Api! Gue mesti bikin api SOS secepatnya! Siapa tahu helikopter itu akan
melihatnya. Dia juga membakar topi serta ranting-ranting kering, lalu meniupnya
dengan tergesa-gesa. Nah, apinya mulai gede! Ia juga memasukkan ranting-ranting
pohon yang cukup besar. Api makin berkobar, suhu di situ jadi lebih hangat.
Terkahir ia memasukkan dedaunan basah ke dalam kobaran api. Seketika muncul asap
putih kekuningan yang tebal, bergumpal dan bergulung-gulung. Ganes
menjerit lantang. Setangah hiteris, juga panik. Idaaang!Toloooong! Suara jeritannya dipantulkan oleh bukit dan
lembah Gunung Gede.[]
“Syukurlah, heli tim
SARNAS udah dioperasikan!” kata Heru dan wajah berbinar. Wajah-wajah mereka
makin derah. Mereka masih menyelusuri patahan-patahan ranting itu. Tiba-tiba HT
yang tergantung di pinggang Heru berbunyi. OSC Badak memberitahukan bahwa
korban Reza telah ditemukan oleh SRU 5. Reza ditemukan dalam keadaan meninggal
dunia. Antara sedih dan gembira mereka mendengarnya. Saat melanjutkan
pergerakan kembali. Tiba-tiba Anto yang berada di depan berteriak.
“Tanda-tanda putus!
Berhenti di depan jurang semak ini!” serunya. Yang lain melongo mendengarnya.
Untuk memastikan, mereka menyebar di area situ. Memang benar tanda-tanda
jejak itu habis sampai di situ.
“Jangan-jangan—ia jatuh
ke jurang itu, Bang?” celetuk Luki cemas. Mereka jadi terdiam. Heru meneliti
keadaan jurang semak. Memeriksanya lebih seksama. Memang ada beberapa ranting
yang patah, dahan perdu yang bengkok, serta dedauanan yang terbalik-balik.
“Benar, ada seseorang
yang jatuh di sini!” Ucap Heru dengan wajah lesu bercampur cemas. Mereka
makin bungkam mendengar perkataan Heru tadi. Sesaat mereka berunding untuk memutuskan, menuruni jurang
itu atau melipir mencari lintasan lain. Heh?!
Spontan mereka mendongkan kepala. Sambil menajamkan indera pendengaran. Sayup-sayup
terdengar suara teriakan. Cukup jauh, halus nyaris tak terdengar.
“Ganes!” Pekik Idang, Boby,
Luki dan Jajang berbarengan.
“Bang, itu suara Ganes,
Bang!” seru Idang panik. Heru berusaha menenangkannya.
“Her, itu asap atau
kabut?!” Pekik Anto sambil menujukan ke arah benda putih yang membubung tinggi. Sehadap
jurang semak. Serentak semua menoleh ke sana.
“Asep, To! Warnanya kekuningan,
dan tersembur dari bawah!” jawab Heru cerah. Lagi pula saat itu langit sangat cerah. Hembusan angin
pun nyaris tak ada. Dengan sigap mereka menuruninya jurang semak. Menuju ke sumber asap
yang makin jelas. Idang dan kawannya bergegas melangkah mengikuti Heru yang
berada paling depan. Mereka berteriak-teriak memanggili Ganes. []
“Rin—sadarlah. Jangan
mati... Bertahanlah! Mereka pasti datang!” Ganes menepuk-nepuk pipi, mendekap,
hingga mengucang-guncang tubuh Rina. Perlahan Rina membuka matanya. Lalu berusaha berkata.
“Nes...” Ganes
kaget dan memeluknya erat.
“Rin, bertahanlah.
Mereka pasti ngejemput kita. Jangan mati, Rin! Kuatlah...” Bisiknya ke telinga
Rina dengan suara parau. Di sudut matanya menyembul titik air yang berusaha ditahannya sejak tadi. Hatinya campur aduk tak karuan.
