Akhirnya
setelah melewati perjalanan yang cukup berat dan melelahkan. Mereka sampai di
puncak gunung Lawu. Begitu agung ciptaan-Mu, Tuhan! Terdengar decak kekaguman
dari mulut-mulut mereka. Adhie mengumandangkan adzan. Pertanda mereka telah
sampai di puncak dengan selamat. Tebaran
edelweis Lawu di ujung sana
membentuk permadani alam yang menakjubkan. Setelah mendapatkan tempat yang
strategis. Mereka mulai terlihat sibuk. Mendirikan tenda dan segala sesuatunya.
Menjelang sore, mereka duduk bersantai sambil menunggu sunset gunung
Lawu. Betapa indah sunset yang memendarkan warna merah jingga keemasan
itu. Tak lupa mereka mengabadikannya. Ganes sepertinya kurang tertarik.
Pandangannya hanya tertuju pada tebaran edelweiss-edelweiss itu. Ah, edelwieiss
Lawu.
Gue jadi inget kembali dengan syarat itu. Maapin gue, Ra. Gue nggak sanggup mengusik kedamaian mereka. Gue nggak bisa memenuhi syarat yang kamu ajukan itu. Gue cuma bisa memberi foto-foto senyum polos mereka, yang seakan berkata, “Jangan ganggu kedamaian kami. Jangan renggut kehidupan kami!” Bila perlu gue cetak ukuran poster. Buat kamu, Ra. Gue nggak tahu. Apakah lo mau menerimanya. Gumamnya dalam hati. []
Gue jadi inget kembali dengan syarat itu. Maapin gue, Ra. Gue nggak sanggup mengusik kedamaian mereka. Gue nggak bisa memenuhi syarat yang kamu ajukan itu. Gue cuma bisa memberi foto-foto senyum polos mereka, yang seakan berkata, “Jangan ganggu kedamaian kami. Jangan renggut kehidupan kami!” Bila perlu gue cetak ukuran poster. Buat kamu, Ra. Gue nggak tahu. Apakah lo mau menerimanya. Gumamnya dalam hati. []
Malamnya,
mereka berkumpul mengelilingi api unggun. Kecuali Ganes yang lagi asyik
mendengarkan walkman. Menikmati kaset instrumen favoritnya, Kitaro.
Dia tampak terhanyut oleh lagu-lagu lembutnya yang mendayu-dayu.
“Gar,
si Gokil lagi ngapain, sih?” tanya Beben
heran melihat Ganes jadi pendiem dadakan begitu.
“Lagi
asyik mendengarkan walkman-nya!” jawab Togar.
“Iya,
Gar. Kayaknya si Gokil laen banget kali ini. Apa lagi ada masalah?” tanya Adhie
pula. Togar menghirup kopi hangatnya, lalu...
“Kalian
tenang saja. Kalau sampai besok dia masih begitu. Sama-sama kita tanyakan apa
yang jadi masalahnya, oke?” Yang lain pun setuju. Tak lama kemudian Ganes
ke luar dan bergabung dengan mereka. Menikmati kopi hangat dan biskuit. Ikut
menghangatkan badan, mengelilingi api unggun yang bergejolak riang.
“Eh,
kalian percaya nggak? Sebelum berangkat kemarin. Devi meminta bandana gue.
Katanya sih, buat obat kangen!” Acep membuka ceritanya tentang doinya, Devi.
Kebahagiaan terbias di wajahnya.
“Mau-maunya
dia sama bandana yang bau plus butut begitu, Cep!” timpal Beben menanggapinya.
“Biarin,
Devi kan
pacar gue!” jawabnya bangga.
“Kalau
Emi ngasih kau apa, Ben?” tanya Togar kepada Beben.
“Emi
nggak ngasih apa-apa, kok!”
“Jadi?”
tanya yang lain hampir bareng.
“Selama
perpisahan ini, kami cuma tukeran jam tangan. Biar kalo lagi ngeliat jam,
kita-kita saling terbayang!” kata Beben sambil menunjukkan tangannya. Mereka
tertawa melihat kejanggalannya. Tangan Beben besar berotot tapi memakai jam Emi
yang imut banget.
