Tuesday, February 11, 2014

Survival [Bagian 2]



“Gimana, Dang? Sekarang udah jam dua belas!” tanya Luki makin cemas. Idang meraih HT dari tangan Luki. Ia menghubungi OSC Badak. Dengan sangat terpaksa ia menceritakan kejadian tim mereka pada Kang Jack. Benar saja, Badak jadi geger karena berita itu. Bahkan mungkin mulai tersiar ke seluruh Tim SAR. Terkesan unik dan konyol jika ada tim SAR tiba-tiba berubah menjadi survivor dan masuk daftar pencarian orang. Untung Kang Jack bisa mengerti dan paham. Ia melarang SRU 7 untuk bergerak. Karena akan dikirimkan tim bantuan ke posisi mereka. Mereka disuruh menunggu sambil terus menyelidiki ke mana arah Ganes menghilang.

Hujan telah reda. Waktu terasa begitu lambat dirasakan Ganes. Semua gejala-gejala alam dirasakannya dengan jiwa yang kacau. Saat itu dia lagi berusaha menghidupkan api unggun dengan matches-nya. Perutnya berontak lagi. Gue harus tetap bertahan. Coklat ini tinggal dua batang. Gue nggak thau dampai kapan akan begini. Gue harus survival. Ia berdiri ke luar celah akar pohon. Dengan bayonetnya ia mengumpulkan kayu, ranting dan dedaunan. Ia ingin membuat bivak di celah itu. Selanjutnya ia masuk ke dalam bivak dan mencoba membuat perapian. Usai menggigit coklat dan meminum air ia duduk mendekam di dekat perapian. Entah bagaimana ceritanya, tiba-tiba ia merasa ngatuk. Dengan posisi duduk bersandar, Ganes tertidur. Dibuai sesal, didera lapar juga lelah.[]

Jumat, Pukul 7.00 WIB.
Sudah sehari semalam Ganes tersesat di rimba Gunung Gede. Dengan langkah yang tidak sesehat kemarin. Ia sempat bimbang ingin melanjutkan pencarian ke tim SRU 7 atau tetap bertahan di bivak, akhirnya ia memutuskan untuk terus bergerak sambil terus mengumpulkan makanan menu survival. Sekarang ia berjalan melintasi medan becek dan licin. Uufss! Ganes terpeleset, refleks ia meraih rimbunan belukar yang ada di sampingnya. Aduh! Ia menjerit kesakitan. Eh, bukankah ini yang biasa kami sebut arbei hutan itu? Wah syukur, buahnya banyak! Gumamnya cerah. Ganes mengapai-gapai buah-buah berwarna merah itu. Lalu memakannya dengan lahap. Lumayan untuk mengganjal lambungnya. Ia ambil semua buah-buah itu. Tak hanya yang matang, yang mentah juga. Ia masukkan ke dalam body bagnya. Setelah merasa cukup, dia melajutkan penjelajahannya kembali. Tak lupa mematahkan ranting sebagai marka di setiap medan yang diterobosnya. Ganes menemukan turunan yang di bawahnya ada genangan air hujan. Itu—ciplukan! Buah ciplukan! Wajahnya berbinar. Dia juga memetik dan memakani buah-buah itu.
Dari tadi gue Cuma makan buah-buahan kecil melulu, kapan kenyangnya? Gue mesti cari buah lain atau bambu, atau—tunas pakis itu aja! Ganes memetiki beberapa pucuk pakis itu. Memasukkannya ke mulut dan mengunyahnya. Yaakkkhhh! Pahitnya! Terus begitu, sambil membayangkan menggigit paha ayam goreng yang enak. Usai itu ia menggigit batang coklatnya sedikit. Sebagai pencuci mulutnya yang pahit. Menguyahnya dengan lama baru barulah menelannya.
