Liburan habis caturwulan
pertama datang lagi. Banyak para pelajar yang sudah punya rencana buat mengisi
liburannya. Pergi bersama keluarga atau bersama gank sekolahnya. Liburan memang
obat penenang bagi orang-orang yang selalu dipenuhi aktivitas harian. Tak
terkecuali bagi para pelajar. Di mana mereka diembat pelajaran saban hari.
Anak-anak sispala Wanacala SMUN 2000
juga sudah sibuk menjalankan rencana pendakian bersama ke Gunung Rinjani, 3.726
mdpl, di Lombok, NTB. Tapi liburan kali ini benar-benar tak asyik bagi Ganes.
Karena ia tak bisa bergabung dengan pendakian Rinjani. Karena harus mengantar
sekaligus menemani Anis liburan ke Bandung, ke rumah Om Handri.
Masih terngiang
di telinga saat bapaknya ngomong kemarin. “Sekali-kali
liburan nggak naek gunung kan nggak apa-apa, Nes. Liburan ke Bandung juga asyik,
kok. Bisa ketemu Om-Tante, juga keponakan-keponakanmu. Terus apa kamu tega ngeliat
adikmu pergi sendirian?” Ujar Bapak serius. Yaah, mau bagaimana lagi. Mau
tak mau Ganes harus menuruti kemauan orang tuanya. Meski harus mengorbankan
obsesinya untuk mendaki Gunung Rinjani bareng rekan-rekan pencinta alamnya. []
Siang itu, di sekret
Wanacala, Ganes dan teman-temannya sibuk briefing perihal rencana pendakian
Rinjani. Melakukan check list peralatan dan logistik perjalanan. Sekretariat
itu terlihat apik dan bersih. Di depannya penuh dengan tanaman bunga
berwarna-warni yang ditata begitu alami. Di dalam ruangannya penuh dengan
foto-foto alam serta gunung-gunung yang pernah mereka daki oleh mereka dan pendahulu
mereka.
“Nes, kau betul-betul
tak bisa ikut ke Rinjani?” Entah sudah yang ke berapa kali Togar menayakan hali
ini. Sepertinya ia sedikit tak rela jika Ganes tak bisa bergabung. Ada nada
pengharapan dalam kalimatnya.
“Iya, Nes! Kita-kita
ngarepin elo bisa ikut. Rasanya nggak asyik, kalo lo nggak ikut!” kata Abon
terus terang. Ganes menghela napasnya beberapa kali. Ia menatap wajah
teman-temannya.
“Sejujurnya, guys! Gue pengen banget ikut, tapi gue juga
nggak bisa nolak permintaan bokap gue. Gue harus nemenin Anis liburan ke rumah
Om gue di Bandung. Kalo gue ngotot, takutnya cuma nyusahin diri gue sendiri.
Bakal susah dapet permit mendaki entar,
kan itu lebih gawat! Yah, kadang-kadang kita harus ngorbanin keinginan kita
demi orang tua. Tapi itu juga nggak salah, kan?” kata Ganes tertawa hambar. Mereka
terdiam mendengar perkatan Ganes barusan. Hening. Tiba-tiba Ganes jadi merasa
tak enak.
“Udah, ah. Kok jadi serius
gini. Yang penting kita berdoa agar pendakian Rinjani sukses lancar, tanpa
halangan apa pun, oke?!” Ucap Ganes penuh semangat. Disambut tawa serta toast teman-temannya.[]
Rumah besar bergaya kuno
itu belum berubah sama sekali. Masih terlihat apik, bersih, dan nyaman. Penuh
dengan tanaman bunga yang terawat rapi. Mereka disambut ramah oleh Tante Cici
yang bervokal cemprang dan terkadang terlalu perhatian itu. Detail and jlimet!
Itu kata Ganes.
“Aduh!
Keponakan-keponakan Tante yang manis udah nyampe? Kenapa nggak nunggu di
terminal Leuwi Panjang aja? Kan Rani ama Reni ngejemput, ateuh! Kumaha? Apa nggak pada ketemu, ya?” Sambut
Tante Cici cerah. Kedua kakak-adik itu menyalami serta mencium tangan Tantenya.
“Bisnya datang lebih
awal, Te. Jadi kita nyampe duluan. Kayaknya kami selisihan jalan deh?!”
“Iya, Te.” Anis
menambahkan.
“Kok, nggak nelpon aja,
sebelumnya. Biar nggak ribet?”
“Gak papa, Te. Sekalian
jalan-jalan. Kan udah lama nggak ke Bandung.” Jawab Ganes basa-basi. Disusul
anggukan kepala Anis mendukungnya.
