foto from Google |
Mendaki gunung
itu memang menyenangkan, tapi kalau ”banyak yang mati” itu sangat menyedihkan. Demam
mendaki ramai lagi di kalangan anak muda sekarang. Entah sekedar ikut trend atau memang panggilan hati. Kini semua
orang bisa mendaki gunung, tapi [sayang] tak semuanya bisa pulang dengan
selamat.
Jangan jejali otak kita dengan pendapat subyektif orang yang ngawur tentang
sebuah gunung. Ingatlah! Mereka beruntung tapi belum tentu dengan kita. Mereka merasa gampang mendakinya, tapi belum tentu dengan kita. Sebab kita memang punya pengetahuan dan persiapan yang berbeda, sekaligus takdir masing-masing. Jangan termakan istilah,”gunung mudah, gunung wisata, gunung
pendek, anak kecil aja bisa mendakinya, dll” atau pendapat ngawur yang
memberikan penilaian sepihak.
Ingat! Gunung tetaplah gunung. Tak gampang untuk diklasifikasikan kelas berat atau kelas ringan. Soal grade itu relatif. Bukan pula soal ketinggian mdpl-nya. Tapi semua bergantung pada situasi dan kondisi cuaca yang dihadapi, serta skill dan stamina yang kita miliki saat itu. Ada pendaki yang begitu jago saat berada di 8.000-an, tapi kemudian malah tewas di gunung 5.000-an. Bahkan ada yang tewas saat mendaki ulang untuk yang kesekian kalinya. Jangan juga menjadi lebay mengaku jadi pendaki sejati yang [kalo bisa] milih mati di gunung. Pendaki gunung sejati itu [kalo bisa] kepingin hidup terus, agar bisa terus mendaki puncak-puncak gunung lainnya.
Ingat! Gunung tetaplah gunung. Tak gampang untuk diklasifikasikan kelas berat atau kelas ringan. Soal grade itu relatif. Bukan pula soal ketinggian mdpl-nya. Tapi semua bergantung pada situasi dan kondisi cuaca yang dihadapi, serta skill dan stamina yang kita miliki saat itu. Ada pendaki yang begitu jago saat berada di 8.000-an, tapi kemudian malah tewas di gunung 5.000-an. Bahkan ada yang tewas saat mendaki ulang untuk yang kesekian kalinya. Jangan juga menjadi lebay mengaku jadi pendaki sejati yang [kalo bisa] milih mati di gunung. Pendaki gunung sejati itu [kalo bisa] kepingin hidup terus, agar bisa terus mendaki puncak-puncak gunung lainnya.
Jangankan kita yang
masih [mohon maaf] jarang-jarang mendaki, apa lagi yang belum pernah, berani berangkat mendaki dengan persiapan ala kadar. Mendadak berangkat karena ajakan teman. Sebagai contoh kasus, mereka yang dikenal jago di gunung saja bisa mati. Sebut saja Norman Edwin, Didiek Samsu, mereka tewas di Aconcagua, 1992. Lalu pendaki legend
dunia, sebut saja George L. Mallory [tewas di Everest, 1924], Peter
Boardman [Everest, 1982], Jerzy Kukuczka [Lhotse, 1989], Wanda Rutkiewiecz [Khangchengjunga, 1992]. Mereka punya prestasi yang mengagumkan dan sudah
‘bulukan’ di angka 8000-an. Mereka dikenal punya perhitungan yang matang dan
berpengalaman. Tapi semuanya tewas di gunung? Tewas di arena biasa mereka
bermain dan lakoni. Apa lagi Jerzy yang sudah mengantungi ke-14 Gunung
Kematian.
Begitu
juga dengan tragedi Everest 1996, yang merenggut guide-guide berkelas dunia seperti Scott Fischer [USA] dan Rob Hall
[Selandia Baru]. Juga Anatoly Boukreev, asal Rusia, yang dianggap sebagai
pahlawan berjuluk the Ghost of Everest
yang berhasil menyelamatkan beberapa pendaki di peristiwa tragedi itu.
Anatoly ini adalah guide dan mentor
Indonesian Everest 1997, ia tewas tertimpa avalanche di Anapurnna I, 1997, saat mem-belay Simon Morro, Italia.