“Emi
pasti kerepotan, memakai jam elo yang segede jam dinding itu!” kata Adhie
tertawa.
“Biarin!
Biar tambah, m e s r a ...!” kata Beben bergaya bencong yang menel alias
ganjen banget. Mereka tertawa cekikikan.
“Nah,
kalo elo dikasih apa, Gar?” tanya Ganes kepada Togar yang masih cengengesan.
Togar merapatkan jaketnya.
“Sebatang
coklat.” jawabnya santai.
“Sebatang
coklat? Mana, Gar?” tanya Adhie penuh nafsu.
“Kok
ngasih coklat, kesannya apa. Kurang romantis, ah!” ujar Acep mendengar jawaban
Togar tadi.
“Coklatnya
udah elo makan belon, Gar? Bagi gue, dong...” pinta Adhie penuh harap. Togar
cuma menarik alis melihatnya.
“Iya,
nih! Kalo udah dimakan. Jadi deh, kotoran!” ujar Beben serius. Mendengar
pendapat rekan-rekannya itu.
“Kalianlah
yang tak punya rasa romantis sehebat Noer-ku itu!”
“Edew,
segitu bangganya. Apa coba kehebatannya?" tanya Adhie penasaran.
“Begini...
kalian dengar, ya. Sebelum berangkat Noer membelikan aku sebatang coklat.
Katanya coklat ini tidak boleh aku makan dari berangkat hingga pulang nanti.”
“Lho
kok, gitu? Buat gantungan ransel?” potong Ganes keheranan.
“Jidat
kaulah! Masak buat gantungan ransel. Makanya jangan potong omonganku
dulu. Coklat itu tidak boleh aku makan, karena kami akan memakannya bareng di
sekretariat kita. Sepulang pendakian ini nanti. Kalian kan
tahu, kalau aku ini maniak coklat. Coba kalian bayangin betapa kepinginnya aku
makan coklat itu,” kata Togar dengan muka setengah nelangsa. Lucu banget mimik
wajahnya. Mereka jadi kasihan melihatnya.
“Bego amat si, Gar. Kalo udah dimakan, ntar kan bisa
diganti?” kata Beben serius. Kemudian disusul ide busuk si Acep...
“Betul,
Gar. Kita makan aja. Nanti kita beliin gantinya.” Mendengar itu dia menggeleng,
tak setuju.
“Nah,
di sini intinya. Katanya dia ingin tahu. Apakah aku bisa pegang janji apa
tidak. Baik janji kami berdua. Maupun janjiku pada diri sendiri. Memang aku
bisa memakan lalu menggantinya. Tapi kalau gitu, artinya aku sudah ingkar
janji dan membohongi diri sendiri. Jadi, bagaimana pun bentuk coklat itu nanti,
akan makan kami berdua di sekretariat kita,” kata Togar dengan bangga.
“Wah, wah, hebat, Gar. Emang kelihatannya lucu. Namun makna yang tersirat di dalamnya
romantis banget!” Ganes memujinya. Dasar! Kalo lagi pada kasmaran. Segala
sesuatunya selalu dinilai dari segi keromantisan.
“Sorry
guys! Gue sedang nggak punya kisah romantis yang baru.” kata Adhie pelan.
Dia baru pisahan dengan Nana, pacarnya. Yang lain merasa tidak enak
mendengarnya. Melihat wajah temannya begitu, buru-buru dia berkata...
“Sekarang
giliran elo, Nes!” katanya sambil tersenyum. Wah, rasanya cuma gue yang ketiban
sial. Rara tak memberi apa-apa. Kecuali syarat mautnya itu. Gumam Ganes dalam
hati.
“Ayo,
Nes. Rara ngasih elo apa?” tanya Acep
penasaran. Aduh! Gue mau ngomong apa? Apa musti diceritain persyaratan Rara
itu? Dia mulai kebingungan. Terpaksa...
