Indonesian Everest Team 1997 |
Kekecewaan Boukreev
Saat
evaluasi, ternyata Boukreev sempat kecewa dengan Apa yang menganjurkan Boukreev
terus mendaki sampai puncak dan melihat keadaan. Boukreev menyanggupi, tapi
ketika ia menanyakan tali, Apa menjawab, bahwa mereka tak mempunyai tali lagi.
“Saya kecewa dengannya. Bagaimana mungkin
di ketinggian ini, saya harus mencari tali bekas yang terkubur dibawah salju,
untuk kemudian disambung-sambung lagi sebagai tali pengaman utk tim ini. Di
sini salju sangat tebal, membuat bahaya yang tak terlihat bisa muncul di mana
saja. Apa mengaku, dia menggunakan tali terakhir yang panjangnya 100 meter
sebagai pengaman rute yang sebenarnya tak perlu diamankan. Saya tak bisa mengerti
dengan tindakannya ini.” Ungkap Boukreev. Apa merasa bersalah, lalu menawarkan
diri untuk turun dan mengambil tali. Yang jadi masalah selanjutnya adalah masalah
waktu yang berjalan terus, mereka harus terus mendaki atau turun. Apa benar-benar
merasa bersalah. Karena kelalaiannya, ekspedisi itu terancam gagal. Apa berusaha
keras memperbaikinya. Ia pergi ke depan dan mengamankan rute dengan sisa tali
terakhir panjangnya tak lebih dari 40 meter. Tali tua, bekas tali
ekspedisi-ekspedisi terdahulu. Selama prose situ Boukreev dan tim beristirahat
sejanak untuk memulihkan tenaga.
Mereka Harus Turun!
“Misirin berjalan maju, perlahan tanpa
pertolongan. Asmujiono bergerak mantap, tapi seperti orang yang sedang
bermeditasi. Iwan berjalan pelan, bisa dilihat mentalnya masih kuat, namun kemampuan
koordinasinya telah berkurang.
Tampaknya sosok Misirin yang paling mantap, oleh karena itu kami memberinya kesempatan sebagai orang yang pertama mencapai puncak. Tekad dari ketiga orang ini tak terpecahkan, kesempatan mencapai puncak, tak mau mereka sia-siakan.” Ungkap Boukreev tentang ketiga pendaki Kopassus itu.
Tampaknya sosok Misirin yang paling mantap, oleh karena itu kami memberinya kesempatan sebagai orang yang pertama mencapai puncak. Tekad dari ketiga orang ini tak terpecahkan, kesempatan mencapai puncak, tak mau mereka sia-siakan.” Ungkap Boukreev tentang ketiga pendaki Kopassus itu.
Melihat
semangat ketiga orang itu, diam-diam batin Boukreev bertanya, “Apa artinya semua ini, bagi orang Indonesia?
Bahkan sebagai seorang atlet pendaki,
saya tak akan mempertaruhkan nyawa, hanya sekedar untuk sampai ke puncak. Tapi
serdadu ini punya prinsip luar biasa. Mereka rela mempertaruhkan nyawa mereka
untuk keberhasilan ekspedisi ini.”
Saat
Iwan Setiawan berjuang melintasi punggungan, Boukreev terus mengamati fase ini
dengan cermat. Mereka terus mendaki perlahan. Setiba di kaki Hillary Step, Boukreev
menemukan jasad Bruce Harrods—salah satu korban tragedi Everest 1996—anggota Johannesburg Sunday Times Expedition,
Afrika Selatan. Tergeletak dengan tubuh terlilit tali. Crampoon sepatu esnya dalam
posisi hendak naik. Wajah pendaki malang
itu sudah tak bisa dikenal lagi.
“Cuaca di sini memang berat, saya mengenali
dia dari jaket biru bulu angsa yang dipakainya. Saya dan semua di tim sangat
menyesal karena tak bisa berbuat banyak dengan jasadnya, karena keadaan yang
tak memungkinkan, saya menaruh respect pada mendiang. Tapi tugas utama saat ini
adalah menjaga “lampu kehidupan” orang-orang Indonesia yang mulai berkedip-kedip.