Human error
pasti selalu ada. Sebab sehebat apa pun manusia, tetap saja memiliki
keterbatasan. Kita semua tahu, di tempat ketinggian, terkadang otak sulit diajak berpikir waras. Terkadang mengajak kita bertindak di luar sadar,
malah konyol dan sembrono. Terkadang sulit untuk mengambil keputusan. Memutuskan
terus mendaki lebih gampang ketimbang memutuskan mundur dan kembali. Entah
memang ego ketololan atau memang pengaruh alasan klasik; sudah keluar biaya,
waktu dan tenaga. Atau memang sudah kena sindrom Ullysses atau Odysseus, tapi tetap tidak untuk mencintai
kematian [amor fati].
Jika dianalogikan mendaki gunung itu bagai belati dua sisi. Bisa
memberi pelajaran yang menguntungkan, sekaligus kerugian yang mematikan. Jika
kita tak mampu memajemennya. Sebab kita memang berada di antara bahaya subyek dan
obyek. Keduanya selalu mengintai bila kita tak memiliki persiapan yang baik. Padahal semua
itu masalah teknis yang bisa kita manajemen dengan ilmu. Baik pengetahuan,
mental-fisik dan peralatan. Jika semua telah dipersiapkan dengan baik, barulah
kita bicara soal nasib dan takdir.
Pahamilah,
di saat dengan sadar kita "menjerumuskan" diri untuk mendaki gunung, kita pun
harus sadar dengan segala resikonya. Pendaki mana pun, selalu berada di batas nuansa
antara cerah dan badai, berhasil dan gagal, selamat dan maut, jiwalah yang
dipertaruhkan. Tapi
pendaki yang mendaki gunung tetaplah bukan amor fati yang ingin mencari mati.
Jujur Pada Diri Sendiri
Sepatutnya kita
berhati-hati menginterprestasikan petualangan kita. Mari kita jujur pada diri
sendiri.
Sejujurnya kita harus bisa membedakan antara “tak punya” dengan “malas
bawa”. Sejujurnya kita harus bisa membedakan antara “demi gaya” dengan “kebutuhan”.
Sejujurnya kita
harus bisa membedakan antara “mengakui keterbatasan” dengan “gengsi”.
Sejujurnya kita harus bisa membedakan antara “tak tahu” dengan “malas belajar”.
Sejujurnya kita harus bisa membedakan antara “kehati-hatian” dengan
“ketakutan”. Sejujurnya kita harus bisa membedakan antara “perhitungan” dengan
“kecepatan”. Sejujurnya kita harus bisa membedakan antara “kenekatan” dengan
“keberanian”.
Sejujurnya kita harus bisa membedakan antara “kurang pengalaman”
dengan “sok tahu”. Sejujurnya kita harus bisa membedakan antara “tak mampu”
dengan “memaksakan diri”. Sejujurnya kita harus bisa membedakan antara “mendaki
gunung” dengan “bunuh diri”. Sejujurnya kita harus bisa membedakan antara
“takdir” dengan “mati konyol”.
Mari kita
belajar dari pengalaman kita dan orang lain. Agar kita bisa menggeluti dunia
pendakian dengan baik, benar dan aman. Agar kita bisa mengambil hikmah bagi
diri sendiri, bermanfaat bagi orang lain dan alam lingkungan sekitar. Berikut
cuplikan kisah beberapa dedengkot pendakian yang “harus” melepas kehidupannya
di gunung.
[dicuplik dari draft naskah Catatan Kembara Kecil/ Ganezh/2014]
[dicuplik dari draft naskah Catatan Kembara Kecil/ Ganezh/2014]
Jerzy
Kukuczka
Pendaki
Alpen dan Spesialis Himalaya dari Polandia 1948-1989
Ia adalah orang ke
dua—11 bulan setelah Reinhold Messner, Italia—yang berhasil mendaki ke-14
gunung 8.000-an meter. Ia menggenapkan 14th
Death Zone itu pada bulan September 1987. Prestasi Jerzy ‘Jurek’ Kukuczka,
masuk daftar utama di kebesaran Himalaya, dengan mengantungi prestasi dengan
sembilan rute baru di 8.000-ers;
Empat pendakian musim dingin; Satu kali melakukan traverse; Satu pendakian solo dan lima dengan Alpine-Style. Mendaki Cho Oyu, 8.201 m dari Muka Tenggara (1985).