“Gue
nggak dikasih apa-apa oleh Rara. Tapi kalian bakal ngiri kalo mendengar
ceritanya,” jawabnya sambil menuang kopi ke dalam gelas. Terpaksa gue
berbohong. Maafin gue, Tuhan!
“Apa
sih, Nes. Bertele-tele betul kau?” tanya Togar nggak sabaran.
“Gue
di beri Rara sunpikaki!”
“Sunpikaki?
Makanan Jepang ya, Nes?” tanya Adhie tidak mengerti.
“Bukan!”
“Lalu
apa?”
“Sunpikaki
adalah sun pipi kanan kiri!” Dia mengambil salah satu kata istilah yang
dipake Anis, adiknya. Kemudian dia tertawa. Tawa yang membikin sesak dadanya. Sorry
guys. Gue terpaksa bohong.
“Wah,
gila banget, Nes!” Pekik mereka ngiri kemudian ikut tertawa lepas. Jam telah
menunjukkan pukul setengah satu malam. Ketika mulai terasa mengantuk, mereka
pun beranjak tidur. Dalam waktu yang singkat mereka sudah nyungsep dalam sleeping
bagnya masing-masing. Beberapa saat saja, sudah terdengar dengkuran Togar.
Suaranya mirip gergaji tumpul. Hanya Ganes yang belum bisa memejamkan matanya.
Dia merasa bersalah. Telah membohongi teman-temannya. Belum lagi kalau inget
dengan syaratnya Rara itu. Gue terpaksa berbohong gara-gara syaratnya kamu itu,
Ra! Gue heran. Kenapa kamu minta bunga edelweis. Kenapa baru sekarang dan
tiba-tiba sekali? Memang kata orang bunga edelweis adalah bunga cinta abadi
anak-anak pecinta alam yang lagi kasmaran. Gue jadi pusing! Akhirnya Ganes
tertidur juga, dibuai oleh suntuknya sendiri.
Ganes sudah berada di atas batu segede dinosaurus yang lagi berguncang hebat. Tubuhnya limbung lalu jatuh terbanting. Mulutnya berdarah. Beberapa giginya patah. Dia merintih kesakitan, tersentak dan terbangun. Oh, mimpi gue serem banget. Kata orang, mimpi gigi patah pertanda buruk. Tapi moga-moga mitos itu salah. Gue nggak mau tambah pusing. Gue mau tidur. Mau tiduuur! Batinnya menjerit.
Ganes sudah berada di atas batu segede dinosaurus yang lagi berguncang hebat. Tubuhnya limbung lalu jatuh terbanting. Mulutnya berdarah. Beberapa giginya patah. Dia merintih kesakitan, tersentak dan terbangun. Oh, mimpi gue serem banget. Kata orang, mimpi gigi patah pertanda buruk. Tapi moga-moga mitos itu salah. Gue nggak mau tambah pusing. Gue mau tidur. Mau tiduuur! Batinnya menjerit.
Keesokan
harinya mereka bangun kesiangan. Sunrise
yang diharapkan cuma tinggal sisa-sisanya saja. Padahal hari itu cerah banget.
Mereka berkeliling mengabadikan keindahan puncak gunung Lawu. Mereka hanya dua
malam berada dipuncak. Pagi esoknya mereka pun beranjak pulang. Selama
perjalanan pulang perasaan Ganes tetap merasa tidak enak. Gelisah sampai
meninggalkan gerbang Cemoro Kandang. Selamat tinggal Lawu. Selamat tinggal
edelweis Lawu. Nantikanlah kami para pecinta alam. Yang akan selalu menyapa mu.
Selalu merindukan mu. []
Sekitar
jam dua siang, mereka tiba di Palembang.
Di terminal itu sudah menunggu rekan-rekan mereka. Para
bidadari tim pendakian Lawu juga sudah menunggu. Senyum dan sapa akrab
tertumpah di sana.