“Jangan nangis, Nes. Gue
akan bertahan. Elo jangan sedih...” jawab Rina pelan. Mendengar itu Ganes
mendekapnya makin erat. Air matanya mulai membasah di pipinya. Tiba-tiba Ganes
tersentak. Ia mendengar ada teriakan-teriakan yang memanggil namanya. Ya, Tuhan,
jangan beri gue ilusi itu lagi. Jangan terulang lagi! Tepisnya. Ia tak mau halusinasi itu muncul lagi. Baik suara-suara seperti suara heli, atau suara-suara minta tolong saat ia pertama
kali tersesat.
“Nes, ssus-suara itu...”
Mendengar perkataan Rina, dia jadi terkejut.
“Elo dengar juga?”
tanyanya tak percaya. Suara memanggil-manggil itu terdengar kembali. Makin
jelas dan dekat.
“Idaaaaang!” pekik Ganes
dengan sisa-sisa suaranya. Suara-suara itu menyahutinya.
“Rin, itu mereka! Mereka
datang! Mereka menemukan kita!” ucapnya dengan bibir bergetar. Hati kecil Ganes
bersyukur bahwa Tuhan telah menyelamatkan mereka.
“Itu Ganes! Lho?! Dengan
siapa??!” pekik idang bersemangat bercampur heran. Mereka menemukan Ganes sedang memangku, setengah memeluk tubuh seorang gadis. Dengan sigap orang-orang itu memapah Rina. Memberinya makanan berprotein dan karbohidrat. Mengganti jaket
Rina dan memasukkannya ke dalam sleeping
bag. Tim Bhuanapala, bergantian memeluk Ganes. Dengan rasa haru dan bahagia. Bahkan
mereka menangis. Mereka mengganti pakaian Ganes yang lembab. Selanjutnya,
orang-orang itu mendirikan tiga tenda.
Heru melapor pada OSC
Badak. Memberitahukan telah berhasil menemukan Ganes, lagi bersama korban yang
bernama Rina. Mereka juga mengiformasikan kordinat posisi mereka. Setelah
keadaan tenang, Ganes menceritakan semua kejadian yang dialaminya itu. Dari dia
bermimpi, mendengar suara rintihan, hingga kesasar dan bertemu
Rina. Juga tentang benda berwarna merah yang ada di dalam jurang bleng itu.
“Jadi elo ketemu Denisa
juga?” tanya Anto melotot tak percaya.
“Gue nggak tahu pasti,
Bang. Di jurang itu, tampak benda berwarna merah, itu aja. Entah itu jaket, entah ransel atau apa?” jelas Ganes dengan muka serius.
“Kira-kira lo sanggup nganterin
ke sana nggak?” tanya Heru.
“Sanggup, Bang! Nggak jauh
dari sini.” Tanpa berpikir lama mereka segera mempersiapkan peralatan rapelling. Tedy dan Luki tetap berjaga-jaga di base camp. Sementara Heru, Anto, Idang,
Jajang dan Bobby bergerak mengikuti Ganes menuju jurang batu. Jejak
patahan ranting dan jejak sepatu Ganes tadi masih cukup jelas.
“Hati-hati Bang, itu
jurangnya!” kata Ganes memberitahukan.
“Ya, Tuhan, jurang ini emang berbahaya. Apa lagi kalo ada kabut tebal!” seru Anto bergidik ngeri.
“Itu, Bang! Titik merah
itu!” seru Ganes menujuknya. Mereka melihat dengan menggunakan teropong medan. Heru dan Anto mulai menyiapkan peralatan rapelling.
“Dang, Jang, lo berdua
bikin tandu darurat! Ganes, lo hubungi Badak. Laporkan kordinat posisi kita.
Tapi jangan dulu melapor kalo kita udah nemuin korban. Karena harus dipastiin dulu. Tunggu tanda dari gue!”
Jelas Heru pada mereka. Dengan sigap, Anto memasang anchor ke celah cadas dan batang pohon. Heru membuka gulungan kernmantle mengikatnya ke anchor, lalu melemparkannya ke mulut jurang.
