Hari Selasa pagi Katrin tidak mood ke sekolah. Usai muter-muter tak
jelas ia membeli bunga, dia melarikan Civic merahnya ke TPU Kamboja. Dia berniat
menziarahi makam abangnya yang meninggal sebulan yang lalu akibat kecelakan. Suasana
pekuburan tampak sepi. Bukan karena masih cukup pagi. Tapi namanya juga kuburan
:P Kalau ramai itu pasar. Selesai menabur bunga dan berdoa, Katerin beranjak
untuk pulang. Tiba-tiba langkahnya terhenti. Eh! Itu
kayaknya? Tapi bukankah dia lagi pegi? Apa cuma khayalan gue aja? Gumam
Katrin terkejut sambil menatap tubuh seseorang yang berdiri mematung membelakanginya.
Tubuh itu menghadap ke
sebuah makam marmer. Di sampingnya tergeletak ransel biru yang tampak sarat isinya.
Kemudian sosok itu jongkok, meletakkan sesuatu dan mulai berdoa. Pperlahan ia
berdiri lagi. Mematung cukup lama. Benar!
Oh my God! Dia benar-benar si Ganes! Pekik Katrin dalam hati. Dia
mendakatinya perlahan.
“Nes?”
Sapanya lembut. Orang itu terlonjak kaget. Dia memang Ganes!
“Lho?
Katrin? Ngapain di sini?” tanyanya gugup dan kaget. Katrin malah tersenyum manis.
“Lo
ngebolos?” tanya Ganes lagi.
“Nah,
lo sendiri ngapain di sini. Habis minggat, ya?” Katrin balik tanya. Ganes meringis.
Diam-diam Katrin melirik ke nisan makam. Rara?
Rara Saraswati? Pacar Ganes yang kecelakaan itu? Apa hubungannya makam ini
dengan kepergian Ganes? Batin Katrin dibombardir pertanyaannya sendiri.
Ganes menghela nafas sebentar.
“Cuma
ingin ziarah, Trin. Sekaligus mo nepatin janji yang tertunda.” Jawab Ganes
pelan. Katrin mengangguk perlahan.
“Kalo
gue lagi kangen Abang. Terus lagi nggak mood
sekolah, jadi mending gue ziarahin Abang aja. Nggak taunya, malah ketemu elo di
sini,” katanya cerah. Orang yang selalu dirindukannya kini benar-benar berdiri
dihadapannya.
“Gue
udahan, sekarang mo pulang. Elo?”
“Katrin
anterin, ya?” Katrin menawari.
“Ga
usah, badan ama pakean gue bau, dekil lagi!” tolak Ganes pelan. Katrin tertawa
mendengarnya.
“Gak
apa-apa. Yang penting elo bukan gembel?!” Ujar Katrin tertawa. Ganes nyengir
sambil mengangguk setuju. Ganes memanggul ranselnya. Tapi sebelum beranjak
pergi ia sempat menoleh dan menatap makam Rara sesaat, lalu berlari kecil
menjajari langkah Katrin. Gadis itu sempat melihat adegan itu. Rara—lo pasti gadis yang sangat spesial bagi
Ganes, ya? Boleh gak gue jadi pacarnya, Ra? Tanyanya dalam hati. Tak lama, Civic
merah itu mulai bergerak meninggalkan TPU. Kamboja, lalu melaju ke Jalan Raya
Sudirman. []
“Mmm...
tadi lo bilang mo nepatin janji. Kalo boleh tau, janji apaan, Nes, sampe bela-belain
bolos sekolah. Bikin cemas semuanya lagi.” Katrin bertanya pelan. Ganes diam
sejenak, lalu menghela nafas. Melihat itu, Katrin merasa tak enak sendiri.
“Ng—kalo
keberatan, gak usah diceritain, deh. Maaf, ya.”
“Sebenarnya
gak berat-berat amat, cuma—” Kriiyyoouukk!! Perut Ganes menjerti. Suaranya
membahana di ruang kemudi. Dia jadi meringis nyengir. Katrin menoleh sebentar sambil
menahan senyum. Untuk mengurangi rasa maluya, buru-buru Ganes berkata...
“Ntar
gue ceritain. Gue laper. Perut gue udah minta isi. Kita ke warteg langganan gue.
Lo mau kan?”
Katrin
mengangguk setuju. Warteg? Lesehan? Makan di tempat begitu bisa dihitung pake
jari. Itupun kalo lagi melancong ke daerah wisata atau Malioboro. Papi ama Mami
lebih suka ke cafe atau resto. Tapi kalo sama Ganes, no problem. Pasti romantis banget. Gumamnya dalam hati. Diam-diam
Katrin senyum-senyum sendiri. Hatinya berbunga-bunga.
