“Waktu tak akan bisa
kita paksakan kehadirannya
Karena ia datang
sendiri. Jadi hanya bisa
dinanti,
dijalani, dilewati, atau dikenangi.” [Ganezh/1999]
Tahun ini rambut
gondrong lagi nge-trend. Hampir di
semua tempat ditemui pemuda berambut gondrong yang lagi asik nongkrong. Ada
yang lurus kayak sih Bucek Deep, kayak AXL nya GNR, atau tokoh yang identik
dengan gondrong, meski lagi botak, yakni Gugun Gondrong :P Ternyata demam itu
juga menjalari Ganes and the gank. Saat
ini ia masih “gotang” alias gondrong tanggung. Maklum masih anak sekolahan. Tapi
saat liburan panjang nanti ia berniat menggondrongkan rambutnya. Hingga
menjelang masuk sekolah.
Sore itu, di kamar,
Ganes lagi asyik menyisir-nyisir rambutnya. Menoleh ke kiri kanan sambil
tersenyum. Rambutnya yang lurus itu sudah menyentuh ujung telinga dan kerah
bajunya. Selagi asyik cengar-cengir sendiri di depan kaca, tiba-tiba Ibu
memanggilnya.
“Nes, Ganes!”
“Ya, Bu?!” Ganes membuka
pintu kamarnya. Ibu telah berdiri di hadapannya.
“Besok sepulang sekolah,
kamu langsung ke loket PLN. Bayar rekening listrik, ya!”
“Oke, Bu. Tapi ada lebihannya
kan?” Tanya Ganes nyengir. Ibu cuma mengendalikan mata mendengar jawaban
anaknya itu.
“Iya, tapi buat gunting
rambut kamu itu!” kata Ibu serius. Mendengar itu Ganes terdiam. Lalu
menggangguk.
“Tapi kalo inget,
ya—aduh!” Sebelum kalimat Ganes selesai, ia terpekik karena telinganya keburu
dijewer Ibu.
Hari ini hari adalah
hari terakhir ulangan umum. Para siswa-siswi boleh bernafas lega, setelah
meninggalkan ruangan kelas, yang sudah satu minggu dipakai buat menggeber
soal-soal yang memusingkan kepala itu. Tinggal debar-debar nanti, saat menunggu
pembagian rapor kenaikan kelas. Selama kegiatan ulangan berlangsung, para guru
kurang memperhatikan rambut-rambut para siswanya. Siswa-siswa SMUN 2000 merasa
senang, karena Pak Dowan, guru olah raga itu tampak cuek dengan perkembangan
rambut siswa-siswanya. Pernah dulu, kakak-kakak kelas mereka, mendemo Pak Dowan
tentang masalah rambut. Mereka meneriakkan beberapa yel-yel yang berbunyi: “Sekolah tidak ada hubungannya dengan rambut.
Yang diasah dan diadu di sekolah itu otak bukan rambut. Biarkan rambut kami
tumbuh subur. Ingat pepatah, rambut adalah mahkota anda! Kami menuntut
keadilan, kenapa para siswi-siswi boleh berambut pendek seperti cowok, tapi
siswa tak boleh berambut panjang seperti cewek!” Namun baru beberapa tuntutan
yang mereka bacakan, mereka keburu lari terbirit-birit. Para guru yang di
komandoi Pak Dowan mengejar sambil membawa gunting bonsai! Alhasil, demo itu
bubar tanpa hasil :D
Siang itu, Ganes dan
teman-temannya lagi asyik ngobrol di bawah pohon akasia di samping kelas
mereka. Mengobrol tentang rencana pendakian mereka ke Gunung Semeru.
“Siapa aja yang mau ke
Semeru, Bon?” tanya Adhie pada Abon yang lagi asyik memandangi murid-murid
cewek lagi asyik main bola basket.
“Bon!” panggil Togar
agak keras . Abon kaget.
“Aa-apa?” tanyanya
gelagapan.
“Dasar buaya garing, lo!
Jelalatan melulu!” maki Beben.
“Siapa tau ada yang
jatuh, Ben! Heheheheh” Abon cengengesan.
“Siapa yang mau ikut ke
Semeru nanti?” Adhie mengulangi pernyataannya.