Tali itu melayang menuju dasar jurang. Ada dua lintasan tali yang mereka bikin.
Usai itu, Anto dan Heru memakai harnest,
memasang figure of eight, dan carabiner. Mereka berdua mulai menuruni
jurang.
Tak sampai lima menit, keduanya sudah sampai di dasar jurang. Dan, titik merah itu memang
jasad seorang wanita. Itu korban Denisa. Gadis malang itu meninggal dengan keadaan yang sangat menyedihkan. Kepalanya
rengkah dan ada beberapa bagian tubuh yang patah. Darah yang telah beku membanjir
di mana-mana. Mereka terpana sesaat, baru tersentak sadar setelah mendengar teriakan
Ganes dari atas.
“Gimana, Bang?!” Anto
mendongak ke atas sambil menujukkan jempolnya ke bawa. Tanda untuk menyatakan ia sudah
meninggal. Tubuh Denisa dimasukkan ke dalam kantung mayat. Lalu Heru berteriak.
“Ulurkan tandunya!
Ganes, hubungi badak!” Ganes mengangguk. Lalu Idang, Boby, dan Jajang dengan carabiner mereka mengaitkan tandu ke pulley yang dipasang ke tali yang dipakai Heru untuk turun tadi. Anto dan Heru menarik tali itu agar lebih kencang. Tandu
mulai diluncurkan turun ke bawah. Sesekali mereka menyentakkan tali, ketika
tandu itu tersangkut. Setelah tandunya sampai. kantung mayat berisi jasad Denisa itu diikatkan
ke tandu dengan webbing. Anto
memasang kembali carabiner harnest. Ia bertugas mengiringi tandu ke atas. Agar tandu tak menyangkut di akar pohon atau bebatuan.
“Tariiik!!” pekik Heru
lantang. Perlahan tandu itu mulai terangkat naik. Ganes, Idang, Bobby, dan
Jajang mengerahkan seluruh tenaga untuk menariknya ke atas. Sedangkan Anto terus
mengiringi tandu dengan bantuan jumar.
Ia bergelantungan bersisian dengan tandu. Ketika tandu sampai ke atas.
Heru mulai melakukan jumaring ke
atas. Evakuasi korban Denisa dari jurang itu berjalan cukup lancar walau pun sangat
melelahkan.
Baru saja usai mengemasi
peralatan-peralatan rappeling, cuaca
berubah gelap. Awan hitam menyelimuti langit, serta menjatuhkan titik-titik air hujan sedingin salju. Angin pun mulai menampakkan keganasanya. Byuurr! Hujan
deras serasa tertumpah dari langit. Sesekali petir menggelegar dahsyat. Mereka
bergegas kembali ke base camp. Ada berita buruk dari OSC Badak. Mengabarkan bahwa helikopter yang hendak dikirim tak bisa
dioperasikan, karena adanya badai itu. Mereka diperintahkan menunggu badai reda.
Namun jika badai itu berlangsung hingga sore. Mereka dianjurkan bermalam di sana. Dengan diketemukannya korban terakhir, maka operasi SAR Gunung Gede dihentikan.
Seluruh SRU yang diterjunkan ditarik mundur kembali.[]
Menjelang malam, keadaan cuaca kembali
tenang. Badai tadi sore telah berhenti. Ganes beranjak memasuki tenda yang
ditempati Rina. Ganes membawakannya makanan.
“Hai...” Sapa Ganes
pelan. Rina tersenyum manis. Gila! Kenapa
baru sekarang gue kepikir kalo senyumnya begitu manis! Gumamnya dalam hati.
“Sekarang elo harus
banyak makan. Biar makin sehat. Coba lihat menu ini. Ada nasi, kornet tumis,
abon, ada mi-nya juga. Minumnya pun coklat susu asli. Bukan coklat rebus. Mumpung masih anget,
lo habisin, ya?!” Terang Ganes penuh semangat. Ia tak sadar ketika ia menyebutkan
nasi dan lauk pauknya itu, Rina memperhatikannya. Akhirnya Ganes jadi jengah sendiri
dipandangi begitu.