Ia juga menjadi manusia pertama yang membuka rute baru—pada musim dingin—di
Himalaya. Rekan pendakinya, Piotrowsky meninggal ketika membuka sebuah rute
baru di K2, 8.611 m. Ia dikenal sebagai
pimpinan pendaki yang ramah, tabah dan berkemauan keras. Juga sebagai sosok
yang menentang kepercayaan kuno atau mitos. Ia tewas pada tahun 1989, di
ketinggian 27.923 kaki, ketika mencoba mendaki Muka Selatan Lhotse, 8.516 m.
Gunung yang dianggap sebagai ‘masalah besar’ dan paling diincar para pendaki
spesialis Himalaya pada waktu itu. Jerzy digelari Poland’s Man of the Year, setelah ia dan Messner mendapat medali Olympic sebagai penghargaan atas
prestasi pendakian mereka. Jerzy meninggalkan seorang isteri dan dua orang anak
di Warsawa.
Peter Boardman
Pendaki gunung dari Inggris 1950-1982
Peter lahir tahun
1950. Dia selalu menghargai kepercayaan setempat (mitos) di mana pun ia
mendaki. Saat mendaki puncak Ghauri Sankar, yang dianggap suci oleh penduduk
sekitarnya. Mendaki melalui Rute Barat yang perawan. Uniknya, ia pernah
berhenti selangkah dari Puncak Khangchenjunga, 8.586 m, yang dipanjatinya lewat
rute perawan Punggung Utara, tanpa bantuan tabung Oksigen! Puncak itu rela tak
disentuhnya, demi menghormati kepercayaan masyarakat sherpa.
Peter Boardman adalah
pemegang rekor terbanyak untuk pendakian yang punya lintasan sulit dan perawan.
Ia orang Inggris pertama yang merintis lima lintasan Alpen. Juga yang membuka
lintasan Dinding Utara Kohi Khaaik dan Kohi Mondi di kawasan Hindu Kush. Lantas
ia menjelajah ke gunung-gunung Polish High Tratas, Afrika Timur, Kaukasus dan
Alaska. Lulusan Sastra Inggris, Universitas Nothingham ini, mencapai Everest
pada tahun 1975. Melalui Dinding Barat Daya yang sulit.
Pada tahun 1982, ia
sempat bergabung dengan Chris Boningthon menyusuri punggungan Timur Everest.
Saat ia berpasangan dengan dengan Joe Tasker, ia di serang badai salju di Sisi
Timur Laut Everest dan sejak saat itu juga, keduanya tak pernah terlihat lagi,
seolah ditelan oleh salju Himalaya. Ia meninggalkan seorang isteri, Hillary
Collins dan sejumlah buku serta rintisan pendakian yang selalu dikenang
sepanjang masa.
Wanda
Rutkiewicz
Pendaki
Wanita dari Polandia …-1992
Pendaki wanita asal
Polandia ini menjadi wanita barat pertama yang berhasil mendaki Puncak Everest
pada tahun 1978. Di urutan ke tiga setelah Junko Tabei dan dua pendaki wanita
RRC, Phantog dan Gui
San. Selain Jago mendaki Wanda juga mahir dalam pembuatan film
dokumenter pendakian. Ia telah membikin film dokumenter tentang Cerro Torre,
3.426 m (1988) dan Dinding Selatan Aconcagua, 6.950 m (1985), Amerika Selatan.
Shisha Pangma, 8.046 m, Cina dan pada 23
Juli 1986, menjadi wania pertama di dunia yang mencapai Puncak Karakoram 2
(K2), 8.611m, Pakistan,
gunung tertinggi kedua di dunia. Gunung di atas 8000-an meter
yang pernah didakinya adalah:
- Everest,
8.848 m, Himalaya, Nepal.
- K2
(Chogari), 8.611 m, Pakistan.
- Shisha
Pangma, 8.046 m, Tibet
(1987).
- Nanga
Parbat, 8.125 m, Pakistan
(1986).
- Khangchengjunga,
8.586 m, India-Nepal.
- Makalu, 8.463 m, Nepal-Tibet
(1990).
- Gasherbrum II, 8.035 m.
Pakistan-Cina.
Mendaki Gasherbrum III, 7.952 m, di perbatasan
Pakistan dan Cina. Ia juga mendaki Mattherhorn, 4.478 m,
Swiss. Pada tahun 1979, Ia mendaki Timur Grand Capucin dan Dinding Barat Petit
Dru, Perancis. Dia
menjadi orang ke tiga yang berhasil mendaki Nanga Parbat dengan menggunakan taktik Alpine, tanpa pos perantara.