“Oo—itu. Kabarnya si Donna,
Ruri, Jaya, Rido. Entah kalo sudah nambah lagi?!” Jawab Abon serius. Selagi
asyik mengobrol, tiba-tiba semua menoleh kearah kelas II.1. Belum sempat mereka
bertanya, sudah terdengar teriakan histeris murid-murid cowok. Raziaaa!! Razia
rambuuuuut! Mereka yang merasa punya rambut gondrong kalang kabut berlarian menyelamatkan
diri. Termasuk si Gokil, Adhie, dan Beben.
“Cabut, guys sebelum ketangkep!” kata Ganes mengkomandoi
teman-temannya. Abon dan Togar yang berambut pendek tertawa terpingkal-pingkal
melihat mereka. Benar saja belum lama mereka berlalu. Pak Dowan dan Pak Toni
menghampiri mereka.
“Lari ke mana mereka
tadi? Tadi saya lihat mereka ada disini?” tanya Pak Dowan penuh wibawa. Pak
Toni, guru kesenian itu menatap tajam ke arah Abon dan Togar.
“Anu, Pak. Mereka memang
tadi memang di sini, tapi tiba-tiba mereka bilang mau ke belakang,” jawab Togar
gugup.
“Betul, Pak. Katanya
Ganes sakit perut, Adhie mau pipis, terus—”
“Ah, Sudah! Kalian sama
saja!’’ potong Pak Dowan dengan mimik wajah tak percaya sedikit pun. Mereka
berlalu mencari mangsa yang lain. Togar dan Abon hanya tertawa tertahan. Kedua
guru itu mendengarnya.
“Kenapa kalian?!’’ Pak
Toni tiba-tiba membentak. Keduanya langsung mengkeret.
“Tidak apa-apa, Pak.
Kami cuma bersyukur punya rambut pendek!’’ jawab Abon sekenanya. Guru-guru itu
cuma mendengus kesal dan pergi berlalu.
“Gila, Gar. Pake daftar
segala!’’ ucap Abon setelah guru-guru itu berlalu.
“Betul, Bon. Bapak-bapak
itu pakai DPOG!’’
“DPOG? Apaan?’’
“Daftar Pencarian Orang
Gondrong?’’ jawab Togar tertawa. Abon ikut tertawa. Tak lama ada seorang gadis
cantik mendekati mereka.
“Gar!’’ Togar yang masih
asyik tertawa menoleh ke arah suara yang memanggilnya. Ternyata si Katrin.
“Gar, elo liat Ganes
nggak?’’ tanyanya mendekat.
“Gokil kabur, Trin”
“Kabur? Gara-gara razia
rambut?” tanyanya lagi.
“Betul!” timpal Abon
juga.
“Tuh kan, pada hal udah
gue bilangin potong rambut. Dasar Gokil, susah diatur!’’ jawab Katrin keliatan
kesal.
“Diatur apa diperhatiin,
Trin?” tanya Abon menggoda. Wajah gadis itu bersemu merah. Lalu meringis
tersenyum.
“Dua-duanya, Bon!”
tambah Togar pula. Katrin membalikkan badan hendak berlalu.
“Eh! Mau kemana, Non?”
“Kalian sih, ngeledek
melulu!’’ Katrin bergegas meninggalkan mereka. Abon dan Togar tertawa
cengengesan.
Sore itu Ganes lagi
asyik nonton film Sailormoon. Film
anime Jepang yang selalu menghukum musuh-musuhnya dengan kekuatan cinta :P Teeeet!
Telepon yang berada diruang tengah
berbunyi. Ganes melangkah terburu-buru.
“Holoo? Eeh, Ada apa,
Trin?”
“Kamu tadi kabur kemana,
Nes?” Terdengar suara Katrin dari seberang telepon.
“Pulang, kenapa?”
“Katannya mau nemenin ke
perpuswil?!” (perputakaan wilayah)
“Waduh, iya, sori. Gue
lupa! Tadi ada razia rambut, sih!” jawab Ganes sambil menepuk jidatnya sendiri.
“Tuh, kan. Salah kamu
sendiri. Udah Katrin nganjurin buat potong rambut, jadinya gitu!” Ganes
meringis mendengarnya.
“Gue kan pengen
gondrong. Liburan ini aja. Kalo mau masuk nanti, baru gue potong.”
“Terserah kamu, deh.
Yang penting Katrin udah omongin!”
“Iya, makasih, ya.”
jawab Ganes tertawa.
“Dasar! Eh, kamu mau
mendaki lagi ya?”
“Belum tau, Trin. Belon
ada rencana, sih!”