“Kok, malah bengong? Makan, gih!” Rina masih diam, terus menatapnya, Tap! Tangan Ganes
digenggamnya erat, Ganes terkejut.
“Nes... Gue nggak tahu harus
ngomong apa lagi. Elo baik banget. Entah gimana nasib gue kalo nggak ketemu elo,
Nes. Benar kata mereka, elo emang dewa penolong gue...” ucap Rina pelan. Ganes
hanya diam mendengarkan.
“Gue juga udah tahu,
kalo, kalo Denisa, Reza udah pergi. Bang Heru udah cerita banyak. Gue nggak tahu
harus ngapain lagi, mau nangis rasanya air mata gue udah habis.” ucapnya
lirih dengan wajahnya tertunduk sedih. Ganes menghela napas. Lalu balas menggengam
erat tangan Rina.
“Udah... Kita harus
rela dan berdoa buat mereka. Semoga mereka mendapat ridho-Nya. Eh, ya,
sekarang makan dulu. Kalo dingin, nggak enak!” Ucap Ganes sambil membantunya
duduk.
“Gue suapin atau makan
sendiri?”
“Makan sendiri aja.”
Jawab Rina. Ia mulai memasukkan makanan itu ke mulutnya. Tapi baru beberapa suap ia
malah tertawa sendiri. Ganes sedikit bingung.
“Kenapa ketawa sendiri?”
“Nggak. Cuma inget menu kita
kemarin.” Sahutnya tersenyum.
“Oh, itu namanya menu survival!”
“Elo banyak tahu, ya.
Jujur aja, gue ngeri memakannya. Takut keracunan!” ujarnya polos sambil
tersenyum. Ganes tertawa meringis. Lumayan, Rina nyaris
menghabiskan makanannya. Setelah membantu Rina minum. Ganes malah memakan sisa
Rina tadi. Gadis itu tersenyum manis menatapnya. Usai makan malam Ganes menyuruhnya istirahat. Ia merapikan sleeping bag
yang dikenakan Rina. Tapi ketika hendak ke luar tenda, Rina memanggilnya. Ia memintanya agar
Ganes tidur di tendanya. Ia tak mau tidur sendirian di tenda. Ganes mengangguk lalu ke
luar tenda.
“Gimana?” tanya Heru saat
melihat Ganes ke luar tenda.
“Makannya lumayan banyak,
Bang. Tapi sisanya gue yang habisin, hihih...” jawabnya meringis. Dasar Gokil!
“Good job, Nes! Semoga kondisinya makin membaik. Entar lo tidur di
tenda dia aja. Jangan biarkan sendirian. Awasi terus gerak-geriknya. Kita juga
belum tahu kondisi sebenarnya. Karena seharusnya ia udah ditangani medis yang
sesungguhnya. Cuma cuaca ini menghambat jemputan kita!” Kata Tedy sambil menepuk bahu Ganes. Mereka duduk mengelilingi
api unggun. Berkali-kali Ganes minta maaf dengan pada mereka. Karena sudah
bertindak konyol sampai memisahkan diri. Tapi mereka bisa memakluminya.
“Nggak apa-apa, kalo lo
nggak konyol dan nyasar, elo nggak akan ketemu Rina. Itu
hikmah dari kekonyolan lo juga, kan?!” Ujar Heru tertawa. Diringi tawa
yang lain. Ganes meringis sambil garuk-garuk kepala.
“Elo juga jadi ngetop, Nes. Jadi buah bibir di posko Badak, bahkan di seluruh tim SAR. Masuk media pemberitaan, lagi!” tambah Anto.
“Waduh... kalo itu bukan
berita bagus, Bang!” Ganes terlihat cemas. Mereka merasa heran mendengar
jawabannya barusan.
“Lho, bukannaya lo merasa
bangga?” tanya Tedy bingung.
“Karena orang tua
gue bakal tahu." jawab Ganes lirih.
