Monday, February 3, 2014

Setangkai Edelweiss Lawu [Bagian 1]



"... Janganlah berdusta, 
tanyalah edelweiss yang tahu tentang kemunafikan!"  
[Ganezh/Nop,1992]

Pada jam istirahat, kantin sekolah sudah ramai dipenuhi siswa-siswi yang pada kehausan plus kelaperan. Tampak dua siswa lagi asyik mengobrol. Tak merasa terganggun keadaan hiruk pikuknya anak-anak, berteriak memesan makanan dan minuman pada Bu Kantin. Sesekali  mereka asyik menggoda adik-adik kelas yang lagi jajan. Dua orang itu adalah dua sahabat Ganes dan Togar. Siswa kelas dua SMU 2000.
            “Aku tadi pagi putar-putar cariin kau, tak taunya kau ...”
        “Sstt... Gar, kalo ngomong pelan dikit kenapa sih, gue kan belon budek!” potong Ganes cepat. Mukanya cemberut cucut. Togar nyengir tanpa dosa.
            “Iyalah, sorry. Itu kan memang logatku. Oh ya, kau sudah ketemu si Ojiq?”
            “Belon. Nggak tau kemana si Pesek itu. Eh, mau es, Gar?”
         “Mau kali. Memang inilah yang kutunggu-tunggu sejak tadi. Aku memang lagi haus betul, nih!” Togar bersemangat. Ganes memesan dua gelas es jeruk pada Bu Kantin. Togar adalah sobat Ganes yang paling kental. Malah kalo lagi ada tawuran sama sekolah lain, dia bisa diandalin. Eit! Apa lagi tawuran sama anak SD, hehehe.
            “Katanya minggu kemaren, dia mau datang ke rumah kau, Nes?”
            “Janjinya sih, iya. Tapi si Pesek itu ngibulin, doang.” Ganes bersungut kesal.
            “Ojiq memang tuyul. Kalau lagi dicariin dia tak muncul-muncul. Tapi kalau tidak, wah! Sampai bosan kita lihat wajahnya itu!” Togar menimpalinya. Suasana kantin makin ramai, dikunjungi murid-murid yang kehausan plus kelaperan. Mereka habis mengikuti acara class-meeting. Shrrrfffpt!... Sshroooph!  Bunyi mulut-mulut mereka. Saat menyedot es jeruk yang sekarat habis. Beberapa pasang mata menoleh ke arah mereka. Mereka cuek tak perduli.
            “Gar, inget nggak. Waktu kita mendaki Kerinci dulu. Masih inget?” tanya Ganes serius. Kening Togar tampak berkerut. Mencoba mengingat-ingat sesuatu sambil terus menyedot gelasnya yang sudah kosong.
            “Aku inget kali! Nes. Waktu kau menginjak batuan lepas. Kau jatuh bergulingan. Hidung dan muka kau luka lecet semua. Jidat kau juga benjol. Ah, memang lucu kali kau saat itu. Hahaha!” Togar tertawa lebar. Beberapa siswa di dalam kantin itu menoleh ke arahnya.
            “Bukan yang itu sompret! Gue kan pesen. Kalo ngomong coba kurangi aksen berkau-kaunya  itu. Kebanyakan tau!” kata Ganes kesal. Habis lain yang ditanya, lain dijawabnya. Tawa Togar hilang seketika. Kemudian berkata pelan.
            “Jangan begitulah kau. Itukan sudah bawaan ku sejak lahir. Aku ini orang Medan. Jadi mengertilah kau!” jawab Togar polos tanpa dosa.
            “Bukan mengerti lagi, Gar. tapi...”
“Heii... Kodok! Dicariin ke mana-mana, nggak tahunya pada nyungsep di sini, ya!” Kalimat Ganes terpotong oleh suara cempreng dari si Tomboy, Dona. Gadis itu mendekati mereka berdua.