“Lho? Kata anak-anak,
kalian mau ke Semeru?”
“Iya, sebagain dari
mereka mau ke sana. Tapi kalo gue belum tau.”
“Oo, gitu. Kalo Katrin
mau liburan ke tempat Oma, di Lampung. Ngg—itu aja, ya. Besok aja kita ke perpusnya,
gitu?”
“Ya—ya! Boleh, eh,
makasih ya perhatiannya!”
“Gokil, jelek!” Trep!
Bunyi telepon ditutup. Ganes nyengir mendengarnya.
Pada waktu pembagian
rapor, beberapa siswa masih datang ke sekolah, meski yang mengambil harus orang
tua atau walinya. Ada jeritan bahagia, ada pula pekikan histeris bagi yang
tinggal kelas. Ganes pun harus bangga di posisi rangking sebelas. Rangking-nya
turun. Dari sepuluh ke sebelas :P Ibu sempet ngomel dikit tadi sebelum pulang
ke rumah. Dia lagi asyik memelototi angka-angka di buku rapotnya. Gila,
nilainya tetap, nggak naik atau turun. Stabil, cuma angkanya aja yang
pindah-pindah!
“Nes!” Uffs! Ganes
teronjak kaget.
“Gimana rapotnya?” tanya
Adhie dan Beben mengejutkan. Dengan wajah lesu Ganes menjawab.
“Nilai statis. Kayaknya
gue bakal diceramahin Bapak, deh—lho?! Katanya mau gondrongin rambut? Kok, malah
pada plontos gitu?” Ganes kaget melihat Adhie dan Beben sudah memotong rambut hingga
setengah botak begitu.
“Elo beruntung Nes,
kemaren pulang duluan.”
“Iya, kami ketangkep ama
Pak Dowan. Habis deh, dibabat!” Tambah Beben menimpali perkataan Adhie.
Wajahnya meyiratkan kekecewaan.
“Salah kalian sendiri,
diajak pulang nggak mau jadinya gitu,” ucap Ganes merasa bangga sambil
menyibakkan rambutnya.
“Ganes, kemari!” Waaa!
Nyaris Ganes terlonjak kaget. Pak Dowan tiba-tiba memanggilnya, si Gokil
langsung pucat pasi.
“Ada... a-apa, Pak?”
tanyanya gugup.
“Ikut Bapak ke kantor!” sahut
Pak Dowan dingin. Dengan langkah gontai Ganes mengikutinya. Teman-temannya
tersenyum, sambil melintangkan jari telunjuk ke leher. Khek—mati! Tambah mereka
sambil memeletkan lidah. Dengan wajah lesu Ganes mengiringi langkah-langkah Pak
Dowan. Mati gue! Keluhnya dalam hati.
Sampai di kantor.
“Kenapa wajah kamu
begitu? Kamu tak mau bantu Bapak?” tanya pak Dowan melihat wajah Ganes yang
kuyu. Membantu? Berarti bukan urusan
rambut. Yess! Wajah Ganes langsung berubah cerah seketika.
“Bersedia! Bersedia
banget, Pak!” jawabnya dengan mata berbinar. Pak Dowan bingung melihat
perubahan wajah Ganes yang seketika itu.
“Kamu sakit?” tanya Pak
Dowan keheranan.
“Nggak, Pak, Sehat
banget, Pak! Apa yang bisa saya bantu, Pak?” tanya Ganes semangat. Pak Dowan menatapnya
sebentar. Lalu minta Ganes untuk mengetikkan sebuah surat dinas, karena
kebetulan sekretaris TU-nya tak masuk karena sakit. Tak sampai lima belas menit, Ganes sudah
menyelesaikan tugasnya.
“Makasih, eh! Tapi nanti
rambut kamu itu dipotong!” Ucap Pak Dowan sambil menatap rambut Ganes dengan
penuh nafsu :P Ganes mengangguk.
“Iya, Pak,” jawab Ganes
lega. Cihuuy! Ganes bersorak dalam hati. Ke luar kantor dengan wajah lega. Ia
langsung kembali menemui teman-temannya. Dengan hati riang melenggang menemui Adhie
dan Beben.
“Lho, kok, masih utuh?”
Adhie dan Beben heran.
“Apanya?” Ganes berlagak
bloon.
“Rambut elo?”
“Oh iya, dong!”
“Kan tadi dipanggil Pak
Dowan?”