Situasi yang kami hadapi juga tak kalah berbahaya.”
Boukreev
mulai mengkhawatirkan persediaan tenaga para pendaki Indonesia. Karena mereka juga butuh
tenaga saat turun nanti. Meski puncak hanya tinggal kurang lebih 100 meter
lagi. “Demi keselamatan, saya berkata
pada Iwan dan Asmujiono. Menasehati mereka agar berbalik, dan turun. Sekali
lagi mereka menolak mentah-mentah!” Tak ada pilihan lain, mereka semua
terus naik menuju puncak. Boukreev menyusul ke depan sampai 30 meter dari
puncak. Di sana,
Boukreev menemui Apa dan Darwa. Mendiskusikan kondisi keadaan Iwan dan
Asmujiono yang sudah berjalan seperti robot, meski dalam keadaan konsentrasi
penuh ke arah puncak. “Saya ingin mereka
turun, selagi mereka masih kuat dan sanggup!” Jelas Boukreev pada kedua sherpa itu.
Pratu Asmujiono di Puncak Everest |
Sang Saka Merah Putih Di Puncak
Everest!
Ketika
Boukreev sampai di puncak, ia disusul Misirin dan Bashkirov dengan jarak 30 meter
di belakangnya. Boukreev melihat Misirin jatuh di atas salju. Tiba-tiba muncul
Asmujiono, setengah berlari melewati Misirin yang masih tergeletak di salju.
Dengan pandangan mata yang selalu menancap ke Puncak Everest, Asmujiono berlari
kecil seperti dibawah sadar, dengan gaya
slow motion menuju tiang berkaki tiga
yang dipenuhi bendera tanda sebagai Puncak Everest. Tepat pada pukul 15.30, 26
April 1997, Asmujiono meneriakkan kalimat takbir sambil menangis. Air mata yang
keluar langsung membeku. Ia memeluk erat tripod
penanda puncak Everest. Lalu mengibarkan Sang Saka Merah Putih, serta menyanyikan
lagu Padamu Negeri, mengabaikan
perintah Boukreev yang menyuruhnya turun.
“Dia menyingkirkan semua apa yang ada
kepalanya, dan langsung memakai Baret Merah ke kepalanya, terus mengambil
bendera. Mengibarkan bendera Merah Putih di Puncak Everest. Rasa takjub luar
biasa mendera saya. Kejadian seperti yang barusan saya lihat ini, sungguh tak
pernah saya alami.” Ungkap Boukreev merasa kagum. Ketika Boukreev memotretnya,
Asmujiono membuka masker oksigennya! Konon ini mengakibatkan ia mengalami sakit
di kemudian hari.
Meskipun
tak sempat menyentuh tripod, Misirin dianggap telah mencapai puncak dan berhak
memperoleh sertifikat sebagai Everest
Summiter. Bagi Indonesia
dan Asia Tenggara, Asmujiono dan Misirin merupakan orang pertama dan kedua yang
bisa mencapai tempat itu. Dan terdaftar di buku katalog Everest Summiter, tercatat pada urutan ke-662 dan 663.
Saat
itu, menurut Boukreev itu sudah sangat terlambat. Bashkirov juga sampai di
puncak. Boukreev memerintahkan Apa untuk turun dari puncak untuk membangun tenda
di Camp 5. Mereka berada di puncak tak lebih dari 10 menit. Vinogradski hanya
beberapa meter dari tripod penanda puncak, ketika Boukreev memerintahkan semuanya
untuk turun. Evgeni berbalik dan pergi mencari Iwan, yang berada 80 meter dari
puncak. Boukreev menghampiri Misirin yang berada 30 meter dari puncak. Masih
tergeletak di atas salju. Boukreev jongkok di sampingnya. “… saya berkata padanya, bahwa kita telah sampai di puncak. Saya kaget,
ketika tiba-tiba dia berdiri dan berjalan untuk turun.” Ungkap Boukreev.
Seratus
meter di bawah puncak—saat bergerak turun—Boukreev bertemu dengan Evgeni dan
Iwan. Dengan perasaan sedih, Boukreev memerintahkan prajurit yang tinggal
beberapa meter dari puncak ini untuk segera turun,”… tapi saya terpaksa keras demi keselamatan diri mereka sendiri, karena
setiap menit sangat berharga. Kalau kami tak berhasil turun di bawah sinar
matahari, rencana yang telah disusun akan berantakan.”
Setelah
bersusah payah memanfaatkan tali-tali bekas dan tua yang telah di pasang Apa,
mereka menyelusuri jalan turun. Tali-tali dipasang dengan cara diputus-putus
untuk melewati punggungan gunung. Boukreev turun yang paling akhir, Dawa sudah
menunggu di Puncak Selatan. Saat menuruni Puncak Selatan, Misirin terjatuh
berkali-kali, tapi berdiri kembali dan terus turun. Iwan, yang memakai tabung
zat asam dari Evgeni, tiba-tiba terlepas dari tali penyelamatnya, dan merosot
ke bawah. Jika Evgeni tak buru-buru memegang dan mengikatkannya kembali ke tali
pengaman, tentu ia akan ditelan jurang menganga dengan kedalaman ratusan meter.
Sementara Asmujiono tampak bergerak lincah turun bersama para sherpa.
Drama Di Malam Hari
Istilah
the Dramatic Night diungkapkan oleh Bashkirov,
karena mereka harus bertahan di emergency
camp di ketinggian 8.000-an. Strategi tim Indonesia memang telah
mempertimbangkan hal terburuk sekalipun. Berbeda dengan tim ekspedisi lain―yang
akan langsung turun ke Camp IV setelah mencapai puncak― tapi tim Indonesia
menyiapkan emergency camp di
ketinggian 8.500 meter.
Sejak
awal memang telah diperkirakan bahwa mereka tak akan mampu turun langsung ke Camp IV.
Meski tepat, tapi keputusan untuk bermalam di ketinggian 8.500 meter, merupakan
hal baru yang dianggap gila dan tidak masuk akal. Apa lagi hanya dimodali oleh
dua tabung oksigen! Yang akan habis sebelum pagi tiba. Tabung itu digunakan
bergiliran oleh Asmujiono, Misirin dan Iwan Setiawan. Melihat kondisi mereka
yang demikian menderita, para pelatih rela tak menggunakannya.
“Evgeni sepanjang malam memasak air, dan
selama itu juga saya dan Bashkirov bergantian menggilir zat asam untuk orang Indonesia yang
sudah kelelahan. Sepanjang malam! Karena kami harus berhemat, supaya oksigennya
cukup untuk melewati malam ini. Kalau seorang dari mereka agak kelamaan
menunggu pembagiannya, mereka mulai menjerit-jerit dan berdoa. Kami bertiga
bekerja sekuat tenaga, nyaris tak mampu berkata sepatah kata pun malam itu.”
Lalu keaadan mulai stabil. Atas kehendak Tuhan, mereka memang mampu bertahan
hidup di malam yang hampir mustahil dilalui itu. Banyak pendaki-pendaki lain beranggapan
bahwa mereka tidak akan pernah kembali lagi. Ternyata pendapat mereka salah
besar!
Boukreev
sempat menyelesaikan urusan pribadi yang masih menggantungi hatinya. “Di ketinggian 8.400 meter, saya
melihat-lihat, kalau-kalau bertemu jasad Scott Fischer, walau kemarin sudah
mencoba mencarinya dengan sia-sia. Sekarang saya melihat dia. Saya tidak
menemuinya kemarin, mungkin karena hari sudah gelap, padahal dia tergeletak
kira-kira hanya 30 meter dari posisi kami. Saya harap “misi” saya untuk Jeanie,
istri Scott, bisa terpenuhi. Bendera yang penuh tulisan dari istri Scot dan
teman-temannya, saya letakkan disana. Walaupun sebenarnya saya ingin
membalutnya dengan bendera itu, tapi karena waktu yang mendesak dan juga
tanggung jawab saya pada ekspedisi ini, maka saya hanya melakukan janji saya
yang terpenting dan sangat menyedihkan ini saja. Dengan dibantu oleh Evgeni,
saya menguburkan Scott dengan salju dan batu-batu. Saya tandai dengan gagang
linggis yang kami temui disekitar tempat itu. Evgeni dan saya sampai di Sadel
Selatan tengah hari.” Ungkap Boukreev saat menemui jasad Scott Fischer,
salah satu pendaki terbaik dari Amerika Serikat.