“Gue pinjem Gokil sebentar, Gar!” Tanpa menunggu jawaban Togar, Donna sudah menarik Ganes ke luar kantin. Ganes belum sempat berkata apa-apa. Ia hany mengikuti arah tarikan Dona.
“Bolehlah, tapi Ganes yang bay--” pekik Togar memperingatkan.
Sorry banget, Gar. Kali ini elo yang bayarin, ya!” jawab Ganes cuek.
“Eh, kau-- Gokil kali kau, Nes!” Togar memakinya. Dia merasa dibohongi. Ganes mirip kebo yang lagi dihela Bu Tani. Ditarik Donna ke arah kelas II.3. Dengan tidak sabaran dia bertanya.
“Ada apa sih, Na. Pake nyepiin segala?!” tanyanya kebingungan. Dona tersenyum menyeringai.
“Nah, lo. Nggak ngerasa kalo punya salah. Kenapa lo nggak datang ke rumah Rara? Awas kalo elo maenin sepupu gue. Gue jitakin abisa-abisan elo, Nes!” Cecar Donna membikin Ganes kelabakan.
“Eh, entar dulu. Siapa yang mau maenin Rara. Malam minggu kemaren, gue nungguin Ojiq yang berjanji mau mulangin sleepingbag gue. Eh, nggak taunya si Pesek itu cuma bohong. Jadi gue nggak sempat ke rumah Rara!” jawab Ganes berusaha membela diri.
“Kenapa  nggak nelpon?” tanya Donna lagi dengan sengit.
“Telpon gue rusak!”
“Aah... Itu cuma alasan elo, Nes. Telpon umum kan banyak! Terus minggu-minggu sebelumnya? Kayaknya lo udah mulai beruba, Nes. “  Donna kelihatan kecewa. Sesaat Ganes terdiam. Waduh! Emang udah dua minggu gue nggak ketemu Rara. Selalu ngeles kalau diajak ketemu. Asyik dengan urusan gue sendiri. Kesannya gue udah ngelupain Rara, doi gue sendiri. Ganes membatin dalam hati.
“Nah, kan... kalo udah ketahuan salahnya, jadi bengong sendiri. Elo kan tahu, Rara butuh elo. Rara punya rindu buat elo. Seharusnya elo bisa menghargainya, dong! Gue tahu kalo elo lagi sibuk dengan persiapan pendakian Lawu. Elo kan bisa nongolin muka barang semenit untuk menemuinya. Elo salah, Nes. Kalo cuma bisa menjangkau gunung-gunung jauh di luar pulau sana. Tapi Rara yang satu kota aja, elo cuekin. Seharusnya elo yang lebih ngerti ketimbang gue, Nes!” kata Dona panjang lebar dan dia benar-benar kesal dengan kelakuan Ganes baru-baru ini.
“Ampun, Na. Udah, deh. Udah! Gue ngaku salah. Entar sore gue temuin dia. Jangan pojokin gue terus, dong!” kata Ganes memohon.. Begitu mendengar perkataan Dona yang mirip muntahan peluru yang keluar dari moncong senapan. Tapi semua yang dikatakan Dona tadi semuanya benar.
“Bener, ya. Awas kalo bohong!” ujar Dona meyakinkan. Kemudian dia tersenyum melihat mimik wajah Ganes kelabakan begitu.
            “Iya, deh. Suer... suer,” jawab Ganes serius. Dona memang temen yang baik. Anak Wanacala juga. Klub pecinta alam SMUN 2000 Palembang. Tapi yang paling di sukai Ganes dari Dona, karena dialah yang mempertemukannya dengan Rara. Anak SMU 555. Rara Saraswati yang baek, manis, pengertian, pokoknya membikin Ganes kesemsem berat. Mereka diperkenalkan sewaktu Wanacala mengadakan malam persami tahun lalu. Pada liburan semester ganjil ini, Wanacala hendak mengadakan pendakian ke Gunung Lawu, 3.245 mdpl, di Jawa Tengah.