Sementara sekitar jam satu siang, tim bantuan untuk SRU 7 sudah tiba. Mereka hanya bertiga yakni Heru, Anto, dan Tedy. Mereka tiba dengan cepat, karena SRU 7 sudah menginformasikan kordinat mereka, serta marka yang dibuat SRU 7 juga cukup jelas. Idang dan rekan-rekannya menceritakan kembali kronologis lenyapnya Ganes.[]
Jam empat sore, Ganes dihadapkan pada jurang semak sedalam tiga meter. Dia terlihat ragu, mau berbalik rasanya tak sanggup lagi, akhirnya ia berusaha untuk menuruninya. Sayang, tubuhnya sudah terasa lemas. Akh! gussrraaak! Ganes jatuh terperosok. Tubuhnya meluncur deras menabrak apa saja yang ada di depannya. Lalu bergulingan menembus semak belukar. Baru berhenti, ketika tubuhnya membentur pohon lapuk yang tumbang. Masih dalam posisi terlentang, ia merasa pandangannya berkunang-kunang. Ganes mengedip-ngedipkan mata untuk pandangannya normal kembali. Kepalanya terasa pusing. Ya, Tuhan, jauh juga gue jatuh. Perlahan Ganes berdiri. Menatap ke atas bibir jurang semak itu. Rasanya ia tak sanggup ia memanjatinya. Ia menebarkan pandangan ke sekelilingnya. Haah! Matanya melotot dengan mulutnya mengangga. Apa gue nggak lagi ngayal? Sekali lagi ia mengucek matanya. Tak jauh dari posisinya jatuh, tampak tergeletak sebuah topi. Entah dapat doping dari mana Ganes memburunya. Masih baru. Ditebarkannya lagi pandangannya—bodybag! Pekiknya gembira. Barang-barang ini pasti milik mereka. Mereka pasti pernah ke sini! Ganes makin bernafsu untuk mencari-cari lagi, namun ia tak menemukan apa-apa lagi, selain ranting-ranting patah yang terinjak atau jejak sepatu di lumut tanah. Tampaknya jejak yang masih baru.
Heeii?! Ada orang si sini?! Hoooii—apa ada orang di sini?! Pekik Ganes dengan suara yang lantang. Hening. Tak ada sahutan atau erangan sekalipun. Dengan perasaan kecewa dia menelusuri jejak-jejak itu. Masa Allah! Pekiknya bergetar lebih terkejut dari tadi. Di depannya tergeletak tubuh seorang gadis. Dalam keadaan diam tak bergerak. Posisinya miring. Dengan gemetaran Ganes mendekat. Degup jantungnya tak karuan. Apakah—apakah ia sudah tewas? Perlahan Ganes mendekat. Menelentangkan tubuh itu. Ia seorang gadis. Ganes menatap wajahnya yang pucat. Perlahan Ganes menyentuh pipinya. Dingin bagai es. Perlahan ia memegang pergelangan tangannya. Memeriksa denyut nadi, lalu mendaratkan telinganya ke dada gadis itu. Hah? Detak jantungnya masih ada! Serunya cerah. Ganes mengguncang-guncang tubuh itu sambil mengerak-gerakkan tangannya. Belum ada reaksi apa-apa. Dia mulai kebingungan. Tuhan, apa yang mesti gue lakukan? Katanya gemetar. Tergesa Ganes membuka bodybag-nya. Mengoleskan minyak angin ke hidung dan pelipis gadis itu. Maapin gue ya, Ganes menekan-nekan dadanya, hendak memacu jantungnya. Lalu dengan sedikit ragu, dia memberikan napas buatan. Berulang-ulang. Ukh-huk! Huk! Gadis itu terbatuk. Bahunya berkerut. Ia memuntahkan cairan beberapa kali. Lalu mata cekung itu terbuka perlahan. Lalu melotot terbelalak ketika ada sosok wajah di hadapannya. Dia seperti hendak bicara, tapi buru-buru Ganes memotongnya.
“Jangan bicara dulu, lo masih lemah! Puji syukur kepada Tuhan, lo masih baik-baik aja! Sekarang, elo nggak sendirian lagi. Ada gue, Ganes!” katanya Ganes lembut. Namun tak disangka sama sekali, gadis itu malah menubruk dan memeluknya dengan erat. Dalam pelukan Ganes ia menangis mengharukan. Ganes berusaha menyalami perasan gadis itu. Dia yang telah didera rasa kesendirian, ketakutan, kedinginan, serta kelaparan di rimba Gunung Gede ini.
“Gu—gue nggak-nggak lagi—mim—mimpi—kkan?” Gadis itu terisak. Ternyata ia memang salah satu korban yang tersesat itu. Ganes tak langsung menjawab. Ia malah memberinya minum beberapa teguk. Ketika sudah sedikit tenang baru Ganes menjawabnya.
“Benar, bukan mimpi. Sekarang ada gue. Eh, jaket elo basah. Gua ganti, ya” Gadis itu melepas pelukannya. Tanpa menunggu persetujuannya, Ganes menganti jaket gadis itu dengan jaket yang dipakainya. Usai itu Ganes membuka body bagnya. Ia mengeluarkan sebatang coklat dan membantu memakankannya. Dengan perlahan gadis itu menggigit dan menguyahnya. Ganes menatapnya. Untung kondisinya masih kuat dan untung juga coklat ini belum gue habisin. Tapi ia hanya mampu makan setengah. Ia bilang masih merasa mual. Ganes menyimpannya. Lalu memberinya minum lagi.