“Bener, Ben. Pak Dowan
cuma mau bilang. Katanya kalo kamu mau manjangin rambut, harus dirawat dengan
baik. Gitu katanya!” Ganes ngibul sambil tertawa nyengir.
“Ah! Bohong!” Tepis
Adhie dan Beben bersamaan sambil menatap Ganes dengan pandangan tak percaya
secuil pun.
Akhirnya, liburan kali
ini Ganes benar-benar berambut gondrong. Bapak dan Ibu nyaris bosan menegurnya.
Kalau ditegur Ganes selalu menjawab dengan wajah memelas. “Please, Pak, Bu, kan liburan. Cuma liburan ini aja. Nanti kalo udah mau
masuk, Ganes potong, janji!” Dengan mimik wajahnya nelongso. Rambut Ganes memang lumayan subur, dirawatnya dengan
baik. Sampai rela beli sampo meral sendiri. Pada hal biasanya, selalu nebengin
sampo Ibu atau sampo Anis, adiknya.
Siang itu mereka
berkumpul diruang keluarga. Ibu lagi asyik menyulam, Anis lagi membaca majala
remaja dan Ganes lagi asyik nonton TV. Hari itu tiga hari terakhir sebelum
liburan panjang usai.
“Bu, semalem Ganes mimpi
potong rambut. Kata nenek bakal ketiban sial. Emang bener ya, Bu?” Mendengar
itu Ibu cuma senyum.
“Menurut orang-orang
dulu begitu. Namanya juga kepercayaan lama, kita nggak boleh langsung percaya. Belum
ada buktinyanya juga.”
“Jadi boleh dipercaya, boleh
nggak?” tanya Ganes meyakinkan. Ibu menggeleng.
“Cukup hormati ajalah,
dari pada orang-orang tua dulu tersinggung.”
“Eh, tapi emang bener,
Bu. Kata nenek, kalo nggak ketiban sial ya, bakal dapet malu!” sela Anis sambil
memandang ke arah Ibu dan Ganes.
“Elo harus potong
rambut, Nes! Kalo nggak mau malu atau ketiban sial!” tambahnya lagi.
“Ah, sok tahu! Emang elo
setuju banget kalo rambut gue dipotong!” tepis Ganes dongkol. Karena saat ini ia
alergi banget mendengar kata-kata: potong rambut.
“Yey, kok, sewot! Kita
cuma ngasih tahu. Yang bakal ngalamin juga bukan gue, wek!” Anis mencibirnya.
“Eh, sudah! Masalah gitu
aja kok, ribut!” cegah Ibu menengahi. Ganes diam saja. Tak lama telepon
berbunyi. Ganes mengangkatnya. Telepon dari Katrin. Mengabarkan jika ia baru pulang
dari lampung dan minta jemput di loket Jalan Atmo. Sudah hampir dua minggu Katrin
liburan di lampung. Setelah bicara pada Ibu, Ganes pun berangakat hendak menjemput
Katrin. Diiringi ledekan Anis.
“Yeye, jemput pacar!
Yeye, jemput pacar!” Ganes cuma mendelik ke arah adiknya itu. Ibu hanya
geleng-geleng kepala sambil tersenyum.
Tidak sampai satu jam,
Ganes sudah sampai ke loket yang disebut Katrin. Berada di kawasan Jalan Kol.
Atmo. Kenapa Katrin nelpon gue, ya?
Kenapa nggak langsung nelpon Mang Jon, sopirnya itu? Iya, kalo gue punya mobil,
orang naik angkot gini. Nanti pasti ribet cari-cari taksi lagi? Gumam Ganes
dalam hati. Dia berjalan sambil menebar pandangan mencari-cari Katrin.
Rambutnya yang gondrong itu berkibar-kibar ditiup angin. Sesekali dengan bangga
dia menyibakkannya. Ganes menyeruak di antara keramaian orang. Di antara para penumpang
yang turun dari bis yang baru tiba.
Nah, itu si Katrin. Wah!
Emang banyak juga bawaannya. Dua koper gede beroda dan satu kardus paket yang
kelihatannya berat. Katrin menoleh ke arahnya, Ganes tersenyum melambaikan
tangan. Tapi Gadis itu menatap sebentar dengan tanpa ekspresi, lalu malah
membuang muka ke arah lain. Lho? Kok,
gitu? Apa dia pangling atau emang nggak tahu? Ganes bertanya dalam hati. Tanpa
pikir panjang, ia berlari kecil menuju Katrin yang masih berdiri menunggu.