“Lho? Kecewa kenapa?” tanya
Luki. Lalu Ganes menceritakan semuanya.
"Kalo mereka tahu gue nyasar. Jangan-jangan mereka akan ngelarang gue naik gunung lagi...” Ucap Ganes menutup ceritanya. Mendengar itu Heru mendekat sambil memegang bahunya.
"Kalo mereka tahu gue nyasar. Jangan-jangan mereka akan ngelarang gue naik gunung lagi...” Ucap Ganes menutup ceritanya. Mendengar itu Heru mendekat sambil memegang bahunya.
“Tentang itu, elo tenang
aja, Nes. Abang jamin mereka nggak bakal marah. Atau ngelarang lo naik gunung. Sekarangkan, elo bukan sekedar mendaki Gunung, tapi
ikut operasi SAR. Buat nyari orang hilang. Bukankah itu tugas mulia? Dan itu emang udah jadi tugas kita. Jangan cuma doyan mendaki gunung, aja! Tapi begitu
dibutuhin bantuan pada nggak muncul. Pokoknya elo nggak usah khawatir, mereka
pasti bangga punya anak seperti elo, Nes!” ujar Heru berusaha melagakan hatinya. Idang
mengangguk setuju.
“Benar, Nes. Sebentar
lagi elo bakal diuber-uber ama produser film. Sebab kisah yang elo alami ini
kan unik. Tim SAR yang di-SAR. Hehehe. Resmi masuk DPO, tapi di akhir cerita
elo muncul bagai dewa penolong. Menyelamatkan satu nyawa, serta menemukan korban
lainnya. Gimana, nggak menarik?” Kata Idang meringis tersenyum.
“Betul, Dang. Tapi Nes, jangan lupa ajak kami sebagai figurannya, ya?” timpal Heru bercanda. Kata-kata kedua
orang itu diiringi tawa oleh yang lain. Lagi-lagi Ganes nyengir sambil menggaruk-garuk
kepalanya yang tidak gatal.
Keesokan harinya, mereka
dijemput dengan dua helikopter SARNAS. Sebelumnya Ganes sempat shock berat ketika melihat wajah Denisa,
karena wajah gadis itu memang mirip dengan sosok gadis yang muncul di mimpinya tempo
hari. Tapi yang lain bisa menentramkan hatinya. Rina langsung dibawa ke rumah
sakit untuk perawatan selanjutnya. Ia disambut keluarganya dengan suka cita yang
mendalam. Setelah mendapat kabar dari Om Handri, Bapak dan Ibu menyusul Ganes ke
Bandung. Mereka mendapat kabar terakhir dari posko Badak, bahwa Ganes selamat,
bahkan tampil sebagai penyelamat. Mereka sangat haru dan berbahagia mendengarnya. Ternyata benar apa yang di katakan Heru kemarin.[]
Liburan Ganes di Bandung bertambah satu minggu lagi. Keluarganya meminta perpanjangan dari sekolah. Mereka hendak menjemput Ganes dan Anis di Bandung. Sekalian menghadiri keluarga Rina akan mengadakan syukuran besar. Tim SAR kemarin juga diundang mereka. Meski tak semuanya bisa
datang. Ketika acara selamatan itu hendak berakhir, Jaka, sepupu Rina,
menghampirin Ganes yang lagi asyik ngobrol dengan teman-temannya dari Bhuanapala.
“Nes, elo dicariin
Rina,”Jaka berbisik ke Ganes.
“Di mana, Bang?”
“Tuh, di taman!”
Ganes berpamitan sebentar
pada yang lain. Mereka malah meledeknya habis-habisan, Ganes nyengir meninggalkan mereka yang masih tertawa-tawa. Di taman itu tampak sedang Rina
duduk di kursi. Tampak anggun dan cantik sekali. Ganes menyapanya
lembut.
“Heh! Ngelamun!” Rina kaget lalu tersenyum manis. Ganes duduk di sebelahnya.
“Suasana begini, kenapa
elo malah nyepi di sini?”