Konon kabarnya bunga edelweis Lawu beragam warna. Kebetulan Ganes yang jadi ketuanya. Makanya dia terlihat sibuk. Malah sempat nyuekin Rara. Setelah Dona berlalu, Ganes masih termenung di pojok kelas II.3. Begitu asyikkah gue dengan dunia gue sendiri. Nyampe segitu begonya gue ngelupain Rara? Tanyanya dalam hati. Perasaan bersalah membludak di dadanya. Sore nanti dia berniat berkunjung ke rumah Rara. Dia baru beranjak, setelah mendengar panggilan sobatnya, Togar. []
Dengan jantung berdebar dan rasa bersalah, Ganes memasuki pintu gerbang rumah Rara. Rumah besar dengan cat biru muda. Di depanya ada taman bunga yang cukup apik. Rara memang rajin merawat taman bunganya. Dia mengetuk pintu sambil mengucapkan salam. Hening sesaat. Lalu terdengar langkah-langkah kaki dari dalam.
“Eh, Ganes. Kemana aja, kok lama nggak maen ke sini?” Waa! Yang menyambut mamanya Rara, tante Mia. Ganes kelihatan agak gugup. Dia berusaha tersenyum.
“Agak sibuk, Tante. Ngg… Rara ada, Tante?” tanyanya hati-hati. Mama Rara tersenyum ramah. Dia menganggukkan kepalanya. Kemudian mempersilahkan Ganes masuk.
“Duduk dulu, ya. Tante panggil sebentar.” Ganes mengangguk. Hening. Tidak sampai dua menit, Tante Mia sudah kembali lagi. Dia membawa nampan berisi segelas minuman segar.
“Tunggu sebentar ya, Nes. Rara tadi ketiduran. Diminum airnya, ya. Tante tinggal dulu. Sebentar lagi dia datang, kok.” Lagi-lagi Ganes mengangguk sambil tersenyum. Setelah Tante Mia berlalu, Ganes kembali termenung. Ruang tamu rumah Rara penuh dengan barang-barang antik. Koleksi papanya Rara. Di dindingnya terpajang foto keluarga Rara. Dia menatap foto wajah Rara.  Ganes menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Memikirkan argumen buat ngadepin Rara nanti. Selagi asyik berpikir, dia dikejutkan oleh suara yang cukup cempreng.
“Ee... Bang Ganes! Kok lama nggak dateng. Udah sombong, ya?” Ternyata Kiki. Adiknya Rara yang masih TK. Dia anak yang pinter dan cerdas sekaligus lucu. Ganes sering membelikan coklat untuknya. Dia tersenyum melihat kehadirannya.
“Bukannya sombong, Ki. Abang lagi sibuk. Sekarang nggak lagi. Makanya Abang datang lagi ke sini,” jawab Ganes tersenyum.
“Oo... begitu. Padahal Mbak Rara sering nungguin, lho!” kata Kiki polos dan jujur.
“Bener, Ki?” tanya Ganes penasaran.
“Bener. Tapi... coklatnya mannnaa?!” Kiki menirukan gaya sebuah iklan di TV. Dia menengadahkan tangannya. Untung Ganes tadi tidak lupa kesukaan Kiki. Dia membuka tas dan memberikan dua batang coklat padanya
“Hore! Makasih ya, Bang Ganes baek, deh!” pekiknya gembira. Dia hendak berlari kebelakang, tapi...
“E-eh... Ki, entar dulu. Panggilin Mbak Rara, ya!” Bisik Ganes pelan.