“Oh, ya, udah kalo gitu.
Ayuk masuk!” ajak Tante Cici. Ganes dan Anis masuk ke ruang tamu yang cukup
besar itu. Semua tersusun sempurna. Meja, kursi, benda-benda keramik dan
lukisan dipajang rapi. Jelas itu karena Tante Cici yang super rapih.
“Aduh, Ganes! Kamu
tambah gede aja, persis Bapak kamu dulu waktu masih bujangan. Tapi—kenapa rambut
kamu gitu? Coba dirapikan lagi. Eh, ini apa lagi. Tali begitu diiketin di
tangan. Buat apaan, sih?! Lebih pas kalo cuma jam tangan aja. Bukannya tali jemuran
begituan!” Nah, mulai deh, penyakit Tante Cici. Hal-hal kecil gitu aja
diributin. Tali Prusik yang melingkar di tangan Ganes jadi sasarannya. Anis
tersenyum geli melihat wajah kakaknya berubah masam begitu.
“Kamu juga Nis, potongan
rambutnya kependekan gitu. Kayak cowok, aja. Coba dipanjangin sepinggul, pasti
kamu makin cantik. Makin geulis!
Entar jangan dipotong lagi, ya?!” Ucapnya sambil mencubit lembut pipi Anis.
Anis diam mendengarnya.
“Baik. Sekarang kalian
mandi dulu, gih! Udah itu makan dan istirahat. Tante mau nelpon orang tua kalian
dulu. Mau ngabarin kalo kalian udah sampai.”
“Ya, Te!” jawab Ganes
dan Anis bareng. Mereka melangkah menuju ke belakang. Mereka beranjak sambil
mengangkat bawaan mereka. Mereka membawakan paket pempek oleh-oleh buat
keluarga di Bandung.
Sekitar lima belas menit
kemudian dari teras depan terdengar suara kegaduhan. Dua gadis kembar tergesa masuk
ke rumah. Mereka berteriak mencari mama mereka.
“Ma! Mama!”
“Iya?” Jawab Tante Cici
buru-buru kembali ke ruang depan.
“Ma, bisnya udah nyampe,
tapi mereka nggak ada?!”
“Iya, Ma. Jangan-jangan
mereka nyasar?!” Cecar mereka. Tapi Tante Cici tersenyum melihat kedua puterinya
itu.
“Nyasar? Nggak lah, ya!”
Tiba-tiba ada suara sahutan dari belakang mereka, seketika kedua gadis kembar
membalikan badan, mereka menjerit girang.
“Waaa! Anis!” pekik
mereka langsung memeluk Anis bergantian. Disusul sunpikaki ala Anis.
“Ih, Anis meuni geulis?
Kumaha damang?” tanya Rani.
“Duh, makasih. Kabar
baek. Kabar Ra-Ren gimana?” Anis balik tanya. Ia selalu memanggil saudara kembarnya
itu dengan pangilan Ra-Ren. Disingkat dari dari pangkal nama Rani dan Reni.
Tante Cici juga tersenyum melihat keceriaan ketiga gadis remaja itu. Tak lama
ia kembali masuk ke dapur, menemani Mak Ijah untuk menyiapkan makan siang
mereka.
“Baek-baek juga, Nis,
Eh, si Gokil mana?” tanya Reni.
“Entah, dia belum keluar
dari kamar dari tadi. Jangan-jangan malah langsung tidur!” kata Anis nyengir.
Tante Cici terkejut mendengarnya.
“Langsung tidur? Coba
kalian lihat ke dalam!” perintahnya kemudian. Ketiga gadis itu melangkah
tergesa ke kamar yang ditempati Ganes. Pintunya tak dikunci. Benar saja dia memang
sedang molor. Masih berpakaian seperti ketika ia datang. Bahkan ia masih
mengenakan kaos kakinya. Wajahnya tampak pulas dan lugu.
“Hey! Nes, bangun. Mandi
dulu, gih!” Rani membangunkannya.
“Iya nih anak. Jorok
banget. Bau tau! Nes, bangun—mandi! Ganti baju dulu!” Reni mengguncang-guncang
bahunya.
“Ehmm...pphhep. Kenapa
sih? Eh Ra-Ren. Iya, ntar. Sekarang gue ngantuk!” Jawab Ganes dengan mata serta
muka yang sepet. Dia berbalik menelungkup. Melanjutkan tidurnya lagi.
“Ganes! Elo tuh, belum
mandi. Buruan mandi, ganti baju, makan. Baru bobo lagi! Eh, cepetan!” Anis
memencet hidung Ganes kuat-kuat.