“Kan acara intinya udah.
Lagian ada yang mau gue omongin...”
“Oh ya, ngomongin apa?”
Rina tak langsung menjawab. Suasana hening sesaat.
“Nes...” panggilnya
lirih.
“Ya?” Ganes jadi kikuk
dibuatnya.
“Kapan lo ninggalin
Bandung?”
“Ya—kalo nggak besok, ya,
lusa!”
“Secepat itu?” Dahi Rina
berkerut.
“Cepat? Gue kan udah
nyolong liburan! Gua kudu sekolah, kan?” jawab Ganes tertawa.
“Nggg—ntar kalo udah
pulang, elo bakal lupain gue nggak?”
“Lupa? Nggak, dong! Elo
kan teman gue dalam suka dukanya survival.
Teman sama-sama nyasar!” Usai mengatakan itu Ganes tertawa nyengir.
“Cuma itu?” Rina menatap
dengan pandangan lembut. Kemudian wajahnya tertunduk sambil memainkan jemari
tangannya. Ganes sedikit bingung.
“Lho, emang mau apa
lagi?”
“Nggak ada yang lain?”
tanya Rina lagi sambil menatapnya.
“Yang lain? Apanya, ya?” Ganes
tertawa. Lalu mengucek-ngucek rambut Rina.
“Terus terang aja, Nes.
Rasanya, gue nggak mau kalo lo balik ke Palembang. Takut lo lupain...” kata Rina
lirih. Ganes merangkul pundaknya sambil berkata lembut.
“Heh! Denger, ya. Gue
nggak bakal ngelupain elo, oke? Jangan pasang muka sedih gitu dong!” Ucap Ganes
tersenyum. Ia terkejut, tiba-tiba Rina berbalik. Memeluknya erat. Tiba-tiba Rina menangis, cukup lama. Ganes makin kikuk dan serba salah. Ia terdiam. Rina melepas pelukannya dan berusaha tersenyum.
“Nes... gue mo nanya, mm—waktu
mau nyadarin gue...?” kalimat gadis itu terputus. Ganes menatapnya kikuk. Cewek itu emang susah ditebak apa maunya.
Gumam Ganes.
“Iya?” Potong Ganes agak
bingung.
“Waktu mau... nyadarin
gue, lo CPR-in gue nggak?”
“CPR?” Astaga! Ganes
kaget. Mukanya terasa memerah. Merasa jengah dan malu.
“Duh, maap ya, Rin. Gue
panik dan bingung. Gue nggak sengaj—”
“Ssstt... Nggak apa-apa,
gua nggak marah.” Potong Rina seraya menatapnya. Mendadak ide gokilnya muncul.
“Sumpah, nggak marah?”
Rina mengangguk malah dengan senyum mengembang
“Kalo gitu mau lagi?” Ledeknya
sambil tertawa.
“Ih, awas aja, ya?!”
Rina memukul bahu Ganes yang tertawa cengengesan. Gadis itu juga mencubiti
perut Ganes. Ganes menggelijang kegelian. Lalu keduanya tertawa-tawa. Lusanya Ganes sekeluarga meninggalkan Kota Kembang, Bandung. Diantar Rina dan teman-teman Bhuanapala.
Pulang cerita baru untuk diceritakan ke teman-temannya di Wanacala. Sementara mereka juga sudah tak sabar menanti kedatangan sahabat
mereka yang Gokil, sekaligus tersayang. [End/ Ganezh/ Maret 1997]
keren bang! keren banget pake kuadrat... ngga deh. pake kubik pangkat tiga kerennya
ReplyDeleteMakasih Rahma, thanks udh baca :)
DeleteDua jempol buat lu...keren
ReplyDeleteMakasih bro Ridwan, udh baca :) Slm lestari...
DeleteSebelumnya salam kenal bro,keren euy ceritanya,ngga bosen bacanya,learning pointnya dapet bgt,,salam lestari
ReplyDeleteSalam kenal jg Yudi... Salam Lestari :)
Delete