Wednesday, February 5, 2014

Yang Hilang


pict:albertjoko
 Mungkin...
 Lidahku adalah perih
 Hatiku adalah batu
 Nyata kau rasa
 Namun…
 Jauh dalam sanubari
 Batin ini
 Rindu tak terhingga
 Sayang tak terkira
 Adalah sungguh milikmu
 [Milikmu, Bintan, Ganezh, Juni 2003] 

“Amit-amit, deh!” Pekik Dimie kesal. Sambil meremas kertas warna pink yang tak berdosa itu. Entah sudah berapa kali ia bersikap seperti itu. Riska, sahabatnya cuma bisa menggelengkan kepala melihatnya.
“Jangan gitu dong, Mie. Nggak baik membenci orang yang suka sama lo.”

“Iya, tapi Egy udah kelewatan! Gue kan udah terus terang. Gue nggak suka ama orang yang nggak gentle gitu. Ngomong langsung gak berani. Tapi hampir tiap hari dia ngirimin gue puisi picisan kayak gini!” Dimie masih terlihat kesal. Riska tersenyum melihatnya.
Kedua orang ini sudah bersahabat sejak SMP, hingga SMU. Mereka sama-sama siswi kelas dua. Ceritanya Dimie lagi ditaksir berat oleh Egy, anak sispala sekolah mereka, SMU 501. Sayangnya Dimie tak menanggapi cinta tulus Egy. Cuma Egy nekat dan terus berjuang untuk mendapatkan cinta Dimie. Sayangnya, si Egy memang belum punya keberanian buat ngomong langsung ke Dimie. Jadinya hampir tiap hari dia mengirimi puisi-puisi cinta ke Dimie. Kurir Egy pun banyak. Doi tak segan-segan untuk mentraktir para kurir yang bertugas menyampaikan pesan cintanya itu. []

Siang itu, sepulang sekolah Dimie kembali dapat kiriman puisi Egy. Kali ini malah sohibnya Riska yang jadi kurir. Dimie benar-benar bete dibuatnya.
“Elo gimana sih, Ris! Kan lo udah tau kalo gue gak suka. Ee, mau-maunya aja lo dijadiin comblangnnya si Egy!” kata Dimie dengan mulut cemberut cucut.
“Habis, Egy-nya melas banget, Mie. Gue gak tega ngeliatnya,” jawab Riska pelan. Sambil memainkan tali tasnya.
“Alaa! Lo pasti udah makan suapannya kan?!” kata Dimie tak percaya.
“Ya—dua-duanya, sih!” jawab Riska kalem. Sembari meringis.
“Dasar matrek, lo!” tukas Dimie sewot. Riska nyaris ngakak disebut begitu. Mereka berdua jalan beriringan menuju ke sebelah timur parkiran SMU 501. Menuju mobil Riska yang diparkir di sana. Setelah keduanya berada di dalam mobil...
“Mie, menurut gue, si Egy nggak jelek-jelek amat. Tergolong borjou lagi! Kenapa lo antipati banget ama doi?” Mendengar perkataan Riska, Dimie menghela nafasnya. Lalu menatap Riska yang sedang menyetir. Perlahan mobil memasuki ruas jalan raya.
“Kita jangan mandang ganteng atau borjou-nya, Ris. Tapi liat kelakuannya, dong. Rada norkin [norak] dan begajulan [berandalan] gitu!” ujar Dimie serius.
“Tapi kalo lo terima, siapa tau doi jadi insyaf.” Sahut Riska tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan.
“Sudah ah, Ris! Elo gak usah nasehatin gue!” potong Dimie cepat.
“Tapi tetangga gue...”
“Duh, cape, deh! Ngomong yang lain aja, ah!” potong Dimie kesal. Akhirnya Riska diam saja. Baleno biru gelap itu melaju perlahan membelah jalan raya Sudirman. []

