[Ganezh/Nop,1992]
Pada jam istirahat, kantin sekolah sudah ramai dipenuhi siswa-siswi yang pada kehausan plus kelaperan. Tampak dua siswa lagi asyik mengobrol. Tak merasa terganggun keadaan hiruk pikuknya anak-anak, berteriak memesan makanan dan minuman pada Bu Kantin. Sesekali mereka asyik menggoda adik-adik kelas yang lagi jajan. Dua orang itu adalah dua sahabat Ganes dan Togar. Siswa kelas dua SMU 2000.
“Aku tadi pagi putar-putar cariin kau, tak taunya kau
...”
“Sstt... Gar, kalo ngomong pelan dikit kenapa sih, gue kan belon budek!” potong
Ganes cepat. Mukanya cemberut cucut. Togar nyengir tanpa dosa.
“Iyalah, sorry. Itu kan memang logatku. Oh ya, kau sudah ketemu
si Ojiq?”
“Mau kali. Memang inilah yang kutunggu-tunggu sejak tadi.
Aku memang lagi haus betul, nih!” Togar bersemangat. Ganes memesan dua gelas es
jeruk pada Bu Kantin. Togar adalah sobat Ganes yang paling kental. Malah kalo
lagi ada tawuran sama sekolah lain, dia bisa diandalin. Eit! Apa lagi tawuran
sama anak SD, hehehe.
“Katanya minggu kemaren, dia mau datang ke rumah kau,
Nes?”
“Janjinya sih, iya. Tapi si Pesek itu ngibulin, doang.”
Ganes bersungut kesal.
“Ojiq memang tuyul. Kalau lagi dicariin dia tak
muncul-muncul. Tapi kalau tidak, wah! Sampai bosan kita lihat wajahnya itu!”
Togar menimpalinya. Suasana kantin makin ramai, dikunjungi murid-murid yang
kehausan plus kelaperan. Mereka habis mengikuti acara class-meeting.
Shrrrfffpt!... Sshroooph! Bunyi
mulut-mulut mereka. Saat menyedot es jeruk yang sekarat habis. Beberapa pasang
mata menoleh ke arah mereka. Mereka cuek tak perduli.
“Gar, inget nggak. Waktu kita mendaki Kerinci dulu. Masih
inget?” tanya Ganes serius. Kening Togar tampak berkerut. Mencoba
mengingat-ingat sesuatu sambil terus menyedot gelasnya yang sudah kosong.
“Aku inget kali! Nes. Waktu kau menginjak batuan lepas.
Kau jatuh bergulingan. Hidung dan muka kau luka lecet semua. Jidat kau juga
benjol. Ah, memang lucu kali kau saat itu. Hahaha!” Togar tertawa lebar.
Beberapa siswa di dalam kantin itu menoleh ke arahnya.
“Bukan yang itu sompret! Gue kan pesen. Kalo ngomong coba kurangi aksen
berkau-kaunya itu. Kebanyakan tau!” kata
Ganes kesal. Habis lain yang ditanya, lain dijawabnya. Tawa Togar hilang
seketika. Kemudian berkata pelan.
“Jangan begitulah kau. Itukan sudah bawaan ku sejak
lahir. Aku ini orang Medan.
Jadi mengertilah kau!” jawab Togar polos tanpa dosa.
“Bukan mengerti lagi, Gar. tapi...”
“Heii...
Kodok! Dicariin ke mana-mana, nggak tahunya pada nyungsep di sini, ya!” Kalimat
Ganes terpotong oleh suara cempreng dari si Tomboy, Dona. Gadis itu mendekati
mereka berdua.
“Gue
pinjem Gokil sebentar, Gar!” Tanpa menunggu jawaban Togar, Donna sudah menarik
Ganes ke luar kantin. Ganes belum sempat berkata apa-apa. Ia hany mengikuti
arah tarikan Dona.
“Bolehlah,
tapi Ganes yang bay--” pekik Togar memperingatkan.
“Sorry
banget, Gar. Kali ini elo yang bayarin, ya!” jawab Ganes cuek.