“Ma-makas—sih.” ucapnya serak. Meski masih pucat dan lemah. Ketegangan di wajah gadis itu sedikit berkurang. Ganes menebarkan padangan. Dia melihat ada ceruk batuan cadas. Mungkin itu bisa dijadiin bivak. Ganes membawanya ke sana. Tapi ia masih terlalu lemah untuk berjalan. Ganes diam menatapnya.
“Gue gendong, ya?” tanpa menunggu jawaban, Ganes langsung menggendongnya. Aduh—berat banget! Lebih-lebih tubuh gue udah loyo gini! Gumamnya dalam hati. Di mulut celah cadas Ganes meletakkannya. Ia memeriksanya celah cadas bagian dalam. Celah cadas itu berupa lubang batu menjorok ke dalam sekitar satu setengah meter. Lantainya berpa tanah yang lumayan kering. Setelah merasa cukup aman, dan sedikit dibersihkan, ia melapisi lantai ceruk cadas dengan dedaunan. Kemudian membawa Rina masuk ke dalam. Tak lama Ganes berusaha untuk membuat perapian dengan ranting-ranting kecil. Ketika perapian menyala. Suhu di sekitar celah cadas terasa lebih hangat. Ganes masuk ke dalam celah cadas. Duduk di sebelah Rina.
“Jangan tidur, ya. Tetaplah terjaga.” Pesan Ganes. Gadis itu mengangguk lemah. Gue butuh air hangat. Ganes membuka peplesnya. Ia melepas nesting kecilnya. Lalu menggali tanah di depan celah cadas mengunakan bayonetnya. Ia ingin membuat tungku darurat. Usai menggali, ia mencari tiga bongkah batu untuk dijadikan ganjal perapian. Lalu disusun layaknya kompor tanah. Setelah dirasa cukup pas. Ganes meletakkan nesting peples itu dulu karena ia harus membuat perapian tungku. Ia mengambil bara api unggun untuk membuat perapian tungkunya. Ia memasak air menggunakan nesting peples-nya. Sambil sesekali dia menambahi ranting ke perapian. Api ini nggak boleh padam. Gue harus menghemat matches gue. Katanya dalam hati. Sambil mengerjakan itu semua. Sesekali Ganes memandang ke arah gadis itu. Untuk terus mengawasi gelagat dan bahasa tubuhnya. Ganes yakin kondisi gadis itu belum aman. Belum benar-benar terbebas dari ancaman hipotermia. Ternyata mata kuyu gadis itu juga sedang menatap ke arahnya.
“Mau coklat lagi?” Ganes menawarinya. Gadis itu menggeleng.
“Gue punya arbei dan ciplukan. Lo mau? Rasanya enak, lho!” Ganes mengeluarkan isi body bag. Ganes merayunya agar mau memakan arbei dan ciplukan. Rina berusaha untuk memakannya tapi sedikit sekali. Ia masih merasa mual. Ganes bingung gadis itu sedikit sekali makannya. Sambil menunggu air yang direbusnya mendidih. Ia mencoba untuk mengajaknya ngobrol.
“Nama lo siapa?” tanya Ganes.
“Rina...” Ganes mengangguk. Ternyata ia korban yang bernama Rina. Ganes belum berani banyak tanya. Ia menunggu ketika kondisi Rina cukup tenang. Ganes menyentuh permukaan air yang direbusnya. Lumayan udah cukup panas. Ganes memasukkan semua air setengah mendidih itu ke peples. Setelah peples ditutup ia mendekati Rina.
“Sekarang lo pegang peples hangat ini. Sentuhkan ke bagian-bagian tubuh elo yang paling terasa dingin. Bisa?” Rina mengangguk dan berusaha untuk duduk. Ganes membantunya. Kedua tangan Rina memegang peples yang sudah diisi air hangat itu. Rasa hangat dan nyaman mulai menjalari tubuhnya melalui jemari dan telapak tangannya.
“Kalo di tangan udah merasa hangat, tempelkan juga ke ujung dan telapak kaki, ya.” Kata Ganes lagi. Rina mengangguk. Ganes tersenyum senang melihatnya. Sekarang ia mengeluarkan batang coklat yang tinggal separuh itu. Dimasukkannya ke dalam nesting. Ia memasak batang coklat itu hingga mencair. Ini terlalu kental kalo untuk diminumkan. Harus gue tambahin air sedikit. Gumam Ganes dalam hati. Ia meminta peples yang dipegang Rina. Menuang air secukupnya ke nesting. Lalu memberikan peples itu kembali ke Rina. Dengan patahan ranting Ganes mengaduk-aduk rebusan coklat.