“Oke!” jawab Kiki cepat. Dia berlari ke arah kamar Rara. Dasar anak-anak! Kayaknya emang sengaja ngulur waktu untuk nemuin gue. Dia pasti bener-bener marah. Gumam Ganes dalam hati. Suasana kembali hening. Ganes duduk termenung. []
“Pake nyuap Kiki segala. Mau cari apa kemari? Sleeping-bag? Carrier? Carabiner? Di sini nggak ada alat-alat begituan! Elo salah datang kemari.” Ganes terlonjak kaget. Rara muncul tiba-tiba. Wajahnya terlihat kesal.
“Lho kok, gitu, Ra? “ jawab Ganes merasa tidak enak.
“Kalo mau cari alat-alat begituan, kamu salah alamat, Nes. Cari aja ke tempat laen!” ujarnya sinis. Dia malah hendak meninggalkan Ganes. Buru-buru Ganes menghadangnya. Belum sempat Ganes berkata...
“Rara kesel banget, Nes!” sentaknya agak tinggi. Lalu duduk dia di sofa. Ganes mengikutinya. Hening dan membisu.
“Rara kesal...” ucapnya lagi lirih.
“Oke, Ra, gue emang salah. Salah banget. Udah nyuekin lo. Tapi beri gue kesempatan ngejelasin semuanya. Buat memperbaikinya, Ra.” Ganes berkata pelan. Rara diam membisu. Matanya mulai terlihat mendung. Cukup lama mereka saling diam membisu.
“Dulu... kalo Ganes mau mendaki atau kegiatan apa aja. Pasti ngasih tahu Rara. Tapi sekarang nggak. Rencana Lawu aja, Rara tahu dari Dona. Jangan kan mau datang, nelpon aja elo nggak, Nes,” kata Rara pelan. Ganes terdiam. Dia sadar semua memang salahnya.
“Gue minta maap, Ra. Gue nggak sempat ngasih tau. Gue terlalu sibuk ngurusin persiapan pendakian Lawu. Tapi percayalah, gue tetap sayang elo, Ra. Nggak ada niat di otak gue buat ngelupain. Apalagi ninggalin lo. Percayalah, Ra,” kata Ganes serius. Rara masih tetap diam membisu. Tanpa reaksi sama sekali. Dia menunduk masih memainkan jemari tangannya.
Please?” Ganes memohon. Cukup lama baru Rara mengangguk lembut. Kegugupan Ganes hilang seketika. Tanpa sadar dia menggenggam erat tangan Rara.
“Makasih ya, Ra. Nah, gitu... senyum, dong!” rayu Ganes tertawa.
“Jelek!” kata Rara matanya melotot bagus. Kemudian dia tersenyum gemas sambil mencubit bahu Ganes.
“Aduuh! Eh, ada Mama tuh!” kata Ganes berbohong. Rara kaget kemudian sambil celingukan kesana kemari.
“Tapi ada syaratnya,” kata Rara serius.
“Boleh, apa coba... BMW? Bemo atau Becak?” Tantang Ganes kemudian.
“Enak aja. Bukan itu, dong! Cuma... setangkai edelweis gunung Lawu. Itu aja, ya,” kata Rara serius banget. Ganes melongo bloon.
“Kok itu, Ra? Yang laen aja, ah!” pinta Ganes tak percaya dengan persyaratan yang diajukan Rara.
“Pokoknya Rara nggak mau tahu. Yang penting pulangnya Ganes mesti bawain, setangkaaai aja,” ucapnya ngotot.
“Aduh, Ra. Gue kan nggak bisa. Yang laen aja, ya?” kata Ganes mencoba menawar, memohon pengertian Rara. Tapi percuma Rara masih tetap ngotot dengan persyaratannya itu.
“Nggak! Pokoknya kalo tidak mau. Pulangnya nggak usah temuin Rara lagi.” Ancamnya mantap. Mengingat mereka baru saja berbaikan, terpaksa Ganes mengiyakannya.