“Aduh! Kalian kenapa,
sih? Gue ngantuk!” jawabnya pelan. Matanya masih setengah terpejam. Sepertinya
ketiga gadis itu agak kewalahan membangunkan si Gokil. Akhirnya Tante Cici
masuk kamar, dan ikut ambil bagian.
“Ganes bangun! Mandi
dulu! Nanti badannya gatal-gatal! Buruan, atuh!” Ganes nyerah dikeroyok empat
wanita itu. Hihihi...
“Iya, Tante, iya. Entar
Ganes mandi. Tapi, sekarang tidur dulu sebentar, ya,” jawabnya dengan wajah
memelas. Rani dan Reni tersenyum melihat wajah Ganes yang culu.
“Eh, eh, kumaha nih anak. Nggak boleh
entar-entar! Om kamu ngebela-belain pulang dulu, lho, dari kantor. Ia ingin
makan siang bareng-bareng kita.” kata Tante cici serius.
“Iya, Te.” Ganes
beranjak malas. Masih dengan setengah merem, dia mengambil handuk lalu berjalan
menuju kamar mandi. Bletaakk!
“Aduh!” Ia menjerit kesakitan.
Jidatnya kejeduk pinggiran pintu kamar mandi. Rasa kantuknya serasa lenyap seketika.
“Syukur! Rasain!” Sorak Anis,
Rani dan Reni tertawa. Tante Cici ikut tersenyum sambil geleng-geleng kepala.
Buru-buru Ganes menutup pintu kamar mandi. Dasar
cewek-cewek bawel! Rutuknya Ganes dalam hati. Byur! Byur! Ganes bergedik
kedinginan.[]
Om Handri termasuk
pengusaha yang sukses. Bergerak di bidang konveksi. Anaknya cuma dua, si kembar
Rani dan Reni. Tante Cici istrinya, adalah adik dari Bapaknya Ganes. Walau
kelihatan cerewet, Tante Cici itu tante yang baik hati. Selalu menyayangi
mereka seperti anak-anaknya sendiri.
“Gimana kabar Ayah dan
Ibu, Nes?”
“Baik-baik aja, Om!
Mereka titip salam buat keluarga di sini.”
“Oh, ya. Kami juga udah
berencana berkunjung ke Palembang.” Jawab Om Handri serius. Wajah Rani dan Reni
mendadak cerah.
“Bener, Pa? Awas kalo ya,
bohong!” ancam Rani serius.
“Iya, Pa. Kami juga udah
kanget liat Jembatan Ampera dan Sungai Musi!” timpal Reni. Om Handri mengangguk.
Tante Cici juga mengangguk ikut meyakinkan. Tak lama mereka makan siang
bersama. Hingga makan siang selesai. Obrolan mereka masih berlanjut. Mungkin karena
sudah lama tak bertemu. Tak lama kemudian Om Handri pamit untuk kembali ke
kantornya. Sementara Rani dan Reni mengajak mereka JJS (jalan-jalan sore) untuk
berkeliling di Kota Bandung. Tentu saja Anis setuju. Tak lupa mereka juga mengajak
Ganes.
“Makasih deh,
tawarannya. Soale, gue udah mau pergi, kok.” Jawabnya kurang tertarik.
“Emang mo pergi kemana,
Nes? Ke rumah temen elo yang di sini?” tanya Rani penasaran.
“Nggak kok, orang mau
pegi tidur!” jawabnya enteng. Sambil melangkah menuju kamar tidur. Rani dan
Reni menatapnya gemas. Anis cuman tersenyum.
“Makanya, lo bedua kudu
ati-ati kalo ngomong ama Gokil!” Anis tertawa melihat wajah saudara-saudarnya
begitu.[]
Tapi begitu sampai
kamar, Ganes malah tak bisa memejamkan mata. Pikirannya tertuju pada
teman-temannya yang lagi menjejaki Gunung Rinjani. Lagi ngapain mereka , ya?
Moga-moga aja nggak ada halangan dan rintangan. Gumamnya dalam hati. Eh, di
Bandung kan, ada teman gue. Idang, ya, Idang Gopak! Idang dari Bhuanapala, SMU 99 Bandung. Mereka
berkenalan waktu Idang hendak mendaki Gunung Dempo, 3.159 mdpl, di Pagar Alam,
Sumsel. Idang juga pernah menemani Ganes mendaki Gunung Gede Pangrango. Buru-buru
Ganes membuka dompet bututnya. Mencari buku mini phone booknya! Setelah dapat.