“Sekarang kita punya coklat cair, lo harus minum ini sampai habis” Rina mengangguk. Setelah meniup-niupnya agar lebih dingin Ganes membantu meminumkannya. Benar saja, meski sedit terbatuk, Rina mampu meminum coklat hangat itu sampai habis. Rasa hangat terus menjalarinya lewat tenggorokannya hingga masuk ke lambungnya.  Kini wajah gadis itu sudah semakin tenang.
“Rin, gue mau keliling di sekitar bivak kita sebentar. Tadi gue liat ada pakis. Lo bersedia kan?” Rina menatapnya ragu.
“Sebentar aja. Sebelum hari semakin gelap, oke?” Rina menggeleng.
“Gue takut, Nes...” tolaknya lirih. Ganes menghela nafas.
“Elo jangan takut gue nggak akan jauh! Nggak akan gue tinggalin. Kalo ada apa-apa, elo bisa teriak manggil gue!” katanya sambil memegang bahu Rina. Rina diam sebentar lalu mengangguk pelan. Ganes tersenyum sambil berkata lembut. Tergesa melangkah ke sekitar bivak. Ia memetiki pucuk-pucuk pakis. Si Gokil tampak bersemangat lagi. Seakan tak merasakan letih di tubuhnya. Bertemu Rina adalah suntikan semangat baginya. Beruntung di situ banyak mendapat menu survival. Dengan wajah cerah ia kembali ke bivak. Tampak Rina sedang menghangatkan kedua telapak kakinya dengan peples hangat. Gadis itu memancarkan kelegaan ketika melihat Ganes muncul.
“Maaf ya, agak lama. Tapi kita meski bersyukur di sini banyak makanan.” katanya dengan muka cerah.
“Apa—semuanya bisa dimakan?” tanya Rina dengan padangan ragu.
“Bisa, udah dua hari gue makan beg—” Ganes menutup mulutnya. Dia tak meneruskan kata-katanya. Wajah Rina tampak berubah.
“Dua hari? Sebenarnya elo siapa, Nes? Apa elo—pendaki yang tersesat juga?” tanya Rina penasaran. Ganes terdiam, merasa menyesal karena telah kebablasan bicara. Dia jadi kikuk takut Rina akan kembali khawatir jika tahu keadaan yang sebenarnya.
“Iya, eh, nggak, bukan. Gue kasih tahu ini dulu, ya. Ini namanya ciplukan, rasanya cukup manis. Ini pisang kole atau pisang hutan rasanya manis sepat, dan banyak biji. Yang ini pakis, rasanya agak pahit!” Ganes mengalihkan pertanyaan Rina. Menurutnya, belum saatnya Rina tahu bahwa dirinya juga kesasar. Dan mungkin sekarang sudah resmi jadi orang yang dicari juga. Ia tak mau Rina kecewa lalu drop kembali. Tapi sepertinya Rina tak terpengaruh dengan kalimat pengalihan Ganes tadi. Ia kembali bertanya.
“Iya, tapi sebenarnya elo siapa? Kok, tahu-tahu ada di sini. Nolongin Rina?” Ganes tak bisa mengelak lagi. Beberapa kali ia menghela nafasnya.
“Sebenarnya gue anggota Tim SAR yang bertugas mencari. Tapi—gara-gara kecerobohan gue sendiri, gue terpisah dari rombongan. Lalu keliling-keliling sendiri di rimba Gunung Gede ini. Untungnya, gue malah menemukan elo tergeletak pingsan. Sekarang tugas mereka bertambah. Selain mencari kalian, mereka juga akan nyariin gue. Udah hampir dua hari di hutan ini, cuma makan sebatang coklat dan makanan yang ada di hutan. Tapi elo nggak usah panik atau cemas. Sekarang elo nggak sendirian, apa pun yang terjadi kita hadapi berdua. Sekarang kita harus bisa makan tumbuhan beginian. Elo harus mau, harus bisa memakannya. Karena kita sedang surrvival. Kita harus bisa bertahan hidup. Tenang aja, semua bisa dimakan?!” kata Ganes memaksakan untuk bisa tersenyum.
“Rina—ngerti, Nes.” jawabnya parau. Matanya muali merah. Ganes menatapnya.