“Eh,
kau-- Gokil kali kau, Nes!” Togar memakinya. Dia merasa dibohongi. Ganes mirip
kebo yang lagi dihela Bu Tani. Ditarik Donna ke arah kelas II.3. Dengan tidak
sabaran dia bertanya.
“Ada apa sih, Na. Pake
nyepiin segala?!” tanyanya kebingungan. Dona tersenyum menyeringai.
“Nah,
lo. Nggak ngerasa kalo punya salah. Kenapa lo nggak datang ke rumah Rara? Awas
kalo elo maenin sepupu gue. Gue jitakin abisa-abisan elo, Nes!” Cecar Donna
membikin Ganes kelabakan.
“Eh,
entar dulu. Siapa yang mau maenin Rara. Malam minggu kemaren, gue nungguin Ojiq
yang berjanji mau mulangin sleepingbag gue. Eh, nggak taunya si Pesek
itu cuma bohong. Jadi gue nggak sempat ke rumah Rara!” jawab Ganes
berusaha membela diri.
“Kenapa nggak nelpon?” tanya Donna lagi dengan
sengit.
“Telpon
gue rusak!”
“Aah...
Itu cuma alasan elo, Nes. Telpon umum kan
banyak! Terus minggu-minggu sebelumnya? Kayaknya lo udah mulai beruba, Nes.
“ Donna kelihatan kecewa. Sesaat Ganes
terdiam. Waduh! Emang udah dua minggu gue nggak ketemu Rara. Selalu ngeles
kalau diajak ketemu. Asyik dengan urusan gue sendiri. Kesannya gue udah
ngelupain Rara, doi gue sendiri. Ganes membatin dalam hati.
“Nah,
kan... kalo
udah ketahuan salahnya, jadi bengong sendiri. Elo kan tahu, Rara butuh elo. Rara punya rindu
buat elo. Seharusnya elo bisa menghargainya, dong! Gue tahu kalo elo lagi sibuk
dengan persiapan pendakian Lawu. Elo kan
bisa nongolin muka barang semenit untuk menemuinya. Elo salah, Nes. Kalo cuma
bisa menjangkau gunung-gunung jauh di luar pulau sana. Tapi Rara yang satu kota aja, elo cuekin. Seharusnya elo yang lebih
ngerti ketimbang gue, Nes!” kata Dona panjang lebar dan dia benar-benar kesal
dengan kelakuan Ganes baru-baru ini.
“Ampun,
Na. Udah, deh. Udah! Gue ngaku salah. Entar sore gue temuin dia. Jangan pojokin
gue terus, dong!” kata Ganes memohon.. Begitu mendengar perkataan Dona yang
mirip muntahan peluru yang keluar dari moncong senapan. Tapi semua yang
dikatakan Dona tadi semuanya benar.
“Bener,
ya. Awas kalo bohong!” ujar Dona meyakinkan. Kemudian dia tersenyum melihat
mimik wajah Ganes kelabakan begitu.
“Iya,
deh. Suer... suer,” jawab Ganes serius. Dona memang temen yang baik. Anak
Wanacala juga. Klub pecinta alam SMUN 2000 Palembang. Tapi yang paling di sukai Ganes
dari Dona, karena dialah yang mempertemukannya dengan Rara. Anak SMU 555. Rara
Saraswati yang baek, manis, pengertian, pokoknya membikin Ganes kesemsem
berat. Mereka diperkenalkan sewaktu Wanacala mengadakan malam persami tahun
lalu. Pada liburan semester ganjil ini, Wanacala hendak mengadakan pendakian ke
Gunung Lawu, 3.245 mdpl, di Jawa Tengah.
Konon kabarnya bunga edelweis
Lawu beragam warna. Kebetulan Ganes yang jadi ketuanya. Makanya dia terlihat
sibuk. Malah sempat nyuekin Rara. Setelah Dona berlalu, Ganes masih termenung
di pojok kelas II.3. Begitu asyikkah gue dengan dunia gue sendiri. Nyampe segitu begonya gue ngelupain Rara? Tanyanya dalam hati. Perasaan bersalah
membludak di dadanya. Sore nanti dia berniat berkunjung ke rumah Rara. Dia baru
beranjak, setelah mendengar panggilan sobatnya, Togar. []
Dengan
jantung berdebar dan rasa bersalah, Ganes memasuki pintu gerbang rumah Rara.
Rumah besar dengan cat biru muda. Di depanya ada taman bunga yang cukup apik.
Rara memang rajin merawat taman bunganya. Dia mengetuk pintu sambil mengucapkan
salam. Hening sesaat. Lalu terdengar langkah-langkah kaki dari dalam.
“Eh,
Ganes. Kemana aja, kok lama nggak maen ke sini?” Waa! Yang menyambut mamanya
Rara, tante Mia. Ganes kelihatan agak gugup. Dia berusaha tersenyum.
“Agak
sibuk, Tante. Ngg… Rara ada, Tante?” tanyanya hati-hati. Mama Rara
tersenyum ramah. Dia menganggukkan kepalanya. Kemudian mempersilahkan Ganes
masuk.
“Duduk
dulu, ya. Tante panggil sebentar.” Ganes mengangguk. Hening. Tidak sampai dua
menit, Tante Mia sudah kembali lagi. Dia membawa nampan berisi segelas minuman
segar.
“Tunggu
sebentar ya, Nes. Rara tadi ketiduran. Diminum airnya, ya. Tante tinggal dulu.
Sebentar lagi dia datang, kok.” Lagi-lagi Ganes mengangguk sambil tersenyum.
Setelah Tante Mia berlalu, Ganes kembali termenung. Ruang tamu rumah Rara penuh
dengan barang-barang antik. Koleksi papanya Rara. Di dindingnya terpajang foto
keluarga Rara. Dia menatap foto wajah Rara.
Ganes menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Memikirkan argumen buat
ngadepin Rara nanti. Selagi asyik berpikir, dia dikejutkan oleh suara yang
cukup cempreng.
“Ee... Bang Ganes! Kok lama nggak dateng. Udah sombong, ya?” Ternyata Kiki. Adiknya
Rara yang masih TK. Dia anak yang pinter dan cerdas sekaligus lucu. Ganes
sering membelikan coklat untuknya. Dia tersenyum melihat kehadirannya.
“Bukannya
sombong, Ki. Abang lagi sibuk. Sekarang nggak lagi. Makanya Abang datang lagi
ke sini,” jawab Ganes tersenyum.
“Oo...
begitu. Padahal Mbak Rara sering nungguin, lho!” kata Kiki polos dan jujur.
“Bener,
Ki?” tanya Ganes penasaran.
“Bener.
Tapi... coklatnya mannnaa?!” Kiki menirukan gaya sebuah iklan di TV. Dia menengadahkan
tangannya. Untung Ganes tadi tidak lupa kesukaan Kiki. Dia membuka tas dan
memberikan dua batang coklat padanya
“Hore!
Makasih ya, Bang Ganes baek, deh!” pekiknya gembira. Dia hendak berlari
kebelakang, tapi...
“E-eh...
Ki, entar dulu. Panggilin Mbak Rara, ya!” Bisik Ganes pelan.
“Oke!”
jawab Kiki cepat. Dia berlari ke arah kamar Rara. Dasar anak-anak! Kayaknya emang sengaja ngulur waktu untuk nemuin gue. Dia pasti bener-bener
marah. Gumam Ganes dalam hati. Suasana kembali hening. Ganes duduk termenung. []
“Pake
nyuap Kiki segala. Mau cari apa kemari? Sleeping-bag? Carrier? Carabiner?
Di sini nggak ada alat-alat begituan! Elo salah datang kemari.” Ganes terlonjak
kaget. Rara muncul tiba-tiba. Wajahnya terlihat kesal.
“Lho kok,
gitu, Ra? “ jawab Ganes merasa tidak enak.
“Kalo
mau cari alat-alat begituan, kamu salah alamat, Nes. Cari aja ke tempat laen!”
ujarnya sinis. Dia malah hendak meninggalkan Ganes. Buru-buru Ganes
menghadangnya. Belum sempat Ganes berkata...
“Rara
kesel banget, Nes!” sentaknya agak tinggi. Lalu duduk dia di sofa. Ganes
mengikutinya. Hening dan membisu.
“Rara
kesal...” ucapnya lagi lirih.
“Oke,
Ra, gue emang salah. Salah banget. Udah nyuekin lo. Tapi beri gue
kesempatan ngejelasin semuanya. Buat
memperbaikinya, Ra.” Ganes berkata pelan. Rara diam membisu. Matanya mulai
terlihat mendung. Cukup lama mereka saling diam membisu.
“Dulu...
kalo Ganes mau mendaki atau kegiatan apa aja. Pasti ngasih tahu Rara. Tapi
sekarang nggak. Rencana Lawu aja, Rara tahu dari Dona. Jangan kan mau datang, nelpon aja elo nggak, Nes,”
kata Rara pelan. Ganes terdiam. Dia sadar semua memang salahnya.
“Gue
minta maap, Ra. Gue nggak sempat ngasih tau. Gue terlalu sibuk ngurusin
persiapan pendakian Lawu. Tapi percayalah, gue tetap sayang elo, Ra. Nggak ada
niat di otak gue buat ngelupain. Apalagi ninggalin lo. Percayalah, Ra,” kata
Ganes serius. Rara masih tetap diam membisu. Tanpa reaksi sama sekali. Dia
menunduk masih memainkan jemari tangannya.
“Please?”
Ganes memohon. Cukup lama baru Rara mengangguk lembut. Kegugupan Ganes hilang
seketika. Tanpa sadar dia menggenggam erat tangan Rara.
“Makasih
ya, Ra. Nah, gitu... senyum, dong!” rayu Ganes tertawa.
“Jelek!”
kata Rara matanya melotot bagus. Kemudian dia tersenyum gemas sambil mencubit
bahu Ganes.
“Aduuh!
Eh, ada Mama tuh!” kata Ganes berbohong. Rara kaget kemudian sambil celingukan
kesana kemari.
“Tapi
ada syaratnya,” kata Rara serius.
“Boleh,
apa coba... BMW? Bemo atau Becak?” Tantang Ganes kemudian.
“Enak
aja. Bukan itu, dong! Cuma... setangkai edelweis gunung Lawu. Itu aja, ya,”
kata Rara serius banget. Ganes melongo bloon.
“Kok
itu, Ra? Yang laen aja, ah!” pinta Ganes tak percaya dengan persyaratan yang
diajukan Rara.
“Pokoknya
Rara nggak mau tahu. Yang penting pulangnya Ganes mesti bawain, setangkaaai aja,” ucapnya ngotot.
“Aduh,
Ra. Gue kan
nggak bisa. Yang laen aja, ya?” kata Ganes mencoba menawar, memohon pengertian
Rara. Tapi percuma Rara masih tetap ngotot dengan persyaratannya itu.
“Nggak!
Pokoknya kalo tidak mau. Pulangnya nggak usah temuin Rara lagi.” Ancamnya
mantap. Mengingat mereka baru saja berbaikan, terpaksa Ganes mengiyakannya.
“Iya,
deh! Iya...,” jawabnya lesu. Moga-moga kamu ngebatalin syarat itu. Kamu kok
aneh sih, Ra. Gumam Ganes dalam hati. []
Hari
pemberangkatan tiba. Tim pendakian Lawu dilepas oleh rekan-rekan Wanacala-nya.
Tim itu beranggotakan lima
orang. Mereka adalah Ganes, Togar, Adhie, Acep dan Beben. Mereka sudah
berkumpul di terminal bus antar kota.
“Elo jangan marah lagi, ya. Doain gue biar selamet dari pergi hingga pulang
nanti,” kata Ganes pelan sambil
menggenggam erat tangan Rara. Rara tersenyum manis.
”He-eh.
ELo hati-hati, ya. Jangan lupa shalat. Berdo’a dan jangan lupa juga sama janji
lo kemarin,” katanya pelan. Ada
nada sedih dalam ucapannya. Ganes menatap mata indah yang mulai mendung itu.
Cukup lama mereka saling menatap dan membisu. Kemudian Rara menundukkan
wajahnya.
“Udah
ya, don’t cry. Ini kan
bukan yang pertama, lo melepas gue pergi mendaki.” Ganes masih menggenggam erat tangan Rara.
Seakan tak mau dilepaskannya lagi. Rara membiarkannya tindakan Ganes itu.
“Ra... gue harap senyum lo tetap buat gue
selamanya. Semoga tak akan pernah berubah. Tetep nggemesin gue, ya,” ucap Ganes
tulus. Dia juga mencubit lembut pipi Rara. Rara tersenyum. Ada lesung pipit dikedua pipinya. Lalu dia
berkata lembut...
“Ganes
juga. Jangan sampai kecantol ama gadis sana.
Awas kalo pulangnya temen-temen bawa gosip.” Rara mengerling nakal. Ganes cuma
nyengir mendengarnya.
“Nes,
Rara juga mau minta maaf. Kemarin Rara sempat ngomong kasar sama lo. Maapin
Rara, ya.”
”Nggak
apa-apa, Ra. Kalo gue melakukan kesalahan, lo berhak untuk marahin gue..
Sebab dengan begitu, gue jadi tahu seberapa besar care elo ama gue!”
jawab Ganes sambil nyengir kuda.
“Wek!
Maunya, dasar!” Rara mencubit gemas perut Ganes. Dia hingga menggelijang
kegelian. Mereka tidak menyadari
kehadiran Dona.
“Ehm!“
Keduanya kaget, mendengar suara batuk yang disengaja itu.
“Nah...
gitu, dong. Kan
enak kalo pada akuran begitu.” Dona tertawa menggoda mereka. Mereka berdua
tertawa jengah kemaluan.
“Na,
makasih ya. Ceramahnya kemarin!” ucap Ganes tulus.
“Enak
aja ceramah. Emang gue Bu Haji kali!” tukas Dona cepat. Mereka tertawa. Rara
yang tidak tahu jadi kebingungan.
“Ceramah apaan sih, Na? Nes? Ceritain, dong!”
rengeknya penasaran banget.
“Nanti aja, Ra.
Di rumah,” jawab Dona masih tersenyum. Namun sayang waktunya telah tiba.
Terdengar panggilan untuk para penumpang. Busnya sudah siap berangkat. Mereka
berjabat tangan. Tim pendaki itu terlihat gagah dengan seragam biru gelap
Wanacala. Dengan syal merah di leher. Bus berangkat meninggalkan kota Palembang.
Diiringi lambaian tangan para pengantarnya. []
Jam sembilan pagi. Mereka sudah
sampai di gerbang Cemoro Kandang, rimba gunung Lawu. Daerah ini banyak terdapat
pohon pinus, selanjutnya pepohonan mahoni. Berjalan perlahan dengan beban
ransel di pundak. Menikmati ‘menu gunung’ yang penuh dengan
kejutan seperti, meniti trek jalur tanjakan. Meniti punggungan, lembah
dan jurang. Belum lagi tebaran batuan lepas yang bisa bikin terpeleset, jika
kurang hati-hati menjejakkan kaki. Tidak ketinggalan pula suhu yang dingin di
sertai kabut yang cukup tebal. Tim pendaki Wanacala bergerak lambat membela
kabut gunung yang menyelimut tipis.
Ganes berjalan paling belakang. Ingatannya selalu tertuju kepada Rara. Persyaratan Rara. Masih terngiang jelas semua perkataan Rara tempo hari. Cuma setangkai edelweis Lawu. Cuma setangkai. Gue jadi serba salah. Kalo bisa gue tidak seperti orang kebanyakan. Mereka yang mengikrarkan diri sebagai pecinta alam. Tapi selalu membawa pulang oleh-oleh dari puncak gunung. Entah itu untuk koleksi pribadi atau untuk hadiah pacar-pacar mereka. Mereka lupa dengan kode etik pecinta alam yang pernah mereka ikrarkan dulu. Kalo emang begitu, pantasnya kita jadi penikmat alam saja. Bukannya pecinta alam!
Ganes berjalan paling belakang. Ingatannya selalu tertuju kepada Rara. Persyaratan Rara. Masih terngiang jelas semua perkataan Rara tempo hari. Cuma setangkai edelweis Lawu. Cuma setangkai. Gue jadi serba salah. Kalo bisa gue tidak seperti orang kebanyakan. Mereka yang mengikrarkan diri sebagai pecinta alam. Tapi selalu membawa pulang oleh-oleh dari puncak gunung. Entah itu untuk koleksi pribadi atau untuk hadiah pacar-pacar mereka. Mereka lupa dengan kode etik pecinta alam yang pernah mereka ikrarkan dulu. Kalo emang begitu, pantasnya kita jadi penikmat alam saja. Bukannya pecinta alam!
Emang
sih, gue bukan pecinta alam sejati atau pahlawan kelestarian alam. Tapi gue
cukup berbesar hati karena hingga saat ini, gue belon pernah memetik bunga
edelwies atau menebang pohon tak sesuai kebutuhan. Meski pohon itu sebagus
bonsai Jepang sekali pun. Gue nggak pernah menoreh kulit pohon atau mencat batu-batu
gunung. Cuma sekedar pengen menuliskan nama biar ngetop. Gue akan mencoba dan
terus mencoba untuk tidak mengganggu kedamaian mereka. Menurut gue, sebagai
pecinta alam, tindakan untuk tidak mengambil apapun dari puncak gunung selain
foto atau sampah. Tidak merusak rambu-rambu dan pepohonan di sepanjang jalur
pendakian. Tidak mencoret-coret batu pegunungan. Ikut menjaga kebersihan di
lingkungan. Kita sudah cukup pantas menyandang predikat sebagai pecinta alam.
Karena kita telah ikut berpartisipasi dalam usaha menjaga kelestarian alam.
Meski pun tindakan itu tidak segede yang dilakukan kelompok pecinta alam sejati,
yang rela mati demi menyelamatkan lingkungan hidup ini. Biar sesederhana
itu, kalo kita sungguh-sungguh, akan membawa ketenangan dalam jiwa. Tapi kalo
gue inget persyaratan Rara itu, gue jadi ragu sendiri. Kalo tidak diturutin bisa gawat! Rupanya dalam hati Ganes sedang terjadi perang batin yang hebat.
Bagai buah simalakama. Hal itu yang membuyarkan konsentrasinya. Akibatnya dia
sering jatuh terpeleset. Rekan-rekannya sering menegurnya.
“Kenapalah
kau, Nes!” tegur Togar. Ganes kelihatan gugup. Tapi dia malah tertawa nyengir
tanpa dosa.
“Dasar
Gokil!” maki Adhie melihat responnya begitu. Dua menit berselang. Uffhh!
Bruukk! Ganes kembali jatuh tersungkur. Tersandung akar pohon yang bertonjolan
di tanah. Dia meringis menahan sakit.
“Ada apa sih, Nes?”
“Iya,
nih! Dari tadi jungkir balik melulu!” Kata rekan-rekannya cemas.
“Nggak
apa-apa, kok. Moga-moga ini yang terakhir,” jawabnya sambil menepiskan kotoran
yang menempel di bajunya.
“Kau
tenangin diri kau dulu. Kita rest di sini dulu!” kata Togar mengkomandoi
yang lain.
“Emangnya
ada apa sih, Nes?” tanya Acep penasaran. Ganes cuma
angkat bahu tak menjawab. Benar kata mereka. Gue harus konsentrasi penuh,
kalo nggak ingin celaka. Sebab kalo terjadi apa-apa, bukan gue sendiri yang
menanggungnya. Tapi seluruh tim gue. Ganes bergumam dalam hati. Langsung klik! Setangkai Edelweiss Lawu [Bag 2]
keren...tapi......
ReplyDeletetapi...? makasih dah baca ya :)
Deletebisa kali diangkat dilayar lebar
ReplyDelete