Semua melepaskan rindu. Menantikan segumpal cerita pendakian lalu. Ganes
celingukan mencari-cari seseorang. Dia mencari Rara. Dona juga belum terlihat
batang hidungnya. Ganes bertanya pada teman-temannya yang lain. Namun semuanya
menggeleng tidak tahu. Tiba-tiba mobil Dona muncul. Ganes langsung memburu ke
arahnya.
“Na,
mana Rara. Kok nggak bareng elo?” tanyanya dengan muka heran. Eh, wajah si
Tomboy ini terlihat sendu banget? Dengan lesu Dona menyalaminya. Kemudian
berkata pelan...
“Rara
berhalangan, Nes. Yuk, kita temuin dia.”
Ganes berusaha menyelami wajah sendu itu. Hatinya bertambah tidak enak
dan bertanya-tanya. Dona menarik tangannya. Bukan Ganes saja yang keheranan.
Semua yang hadir di situ juga heran melihat tingkah Dona yang tidak seperti
biasanya itu. Setelah mereka berada di dalam mobil.
“Hei...Na.
Mau kemana?!” tanya Noeri.
“Iya!
Mau kemana? Sekarang kan
ada acara penyambutan!”
“Sorry,
Gar, Noer. Ini penting banget.”
“Iya,
tapi ke mana?” potong Togar cepat. Ganes pun mulai tampak kesal.
“Iya
nih, si Donna! Ada
apa, sih?!” dengusnya kesal.
“Kita
ke ‘Hoesin’ Gar. Ajak yang laen!” Tanpa menunggu jawaban Togar, Donna langsung
tancap gas. Mobil itu melaju kencang. Meninggalkan mereka yang masih
kebingungan.
“Ke
Hoesin? Ngapain kita ke rumah sakit. Ngomong yang jelas dikit kenapa sih, Na!”
bentak Ganes kesal bercampur cemas. Dia takut membayangkan apa yang terlintas
di otaknya.
“Rara,
Nes. Dia kecelakaan...,” jawab Donna lirih. Bagai petir yang menggelegar
telinga Ganes.
“Rara…
k e c e l a k a a n…” gumam Ganes tak sadar. Mengulangi kata-kata Donna
barusan. Tubuhnya lemas serasa tak bertulang lagi. Hatinya sedih, kesal dan
bingung menjadi satu. Mengapa ini mesti terjadi Tuhan. Mengapa mesti Rara yang
mengalaminya. []
Mereka
langsung berlari menuju ke ruang ICU. Tempat Rara dirawat. Orang tua dan
saudara-saudara Rara sudah berkumpul. Beberapa teman Rara dari SMUN 555 juga
hadir di sana.
Ganes menyusul langkah Dona, masuk
dengan langkah perlahan. Semua mata tertuju ke arahnya. Mungkin karena
dia masih mengenakan pakaian Wanacala. Lengkap dengan segala atributnya. Tampak
lusuh dan dekil lagi. Mama Rara masih terisak, sambil memeluk Kiki. Tiba-tiba
Kiki berlari ke arah Ganes.
“Bang
Ganes! Mbak Rara sakit!” Dia memeluknya. Ganes mengusap lembut kepala Kiki
tanpa mampu berkata-kata. Matanya terasa panas. Suasana haru menyelimuti tempat itu.
“Ganes, kan?”
Papa Rara menyapa sambil memegang pundaknya. Ganes menyalaminya.
“Om tahu hubungan
kalian. Rara sering cerita tentang kamu. Om
tidak sempat menjemputnya. Karena ada rapat kantor yang mendadak. Lalu Rara
pulang naik taksi. Dan… akhirnya... tabrakan dengan truk yang ngebut itu. Sopir
taksi dan truk itu tewas seketika. Sementara Rara masih koma... Sekarang sedang
menjalani operasi.” Ucap Papa Rara lirih. Ganes bungkam tak bersuara. Ia hanya bisa mengangguk lemah. Ya, Tuhan selamatkanlah Rara. Sembuhkanlah dia. Gue mohon kepada-Mu,
Tuhan. Pintanya dalam hati. Tiba-tiba pintu ruang operasi terbuka. Dokter yang
mengepalai operasi itu keluar menemui keluarga Rara. Dia berkata lirih.