Ia keluar dari kamar. Tampak Rani, Reni, dan Anis sudah bersiap hedak ber-JJS
ria.
“Eh, katanya mau tidur.
Kok, masih keluyuran?” tanya Reni saat melihat Ganes keluar.
“Gue, pinjem telpon
bentar ya, Ren.”
“So’ atuh di ruang
depan. Mo nelpon siapa, Nes?” tanya Reni lagi.
“Teman gue yang di
sini.” Untung Idang lagi ada di rumah. Mereka berbincang-bincang sebentar via
telepon. Idang sepakat akan datang dan menjemputnya. Ganes beralih ke taman
depan. Duduk sambil memperhatikan kolam ikan Koi milik Om Handri. Selang
beberapa saat, Feroza hitam memasuki halaman rumah Om handri, Ganes segera menyambutnya.
Itu si Idang. Ia datang sendiri. Tak lama keduanya mengobrol dengan hangat. Idang
pun mengajak Ganes nongkrong ke daerah Dago. Ia pun setuju.[]
Sudah lima hari Ganes berada di Bandung. Perasaan bosan mulai
menjangkiti otaknya. Kerjanya cuma JJS, nyuciin mobil Om Handri, main playstation, atau nemenin Tante Cici
belanja. Sesekali juga ke Jatayu dan ke toko buku. Sore itu ia, Anis dan
kedua ponakannya tengah asyik nonton film Die Hard yang dibintangi Bruce willis.
Ganes nonton sambil rebahan ia memeluk bantal sofa.
“Nes, lo udah dapet kecengan belon di sini?” tanya Rani
tiba-tiba.
“Iya, kalo belon entar kita cariin. Teman Ra-Ren cantik-cantik,
lho!” tambah Anis. Diiringi anggukan kepala Reni.
“Iya. Kalo lo dapet cewek Bandung, bakalan sering ke sini, deh!”
Reni menambahkan. Sambil mengerling pada Anis dan Rani. Tapi Ganes tak bereaksi
sedikit pun.
“Nes, lo budek, ya? Diajak ngomong diem aja!” Anis mulai keki.
Diomongi begitu Ganes tetap diem. Masih cuek bebek. Mereka bertiga makin keki.
Mereka mendekati Ganes. Oalaah! Ternyata ia tertidur pulas. Dengan wajah tanpa
dosa. Dengan gemas ketiga gadis itu menggelitiki dan mencubit hidung Ganes.
“Eh, aduh! Apa-apaan ini? Eh, kalian udah gila semua, ya? Eh,
aduh!” pekik Ganes gelagapan dipermak habis begitu.
“Dasar Gokil! Diajak ngomong malah tidur!” Ucap Rani sambil tertawa.
“Makanya, kalo mau tidur ngomong dulu. Jadi kita nggak
susah-susah nanyain tau!” tambah Rani.
“Apa urusannya, kalo mau tidur musti nglapor kalian! Suka-suka
gue dong, mau tidur kapan aja!” jawabnya sewot. Sambil bergeser mencari posisi
tidur lagi.
“Elo emang gitu, Nes. Kalo lagi kumat tidur. Di WC pun lo bisa tidur!”
Anis mencibirnya. Ketiga gadis itu kembali ke posisinya. Ada yang rebah di
sebelah Ganes juga di sofa. Setengah kemudian, telepon di ruang tengah
berbunyi. Tergesa Reni menghampiri dan mengangkatnya. Ternyata telpon dari
teman Ganes. Reni membangunkan Ganes yang tertidur kembali.
“Nes, bangun! Ada telpon!”
“Aduh, apa lagi sih, Ren?! Gue ngantuk, nih!” rutuknya merasa terganggu
lagi.
“Heh! Ada telpon, tuh!”
“Kelpon? Taruh aja. Entar gue makan!”
“Heh! Telpon bukan kelpon! Aduh, gimana nih, anak? Lo punya
teman namanya Idang nggak?” Terang Reni sedikit sewot. Melihat adegan itu, Rani
dan Anis tersenyum.
“Aa-pa, udang?” tanya Ganes. Matanya setengah terbuka.
“Idaaang!” pekiki Reni hesteris. Mendengar teriakan itu Ganes
terlojak kaget. Rani dan Anis ngakak melihatnya.
“Ooo, Idang. Mana?” Tanyanya mulai sadar.
“Tuh! Cepatan di telepon!” kata Reni kesal.
“Kenapa nggak bilang dari tadi?!” ujar Ganes buru-buru menuju
telepon. Mendengar itu wajah Reni berubah ungu menahan kesal.
“Dasar gokil!” pekik Reni dongkol. Rani dan Anis makin tertawa
melihat wajah Reni berganti warna. Ternyata Idang mengabari Ganes, bahwa ada
tiga orang siwa SMU Trunajaya Bandung hilang di Gunung Gede. Kabarnya mereka
sudah hilang dua hari. Tim SAR sispala Idang akan segera dibentuk dan
diberangkatkan. Mereka berniat ikut andil dalam operasi pencarian. “Gila, mimpi apa gue semalam? Gue diajak
Idang bergabung ke tim Bhuanapala.” Ganes bersorak dalam hati. Wajahnya tampak
berseri-seri.
“Kenapa senyum-senyum sendiri? Wah, gawat gokilnya kumat!” Rani
heran melihatnya Ganes mendekat dengan wajah sumringah.
“Ran, kapan Om pulang?” tanyanya serius.
“Bentar lagi. Emang kenapa?” tanya Rani masih heran melihat
perubahan Ganes.
“Gue diajak ke Gede.” Mereka bengong mendengar jawaban Ganes
barusan.
“Gunung Gede?” Reni memastikan.
“Mau ngedaki? Awas, gue kasih tau Bapak!” ancam Anis serius.
“Mendaki apaan? Daser bawel!” sahut Ganes kesal. Anis langsung
mengkeret. Kedua saudaranya pun terkejut melihat wajah Ganes berubah galak.
“Mau ngapain, Nes? Elo kan udah pernah ke sana?” tanya Reni
hati-hati.
“Gabung ama tim SARnya Idang. Ada orang hilang. Kabarnya tiga
orang.” Mendengar itu mereka terdiam. Benar saja, ketika Om dan tantenya
pulang, Ganes langsung membicarakannya. Dia minta ijin untuk bergabung dengan
tim SAR Idang. Meski ditanggapi keberatannya Tante Cici, ia tetap ngotot ingin
pergi. Akhirnya mau tak mau Om Hendri mengijinkannya untuk pergi.
“Lho kok, Diijinin, Pa? Nanti gimana kalo Bang Sastra ama Kak
Tantri tanya?” protes Tante Cici kurang setuju. Ia khawatir kalau kedua orang
tua Ganes tanya.
“Tenang aja, Ma. Ganes kan sudah sering ke gunung. Kali ini kan
bukan buat naik gunung, doang, tapi bergabung dengan tim SAR. Ikut dalam usaha
pencaraian dan penyelamatan nyawa orang. Kita doakan aja, mereka semua selamat.
Nanti biar Papa yang bicara ama mereka.” Tante Cici tidak bisa berkata apa-apa
lagi setelah mendengar perkataan suaminya. Wajar saja Om Handri setuju, karena
waktu muda ia juga seorang petualang di mapala kampusnya. Ganes mengangguk
dengan wajah cerah.
“Eh, tapi jangan senang
dulu. Kamu juga harus minta ijin ama Bapak dan Ibu kamu ya!” Ganes mengangguk
setuju. Memang proses mendapatkan ijin dari Bapak dan Ibu itu cukup alot.
Terutama Ibunya. Untung Om Handri membantunya, jadi dengan sedikit berat hati
Ganes pun diperbolehkan juga. Sore harinya Idang menjemput Ganes. Semua
peralatan dan logistiknya disuplai oleh Bhuanapala.
[]
Tim Bhuanapala dan Ganes menuju Cibodas. Akan bergabung dengan dengan
para mapala, sispala dan tim SAR yang berada di pos Kandang Badak, ketinggian
sekitar 2.200an mdpl, yang jadi OSC (On
Search Commander) operasi pencarian rute Cibodas. Sepertinya tim SAR ada
juga yang bergerak dari jalur Gunung Putri, Selabintana dan Situ Gunung.
Sekitar pukul empat sore, mereka disambut rama oleh para mapala dan sispala yang sudah
lebih dulu bergabung dalam operasi itu. Sebelumnya mereka briefing untuk mendapat pengarahan dan informasi mengenai data para
korban dan sistem pencarian yang diterapkan. Mereka dipadu oleh Kang Jack,
utusan dari kelompok penempuh rimba yang cukup terkenal di Kota Bandung. Dialah
korlapnya. Mereka menginap di Pos Kandang Badak, dan besok pagi akan disebar
melakukan pencarian.
“Besok kita mulai bergerak. Sekarang kita bentuk SRU (Search Rescue Unit)-nya. Masing-masing SRU
berisi lima orang, maksimal tujuh orang. Setiap SRU dipimpin oleh satu
koordinator!” Jelas Kang Jack. Selanjutnya mereka membubarkan diri untuk
beristirahat. Agar besoknya memiliki tenaga yang cukup. Mereka adalah orang-orang
terbaik yang diutus oleh mapala dan sispala mereka. []
Rabu, pukul 11.00 WIB.
Formasi tim Bhuanapala tak berubah.
Beranggotakan Idang, Jajang, Bobby, Luki dan Ganes. Mereka menjadi tim SRU 7. Tim
ini dikomandoi Idang. Mereka menyisir ke timur jalur pendakian. Aroma basah
merambah rongga hidung dan embun yang menempel di dedaunan membasahi pakaian
mereka. Cuacanya tak secerah saat mereka meninggalkan Pos Kandang Badak. Dari
kejauhan Puncak Gede tampak diselubungi awan hitam. Mereka bergerak lambat dan
hati-hati. Melakukan penyisiran sambil menebarkan pandangan secermat mungkin.
“Hati-hati,gusy! Jalur
ini banyak jurang semaknya!” Idang mengingatkan anggota timnya. Sudah tiga jam
mereka menyisir daerah itu tapi belum menemukan yang bisa dijadikan petunjuk.
Mereka beristirahat sebentar sambil minum kopi plus ngemilin roti biskuit. Meski
letih mereka tetap kelihatan ceria dan hangat.
“Dari kordinat ini, kalo kita maju lagi kita akan menjumpai
pedataran landai kemudain lembah curam serta satu punggungan, entah butuh
berapa lama untuk mencapai ke sana.” Kata Ganes sambil menunjuk peta kontur
Gunung Gede.
“Kita sisir lagi sampai ke sana. Jika memungkinan dataran landai
itu, kita jadikan base camp!” ucap Idang.
Setelah berkemas, mereka kembali bergerak. Cuaca mulai menujukkan tanda-tanda akan
turun hujan. Udaranya terasa makin lembab dan basah. Diiringi kabut yang
melayang-layang rendah di atas tanah. Membatasi jarak pandang. Kaki–kaki mereka
seakan menginjak permadani putih yang lembut. Lebih kurang tiga jam, dataran
landai itu baru mereka temukan. Daerah itu memang bagus untuk dijadikan base camp. Karena cuaca yang kurang
mendukung mereka memutuskan menghentikan usaha penyisiran. Usai mendirikan
tenda, gerimis mulai turun. Mereka menghubungi OSC Kandang Badak untuk
melaporkan posisi tempat mereka bermalam. Sekaligus melaporkan jalannya
penyisiran, hasil temuan dan area kordinat yang telah dijelajahi, dan briefing team, mereka makan malam.
Setelah mengobrol sebentar mereka pun beranjak tidur. Semua merasa keletihan.[]
Ganes bertemu seorang gadis yang belum dikenalnya. Rambutnya
dipotong pendek. Dia tengah asyik berjalan di sebuah taman bunga. Tiba-tiba ia
menoleh dan menatap Ganes. Lihat sunset
itu. Indah sekali. Kita lihat sama-sama, yuk! Ajaknya seraya melambaikan
tangan ke arah Ganes. Remaja itu penasaran dan mengikutinya. Dia terkejut
setengah mati, ternyata taman itu dipagari jurang gelap yang menganga! Gadis
itu terus berjalan. Ganes berteriak-teriak mengingatkannya, tapi gadis itu tak
mendengarkan teriakannya. Terus saja ia melangkah. Awaass! Pekik Ganes keras. Ia berusaha memburu dan hendak meraih
tangan gadis itu. Sayangnya gadis misterius itu sudah keburu jatuh ke dalam
jurang itu. Suara teriakannya melengking panjang. Ganes ikut menjerit lantang.
Dia tersentak dan terbangun.
Dadanya berdebar serta napasnya memburu. Sompret! Mimpi gue mimpi serem amat!. Makinya
dalam hati. Dia melihat semua rekan-rekannya masih tertidur pulas di dalam
sleeping bag mereka. Ganes melihat jam tangannya, baru jam tiga pagi. Ia meraih
peples, meneguk air yang ada di
dalamnya. Hiiy, dingin banget!
Katanya menggelijang. Perlahan Ganes ke luar tenda. Gokil berasa mau buang air
kecil. Ia meraih senter dan bayonet yang biasanya selalu terselipkan di
pinggang tiap melakukan pendakian. Suasana di luar sangat gelap dan udaranya dingin
menusuk tulang. Api unggun tinggal baranya saja. Ketika hendak masuk ke tenda
kembali. Ganes tersentak menoleh ke belakang. Samar-samar ia mendengar suara
rintihan minta tolong. Perlahan ia menebarkan sorot lampu senternya. Darahnya
mendesir cepat. Bulu kuduknya berdiri tegang. Tanpa sadar ia meraba hulu
bayonetnya.