“Iya, deh! Iya...,” jawabnya lesu. Moga-moga kamu ngebatalin syarat itu. Kamu kok aneh  sih, Ra. Gumam Ganes dalam hati. []
Hari pemberangkatan tiba. Tim pendakian Lawu dilepas oleh rekan-rekan Wanacala-nya. Tim itu beranggotakan lima orang. Mereka adalah Ganes, Togar, Adhie, Acep dan Beben. Mereka sudah berkumpul di terminal bus antar kota.
“Elo jangan marah lagi, ya. Doain gue biar selamet dari pergi hingga pulang nanti,”  kata Ganes pelan sambil menggenggam erat tangan Rara. Rara tersenyum manis.
”He-eh. ELo hati-hati, ya. Jangan lupa shalat. Berdo’a dan jangan lupa juga sama janji lo kemarin,” katanya pelan. Ada nada sedih dalam ucapannya. Ganes menatap mata indah yang mulai mendung itu. Cukup lama mereka saling menatap dan membisu. Kemudian Rara menundukkan wajahnya.
“Udah ya, don’t cry. Ini kan bukan yang pertama, lo melepas gue pergi mendaki.”  Ganes masih menggenggam erat tangan Rara. Seakan tak mau dilepaskannya lagi. Rara membiarkannya tindakan Ganes itu.
 “Ra... gue harap senyum lo tetap buat gue selamanya. Semoga tak akan pernah berubah. Tetep nggemesin gue, ya,” ucap Ganes tulus. Dia juga mencubit lembut pipi Rara. Rara tersenyum. Ada lesung pipit dikedua pipinya. Lalu dia berkata lembut...
“Ganes juga. Jangan sampai kecantol ama gadis sana. Awas kalo pulangnya temen-temen bawa gosip.” Rara mengerling nakal. Ganes cuma nyengir mendengarnya.
“Nes, Rara juga mau minta maaf. Kemarin Rara sempat ngomong kasar sama lo. Maapin Rara, ya.”
”Nggak apa-apa, Ra. Kalo gue melakukan kesalahan, lo berhak untuk marahin gue.. Sebab dengan begitu, gue jadi tahu seberapa besar care elo ama gue!” jawab Ganes sambil nyengir kuda.
“Wek! Maunya, dasar!” Rara mencubit gemas perut Ganes. Dia hingga menggelijang kegelian.  Mereka tidak menyadari kehadiran Dona.
“Ehm!“ Keduanya kaget, mendengar suara batuk yang disengaja itu.
“Nah... gitu, dong. Kan enak kalo pada akuran begitu.” Dona tertawa menggoda mereka. Mereka berdua tertawa jengah kemaluan.
“Na, makasih ya. Ceramahnya kemarin!” ucap Ganes tulus.
“Enak aja ceramah. Emang gue Bu Haji kali!” tukas Dona cepat. Mereka tertawa. Rara yang tidak tahu jadi kebingungan.
 “Ceramah apaan sih, Na? Nes? Ceritain, dong!” rengeknya penasaran banget.
        “Nanti aja, Ra. Di rumah,” jawab Dona masih tersenyum. Namun sayang waktunya telah tiba. Terdengar panggilan untuk para penumpang. Busnya sudah siap berangkat. Mereka berjabat tangan. Tim pendaki itu terlihat gagah dengan seragam biru gelap Wanacala. Dengan syal merah di leher. Bus berangkat meninggalkan kota Palembang. Diiringi lambaian tangan para pengantarnya. []
        Jam sembilan pagi. Mereka sudah sampai di gerbang Cemoro Kandang, rimba gunung Lawu. Daerah ini banyak terdapat pohon pinus, selanjutnya pepohonan mahoni. Berjalan perlahan dengan beban ransel di pundak. Menikmati ‘menu gunung’ yang penuh dengan kejutan seperti, meniti trek jalur tanjakan. Meniti punggungan, lembah dan jurang. Belum lagi tebaran batuan lepas yang bisa bikin terpeleset, jika kurang hati-hati menjejakkan kaki. Tidak ketinggalan pula suhu yang dingin di sertai kabut yang cukup tebal. Tim pendaki Wanacala bergerak lambat membela kabut gunung yang menyelimut tipis. 