“Maafkan...
Kami telah berusaha keras,” katanya dengan hati-hati. Tanpa menunggu perkataan
dokter itu selanjutnya, mama Rara berteriak histeris.
“Tidaaak!
Raraaa! Jangaaan!” Suami dan keluarganya sibuk menenangkannya. Innalillahi
wainnaillahi rozi’un. Hampir semua wanita yang hadir di situ menangis.
Ganes bengong. Mengharap semua ini hanya mimpi. Dia menggigit bibir dan matanya tambah panas.
Matanya basah. Rara telah pergi menghadap-Nya. Pergi meninggalkan semuanya.
Rupanya ini yang selalu membikin perasaan gue tidak tenang. Mungkin juga arti
dari mimpi gue kemarin atau... tentang permintaan Rara yang aneh itu. Andai gue
tahu itu permintaan lo yang terakhir. Akan gue petik edelweis Lawu sebanyak
mungikn! Bukan hanya setangkai seperti yang elo pinta, Ra! Persetan
kelestarian! Persetan dengan pecinta alam! Asal gue bisa memenuhi permintaan
lo yang terakhir itu, Ra. Gue emang jahat! Gue ingkar janji! Gue yang....
Belum sempat Ganes meneruskan kata-kata yang bergejolak dalam hatinya. Terasa
ada yang menyentuh bahunya dengan lembut. Dia menoleh. Rekan-rekan dari
Wanacala telah hadir pula di situ.
“Gar...
Rara pergi, ninggalin kita. Ninggalin gue, Gar...” kata Ganes lirih banget
sambil memeluk Togar erat. Akhirnya dia menangis.
“Sudahlah,
Nes... Tabahkan hati kau. Relakan dia pergi. Kita doakan, semoga Rara tenang dan
diterima baik di sisi-Nya,” ucap Togar dengan lembut berniat menyejukkan
hatinya. []
Tiga
hari setelah Rara meninggal. Ganes tampak termenung di kamarnya. Mengenang
kembali saat-saat perama kali mereka bertemu. Pada malam persami yang diadakan
oleh anggota Wanacala SMUN 2000 setahun yang lalu. Mengingat semua kenangan
suka duka yang pernah mereka lalui berdua. Ingat waktu Rara ngambek, gara-gara
dicuekin tempo hari. Ingat saat dia menggenggam jemari dan mencubit lesung
pipitnya saat melepas keberangkatannya ke Lawu tempo hari. Tapi yang paling
mengganggu fikirannya adalah hutang janji. Janji untuk membawakan Rara
setangkai edelweis Lawu. Sebagai persyaratan damai mereka itu. Selagi merenungi
kesedihannya, tiba-tiba pintu kamarnya diketuk pelan.
“Nes...
ada Dona, tuh!” panggil ibunya memberitahukan. Dengan malas Ganes membukanya.
“Aduuh.
Segitu kusutnya... Buruan pake baju. Temuin dia,” kata Ibu begitu melihat keadaan
Ganes yang super kusut begitu. Dona datang sendirian. Ganes menyapanya hambar.
“Nes,
ini ada kaset rekaman Rara. Kayaknya belum sempat dia berikan ke elo. Kaset itu
gue temukan di laci meja belajarnya. Elo nggak usah khawatir. Belum gue denger,
kok,” kata Dona sambil memberikan kaset bersampul biru itu. Warna kesukaan
Ganes. Mereka memang biasa saling memberi kaset rekaman suara. Biasanya pada
hari-hari spesial mereka berdua.
“Makasih
ya, Na.”
“He-eh.
Elo jangan bersedih terus, ya. Kita semua sayang Rara. Doakan dan relakanlah
dia pergi. Jangan sampai kita memberatinya. Dengan kesedihan yang
berkepanjangan. Ngg... entar malam datang kan,
Nes?” kata Doa pelan.
“Iya,
Na. Gue pasti datang dengan ama yang lain.”
