Bulan
puasa adalah bulan emasnya umat Islam. Merupakan bulan yang penuh berkah dan
ampunan dari Allah SWT. Di bulan itu pula umat Islam diwajibkan untuk berpuasa
selama satu bulan penuh. Menjauhi segala perbuatan dosa. Menahan segala hawa
nafsu. Pada umumnya orang yang berpuasa itu mulutnya berbau kurang enak.
Misalnya temen Ganes yang bernama Abon. Sedang tidak berpuasa aja dia bau,
apalagi kalo dia berpuasa. Hiy! Nggak bisa dibayangin. Tapi doi selalu
berpegang teguh pada nasehat-nasehat Wak Haji Dulah. Beliau selalu mengatakan
bahwa bau mulut orang yang berpuasa akan lebih harum semerbaknya minyak kasturi
nantinya. Amin aja, deh! Kalo si Adut lain lagi. Doi lebih seneng puasa kecil.
Itu lho, puasa yang waktu berbukanya pas tengah hari. Hehehe.
Terasa
emang cukup berat berpuasa sambil bersekolah. Lebih-lebih bagi yang
menjalaninya dengan setengah hati. Karena perut dalam keadaan kosong, otaknya
dipaksa untuk berpikir terus. Padahal bawaannya ngantuk melulu. Pernah dulu,
kakak-kakak kelas Ganes mengajukan usul ke Kepsek. Supaya diperbolehkan membawa
bantal ke sekolah. Maksudnya, biar pas waktu istirahat bisa tidur siang
sebentar. Tapi usul para murid sableng itu membikin Kepsek mencak-mencak nggak
karuan. Meskipun setiap mata pelajaran didiskon lima belas menit setiap jamnya, tidak
menyurutkan semangat para siswa untuk bermalas-malas ria. Malah ada yang
mengusulkan belajarnya aja yang lima
belas menit, sudah itu diperbolehkan pulang. Tapi lagi-lagi sang Kepsek
ngamuk-ngamuk mendengarnya. Hihihi. []
Siang
itu Ganes terlihat sibuk sekali. Dia membongkar isi lemari kamarnya. Dia sibuk
mencari-cari peralatan lukisnya. Cat airnya ketemu, tapi kuas lukisnya
nyungsep entah kemana. Kemana sih,
perasaan gue satuin semuanya. Kayaknya ada yang mindahin, nih. Gumam Ganes
dalam hati.
“Nis! Aniiis!!”
“Yooaah!”
jawab adiknya dari ruang tamu.
“Lo
tahu kuas lukis gue nggak?!” Tanya Ganes setengah menjerit
“Apa?…
Kue lapis?!” Anis balik bertanya.
“Kuas
lukis!” jerit Ganes mulai kenceng.
“Ooo…Udah
rusak!”
“Rusak?!
Emang elo apain?!” Tanya Ganes makin keras.
“Buat
ngecat kuku!”
“Dasar
Nenek Lampir lo!” pekik Ganes kesal. Anis Cuma tertawa nyengir mendengarnya.
“Heh!
Kenapa sih, kalian teriak-teriak begitu? Ngomong pelan-pelan sedikit kenapa?
Kayak di hutan aja!” tegur Ibu melihat kedua anaknya mirip spesies yang paling
doyan pisang lagi berkomunikasi begitu.
“Anis
sih, Bu. Kuas Ganes dirusaknya.”
“Iya.
Tapi jangan bikin gaduh begitu, dong. Kuas Bapak kan ada. Masih cukup baru lagi,” jawab Ibu
memberitahukan.
“Yee,
Ibu. Itu kan
kuas tembok. Yang dirusak itu kuas lukis,” jawab Ganes dengan muka cemberut
cucut.
“Oo,
kuas lukis. Bisa rusak, memangnya diapain Anis?”