Di tengah taman kota, tampak seorang pemuda duduk melamun sendirian. Wajahnya tampak berkerut. Entah sedang memikirkan sesuatu. Sesekali tangannya meraih batu kerikil di dekatnya. Lalu—plung! Melemparnya ke kolam di hadapannya. Tampak riak air bulat-bulat di permukaan. Tak lama sosok itu berdiri. Mendekati motornya yang parkir tak jauh dari situ. Lalu motor dan pengendaranya itu melesat meninggalkan taman kota. Sosok itu tak lain si Egy. Dia berniat mengunjungi sobatnya yang gokil. Siapa lagi kalo bukan Ganes.
Tak sampai satu jam, Egy udah sampai di rumah Ganes. Di kawasan Basuki Rahmat. Ia menjumpai sobatnya itu lagi asyik merapikan bonsainya yang tak jelas bentuknya.
“Naksir cewek, tuh! Nggak musti ngirim puisi. Ngirim bunga atau kirim yang lain-lainnya, Gy!” ucap Ganes sambil menggunting beberapa ranting bonsai. Mendengar itu Egy mengerutkan dahi.
“ Lalu apa? Duit?!” tanyanya sambil menjentikkan jempol dan telunjuknya.
“Woo! Itu sih, relatif! Dia matre apa nggak. Pendekatannya musti langsung. Lewat perbuatan dan perhatian. Tapi susah ya? Elo kan badung banget di sekolah. Coba kurangi, deh. Bila perlu lo ganti kulit!” Ganes mengkritik Egy. Kalau bukan Ganes yang ngomong begitu, mungkin sudah ditonjoknya. Egy di kenal sebagai murid yang bandel. Suka berantem, ngebolos dan berbagai tindakan minus lainnya. Ia keren di gunung tapi tak keren saat di sekolah! Soal bikin keributan, Egy jagonya. Tapi soal hati dan perasaan, dia mati kutu. Sekarang ia curhat pada orang yang agak ahli ngerayu. Ya, si Gokil Ganes!
“Ganti kulit gimana, Nes?” Egy tampak bingung. Ganes membenahi posisi duduknya.
“Maksud gue, sikap lo kudu berubah. Kudu berani ngomong langsung, kalo lo emang suka ama dia. Elo juga harus kurangi tingkah minus dan penampilan elo. Nggak perlu mentereng, yang pasti cocok dan sesuai. Inget! Harus sungguh-sungguh!” kata Ganes serius. Mendengar itu Egy diam sejenak.
“Tapi—apa kata temen-temen gue nanti, Nes. Kalo gue mendadak alim? Habis dah, gue!”
“Terserah elo, sih. Sekarang lo pilih. Pacaran ama Dimie atau ama gank lo itu? Lagian apa untungnya sih, badung gitu. Banyak yang benci, Gy!” Egy tersenyum kecut mendengar perkataan Ganes. Sudah berapa kali Ganes mengkritiknya.
“Entar kalo gue udah berubah, tapi masih ditolak juga?” tanya Egy polos. Ganes terlihat berpikir sejenak.
“Ya, terima aja. Mungkin doi emang bukan jodoh elo. Dan lo juga harus berjiwa besar. Tunjukin kalo lo bukan laki-laki cengeng. Bukan pengecut. Jangan merasa kalah, apa lagi tambah begajulan lagi. Sikap itu cuma ngejatuhin harga diri elo di matanya, juga di mata orang-orang. Elo bisa cari yang lain. Cari yang bisa menerima cinta tulus lo itu. Elo musti tegar. Setegar batu karang, Man!” ujar Ganes bak penyair kawakan. Egy tampak bungkam. Lalu manggut-manggut seakan mengerti. []

Seminggu, dua minggu, si Egy tak lagi mengirim puisi atau sekedar pesan cinta ke Dimie. Pada awalnya Dimie merasa senang dan tenang. Tapi lama kelamaan, diam-diam ia merasa kehilangan moment itu. Biasanya sepulang sekolah dia selalu membaca puisi-puisi rayuan Egy. Meski usainya marah-marah, dilanjutkan dengan meremas-remas kertas tak berdosa itu. Egy benar-benar tak mengirimkan apa-apa atau pesan lewat siapa pun. Di sekolah juga ia mulai berubah. Terlihat bersikap kalem dan manis. Mengurangi kebandelannya. Tak bikin ribut atau ngebolos lagi. Pakaiannya juga udah terlihat lebih rapi. Perubahan itu membuat bingung Dimie, para guru dan teman-teman di sekolahnya. Lebih-lebih teman satu ganknya. Mereka pikir Egy kesambet jin penunggu pohon asem yang tumbuh di lapangan sekolah. Tapi mereka salah semua gara-gara Dimie idamannya. Perubahan Egy itu tentu menarik perhatian Riska.
“Mie, bener gak kata gue tempo hari. Doi bener-bener berubah!” kata Riska dengan wajah cerah.
“Mungkin cuma sebentar, Ris! Gak lama lagi, dia balik ke sifat aslinya.” Dimie masih tak percaya.
“Elo memang keras kepala, Mie. Gue nyerah, deh, gue!” kata Riska angkat bahu.