Suara siapa?
Apakah cuma perasaan gue? Aduh! Ganes
mencubit pipinya dan teras sakit. Ini bukan mimpi. Sepertinya dari arah sana. Kenapa berlawanan dengan tujuan kami?
Hatinya bertanya-tanya. Dia merasa bimbang, membangunkan yang lain atau
melanjutkan tidur. Kalo ngebangunin,
ternyata ini cuma sekedar halusinasi gue, hanya bikin malu aja. Perlahan
Ganes mendekati bodybag dan
memakainya. Entah sudah terbius perasaannya sendiri ia ingin memeriksa area
sekitar tenda. Ya, sekitaran tenda aja.
Gumamnya memastikan diri. Dengan perlahan namun pasti, ia mulai melangkah berputar
sekitaran tenda. Ingin mencari sumber suara. Suara rintihan itu kembali muncul.
Dari arah barat. Timbul tenggelam terbawa semilir angin dingin. Membius Ganes
untuk terus melangkahkan kaki. Medanya mulai menurun. Tak disadarinya Ganes
melangkah mulai menjauhi tenda. Sudah hampir setengah jam lebih berjalan tanpa
sadar masuk ke rimba Gunung Gede. Anak bodoh! []
Kabut turun makin tebal. Cahaya senternya hanya mampu menembus
satu meter ke depan. Gila, kabutnya tebal
baget, aduh! Gabrukkh! Ganes jatuh terjerembab senternya terlepas. Kakinya
tersangkut akar pohon. Dia meringis kesakitan sambil memegangi tulang keringnya.
Aduuuh... Hah! Astaghfirullah! Kenapa gue
jadi bego gini? Kenapa nggak ngebangunin yang lain? Ganes baru menyadari kecerobohannya.
Tergesa ia berdiri mengambil senternya. Menebarkan pandangannya. Berputar-putar
sebentar. Apa gara-gara suara itu? Bodoh!
Ganes memaki-maki dirinya sendiri. Ia berusaha menemukan jalan untuk
kembali. Oh Tuhan, sekarang gue
benar-benar nggak tahu di mana.
Kompas! Gue musti berbalik
ke timur! Ganes membuka bodybag-nya.
Tapi cuma ada tiga batang coklat, minyak angin, pil kina, obat diare, permen,
korek matches, serta vicky—pisau lipatnya. Lho, kemana kompasnya? Dia berusaha
mengingat-ingantnya. Ternyata kompasnya tertinggal di base camp. Sepertinya masih ada di tenda. Dipakai saat briefing tadi. Dia kecewa. Sekarang mulai
merasa benar-benar tersesat. Tenang, Nes, jangan panik. Berpikirlah dengan
jernih! Batinnya berbisik menasehatinya. Kemudian dia duduk tercenung
memikirkan apa yang musti dia lakukan.
Ganes mengarahkan
senternya ke sekeliling. Sepertinya pohon itu bagus buat bivak! Ganes mendekati pohon tumbang yang membentuk goa akar itu.
Ia memeriksanya sebentar. Memastikannya aman dan jauh dari hewan-hewan berbisa.
Setelah yakin, ia masuk ke dalamnya. Ganes melirik jam tangannya. Baru jam
setengah lima subuh. Brrrh... Dinginnya minta ampun! Ganes merapatkan jaket
parasutnya. Tetap saja ia merasa kedinginan. Ganes mengeluarkan koreknya. Ia
berusah membakar ranting-ranting kecil yang berserakan di sekitarnya. Makin
lama makin banyak. Perapian itu cukup untuk menghangatkan tangannya. Ganes
memakan coklatnya separuh, kemudian meminum air dari peples.
Sekarang gue benar-benar tersesat. Jangan-jangan gue bakal
masuk daftar orang yang hilang di Gunung gede? Bodoh! Ganes masih menyesali kelalaiannya sendiri.
Tapi gue nggak boleh putus asa!Sebentar
lagi matahari terbit, gua bisa tahu arah timur. Semoga besok cuacanya cerah!
Doanya dalam hati. Tapi alam berkata lain, mejelang pagi langit tampak mendung
diselubungi awan hitam pekat. Jangankan sunrise,
garis lembayungnya pun tak kelihatan. Ganes merasa sedih, kesal, dan kecewa. []
Kamis, pukul 6.00 WIB.