Mereka
tiba di warteg yang sudah jadi langganan Ganes. Warteg itu memang lumayan bersih
dan ramai pengunjung. Menu favorit itu adalah pindang kepala gabus. Saat
hidangan itu tiba, dengan lahap Ganes menyantap makanannya. Diam-diam Katrin
sering mencuri pandang ke arahnya. Hatinya tampak di penuhi bunga-bunga warnah
merah jambu.
“Alhamdulillah!
Perut gue udah kenyang. Sekarang mata gue udah terang!” kata Ganes lega sambil
mengusap-usap perutnya. Katrin tersenyum geli melihat tingkahnya.
“Hihihi,
elo lucu, Nes. Sekarang, mana janji lo tadi?” tagihnya sambil ketawa.
“Janji?”
Dahi Ganes berkerut bingung. Katrin mengangguk.
“Janji
cerita ke gue!”
“Oooh,
iya, iya, lupa gue! Tapi lo juga harus janji, gak bakalan cerita ama siapa pun
juga?” kata Ganes serius. Melihat mimik wajah Ganes begitu serius. Katrin juga
mendadak serius.
“Iya,
janji!”
“Terus
jangan dipotong, apalagi diketawain, ya!” pinta Ganes. Lagi-lagi Katrin
mengangguk serius. Ganes memperbaiki duduknya sebentar.
“Ceritanya,
Malam Selasa dua minggu yang lalu gue mimpi ketemu Rara. Pacar gue yang gue
ziarahi tadi. Dalam mimpi itu, dia ngajak gue jalan ke sebuah bukit. Sesampainya
di puncak bukit itu, tiba-tiba Rara menunjukkan kedua tanganannya yang terkepal.
Ia meminta gue membukanya, Saat gue buka pelan-pelan, gue kaget di tangannya sudah
tergenggam setangkai bunga Edelweiss. Namun tiba-tiba bunga itu menghilang.
Rara menangis terisak-isak. Gue bingung dan hingga terbangun,” Cerita Ganes
perlahan. Katrin mendengarkan seksama. Rara
mantannya? Bunga Edelweiss? Katrin berusaha menyelami cerita Ganes.
“Lima hari sebelum gue berangkat, gue mimpi
ketemu Rara lagi. Dia berdiri di tengah taman yang indah. Melambaikan tangan
memanggil gue. Setelah gue perhatiin ternyata seluruh bunga-bunga di taman itu
adalah bunga Edelweiss—dan yang terakhir, sehari sebelum gue mutusin untuk berangkat ke Jawa,
gue kembali didatangi Rara dalam mimpi. Dalam mimpi itu gue beliin Rara sebuah kado
ulang tahun, boneka Tweety kesukaannya. Tapi apa, Trin, sewaktu Rara buka kado
itu bukan boneka lagi isinya, tapi setangkai bunga Edelweiss! Nah, lagi-lagi gue
kaget sampe kebangun!”
“Jadi
tiap mimpi ketemu Rara, selalu ada Edelweissnya?”
“Iya.
Emang sebelum kecelakaan itu terjadi, kami sempat bertengkar gara-gara gue
nyuekin dia. Sibuk ama persiapan pendakian Lawu. Nah, waktu baikan, Rara ngajuin syarat, yakni setangkai bunga Edelweiss Lawu sebagai syarat perdamaian.
Tapi—”
“Pasti
gak lo bawain?!” tebak Katrin pelan. Ganes mengangguk.
“Iya.
Itu salahnya gue...” Suara Ganes berubah lirih. Ganes menghela nafasnya.
Katrin menatap bungkam.
“Gue
nggak sanggup, Trin. Gue gak mau munafik. Meski bukan pecinta alam yang sempurna,
tapi gue juga nggak mau jadi yang munafik. Saat pulang dari Lawu itulah Rara
mengalami kecelakaan dan—meninggal. Gue sedih dan ngerasa nyesel banget...” Ganes
menghentikan kalimatnya sebentar. Untuk menghela nafas.
“Andai
gue tahu, itu permintaannya yang terakhir—pasti gue petikin Edelweiss itu. Bahkan gak setangkai yang ia pinta. Persetan pencinta alam!
Persetanlah kelestarian! Biar gue dibilang munafik! Terserahlah! Asal... asal gue
bisa menuhin permintaan terakhirnya itu. Berhari-hari gue dihantui perasaan
bersalah. Hingga sepupunya, Donna, nganterin kaset rekaman suara Rara yang dibuatnya untuk gue. Direkamnya sehari setelah gue berangkat ke Lawu. Rara bilang, ia gak marah
kalo gue gak bawain bunga itu. Dia bilang malah bangga, karena gue bukan
tergolong pendaki munafik. Berangsur-angsur gue mulai ngelupain janji itu. Tapi
anehnya, akhir-akhir ini gue selalu mimpiin Rara dan Edelweiss? Gue pusing mikirin itu. Jadi gak bisa konsentrasi.
Akhirnya, gue nekat, kembali ke Gunung Lawu. Dan dengan sangat terpaksa, gue—petik
Edelweiss itu setangkai, pulangnya langsung ziarah ke makam Rara. Bunga
itu gue kubur di makamnya. Sekarang gue udah jadi golongan munafik. Karena gue
yang paling keras nentang pemetikan Edelweiss di antara temen-temen gue. Gue
malu. Gue egois. Gue pasrah andai nanti temen-temen gue ngatain. Gue gak tau harus ngapain lagi, selain nepatin janji itu. Lo percaya kan, kalo gue
bener-bener terpaksa ngelakuinnya? Trin?” Ganes terkejut melihat mata Katrin
tampak berkaca-kaca. Ia terharu. Tergesa Katrin menganggukkan kepala.
“Gak
apa-apa, Nes. Gue percaya. Sori gue emang cengeng.” jawabnya gugup. Wajahnya sendu
dengan mata basah. Ganes menatapnya. Sesaat mereka diam membisu.
“Eh!
Udah hampir jam 12, pulang, yuk!” ajak Katrin menghilangkan rasa gugup.
“Waduh,
iya! Keenakan cerita, sih!” Ganes berdiri dan hendak menuju kasir. Katrin
memegang bahunya. Ganes menoleh dan menatap matanya.
“Gue
ngerti perasaan elo, Nes. Gue juga percaya kalo lo gak munafik, juga gak egois.”
Ucap Katrin serius.
“Lo
gak sedang berusaha menghibur gue kan, Trin?” tanyanya meyakinkan. Katrin
mengangguk tesenyum.
“Iya.
Sebab tindakan elo itu bukan dilandasi nafsu ego elo, atau cuman sekedar buat kesenangan
pribadi yang gak jelas. Lagian itu lo lakukan degan sangat terpaksa, kan?” Jelas
Katrin lembut seraya tersenyum membentuk lesung pipi di kedua pipinya.
“Makasih.
Trin. Makasih.” Ganes sedikit merasa lega. Usai membayar uang pesanan mereka.
Keduanya beranjak pulang. Katrin mengantar Ganes hingga sampai ke gerbang rumahnya.
Kedatangannya disambut Ibu dan adiknya dengan perasaan lega, senang, bercampur
kesal. []
Sore
harinya, Ganes disidang oleh Bapak dan Ibu. Anis ikut nimbrung. Ganes
menceritakan semua alasannya berangkat mendaki Gunung Lawu. Dengan seksama
kedua orang tuanya itu mendengarkan.
“Sungguh
Pak, Bu, Ganes cuma mau memenuhi janji itu. Ganes minta maaf gak cerita dulu.
Takut Bapak ama Ibu gak percaya, terus pastinya gak ngijinin Ganes pegi.
Sekarang, Ganes siap menerima hukuman dari Bapak dan Ibu.” Ucap Ganes perlahan
seraya menundukkan kepala. Berkali-kali Bapak dan Ibu menghela nafas.
“Baiklah,
kami percaya. Tapi kami harap ini tindakan yang pertama sekaligus yang terakhir
buat kamu. Kalau ada apa-apa, mesti bicarakannya dulu. Ajak kami diskusi dulu.
Jangan memutuskan sendiri. Ngerti, kamu?”
“Iya,
Pak, Ibu. Maapin Ganes...” Plooong! Ganes lega. Ia mencium tangan kedua orang
tuanya itu.
“Jadi—Ganes
gak jadi dihukum?” tanyanya hati-hati.
“Ada,
dong! Enak aja! Ada kan, Pak, Bu?” Sela Anis penuh semagat. Merasa tak rela
kali,ye! Ganes mendelik ke arahnya.
“Ada.
Dua hukman!” Jawab Ibu pelan. Syuuut... Ganes mendadak lesu.
“Pertama,
rumput di taman depan dan kebun belakang harus kamu bersihkan. Kedua, urusan di
sekolah harus kamu selesaikan sendiri!” Kata Ibu menjelaskan. Ganes mengangguk
lega, kemudian memeluk Ibunya.
“Idih,
manjaan—norak, ih!” Ledek Anis risih melihatnya.
“Biarin!
Eh, Nis, Gue bawa oleh-oleh, mau?”
“Bener?
Buat Anis, beneran?” tanya Anis ragu.
“Anu—batu
Gunung Lawu. Mau?” kata Ganes nyengir.
“Amit-amit,
deh! Kirain yang laen, dasaaar!” pekik Anis keki sambil menjewer telinga Ganes.
“Aduh!
Aduh! Ampun, Nis, ampuun!” pekik Ganes kesakitan. Bapak dan Ibu Cuma tertawa
mengeleng-gelengkan kepala, melihatnya tingkah kedua anaknya itu. [end]
[ganezh/10 Sept’1994]
No comments:
Post a Comment