“Katanya
buat ngecat kuku!” jawab Ganes pendek langsung ngeloyor pergi. Ibu melongo mendengar jawaban Ganes. Untung
Ibu memberinya uang untuk membeli kuas lukis yang baru. []
Ganes
dan Togar berkumpul di rumah Adhie. Mereka terlihat sibuk menggunting serta
melipat lembaran-lembaran kertas. Rupanya Mereka bertiga punya niat membikin
serta menjual kartu lebaran.Adhie melukis pemandangan serta kaligrafi. Ganes
melukis gambar karikatur serta menuliskan kata-kata indah di dalamnya. Togar
yang emang rada minus seni itu terlihat sibuk membuat amplop-amplopnya. Lukisan
Adhie memang bagus. Kombinasi warnanya terkesan hidup. Gambaran karikatur
bikinan Ganes juga lucu-lucu. Semua gambarnya serlalu berhubungan dengan
ketupat. Misalnya gambar orang yang sedang main bola, bolanya diganti dengan
ketupat. Ada
juga climber yang lagi memanjat
dinding ketupat raksasa. Itu khusus dibikin untuk penggemar bola kaki dan
panjat tebing. Kalo buat orang yang doyan nelpon gimana, Nes? Gampang aja.
Digambarnya orang yang lagi nelpon, tapi telponnya diganti dengan ketupat.
Hihihi… Norak banget, ya!
Lusanya
mereka sudah pada siap untuk menjualnya. Mereka menjual kartu-kartu lebaran itu
di kantin sekolah yang memang tidak dibuka selama bulan puasa. Tidak disangka
si Togar mempunyai bakat besar untuk menjadi tukang obat eh, jadi sales promotion man. Dia pandai
mengumbar kata-kata rayuan. Biar teman-temannya tertarik untuk membeli.
“Ayoo, teman-teman! Mumpung
lebaran masih jauh. Kalian boleh menimbun kartu lebaran sebanyak-banyaknya. Itu
sangat kami anjurkan dan tidak ada yang melarang seperti menimbun sembako!
Ayoo, kartunya cantik, lucu dan unik! Buruan, beli satu bakal dapat bonus!”
pekik Togar penuh semangat.
“Bonusnya
apaan, Gar?” tanya Tami penasaran.
“Amplop!”
jawab Togar singkat. Dengan cuek tanpa dosa dia kembali berkicau menawarkan
barang dagangannya. Tami melotot dongkol mendengar jawaban Togar barusan. Ganes
dan Adhie tersenyum geli melihatnya. Begitu bel sekolah menjerit, semua
bergegas memasuki kelasnya. Mereka bertiga sibuk mengemasi barang-barang
dagangannya. Tak disangka usaha Mereka
bertiga cukup lancar. Sebab selain menggelar dagangan di kantin, mereka
menjualnya secara friend to friends
juga.
“Beli
dong, Dut!” Suatu ketika Ganes menawarkan dagangannya ke Adut yang dikenal
paling jago ngirit itu. Adut melirik sebentar ke arah kartu-kartu yang
ditawarkan Ganes.
“Ogah,
ah! Gue udah beli banyak di pasar.”
“Eh,
kartu-kartu kami kan
laen, Dut. Unik dan nggak ada di pasaran,” tukas Ganes hendak merayunya.
“Jelas
aja nggak ada. Habis norak sih, gambarnya,” cibir Adut kemudian.
“Dasar
nggak tahu seni! Ini, coba lihat gambar ini. Dia membawa ransel yang penuh
ketupat buat doinya yang doyan naek gunung,” kata Ganes serius sambil
menunjukkan kartu lebaran yang bergambar seorang pemuda yang sedang memanggul
ransel besar. Adut mulai tertarik. Dia memperhatikan kartu itu, tapi kelihatan
bingung sambil membolak balik kartu itu.
“Apa
yang elo cari, Dut? Gambarnya ini, di muka,” Ganes menjelaskan.
“Iya,
tapi mana gambar ketupatnya, Nes?” tanya Adut penasaran.
“Yee,
elo. Ketupatnya kan
udah di-packing dalam ransel. Jadi
nggak kelihatan lagi, dong.” Adut berfikir sejenak. Kemudian manggut-manggut.
Entah mengerti atau sok mengerti. Hihihi.
“Beli
ya, Dut,” rayu Ganes lagi.
“Iya,
deh. Gue ambil yang ini. Ketimbang gue dengerin rengekkan elo terus,” ujar Adut
menyerah.
“Cuma
satu?”
“Lho,
emang harus berapa?” Tanya Adut bingung.
“Gimana
elo mau balesin Eca, Ruri dan Tami, kalo Cuma beli satu. Eh, kemarin mereka
beli banyak lho, ama gue. Mereka juga nyebut-nyebut nama elo juga, Dut.”
“Elo
jangan bohong, Nes.Batal puasa elo nanti,” tukas Adut serius. Tapi wajahnya
menyiratkan rasa keingintahuan yang besar.
“Suer,
gue nggak bohong. Ambil, ya?” Mendengar rayuan itu akhirnya Adut membeli tiga
buah kartu lebaran lagi. Setelah ia membayar semuanya…
“Bener
ya, Nes. Elo nggak bohong?” tanya Adut belum merasa yakin.
“Iya
gue serius. Nama elo emang disebut-sebut. Kalo bukan mau kirim kartu ya,
kemungkinan besar mau nagih buku catetan mereka yang elo pinjem,” jawab Ganes
nyengir meninggalkan Adut. Adut terdiam sesaat.
“Kemungkinan
besar? Berarti gue… Eh, Nes! Dasar gokil lo!” pekik Adut kesal. Dia telah
terjebak pada perangkap penjualan Ganes. Ganes melambaikan tangan dengan wajah
penuh kebahagiaan. Gila si Gokil, puasa-puasa masih ngerjain orang juga. Tapi
dia berkata jujur. Memang sewaktu Mereka membeli kartu lebaran pada Ganes,
Mereka menyebut-nyebut nama Adut. Cuma kurang jelas mau mengirim kartu atau mau
menagih buku catatan pada Adut. Adut aja yang keburu GR. Gitu kan Nes, ceritanya.
Ketika
para pembeli di sekolah mulai sepi. Mereka berniat menjualnya ke pasar. Hari
itu adalah hari pertama mereka berjualan di emper pertokoan di ruas jalan utama
Sudirman. Rupanya berjualan di pasar lebih banyak godaannya ketimbang
pembelinya. Belum lagi saingannya yang bejibun banyak. Mereka juga bertemu
dengan rekan-rekan sesama pecinta alam yang berjualan kartu lebaran juga. Baik
yang masih pelajar maupun yang sudah mahasiswa. Mereka semakin ramai jadinya.
Di antara para pejalan kaki, banyak yang
ndablek juga. Mereka cuek ngemilin makanan, ngerokok di jalanan. Sama
sekali tidak menghargai orang yang sedang menunaikan ibadah puasa.
“Ih,
bagusnya. Lucu-lucu!” pekik serobongan gadis remaja ketika melihat kartu
lebaran yang dipajang Ganes dan adhie. Si Togar belum kelihatan batang
hidungnya. Melihat mereka wajah Ganes langsung berseri-seri.
“Iya,
Neng. Ini nggak ada lho, di pasar ikan,” tukas Ganes tersenyum nyegir.
“Terang,
dong. Berapa duit, nih?” tanya yang pakai baju biru.
“Cuma
seribu. Murah kan?”
jawab Adhie kalem.
“Tiga?”
tanya yang berbaju putih sambil menarik alisnya ke atas.
“Walah!
Satu dong, Neng,” jawab Ganes serius.
“Mahal
banget, sih!”
“Iya.
Kan ama
kita-kita,” ujar yang berbaju warna pink mengerling nakal.
“Wah,
itukan udah murah banget dibandingin dengan harga TV,” ujar Ganes dengan muka
lucu. Si Baju biru mendelikkan mata mendengarnya. Alhasil mereka membeli tujuh
buah kartu. Tak lama setelah itu Togar muncul. Dengan senyumnya yang khas dia
menghampiri kedua sahabatnya itu.
“Sorry guys. Aku ada kerjaan tadi.
Bagaimana lancar?” tanya Togar sambil menepuk bahu Adhie dan Ganes.
“Baru
aja pembeli pertama berlalu, Gar. Mereka beli tujuh biji!” jawab Adhie cerah.
Setengah jam kemudian dua orang gadis yang cukup dewasa datang melihat-lihat
kartu lebaran mereka. Satu di antaranya mulai menanyakan harganya.
“Berapaan,
nih?”
“Seribu satu, Mbak.”
“Idih
mahal banget. Lima
ratus, ya?”
“Wah,
belon bisa, Mbak,” jawab Togar tersenyum. Kedua gadis itu mengerutkan dahi.
Kemudian bertanya lagi.
“Jadi
kapan bisanya?”
“Nanti.
Sehari sudah Lebaran, Mbak,” jawab Ganes yang dari tadi diam saja. Mendengar
jawaban itu. Tanpa ba-bi-bu lagi
mereka langsung ngeloyor pergi. Togar dan Adhie melongo melihatnya.
“Ah,
kau, Nes! Suka kali kau asbun begitu.
Mereka tidak jadi membeli.”
“Habis
mereka kelewatan, sih. Lima
ratus jaman sekarang dapet apa,” ujar Ganes menjawab perkataan Togar. Adhie
cuma tertawa nyengir mendengarnya.
“Sudah.
Sekarang kau diam saja. Biar aku yang melayani calon pembeli,” kata Togar lagi.
Ganes cuma angkat bahu mendengarnya. Menjelang sore, dagangan mereka makin
laris. Laris ditawar gitu, lho! Hihihi. Menjelang beduk maghrib. Mereka segera
berkemas.
“Kita
lesehan, Nes?”
“Iya.
Tapi yang pahe aja ya, gimana?”
“Oke.
Yang penting berbuka,” jawab Togar mantap. Mereka bertiga berjalan di emper
pertokoan. Mencari tempat berbuka yang pas. Tiba-tiba pandangan Ganes tersita
pada seorang anak kecil yang sedang menangis. Mereka anak-anak jalanan yang
berada di daerah jembatan penyeberangan. Usia anak itu sekitar tiga tahunan.
Tangisannya begitu memelas. Mungkin kelaparan.
“Gar,
Dhie, gimana mulai besok kita sisihkan sedikit keuntungan kita buat mereka?”
kata Ganes tiba-tiba. Adhie dan Togar mengerutkan dahinya. Belum mengerti
maksud Ganes.
“Buat
mereka siapa, Nes?” tanya Adhie.
“Tuh!”
Ganes menunjuk ke arah anak-anak itu.
“Katanya
kalo gemar bersedekah. Bikin rejeki bertambah,” tambah Ganes lagi.
“Bener
juga kau, Nes!” jawab Togar setuju. Diiringi anggukan kepala Adhie. Diam-diam
Ganes memperhatikan suasana di sekelilingnya. Melihat para pedagang yang
melaksanakan ibadah puasa juga. Puasa yang terasa begitu berat godaannya.
Berbuka dengan makanan ala kadar pula. Dengan sepotong roti dan secangkir es
tebu giling di pinggir jalan. Malah ada yang berbuka dengan hanya meminum air
putih saja. Tanpa makanan yang enak-enak dan bermacam-macam. Dalam hati Ganes
timbul rasa malu. Jika teringat puasanya di tahun-tahun kemarin. Dia pernah
uring-uringan, gara-gara Ibu tidak membuatkannya makanan berbuka. Memang
sebenarnya yang diambil dari puasa itu nilai ibadahnya. Bukan makanan berbukanya.
“Heh,
Nes! Kok, jadi ngelamun begitu, sih?!” Adhie mengejutkan lamunan Ganes.
“Mikirin
siapa kau, si Katrin?” tanya Togar menggodanya. Ganes tampak gelagapan,
kemudian tertawa nyengir.
“Udah.
Buruan kita sholat Magrib!” ajak Adhie mengingatkan. Usai berbuka mereka
langsung menuju masjid yang berada di depan Dika Shoping Centre. Mereka
melaksanakan sholat magrib di sana.
[]
Malam
itu, seusai pulang sholat tarawih, Ganes langsung merebahkan badannya ke
pembaringannya. Ceramah Wak Haji Nudin
sebelum sholat tarawih tadi, mengenai zakat serta orang-orang yang patut diberi
zakat. Seakan menyentuh hati serta pikirannya. Hatinya seakan baru terbuka di
bulan ramadhan tahun ini. Dia berjanji dalam hati. Akan berusaha keras
merampungkan puasanya. Tidak seperti ramadhan-ramadhan tahun lalu. Puasanya
mirip saringan teh. Puasanya banyak yang bolong-bolong tidak karuan. Semoga aja
niat baik kamu itu terkabul ya, Nes!
“Nes...
Nes!” Suara adiknya memanggil.
“Yaa...!”
Dia bangkit dari pembaringan. Anis masuk ke kamarnya.
“Heh,
besok Anis sama Ibu mau beli baju baru. Elo mau ikut nggak?” kata Anis dengan
wajah cerah. Ganes diam saja. Wajahnya kelihatan datar. Tanpa ekspresi sama
sekali. Anis jadi heran melihatnya.
“Kok,
bengong. Mau ikut nggak? Kalo nggak nanti nggak dibeliin baju baru, lho!” kata
Anis lagi.
“Ya,
nggak apa-apa,” jawab Ganes santai. Anis melongo bloon mendengar jawaban
abangnya barusan. Biasanya dia antusias banget. Kalau diajak belanja beli baju
baru buat Lebaran nanti.
“Elo kenapa sih, Nes.
Sakit?” tanya Anis sambil meraba kening abangnya. Ganes cuma menggelengkan
kepalanya ditanya begitu. Anis makin bingung. Heran dengan perubahan diri Ganes
yang lain dari biasanya itu.[]
Seperti
biasanya, sepulang sekolah mereka bertiga kembali menjual kartu-kartu lebaran
di pasar. Sayangnya belum lama menggelar dagangan Mereka. Langit mulai mendung
dan langsung diiringi hujan rintik-rintik. Semua pedagang emperan berkemas
untuk menyelamatkan barang dagangannya. Agar tidak terkena guyuran air hujan.
Ganes, Adhie dan Togar segera berkemas dan berteduh. Mereka bertiga duduk
tercenung di emper pertokoan. Mungkin mereka memikirkan betapa sulitnya jadi
pedagang emperan. Mesti kalang kabut menyelamatkan dagangannya kalau turun
hujan. Harus kepanasan kalau matahari lagi bersinar garang. Kalau ada angin
yang berhembus kencang, semua barang dagangan yang termasuk barang ringan bakal
berterbangan ke segala arah. Itu baru dari faktor alamnya. Belum lagi kalau ada
para petugas penertiban kota.
Mereka bakal kalang kabut lari menghindar kalau tidak ingin disita. Eh, sudah
susah begitu, masih juga dibebani oleh pajak retribusi pasar. Jadi pedagang
emperan juga mesti sabar, gigih dan ulet. Sabar menghadapi calon pembeli yang
terkadang cerewet. Sabar menerima pendapatan yang tidak pernah tetap. Harus
gigih meski terkadang barang dagangannya tidak laku. Wah, pokoknya berat! Tapi
mesti begitu, rata-rata pedagang emper itu baik-baik, lho! Rasa persatuan dan
kebersamaan Mereka kuat. Mereka saling bantu.
“Dhie,
Gar. Gue punya ide. Kalian setuju nggak?” Tiba-tiba Ganes berkata memecah
lamunan mereka.
“Ide?
Ide apaan, Nes?” tanya Adhie bingung. Dia memang suka punya ide yang mendadak.
Kadang ide baik, kadang ide busuk juga. Hihihi.
“Begini,
kalian setuju nggak. Kalo Wanacala mengadakan kegiatan sosial. Maksud gue, kita
mengumpulkan pakaian bekas yang layak pakai atau sumbangan apa pun. Kalo sudah
terkumpul, malam Lebaran nanti, kita serahin ke panti asuhan. Gimana?” tanya
Ganes penuh semangat.
“Setuju.
Tapi... gimana caranya. Itu pekerjaan serius lho. Nes?” tanya Adhie serius.
Togar mengerutkan dahinya, seperti lagi memikirkan perkataan Ganes.
“Kita
bentuk panitianya. Bikin proposal ke Kepsek atau guru pembimbing kita. Bahwa
kita ingin mengadakan kegiatan sosial. Pakaian bekas atau sumbangan itu kita
dapatkan dari seluruh murid sekolah kita. Tapi kalo ada orang luar yang mau
ikut menyumbang tetap kita terima. Tempat pengumpulannya ya, di sekretariat
Wanacala kita. Gimana, ok?” Adhie dan Togar manggut-manggut setuju.
“Betul
juga. Cemerlang kali ide kau, Nes. Dapet dari mana kau?” tanya Togar cerah.
“Dari
sini. Tempat kita berjualan ini.” Mereka melongo mendengar jawaban Ganes.
Seusai perundingan kilat itu, hujan pun berhenti. Mereka bisa berjualan lagi.
Dagangan mereka masih cukup ramai dikerumuni pembeli.[]
Mereka
memberitahu Rere, Ketua umum Wanacala, tentang ide mereka kemarin. Dan Rere
juga mendukung rencana kegiatan itu. Pulang sekolah para anggota Wanacala
mengadakan rapat kilat untuk membahasnya. Mereka segera membentuk panitianya.
Membuat proposal dan mengajukannya ke Kepsek serta pembimbing ekskul mereka.
Sudah pasti Kepsek dan para guru mendukung usul ide positif anak-anak didiknya
itu. Dengan kegiatan itu pula mereka bisa mengangkat citra anak pecinta alam
juga. Bahwa anak-anak PA itu tidak hanya bisa mendaki gunung atau jalan-jalan
ke alam saja. Tapi ikut peduli dan ikut memikirkan urusan sosial juga. Mereka
segera mempersiapkan segala sesuatunya. Kepsek juga mengumumkan kegiatan itu
kepada seluruh guru dan siswa-siswi SMUN 2000. Agar menyumbangkan pakaian bekas
layak pakai. Dan dari hari ke hari, sumbangan murid-murid SMUN 2000 makin
bertambah. Entah sudah beberapa potong pakaian, celana, sepatu bekas layak
pakai serta uang yang disetorkan ke sekretariat Wanacala. Panitia dari Wanacala
dan OSIS makin bersemangat. Melihat antusiasnya sambutan dari siswa-siswi
sekolah mereka. []
Sepulang
sekolah, Ganes tampak sibuk membongkar-bongkar lemari pakaiannya. Mencari
pakaian dan celananya yang sudah lama tidak dipakainya lagi. Ganes tidak
menyadari kalau diam-diam Anis mengintip dari celah pintu kamarnya yang terbuka
sedikit.
“Bu...
sini!” Anis setengah berbisik memanggil ibunya.
“Heh!
Mulai mau jahil lagi kamu?!” tegur Ibu melihat Anis mengintip-intip begitu.
“Ssst...
sini, Bu...” katanya lagi. Ibu jadi penasaran dan ikut mengintip ke dalam.
Ganes lagi sibuk membentang baju dan celana bekasnya.
“Ini
masih bagus. Ini juga...” Dia bergumam sendiri. Ibu dan Anis terus mengawasi
tingkah lakunya.
“Mau
apa si Gokil dengan pakaian-pakaian lama itu, Bu?” tanya Anis berbisik pada
Ibu. Ibu menggeleng tidak tahu.
“Apa
mau dijualnya juga?” timpal Ibu pula. Setelah berkata begitu Ibu menarik Anis
ke ruang tengah.
“Puasa
tahun ini, dia agak lain ya, Bu. Dia tidak ribut soal baju baru.. Soal makanan
berbuka atau THR dari Bapak. Dia kelihatan adem
ayem toto tentrem begitu,” kata Anis lagi kepada Ibu.
“Mungkin dia mulai berfikir
dewasa. Nggak seperti kamu lagi,” kata Ibu sambil mencubit hidung Anis dengan
lembut.
“Dewasa?
Perasaan, dia masih gokil begitu,” kata Anis masih belum percaya.
“Anis,
jangan panggil abangmu begitu. Ibu nggak suka tahu!” tukas Ibu hendak menjewer
telinganya. Anis tertawa menghindar. Lari masuk ke kamarnya. Selang beberapa
menit kemudian...
“Nis... Anis!”
“Yaa...?!”
jawab Anis mendengar panggilan Ganes. Ternyata dia lagi sibuk mencoba pakaian
barunya untuk lebaran nanti. Ganes masuk dan duduk di tepi pembaringan adiknya.
“Nis, baju-baju elo yang
udah nggak dipake lagi. Masih ada nggak?”
“Masih
ada. Kenapa? Mau dibisnisin juga. Seperti kartu lebaran?” tanyanya penuh
selidik.
“Heh! Gue nggak se-matrek yang elo kira, Nek!”
jawab Ganes sambil menarik hidung Anis.
“Habis
buat apaan?” tanyanya lagi. Lalu Ganes menceritakan semua rencana kegiatan
sosial mereka. Kemudian Anis menanyakan tentang perubahan abangnya di bulan
Ramadhan tahun ini. Ganes menjawab pertanyaan adiknya itu dengan panjang lebar.
“Makanya.
Gue nggak mau ribut lagi soal baju baru atau makanan berbuka puasa…”
“Kalo
THR dari Bapak?” Tanya Anis lagi.
“Kalo
itu sih, tetep gue arepin. Hihihi.” Ganes tertawa kecil. Anis mencibir.
“Nggak
juga, sih. Sekarang dikasih syukur, nggak juga nggak bakalan ngambek, deh.
Kayaknya gue mulai berpikir. Dengan keadaan kita sekarang ini, ternyata kita
sangat jauh lebih beruntung dibanding Mereka, anak- anak jalanan. Mereka yang
tidak punya ayah ibu lagi atau mereka-mereka yang masih juga kekurangan. Meski
sudah bekerja membanting tulang setengah mati untuk memenuhi kebutuhan hidup
mereka. Jangankan buat beli baju baru. Buat yang layak pakai aja mereka sudah
susah. Lalu coba kita lihat anak-anak di panti asuhan. Mereka haus kasih sayang
dari orang tua. Tidak seperti kita yang terkadang selalu merasa kekurangan dan
kurang puas dengan kasih sayang orang tua kita. Selalu menuntut macam-macam
dari mereka. Membikin pusing Mereka. Jadi kalo bisa, ramadhan tahun ini gue
kepingin berubah. Meski baru sedikit-sedikit yang penting tidak seperti tahun
kemarin. Nah, begitu,” Ganes mengakhiri ceritanya yang cukup panjang lebar itu.
Anis diam membisu mendengar kata-kata abangnya tadi.
“Lantas
ini...?” tanyanya pelan sambil menunjukkan baju baru yang baru dicobanya tadi.
Ganes tertawa sambil mengucek rambut depan adiknya yang semata wayang itu.
“Ya,
nggak apa-apa. Itu memang punya elo. Elo nggak perlu merasa bersalah. Gue kan cuma mau jelasin,
kenapa gue rada berubah pada ramadhan tahun ini. Tidak begitu cerewet lagi. Itu
aja.” Kata Ganes tersenyum. Melihat wajah adiknya begitu. Namun Anis masih
terdiam. Sambil memandangi baju barunya itu.
“Heh,
udah jangan kelewat dipikirin. Kalo udah tiba saatnya nanti. Elo pasti punya
pemikiran kayak gue. Abang lo yang ganteng ini. Sekarang elo kan masih kecil. Masih anak SMP, aduh!”
Ganes memekik kesakitan. Perutnya keburu dicubit Anis.
“Aduh,
ampun! Ya deh, udah gede... tapi masih baru! Eit!” Ganes belingsatan
menghindari cubitan adiknya yang gemas digoda begitu. Tak lama kemudian mereka
berdua sudah sibuk membongkar lemari pakaian Anis. Sesekali terdengar teriakan
Anis yang dijahili Ganes. Ketika dia menemukan old-underwearnya Anis. Hihihi. Ternyata tanpa sepengetahuan
keduanya. Diam-diam Ibu telah mencuri dengar segala perkataan Ganes tadi. Ibu
menjadi bangga sekaligus haru dan bersyukur. Anak laki-lakinya yang terkadang
bandel itu mulai memiliki pikiran yang sudah mengarah ke kedewasaan.[]
Malam
yang ditunggu-tunggu pun telah tiba. Usai sholat magrib di akhir Ramadhan.
Suara gema takbir membahana dimana-mana. Anak-anak Wanacala serta OSIS SMUN
2000 berangkat menuju ke panti asuhan “Doa Ibu”. Panti itu terletak di sudut kota Palembang.
Mereka menggunakan mobil Katrin, Donna dan beberapa diantaranya berkendaraan
motor. Selama di perjalanan, mereka banyak berdiam diri. Entah apa saja yang
ada di benak mereka. Di jalanan sudah ramai sejak siang tadi. Suasana makin
marak dengan adanya konvoi kendaraan yang panjang. Mengangkut orang-orang yang
ingin takbir keliling kota.
Belum lagi orang-orang yang sibuk belanja di pusat-pusat pertokoan. Para Polisi
sibuk mengatur arus lalu lintas yang mulai macet dan semerawut.
Civic
merah Katrin dan Baleno biru Donna berjalan tersendat diantara
kendaraan-kendaraan lainnya. Ganes, Togar, Abon dan Adhie mengendarai motor.
Mereka timbul tenggelam diantara kendaraan yang berjejer padat. Di antara
keramaian itu, lagi-lagi pandangan Ganes tersita pada para pengemis yang seakan
tak pernah perduli akan keramaian di sekeliling mereka. Seakan tak perduli
bahwa besok hari Lebaran atau hari apa. Cuma satu yang ada di benak mereka.
Mengharap belas kasihan orang lain. Pada mereka yang bernasib lebih beruntung.
Mengharap orang-orang itu rela melemparkan uang receh ke dalam kaleng-kaleng
rombeng mereka. Mungkin sebenarnya di dalam hati mereka yang paling dalam,
memiliki keinginan seperti orang lain juga. Untuk bisa bersuka ria bersama
keluarga tercinta dalam menyambut hari raya. Namun takdir-Nya yang telah
menentukan dan itu tak bisa ditawar lagi.
Terlihat
juga para pekerja Dinas Kebersihan Kota yang di malam takbiran ini masih
terlihat sibuk. Mengeruk sampah-sampah yang telah meluap penuh dari tempatnya.
Mereka tak sempat mendampingi keluarga mereka di malam takbiran. Masih berbaur
dengan limbah sampah-sampah kota
ini. Sementara keluarga-keluarga yang lain lagi sibuk mondar-mandir di
pusat-pusat perbelanjaan. Shoping
besar! Buat menyambut hari raya esok. Sebuah pemandangan yang kontras banget.
Sangat menggetarkan hati.
Rombongan SMUN 2000 telah
tiba di panti asuhan “Doa Ibu”. Mereka disambut dengan ramah oleh pihak
pengelola serta seisi panti asuhan. Penyerahan itu berjalan sangat mengharukan.
Banyak di antara mereka yang tidak mampu menahan air mata. Menangis, ketika
melihat cara warga panti asuhan mengucapkan rasa terima kasihnya. Ada yang memeluk erat
sambil menangis sesenggukan seperti tak ingin melepaskan lagi. Sungguh mulia
sekali ajaran Islam yang selalu mengajarkan umatnya. Untuk selalu mengingat
orang-orang seperti mereka. Mewajibkan para umatnya yang lebih beruntung. Agar
menyisihkan sebagian hartanya untuk diberikan kepada mereka yang berhak dan
membutuhkan. Baik lewat zakat, sedekah dan infaq. Tak lain bertujuan untuk
mejauhkan umatnya dari sifat sombong, kikir, dan serakah. Memperkecil jurang
pemisah serta kesenjangan sosial dalam kehidupan masyarakat. Agar membagi
kebahagiaan dengan orang-orang yang lebih kekurangan. Lebih menderita dari pada
kehidupan kita.
Dan dalam diri pribadi
Ganes muncul kebahagiaan di hatinya. Dia berhasil merampungkan puasanya sebulan
penuh. Bisa membayar zakat dari uang keringatnya sendiri. Hasil dari jualan
kartu lebaran. Yang pasti ramadhan tahun ini telah memberikan sesuatu yang baru
baginya. Untuk mulai memikirkan nasib orang-orang lain di sekitarnya. [end]
[Ganezh/19sep99]
Mash renyah spt tulisan lainnya :-)
ReplyDeleteThank Ya... :)
ReplyDeleteisi blognya bagus bagus sekali kak
ReplyDeletedigital marketing indonesia 2018