Menjadi orang yang pertama mendaki K2 dengan taktik Alpine, tanpa tabung oksigen dan tanpa porter (high altitude porter).
Selama
kiprahnya di dunia pendakian—lebih kurang 30 tahunan—Wanda telah kehilangan
lebih dari 30 orang rekan pendaki. Di antaranya, rekan senegaranya Jerzy
Kukuczka yang ’mampu’ menyamai rekor Reinhold Messner, yang telah mendaki 14th Dead Zone 8.000 meter ke
atas, tragisnya Jerzy tewas di Lhotse, 8.516 m di perbatasan Nepal-Tibet
(1989). Dalam 16 minggu pendakiannya ke Puncak K2, ada 13 pendaki yang tewas.
Di antaranya adalah sahabat dekatnya dari Polandia juga—sekaligus pasangan
suami isteri pendaki—Dobroslawa Miodowicz Wolf dan Wojtek Wroz.
Akhirnya, Wanda
Rutkiewicz menutup karir pendakiannya—usia 49 tahun—ketika mendaki Khangchengjunga, 8.586 m,
Himalaya, Nepal, pada Mei
1992. Terakhir
seorang pendaki asal Mexico, Carlos Carsolio, bertemu dengan Wanda yang ketika
itu berada di ketinggian 250 meter dari puncak. Di sanalah ia terakhir dilihat
dan sejak itu juga Wanda dinyatakan hilang ketika menjelang puncak
Khangchengjunga.
Alex Lowe (...-1999)
Pendaki dari Amerika Serikat
Pendaki asal Salt Lake City,
Amerika Serikat, mampu mencapai puncak Aconcagua tiga kali dalam seminggu.
Sehingga dijuluki el pullmon con plernas
(si paru-paru berkaki). Gunung tertinggi di Benua Amerika Selatan itu pernah
didakinya secara solo. Pertama lewat sebuah jalur baru dekat puncak kecil Ameghino (6.650 m) dalam waktu sehari. Lalu
dari basecamp (4.500 m) pulang-pergi.
Pada ketinggian 5.300 m Alex mendirikan camp
I, lalu meninggalkan perbekalan. Esoknya beberapa pendaki yang menjadi kliennya
akan menyangkut perbekalan ke camp I
dan turun kembali. Alex akan naik terus hingga mendirikan camp II (6.300 m). Hari ketiga, setelah menyimpan semua barang di camp I, pendaki-pendaki itu dipandunya
mengangsur perbekalan ke camp II lalu
kembali ke camp I (total 11 jam naik
turun). Empat hari kemudian Alex bersama seorang pendaki kliennya mendaki lewat
lintasan Polish Glacier Direct sampai ke puncak dan kembali lagi ke camp II. Lusanya Alex kembali lagi, kali
ini membawa dua orang klien lagi.
Lebih dari sepuluh tahun Alex
adalah anggota kehormatan the North Face.
Dua hal yang dicintai dalam hidupnya, menurut dia, adalah keluarga dan
gunung-gunung menjulang. Isterinya bernama Jennifer dan ketiga anaknya, Max,
Sam dan Isaac. Mereka tinggal di Bozeman, Montana.
Tanggal 5 Oktober 1999, di
ketinggian sekitar 8.700 m, terjadi avalanche
di Gunung Shishapangma, 8.046 m (Tibet), merenggut nyawa Alex Lowe dan David
Bridges, fotografernya. Peristiwa duka itu menggemparkan kalangan pemanjat dan
pendaki gunung. Semua merasa kehilangan sosok pemanjat yang berbakat dan
berprestasi. Sifatnya sederhana, rendah hati dan penuh rasa persahabatan. Namun
sosok itu akan tetap tumbuh dalam hati orang-orang yang mencintai dan
mengenalnya.
[dibocorin dari draft naskah Catatan Kembara Kecil/ Ganezh/2014]
[dibocorin dari draft naskah Catatan Kembara Kecil/ Ganezh/2014]
Saya juga hobi mendaki, salam kenal
ReplyDeleteSalam kenal juga Said, slm pendaki, slm lestari :)
ReplyDeletemau share blognya yaaa...tengkiuuu
ReplyDeleteBoleh, thanks you... :)
Deletebagus2 tulisanya bang didiek :)
ReplyDeleteThank ya 😄
ReplyDeletesaya share ya..bagus
ReplyDeleteijin share di blog saya bos
ReplyDeletehalo bro, sampai ketemu di manalah nanti, hehehe ...
ReplyDelete