“Udah, sekarang jangan nangis, ya. Kita pasti bisa selamat, kok.” Ucap Ganes terus menyemangatinya. Dengan bola mata basah Rina mengangguk.
“Sebaiknya kita makan dulu, ya. Gue juga lapar.” Ajak Ganes. Tapi Rina menggeleng.
“Gue udah kenyang, masih mual.”
“Eh, coba aja. Kalo perut kita kosong. Penyakit ketinggian bakal nyamperin lagi. Kita nggak boleh ego ama kesehatan kita. Sekarang makan, ya?” ucap Ganes sambil memberikan ciplukan dan pisang kole. Dengan susah payah Rina mengunyah makanan dari menu survival itu. Meski susah ia tetap berusaha menelan semuanya. Ganes merasa sedih melihat keadaan gadis itu. Dia pasti merasa asing dengan makanan-makanan itu. Rasanya macam-macam, ada pahit, sepat dan—aneh! Ganes juga ikut makan. Usai makan Ganes memberinya sesuatu.
“Nih, permen buat cuci mulut! Biar rasa aneh dari makanan-makanan ini segera berkurang” Ganes memberikan permen yang semata wayang itu. Kemudian dia memberikan minuman hangat kepada Rina.
“Oh ya, apa ini punya elo, Rin?” Ganes memperlihatkan topi serta bodybag yang ditemukannya tadi. Rina menelitinya. Ia menggeleng. Ganes kaget. Lalu punya siapa?
“Itu punya Denisa. Elo temukan di mana, Nes?!” jawaban Rina mengagetkan Ganes. Denisa? Berarti di area sini masih ada korban yang lain? Tapi Ganes masih menyimpan pertanyaan-pertanyaan itu. Ia menceritakan bagaimana ia bisa menemukan topi dan body bag itu. Mereka memeriksa isi bodybag. Di dalamnya ada dompet, obat luka, beberapa permen, dan sebatang coklat! Ada logistik tambahan buat Rina, pikir Ganes dalam hati. Kemudian dia mengobati luka-luka lecet di muka dan tangan Rina. Wajah Rina meringis menahan pedih.
“Nes...”
“Ya?”
“Kata elo udah dua hari tersesat, cuma makan menu hutan. Tapi—tadi elo ngasih dua sebatang coklat?”
“Hmm—mulanya gue punya tiga batang coklat. Gua sadar bakal menjalani masa survival, jadi gue musti hemat. Kalo sekuat gue untuk berhemat, jika harus memakannya itu pun penyegar mulut. Menu hutan itu kan rasanya macem-macem. Lo tadi udah ngerasainnya sendiri!” katanya tertawa nyengir.
“Tapi—coklat itu gue yang ngabis—,”
“Heh! Jangan ngomong gitu! Itu harus, karena elo yang lebih butuh ketimbang gue!” potong Ganes serius.
“Tapi—sampai kapan kita bisa bertahan, Nes?” tanya Rina pelan dengan wajah cemas.
“Elo nggak usah mikirin hal yang belum terjadi. Kita hadapi aja yang sekarang. Lo bisa bertahan kan karena elo tuh emang cewek yang kuat, tabah dan berani? Kalo nggak—.” Ganes mengagkat bahu tidak meneruskan kata-katanya. Ia berniat menumbuhkan semangat Rina. Namun sebaliknya mata Rina malah berkaca-kaca, dan menangis. Ganes jadi bengong. Apa gue salah omong, ya? Tanyanya dalam hati. Akhirnya dia hanya diam membisu.
“Kami emang bodoh, kami bertengkar, ada yang mau bertahan juga ada yang ngotot ingin turun padahal ada badai berkabut!” ucap Rina kemudian. Dia mulai bercerita dari awal mereka mendaki, bertengkar, turun, hingga terpisah-pisah jadi beberapa kelompok. Dan sungguh tak disangka, ternyata sebelumnya Rina memang bersama Denisa!
“Jadi elo emang berdua Denisa?” Ganes nyaris tidak percaya.
“Iya. Waktu itu, entah udah berapa lama kami berjalan. Tubuh gue lebih lemah dibanding Denisa, tapi dia lebih panik dan sering nangis. Kami sudah kelaparan dan kehausan. Karena kami juga mulai menghemat makanan. Lalu kami menemukan air, buru-buru kami meminumnya. Gue lihat, tiba-tiba—.” Rina mulai terisak. Ganes mendengarkan dengan seksama.