“Keluarga
elo juga, jangan lupa...” kata Donna mengingatkan. Ganes mengangguk. Tak lama kemudian Donna pamitan pulang.
“Iya,
Na. Makasih.”
Dengan dada berdebar dia
membuka sampul kaset itu. Lalu menghidupkan tapedecknya. Di covernya
ada nama Ganes dari tulisan tangan Rara. Hening. Kemudian terdengar desis pita
kaset kosong. Kemudian terdengar suara Rara yang lembut.
”Dearest Ganes, lagi ngapain? Yang pasti lagi ngedengerin kaset ini, ya? Rekaman ini Rara buat sehari setelah keberangkatan elo ke Lawu.."
Hening sesaat...
"Nes... maafin Rara, ya. Rara nyesel udah maksain lo, bawain edelweiss Lawu. Rara yakin itu berat buat elo. Rara tau, elo itu pecinta alam yang baek, dan Rara juga yakin pasti Ganes nggak bawakin kan?"
Mendengar itu batin Ganes terasa pedih. Jantungnya kian berdebar.
"Tapi, Nes... lo jangan ngerasa bersalah, kalo nggak ngebawainnya. Rara sadar kalo itu salah. Jadi Rara nggak nuntut lagi, deh! Dan kalo emang benar gitu, Rara tambah sayang ama Ganes. Karena lo anak yang teguh pendirian. Nggak dan munafik. Nes... denger ya, ini bukannya Rara mau nguji kepribadian elo. Rara udah tau gimana kepribadian elo. Udah dulu ya. Maafin semua kesalahan Rara. Sayang Rara yang banyaaak banget buat Ganes seorang. Your babe, Rara, Mmmuuach... ” Sssssssss...
Suara pita kaset kosong terdengar kembali. Ganes terdiam dan terharu. Mulut dan hatinya tak mampu berkata-kata lagi. Setelah mendengar kaset yang dibuat Rara untuknya. Suasana makin hening. Makin sepi... [end/ganezh] Oktober’94
”Dearest Ganes, lagi ngapain? Yang pasti lagi ngedengerin kaset ini, ya? Rekaman ini Rara buat sehari setelah keberangkatan elo ke Lawu.."
Hening sesaat...
"Nes... maafin Rara, ya. Rara nyesel udah maksain lo, bawain edelweiss Lawu. Rara yakin itu berat buat elo. Rara tau, elo itu pecinta alam yang baek, dan Rara juga yakin pasti Ganes nggak bawakin kan?"
Mendengar itu batin Ganes terasa pedih. Jantungnya kian berdebar.
"Tapi, Nes... lo jangan ngerasa bersalah, kalo nggak ngebawainnya. Rara sadar kalo itu salah. Jadi Rara nggak nuntut lagi, deh! Dan kalo emang benar gitu, Rara tambah sayang ama Ganes. Karena lo anak yang teguh pendirian. Nggak dan munafik. Nes... denger ya, ini bukannya Rara mau nguji kepribadian elo. Rara udah tau gimana kepribadian elo. Udah dulu ya. Maafin semua kesalahan Rara. Sayang Rara yang banyaaak banget buat Ganes seorang. Your babe, Rara, Mmmuuach... ” Sssssssss...
Suara pita kaset kosong terdengar kembali. Ganes terdiam dan terharu. Mulut dan hatinya tak mampu berkata-kata lagi. Setelah mendengar kaset yang dibuat Rara untuknya. Suasana makin hening. Makin sepi... [end/ganezh] Oktober’94
Nice story..
ReplyDeleteMakasih Nana, makasih udah menyempatkan baca :D
Deletedulu cuma dengar dari teman, setelah 14 tahun ahirnya bisa baca juga...........
ReplyDelete#Nice_story
Makasih Johan, makasih sdh mampir :)
Delete" Bang...sy mau dönk novel2'a...maaf bisa beli d mana ya..?
ReplyDeleteNovelnya udh gak dicetak lg, Nano. Maka abang share lewat blog ini. Makasih udh baca ya 😄
ReplyDelete