Base camp SRU
7 jadi heboh. Mereka kehilangan Ganes. Mereka berteriak-teriak memanggil serta
berputar-putas ke sekeliling tenda. Namun sampai serak suara mereka, tak ada
sahutan sama sekali. Ganes bagai lenyap ditelan bumi. Semuanya merasa cemas.
“Gimana, Dang? Apa kita laporin
ke Badak?” tanya Jajang khawatir. Suaranya parau karena habis teriak. Idang
terdiam.
“Mungkin ia cari air,
karena nggak bawa apa-apa. Kompas, peta, ranselnya juga ada!” tambah Bobby
pula.
“Kita tunggu aja lagi
sebentar. Tapi jangan mengubungi Badak dulu. Bikin heboh nanti. Kita tunggu sampai
jam dua belas. Mudah-mudahan ia akan muncul. Sebab tiap jalur yang kita lewati,
udah kita beri tanda marka yang cukup jelas. Semoga ia tak mengalami apa-apa.” Ujar
Idang berusaha tenang, meski hatinya cemas.
“Dang. Ganes bawa
senter, berarti dia bergerak waktu gelap!” Tukas Luki yang sedari tadi diam
saja. Idang membenarkannya.
“Iya, body bag yang
dipakenya juga nggak ada, Dang?” Timpal Bobby. Idang menatap ke arahnya. Tapi
tanpa kata-kata.
“Sori, Dang. Apa Ganes suka
pergi sendiri kayak gini?” Tanya jajang hati-hati. Idang menghela nafas
sebentar.
“Ganes emang gokil. Tapi
dia orangnya baek dan supel. Rasa kebersamannya juga gede. Di Wanacala, ia termasuk anak yang diandalin.
Setahu gue ia nggak pernah bertindak konyol seperti ini!” jawab Idang serius.
Ketiga rekannya itu terdiam.
“Dia tahu apa yang boleh
atau tidak boleh dilakuin,” tambah Idang lirih.
“Jam sebelas, kita harus
menghubungi Badak!” kata Jajang mengejutkan. Memang tiap jam mereka harus
melaporkan pergerakan SRU ke OSC Badak. Walau belum menemukan tanda apa pun.
“Ya, tapi jangan
menyinggung soal Ganes dulu. Entar biar gue sendiri yang menjelaskan,” jawab
Idang pelan. Jajang mengontak Badak tanpa menyinggung masalah Ganes. []
Gue harus bikin marka di jalur yang gue lalui. Ganes mematahkan ranting-ranting
itu. Tanpa disadarinya, ia sudah kembali ke timur lagi. Nah! Kayaknya ini jalur yang gue lewati semalam. Moga-moga aja! Ganes
mencoba mengingat-ingat jejaknya semalam. Cacing-cacing di perutnya Ganes mulai
memainkan musik keroncong. Ia meringis menahan perih. Ganes berhenti untuk
menggigit coklat sisanya semalam. Air
minum gue habis, gue musti cari air. Tubuhnya mengigil kedinginan. Lalu di
hadapanya ada tanjakan yang cukup panjang. Hatinya masih terus berpikir. Kenapa
ia bisa bertindak sefatal ini. Ganes terus berdoa dan berharap bisa bertemu
dengan SRU lainnya. Sesekali juga ia berteriak berharap Tim Bhuanapala bisa mendengarnya. Tapi tak
ada suara sahutan sama sekali.
Menjelang tengah hari, Ganes
mendengar suara gemercik air mengalir. Alhamdulillah
ada air! Pekiknya girang. Dengan terperosok-prosok, Ganes berhasil mencapai
parit kecil itu. Minum sepuas-puasnya, lalu mengisi penuh peples-nya. Selagi asyik mengisi wadah air. Tiba-tiba terdengar
suara guntur menggelegar. Ganes mendongak. Lewat celah-celah kanopi hutan ia
melihat langit tampak mendung. Cuaca kembali gelap. Gerimis sebentar dan—byuuurr!
Hujan turun dengan deras. Ganes sembpat kebingunan mau berteduh di mana. Ia berlari
mencari perlindungan. Celananya jadi basah. Masih untung jaketnya terbuat dari
bahan water proof. Lumayan ia menemukan
lubang tanah yang terbongkar akibat akar pohon yang tumbang. Tergesa ia masuk
ke celah itu. Duduk jongkok berteduh di situ. Di tempat itulah Ganes mengalami
penderitaan lahir batin. Dingin yang tak terlukiskan, letih dan lapar serta
luka lecet yang memedihkan. Kabut tebal pun turun, ikut meramaikan
penderitaannya. [] Bersambung ke Survival [Bagian 2]
No comments:
Post a Comment