“Tiba-tiba—wajah Denisa tampak tegang, matanya melotot! Lalu—lalu dia berteriak-teriak nggak jelas dan berlari kesana-kemari. Gue ikut panik dan ketakutan. Gue berteriak memanggilnya. Tapi—tapi—.” Rina menagis terisak. Ganes meraih tangannya dan menggenggamnya erat. Rina mangatur napasnya.
“Denisa nggak mau dengar. Dia tetap berlari menerobos belukar. Gue berusaha mengejarnya, tapi tubuh gue lemas dan jatuh bergulingan. Kepala gue terbentur sesuatu. Waktu sadar gue udah ada dipangkuan elo, Nes.” katanya terbata. Ganes diam membisu.
“Sekarang, gue nggak tahu di mana dan bagaimana keadaanya...” Rina mengakhiri ceritanya. Memang kejadian yang menyedihkan. Ganes memeluk bahu Rina guna menentramkan hatinya.
“Elo jangan nangis lagi, Rin! Kita doakan, semoga dia nggak apa-apa.” Kata Ganes pelan. Ingin rasanya dia segera mencari Denisa saat itu juga, tapi masih ragu dengan kondisi Rina. Keadaannya masih labil bgitu. Hatinnya cuma bisa berdoa, supaya SRU 7 atau SRU-SRU yang lain segera menemukan mereka.
“Nes, gue kedinginan...” ucap Rina pelan. Ganes memutar dan memeluknya dari belakang. Ganes tercenung. Dia bingung menghadapi situasi seperti itu. Tubuh mereka sama-sama menggigil kedinginan. Entah sudah berapa lama dia termenung, tahu-tahu Rina sudah tertidur dalam pelukannya. Api unggunnya hampir padam. Perlahan Ganes melepas kan pelukannya, lalu meniup bara api sambil menambahi kayunya lagi.[]
Sementara saat itu, SRU 7 lagi mengadakan briefing.
“Besok kita akan menelusuri jejak yang sepertinya sengaja dibuat untuk kita itu ya, Bang?” tanya Idang pada Heru.
“Betul, Dang! Jejak itu masih baru. Meski kita nggak tahu siapa yang membuatnya. Kita harap ia belum jauh bergeser dari posisi kita.” Sahut Heru.
“Kita harus lebih teliti. Jangan lengah, apa lagi kehilangan jejak.” tambah Anto. Semuanya mengangguk-angangukkan kepala. Tiba-tiba Tedy menepuk keningnya sendiri.
“Tadi gue nemuin bungkus coklat yang masih baru!” katanya serius.
“Masih baru?” tanya Idang dan Jajang hampir berbarengan. Mata mereka berbinar cerah.
“Iya, benar!” Sahut Teddy serius.
“Ganes!” sahut mereka nyaris serempak. Heru, Anto, dan Tedy melongo melihat wajah mereka begitu.
“Benar, Bang! Sebelumnya berangkat kemarin, Ganes beli coklat banyak. Kami diberinya semua!” kata Boby serius.
“Mudah-mudahan tebakan kalian benar, ya. Semoga ia belum terlalu jauh.” kata Heru semangat. Pendapat mereka cukup masuk akal. Jika bungkus coklat itu berada di jalur lintasan pendakian, mungkin bungkus itu bisa milik siapa saja. Tapi bungkus itu ditemukan bukan di jalur umum, bisa saja itu memang milik para survivor lainnya, atau memang milik Ganes. Usai briefing, mereka langsungng istirahat tidur, karena besok pagi mereka harus menyisir jejak-jejak misterisu itu kembali. []

Sabtu, pukul 3.00 WIB, dini hari.
“Paa, Ma, maafin Rina—aaakh!Paa—Maaa...” Ganes tersentak kaget. Buru-buru dia memegang kening Rina, tubuh Gadis itu mendadak panas. Mungkin terkena demam. Perlahan-lahan dia membangunkannya, Rina tersentak bangun.
“Elo ngigau. Tubuh lo panas, Rin.” ucap Ganes pelan. Rina diam saja. Tubuhnya masih menggigil.
“Sebaiknya, lo makan coklat ini, setelah itu minum obat demam!” Ganes memberikan coklat dari bodybag Rina tadi. Ia juga mengambil obat pereda demam dari body bagnya.
“Tapi besok kita makan apa, Nes?” Rina ragu-ragu.
“Lo nggak usah mikirin besok, sekarang makan dulu!” jawab Ganes serius. Dia mengupas bungkus coklat itu kemudian memberikannya keapada Rina.
“Kita bagi dua ya?” Ganes menggeleng.
“Elo nggak usah mikirin gue, Rin. Elo yang lebih butuh ketimbang gue. Udah nih, makan!” ujar Ganes serius.
“Kalo elo nggak makan, gue nggak mau!” tepis Rina pelan. Ganes terkejut mendengar perkataannya. Ia bungkam.
“Nes, elo selalu perhatiin kondisi gue, tapi tubuh elo juga makin lemah. Sekarang kalo gue makan, elo juga makan. Gue juga nggak mau lo sakit...” kata Rina pelan. Ganes bungkam. Ia merasa sangat tersentuh. Ganes jadi serba salah dibuatnya.
“Oke, kalo gitu. Lo lihat, ya.” Kress! Ganes menggigit coklat itu sedikit. Rina mengangguk berusaha tersenyum.
“Sekarang coklat ini mesti elo habisin!” Rina mengangguk. Ganes memperhatikannya sambil bergumam dalam hati. Semoga kondisimu segera pulih, Rin. Gue tahu senyum itu, senyum  yang dipaksakan.
“Ini air hangatnya. Ini obatnya. Sudah ini elo bisa tidur lagi...” Ucap Ganes. Tapi tiba-tiba wajah Rina meringis sambil memegangi kakinya.
“Nes, ka-ki, kaki gue, kk—kramm!” Rina meringis kesakitan. Ganes menahan arah tekukan kram itu sambil memijit-mijitnya. Agar peredaran darahnya lancar.
“Nes, tubuh gue juga kedinginan...” Kasihan. Ganes jadi sibuk, merasa bingung dan serba salah. Akhirnya Ganes, memeluknya kembali. Membagi panas tubuhnya.[]

Sabtu. Pukul 7.00 WIB.
     Pagi yang hari cerah. Tim SRU 7 sudah bergerak lagi. Mereka masih terus menyusuri jejak yang makin jelas itu. Ada patahan-patahan ranting belukar yang masih baru. Mereka makin bersemangat dan berharap bahwa jejak-jejak itu memang jejak yang telah dibuat Ganes.
“Ada sisa api unggun di sini!” seru Tedy yang ada di depan. Wajahnya penuh semangat. Di daerah itu juga, mereka menemukan jejak-jejak jungle boot. Mereka lebih teliti lagi menyusuri tanda-tanda itu. Mereka tak ingin kehilangan jejak-jejak itu.[]
Syukurlah, panasnya udah turun. Gumam Ganes lega sambil meraba kening Rina yang masih tertidur pulas. Dia merapikan jaket yang dikenakan Rina dan menutupi kaki Rina dengan jaket yang tadi dikenakannya. Gue harus cari makanan dan air buat hari ini. Sebelum berangkat Ganes menambahkan kayu bakar ke perapian, setelah api itu menyala, ia juga merebus air yang tersisa di peples.
“Nes...” Ganes terkejut mendengar panggilan itu.
“Oh, udah bangun? Mau minum?” tanyanya ramah. Rina mengangguk. Dia membantunya minum.
“Rin, gue harus cari tambahan air dan makanan. Gue tinggal bentar nggak apa-apa kan?” Rina mengangguk.
“Mmm—kira-kira lo masih inget nggak, arah Denisa lari kemarin?” tanya Ganes sedikit ragu. Maksudnya sambil mencari makanan ia akan mencoba mendeteksi siapa tahu ada jejak Denisa yang tertinggal. Rina mencoba mengingat-ingatnya. Ia beringsut ke celah cadas mulut bivak.
“Kalo gak salah ke arah—pohon besar yang di tumbuhi lumut itu! Ya, ke arah itu! Kenapa, Nes. Mau sekalian mencarinya?” Ganes terdiam sambil memandangi pohon besar yang ditunjukan Rina dan anggrek hutan.
“Elo mau mencarinya?” Rina mengulangi pertanyannya. Ganes menatapnya. Wajahnya tampak ragu dan bingung. Rina memahaminya.
“Iya, Nes. Coba sekalian cari dia. Siapa tahu Denisa kayak kondisi gue kemarin.”
“Tapi...”Ganes ragu-ragu.
“Nggak apa-apa, Nes. Gue nggak apa-apa. Denisa pasti butuh pertolongan.” katanya mantap. Ganes menatapnya sambil berkata.
“Denisa pasi bangga, punya teman kayak elo. Baiklah, gue akan mencobanya. Kalo ada apa-apa, berteriaklah kuat-kuat, ya!” ujarnya sambil menambah kayu ke perapian.
Ganes melangkah perlahan ke arah pepohonan yang ditunjuk Rina. Dengan hati-hati dia meneliti keadaan di situ. Benar saja, semak dan lumut tanahnya seperti diinjak-injak tak beraturan. Ganes menemukan jejak sepatu dan menelusurinya. Lima menit berlalu. Asap perapian dari bivak mereka masih terlihat. Tiba-tiba Ganes berhenti. Apa tindakannya gue ini benar. Ninggalin Rina sendirian? Ia mulai dilanda keraguan. Kembali atau terus? Tapi, gimana kalo keadaan Denisa lebih buruk dari Rina? Akhirnya dia meneruskan langkahnya. Medan di depannya bukan lagi semak belukar dan lumut tanah, tapi berupa tonjolan-tonjolan batu cadas yang ditumbuhi lumut hijau, serta daratan tanah napal. Di antara bebatuan itu ada genangan air yang mengalir. Samar-samar juga terdengar suara gemercik air. Perlahan-lahan kabut tipis mulai turun. Ia berhasil mengumpulkan pakis dan rebung. Di dekat sungai ada rumpun bambu. Dengan penuh semangat ia mencari tunas-tunas rebung. Lumayanlah dapat rebung dan pakis. Gumamnya dalam hati.
Wah, gila pagi ini turun kabut. Untung nggak terlalu tebal. Rutuk Ganes dalam hati. Dia terus melangkah sambil menebarkan pandangan. Ganes terpekik tertahan. Tubuhnya refleks mundur ke belakang. Wajahnya berubah pucat. Jantung berdebar hebat. Di depannya terbentang jurang yang menganga. Astaga! Gimana kalo kabut pekat, bisa-bisa gue nyleonong dan—free fall ke bawah sana. Gumamnya bergidik ngeri. Dia mendekati bibir jurang itu perlahan. Saking takutnya dia setengah merangkak lalu melongok ke bibir jurang. Kedalamanya kira-kira dua puluh meteran. Tampak ada air terjun kecil dan sungai kecil di dasarnya. Juga ada taring-taring batu-batu cadas yang siap menyambut apa pun yang jatuh dari bibir jurang sini. Apa itu? Mata Ganes tertuju pada suatu benda berwarna kontras! Buru-buru Ganes membuka body bag dan mengambil buku kecilnya. Ia ingin membaca ulang tentang data-data korban.
Jantungnya makin berdegub kencang. Benda merah itu, apakah itu jaket merah? Jangan-jangan—heh?! Ganes tak jadi melanjutkan dugaannya. Kepalanya mendongak sambil menajamkan pendengarannya. Sayup-sayup ia mendengar teriakan yang memanggil namanya. Rina?! Pekiknya sambil melihat jam di tangannya. Astaga! Udah setengah jam lebih gue meninggalkannya. Ganes berbalik dan berlari kencang kembali ke bivak. Ganes terpekik saat melihat Rina terkulai di luar bivak. Buru-buru dia membopongnya ke dalam.
Maapft, Rin! Hhhh... gue kelamaan...hhh!” Napasnya tersengal habis berlarian. Rina diam tak menjawab, matanya kuyu seperti kehilangan semangat hidup. Ganes terkejut, karena tubuh Rina mendadak dingin.
“Ri-Rina?!” Ganes menggucang-gucang tubuhnya. Perlahan-lahan mata Rina menutup.
“Rina?! Rina?! Jangan mati!” pekik Ganes panik sambil menepuk-nepuk pipi Rina, tapi Rina tetap diam tidak bergerak.
“Jangan mati, Rin! Sia-sia usaha gue! Oh, Tuhan jangan ambil dia dulu!” ratap Ganes tak sadar. Matanya mulai panas, rasa kesal, dongkol, dan khawatir jadi satu. Dia mendekap dan menguncang-guncang tubuh lunglai itu. Dia pingsan lagi!
Detak jantungnya masih ada, meski lemah. Ganes melakukan pertolongan, seperti yang pernah ia lakukan kemarin. Memacu jantung dan CPR. Tiba-tiba, zeb! Zeb! Zeb! Terdengar suara helikopter. Mendengar itu ia langsung berteriak-teriak panik. Meski pesawat itu tak terlihat olehnya. Dan pelan namun pasti, suara helikopter itu menjauh, jauh dan—hilang! Suasana kembali sepi. Ganes kecewa sekali, buru-buru dia mengambil badybag-nya. Kemudian mengeluarkan isinya. Ia memasukkan tas itu ke dalam perapian. Bersambung ke Survival [Bagian 3]

No comments:

Post a Comment