Tiba-tiba terdengar kegaduhan serta disusul suara teriakan....
“Itu jambretnya!”
Seseorang berteriak menunjuk ke arah Ganes. Beberapa orang menoleh ke arahnya.
Ganes terkejut belum tahu apa maksud orang-orang memburu ke arahnya.
“Apa-apaan ini, gue buk—.”
Plak! Buk! Dug! Belum sempat ia berkata-kata, beberapa orang telah
mengerubutinnya. Menghujaninya dengan pukulan dan tendangan. Ganes mencoba
melawan sambil berusaha menjelaskan, tapi mereka makin beringas melihat Ganes
berusaha melawan. Akhirnya, Ganes jadi bulan-bulanan dari massa yang kalap.
“Hentikan!!” Tiba-tiba
terdengar bentakan keras dari orang yang berbadan tinggi besar itu. Berusaha membubarkan
orang-orang kalap itu, tapi teriakan orang itu tidak digubris sama sekali. Dor!
Dor! Terdengar suara tembakan di udara. Mereka kalang kabut mendengarnya.
“Saya dari Kepolisian!
Kita tak boleh main hakim sendiri. Biar dia saya tangani!” katanya penuh
wibawa. Masyarakat berhenti dengan wajah tak puas sambil bergumam tak jelas.
“Gu—gue bukan jambret, Pak.
Guu—.” Terbata Ganes berusaha menjelaskan. Bibirnya berdarah dan wajahnya pun
tampak lebam. Menyedihkan.
“Diam kamu!” Bentak Polisi
itu dengan kasar. Tiba-tiba seorang gadis menyeruak ke dalam kerumunan itu. Dia
langsung memeluk tubuh Ganes yang lunglai.
“Ganes! Yaa Tuhan!
Kenapa jadi gini? Pak, dia saudara saya! Dia bukan jambret, Pak!” Katrin
mencoba membelanya.
“Maafin, Dik. Dia harus
saya bawa!” jawab Polisi itu tegas. Katrin menjadi kesal karena penjelasannya
tidak didengar sama sekali. Terjadi perdebatan sengit dan beberapa orang mulai
kelihatan bingung. Masa ada gadis secantik Katrin punya saudara seorang
penjambret?! Lalu tak jauh dari situ terjadi keributan lagi. Dua orang penarik
becak sedang memukuli seorang pemuda gondrong. Ya, memang rambut dan postur
tubuhnya mirip banget dengan Ganes.
“Pak! Anak itu bukan
jambretnya, tapi ini orangnya!” Kata mereka sambil menyeret pemuda gondrong
yang berteriak-teriak kesakitan. Mereka membawanya mendekat.
“Benar, Pak! Anak itu
tak bersalah kami melihat semua kejadiannya!” Kata temannya menambahkan. Polisi
itu jadi bingung. Orang-orang yang berada di situ hanya bisa melongo bloon
tidak mengerti. Jadi mereka telah salah orang, dan Gokil yang jadi korbannya.
Perlahan Katrin membantu Ganes berdiri.
“Kalian semua
keterlaluan! Kalian salah orang tahu!” Maki Katrin berang ke arah orang-orang
yang telah mengeroyok Ganes. Mereka terdiam membisu. Polisi itu langsung
menangkap orang yang dipegangi oleh kedua penarik becak itu.
“Benar, Pak. Orang yang
berbaju hitam itu bukan yang menjambret saya tadi!” kata Gadis jadi korban
penjambretan itu. Ganas menatapnya tajam. Dia merasa kesal. Seharunya dia jadi
pembela Ganes sewaktu pengeroyokan itu terjadi. Lalu Ganes menatap ke arah
orang-orang yang mengeroyoknya, mereka balas menatap dengan pandangan mata
bersalah. Tiba-tiba entah kerasukan jin dari mana—Ganes menerjang ke arah si
penjambret gondrong. Dia melayangkan tinjunya dengan keras. Kejadiannya sangat
cepat dan tidak disangka sama sekali. Katrin dan beberapa wanita yang ada di
situ menjerit-jerit. Ganes kalap!
“Gara-gara elo, gue
begini! Hih!” pekiknya lantang sambil menerjang perut si penjambret itu. Orang
itu jatuh terjengkang. Katrin dan Pak
Polisi itu sibuk menenangkan Ganes yang kalap. Penjambret gondrong itu jatuh
tak bergerak lagi. Pingsan!
“Cukup, cukup, Dik! Kami
semua mintak maaf! Kami mengerti perasan kamu,” kata polisi itu menenangkan.
Katrin mulai menagis. Dada Ganes bergemuruh. Emosinya meluap-luap.
“Nes, inget—jangan
nembahin masalah lagi!” cegah Katrin lirih. Ganes terduduk berusaha mengatur napas.
Katrin mengajaknya berlalu dari situ. Ganes mendekati kedua tukang beca itu.
“Makasih, Bang. Kalian
berdua udah nyelamatin gue dari kanibal-kanibal ini!” ucapnya tulus. Mereka berdua
mengangguk dan merasa kasihan melihat keadaannya. Ganes berjalan lunglai. Sekujur tubuhnya terasa
nyeri dan ngilu. Dia duduk di bangku loket bus. Katrin memberinya minuman
kaleng, dia bertanya cemas.
“Lo nggak apa-apa kan,
Nes?” Ganes mengangguk nyengir. Senyuman khasnya masih nongol juga. Lalu, gluk!
Gluk! Dia meneguk habis minuman kaleng itu. Dasar
Gokil, dalam keadaan begitu juga masih bisa senyum-senyum nyengir. Kata
katrin dalam hati. Orang-orang yang melihat adegan itu juga pasti bergumam yang
sama dengan Katrin.
“Lo, nggak marah kan,
Nes? Gara-gara jemput gue. Ah, ini semua karena mobil Katrin masih dibawa Mang
Jon ke bengkel!” katanya dengan wajah kesal.
“Heh! Nggak usah ngomel
gitu, gue minta sekaleng lagi, ya?” potong Ganes. Katrin memberinya sekaleng
minuman kagi. Gluk! Gluk! Dasar Gokil! Beruntung tak lama kemudian Mang Jon muncul
membawakan mobil Katrin. Kemunculannya disambut oleh gerutuhan Katrin. Mang Jon
hanya bisa diam dirutuki oleh anak majikannya itu. Mobil itu langsung tancap
gas menuju rumah Katrin.
Ganes diajak masuk dan
duduk di ruang tamu yang luas itu. Ruang tamu yang cukup mewah dengan
barang-barang antiknya. Dengan wajah lunglai Ganes duduk di sofa. Katrin muncul
dengan membawa minuman dingin, air hangat dan obat-obatan luka. Mereka duduk
berhadapan. Dengan hati-hati Katrin membersihkan wajah Ganes dengan air hangat.
“Aduh!” pekik Ganes sambil
meringis kesakitan. Luka dibibinya terasa pedih sewaktu disentuh handuk basah
itu.
“Elo, sih! Coba dari
kemarin-kemarin rambutnya dipotong, nggak gondrong gini, pasri Katrin nggak
akan pangling gitu. Dan lo juga pasti nggak bakal mirip mirip ama penjambret
sialan itu. Pasti kejadian ini nggak akan terjadi.” kata Katrin pelan. Dia
terliahat sibuk membersihkan wajah Ganes yang lebam dengan sangat hati-hati.
“Mungkin ini udah nasib
gue, Trin. Itung-itung buat—aduh!” Ganes menjerit ketika memar di wajah itu ketekan
tangan Katrin.
“Aduh, maaf! Maaf! Itung-itung
buat apaan?” tanyanya penasaran.
“Buat pengalaman. Hehehe—wadaaaw!!”
Ganes menjerit sambil menarik mukanya ke belakang. Ia meringis kesakitan. Tanpa
di sengaja Katrin menekan luka memar di wajah Ganes. Katrin tertawa seraya
minta maaf. Setelah semuanya selesai dan Ganes mulai merasa agak baik.
“Trin, anterin gue,ya?”
“Kemana? Pulang? Ya,
iyalah, Nes.” Jawab Katrin sambil mengangguk. Tapi Ganes menggeleng.
“Lho? Kemana?”
“Ke tempat gunting
rambut!” Jawab Ganes serius. Mata indah Katrin membulat.
“Kamu mau potong
rambut?” tanyanya belum percaya.
“Iya, mukin belum
saatnya gue gondrongin. Entar aja kalo udah lulus dan kuliah.” katanya serius. Katrin tersenyum manis sekali. Menyetujui
kata-kata Ganes. Ganes mengajak Katrin mencari tempat gunting rambut. Tapi Katrin
malah mengajaknya ke sebuah salon. Ganes menolak, namun Katrin memaksanya, dengan
alasan guntingan di sana bagus dan rapi.
“Bukannya apa-apa, Trin.
Gue kikuk ama tukang gutingnya!”
“Ah, nggak apa-apa. Itu
langganan gue ama Mami. Guntingan mereka Bagus-bagus kok!” jawab Katrin serius.
Dengan sangat terpaksa Ganes tak mampu menolaknya. Mereka memasuki sebuah salon
yang cukup bagus. Bertha Salon and Spa.
Oh my, God. Ganes merasa seluruh tubuhnya panas dingin. Benar saja, baru saja
mereka masuk, seorang shemale mereka
menyambut dengan ramah.
“Silahkan, masuk. Mbak
Katrin. Mau diapain, dikeramas, sauna, atau mau dipotong?” Katrin tersenyum
melihat Ganes mengkeret. Dia garang di hutan tapi lemah tak berdaya di salon dan spa :P
“Dia yang mau potong
rambut, Mbak!” kata Katrin memberitahukan. Shemale
itu menatap ke arah Ganes.
“Oh, Mas ini, toh! Lho,
mukanya kenapa? Habis diboyokin, ya? Eh, dibonyokin, sorry ya, maaf!” Katanya tersenyum sambil menutup mulutnya dengan
telapak tangan. Katrin tersenyum mengangguk. Wajah Ganes tampak pucat dan masam
dengan dahinya berkerut.
“Aduh! Dirapin aja, ya? Kan sayang, udah keren
gini. Udah kelihatan handsome gitu!”
katanya lembut sambil mencubit genit. Ganes mengerutkan alisnya. Mulai terlihat
mulai risih.
“Nah kan, Trin...” Bisiknya
Ganes cemas.
“Jangan cuman dirapiin.
Eeeee...” Sepertinya Katrin sedang mencoba mengingat nama shemale itu.
“Ah, Mbak, selalu lupa nama
eike, Mesye! Mbak Mesye!” potongnya saat melihat Katrin bingung memanggilnya.
“Oh iya, Mbak Mesye.
Rambut dia harus dipotong. Sebentar...” Gadis itu mengambil katalog gaya
rambut. Membalik-baliknya sebentar. Lalu wajah cantik itu tersenyum.
“Kaya ini aja, lo mau
kan? Keren!” Katrin menunjuk model rambut seorang cowok keren. Ganes melihatnya
sebentar.
“Keren, kata lo, cocok
nggak ama muke gue. Entar malah maksain cocok!” Tepis Ganes masih ragu.
“Eh, Mbak Katrin bener,
lo Mas. Ini cocok banget, deh. Mas Boy, ini maching
and bikin macho! Iya kan, Mbak?
Oke, sekarang bisa kita mulai?” Mesye memotong perkataan Ganes. Katrin
mengangguk dijawab tatapan pasrah Ganes :p
Tak lama Mesye mulai
mengguting rambut Ganes. Terlihat cekatan sekali. Ganes memperhatikan helai
demi helai rambutnya melayang jatuh. Bahkan tatapannya men-slow motion gerakan rambut itu jatuh. Diam-diam dia membantin dalam
hati. Rambut gue sayang, rambut gue yang
malang! Eh, apa betul ramalan mimpi itu? Terbayang dimatanya tentang
komentar teman-temannya nanti begitu tahu rambutnya dipotong. Terbayang senyum
Anis yang bakal mengejeknya. Pasti ia merasa menang. Dan berbagai pertanyaan
dari Bapak dan Ibu, setelah melihat mukanya yang rada bonyok begitu.
“Mas Boy ini pacarnya
ya, Mbak? Asyik ya, orangnya. Tetep kelihatan manis walau lagi bonyok begitu.
Pendiem. Nurut lagi!” Ucap Mesye dengan tulus, sewaktu mengucapkan kata-kata
tadi. Mendengar itu, Ganes cuma bisa melirik dongkol. Dongkoool banget! Ingin
rasanya dia berteriak, namun bibinya terasa nyeri. Katrin tertawa kecil sambil
menutup mulut melihat wajah orang yang disukainya itu mengkerut-kerut bak jeruk
purut. Menahan nyeri bercampur kesal. [end] Ganezh/12/04/1999
lha ckarang kwlas berapa??
ReplyDeletemenarik sekali kak untuk dibaca
ReplyDeletewww oriflame co id com