Ganes berjalan paling belakang. Ingatannya selalu tertuju kepada Rara. Persyaratan Rara. Masih terngiang jelas semua perkataan Rara tempo hari. Cuma setangkai edelweis Lawu. Cuma setangkai. Gue jadi serba salah. Kalo bisa gue tidak seperti orang kebanyakan. Mereka yang mengikrarkan diri sebagai pecinta alam. Tapi selalu membawa pulang oleh-oleh dari puncak gunung. Entah itu untuk koleksi pribadi atau untuk hadiah pacar-pacar mereka. Mereka lupa dengan kode etik pecinta alam yang pernah mereka ikrarkan dulu. Kalo emang begitu, pantasnya kita jadi penikmat alam saja. Bukannya pecinta alam!
Emang sih, gue bukan pecinta alam sejati atau pahlawan kelestarian alam. Tapi gue cukup berbesar hati karena hingga saat ini, gue belon pernah memetik bunga edelwies atau menebang pohon tak sesuai kebutuhan. Meski pohon itu sebagus bonsai Jepang sekali pun. Gue nggak pernah menoreh kulit pohon atau mencat batu-batu gunung. Cuma sekedar pengen menuliskan nama biar ngetop. Gue akan mencoba dan terus mencoba untuk tidak mengganggu kedamaian mereka. Menurut gue, sebagai pecinta alam, tindakan untuk tidak mengambil apapun dari puncak gunung selain foto atau sampah. Tidak merusak rambu-rambu dan pepohonan di sepanjang jalur pendakian. Tidak mencoret-coret batu pegunungan. Ikut menjaga kebersihan di lingkungan. Kita sudah cukup pantas menyandang predikat sebagai pecinta alam. Karena kita telah ikut berpartisipasi dalam usaha menjaga kelestarian alam. Meski pun tindakan itu tidak segede yang dilakukan kelompok pecinta alam sejati, yang rela mati demi menyelamatkan lingkungan hidup ini. Biar sesederhana itu, kalo kita sungguh-sungguh, akan membawa ketenangan dalam jiwa. Tapi kalo gue inget persyaratan Rara itu, gue jadi ragu sendiri. Kalo tidak diturutin bisa gawat! Rupanya dalam hati Ganes sedang terjadi perang batin yang hebat. Bagai buah simalakama. Hal itu yang membuyarkan konsentrasinya. Akibatnya dia sering jatuh terpeleset. Rekan-rekannya sering menegurnya.
“Kenapalah kau, Nes!” tegur Togar. Ganes kelihatan gugup. Tapi dia malah tertawa nyengir tanpa dosa.
“Dasar Gokil!” maki Adhie melihat responnya begitu. Dua menit berselang. Uffhh! Bruukk! Ganes kembali jatuh tersungkur. Tersandung akar pohon yang bertonjolan di tanah. Dia meringis menahan sakit.
“Ada apa sih, Nes?”
“Iya, nih! Dari tadi jungkir balik melulu!” Kata rekan-rekannya cemas.
“Nggak apa-apa, kok. Moga-moga ini yang terakhir,” jawabnya sambil menepiskan kotoran yang menempel di bajunya.
“Kau tenangin diri kau dulu. Kita rest di sini dulu!” kata Togar mengkomandoi yang lain.
“Emangnya ada apa sih, Nes?” tanya Acep penasaran. Ganes cuma angkat bahu tak menjawab. Benar kata mereka. Gue harus konsentrasi penuh, kalo nggak ingin celaka. Sebab kalo terjadi apa-apa, bukan gue sendiri yang menanggungnya. Tapi seluruh tim gue. Ganes bergumam dalam hati. Langsung klik! Setangkai Edelweiss Lawu [Bag 2]



3 comments: