi?”
“Nggak ada yang lain?” tanya Rina lagi sambil menatapnya.
“Yang lain? Apanya, ya?” Ganes tertawa. Lalu mengucek-ngucek rambut Rina.
“Terus terang aja, Nes. Rasanya, gue nggak mau kalo lo balik ke Palembang. Takut lo lupain...” kata Rina lirih. Ganes merangkul pundaknya sambil berkata lembut.
“Heh! Denger, ya. Gue nggak bakal ngelupain elo, oke? Jangan pasang muka sedih gitu dong!” Ucap Ganes tersenyum. Ia terkejut, tiba-tiba Rina berbalik. Memeluknya erat. Tiba-tiba Rina menangis, cukup lama. Ganes makin kikuk dan serba salah. Ia terdiam. Rina melepas pelukannya dan berusaha tersenyum.
“Nes... gue mo nanya, mm—waktu mau nyadarin gue...?” kalimat gadis itu terputus. Ganes menatapnya kikuk. Cewek itu emang susah ditebak apa maunya. Gumam Ganes.
“Iya?” Potong Ganes agak bingung.
“Waktu mau... nyadarin gue, lo CPR-in gue nggak?”
“CPR?” Astaga! Ganes kaget. Mukanya terasa memerah. Merasa jengah dan malu.
“Duh, maap ya, Rin. Gue panik dan bingung. Gue nggak sengaj—”
“Ssstt... Nggak apa-apa, gua nggak marah.” Potong Rina seraya menatapnya. Mendadak ide gokilnya muncul.
“Sumpah, nggak marah?” Rina mengangguk malah dengan senyum mengembang
“Kalo gitu mau lagi?” Ledeknya sambil tertawa.
“Ih, awas aja, ya?!” Rina memukul bahu Ganes yang tertawa cengengesan. Gadis itu juga mencubiti perut Ganes. Ganes menggelijang kegelian. Lalu keduanya tertawa-tawa. Lusanya Ganes sekeluarga meninggalkan Kota Kembang, Bandung. Diantar Rina dan teman-teman Bhuanapala. Pulang cerita baru untuk diceritakan ke teman-temannya di Wanacala. Sementara mereka juga sudah tak sabar menanti kedatangan sahabat mereka yang Gokil, sekaligus tersayang. [End/ Ganezh/ Maret 1997]

6 comments:

  1. keren bang! keren banget pake kuadrat... ngga deh. pake kubik pangkat tiga kerennya

    ReplyDelete
  2. Replies
    1. Makasih bro Ridwan, udh baca :) Slm lestari...

      Delete
  3. Sebelumnya salam kenal bro,keren euy ceritanya,ngga bosen bacanya,learning pointnya dapet bgt,,salam lestari

    ReplyDelete