Saat
mereka turun menuju base camp, dan
tiba di sana pada tanggal 30 April 1997, putra-putra Indonesia yang memulai
pendakian dalam bayang-bayang kesangsian dan cibiran itu, kini disambut meriah
bak pahlawan yang baru saja memenangkan peperangan. Beberapa surat kabar terkenal di Nepal―seperti juga
koran-koran di Indonesia―beramai-ramai memberitakan keberhasilan mereka. Mitos
bahwa manusia-manusia tropis yang tak berpengalaman mendaki gunung es tak akan
mencapai puncak Everest itu telah hancur di tangan para pendaki Indonesia.
“Misirin, Iwan, Asmujiono, Apa, Dawa,
Bashkirov, Evgeni dan saya turun gunung dan bergembira. Kami berhasil. Banyak
hal kecil yang terjadi menghiasi keberhasilan kami. Nasib baik jelas berpihak
pada kami. Ekspedisi Indonesia
telah selesai, tanpa meninggalkan kesedihan di hati saya.” Ungkap Boukreev
lega dan bangga. Ia berhasil mengantar manusia-manusia Indonesia, manusia-manusia tropis
yang berhasil menjejaki puncak tertinggi di muka bumi ini.
Kepergian Sang Heroik
Kebahagiaan
itu bertukar kesedihan bagi tim Indonesian Everest 1997, karena beberapa bulan
kemudian, tepatnya pada Tanggal
25 Desember 1997, dunia petualangan harus kehilangan Boukreev Boukreev yang dikabarkan tewas kecelakaan avalanche
tertimbun ribuan kubik es, salju dan batu serta terseret hingga ratusan jurang vertikal
ke bawah tebing di dinding barat Anapurnna I di ketinggian 5.700 meter,
ketika sedang mem-belaye Simone
Morro, pendaki Italia. Sebelum kecelakaan itu terjadi tanggal 23
Desember 1997, Simone telah terkena frostbite jari kaki dan tangannya,
kemudian luka bakar akibat gesekan tali ketika terseret longsoran avalanche
itu.
Tanggal 2 januari 1998, lima orang tim rescue
dari Army Sport Club Rusia—Boukreev termasuk anggotanya—yang dipimpin
oleh Rinat. K. Juga termasuk pacar Boukreev,
Linda Wylie, mencoba melakukan pencarian jasad Boukreev
ke lokasi kecelakaan itu. Selama dua pekan usaha pencarian itu tetap tidak
membuahkan hasil. Ternyata jasad the Ghost of Everest itu tak pernah
diketemukan lagi, menyusul rekan-rekannya, Scott Fischer, Rob Hall dan Vladimir
Baskirov, tewas di Puncak Tengah Lhotse pada tahun 1997. [Ganezh/2014]
Mantap!
ReplyDeletemantap....kisah yang sangat membanggakan,,,harusnya di tulis yang prajurit asmujiono adzan di puncak everest
ReplyDeleteAgen Bola Terbaik & Agen Bonus Terbaik!
ReplyDeleteAgen Casino Menang Kalah Dapat Bonus!
Yuk langsung daftar!
BBM : DDA3CD23
WA : 085890911333
www.agen333.net
https://agen333bola.blogspot.com/
blognya bagus bagus sekali kak
ReplyDeletesingkatan seo
sangat terharu dan bangga dengan keberhasilan tim Indonesia mendaki puncak Everest. ������
ReplyDelete