Sabtu sore hujan turun dengan deras. Titik air bagai ditumpahkan dari langit. Aktifitas orang yang berjalan berhenti total. Para pejalan kaki terjebak dan berteduh di emper pertokoan. Di antara orang-orang yang berteduh itu, tampak seorang gadis sedang gelisah dan kesal. Sesekali ia melihat ke arah jam tangannya. Hujan sialan! Udah jam setengah tujuh, belum juga mau berhenti! Makinya kesal dalam hati. Selagi asyik dirundung kegelisahannya, tiba-tiba seorang pengendara motor berhenti tepat di hadapannya. Itu bukan tukang ojek. Ia seorang pemuda. Perlahan turun dari motor, dan menghampiri gadis itu. Jaket parasutnya tampak basah kuyup oleh air hujan. Pemuda itu membuka helm, lalu wajahnya menyunggingkan senyum ramah. Deg! Jantung gadis, yang tak lain Dimie itu terasa berhenti. Egy? Katanya dalam hati.
“Mie, lo kejebak hujan di sini? Gue anterin, yuk?” Sapa Egy ramah sambil menawarkan diri mengantarnya pulang.
“Ng—nggak usah, Gy. Makasih.” jawab Dimie gugup. Sembari menoleh ke jalan. Tak berani menatap mata Egy. Wajah Egy terlihat agak kecewa.
“Gue temenin, boleh?” kata Egy lagi. Agak lama Dimie tak menjawab. Lalu mengangguk pelan. Oh god! Kenapa mesti ketemu dia di sini. Tapi, mendinganlah ketimbang ketemu orang asing. Rutuk Dimie dalam hati. Dia menoleh ke arah jalan lagi. Berharap ada taksi yang melintas!
“Elo… pulang les, ya?” tanya Egy tetap bersikap ramah.
“Iy—Iya. Lo sendiri?” tanya Dimie berbasa basi.
“Dari rumah Gokil.”
“Gokil?” tanya Dimie kelihatan bingung. Sebab setahu dia “gokil” itu artinya gila alias sableng. Hehehe.
“Eh, anu, si Ganes! Temen gue, anak SMU 2000,” Egy meralatnya.
“Oooh!”  Usai perkataan itu, kedua remaja yang berdiri berdampingan itu sama-sama membisu. Mungkin dibuai oleh pikiran mereka masing-masing. Dimie terlihat makin gelisah. Dia melihat jam tangannya lagi. Hujan belum juga berhenti. Gimana ini, udah jam delapan malam. Aduh! Keluh Dimie lagi dalam hati. Diam-diam Egy melirik ke arahnya.
“Kayaknya nih, hujan belon juga mau berhenti. Ini udah malam. Gue anterin aja, ya! Ketimbang bokap nyokap lo khawatir.” Sekali lagi Egy menawarkan diri. Dimie menatapnya. Masih kelihatan ragu.
“Elo... takut, gue...”
“Nggak! Nggak! Cuma—gue gak mau ngerepotin lo aja, Gy!” potong Dimie cepat merasa tak enak hati.
“Ngerepotin? Nggak kok, suer!” kata Egy tersenyum.
“Hujan-hujan? Entar basah kuyup semua?!”
“Ya, no choice kan? Lo pake jaket gue aja.” Egy melepas jaket parasutnya. Kemudian dia berikan ke Dimie. Bahkan tanpa menunggu persetujuan Dimie, ia membantu memakaikannya.
“Terus elo pake apa?” Dimie masih merasa tak enak. Egy tersenyum mendengarnya.
“Cuma air hujan, kok. Gak perlu takut. Paling-paling basah!” Akhirnya Dimie menurutinya, membonceng di motor Egy. Di tengah guyuran hujan deras, Tiger ungu itu melesat membelah Jalan Raya Basuki Rahmat. []

Tak lebih dari 40 menit, mereka sampai di rumah Dimie, di kawasan Multi Wahana. Hujan belum juga mau berhenti. Orang tua Dimie sudah menunggu kedatangannya dengan gelisah. Ketika diajak masuk, Egy menolaknya halus, dengan alasan buru-buru. Setelah permisi, Egy kembali menerobos hujan deras menuju jalan raya. 
Usai mandi air hangat dan makan malam, Dimie langsung masuk ke kamar. Pikirannya menerawang pada peristiwa yang baru dialaminya tadi. Malem minggu, gue berhujan ria dengan si Minus Egy? Gawat kalo sampai ketahuan ama yang lain. Lebih-lebih ama Riska. Mampus gue, bakal dikatain munafik nanti. Tapi—itu juga nggak sengaja. Lagian bukannya pergi berkencan. Kenapa mesti takut. Mmm—kalo dipikir-pikir, si Egy manis juga. Care banget ama gue. Tapi kenapa udah dua minggu lebih doi nggak ngirimin puisi lagi ke gue. Apa dia udah nggak suka lagi ya? Tanya Dimie dalam hati. Nah, Lo! Apa yang sedang terjadi pada diri lo, Mie? []         

Lepas magrib, Dimie lagi asyik menghapal pelajaran Biologi, buat ulangan hari Senin besok. Terlihat begitu khusuk. Mulutnya juga komat-kamit ngunyahin keripik udang. Tiba-tiba terdengar suara mamanya memanggil, sembari mengetuk pintu kamarnya. Mamanya memberitahu ada temannya datang.
“Siapa, Ma?”
“Namanya Egy. Buruan, gih!” kata mamanya sambil meninggalkan Dimie yang masih melongo. Egy? Ngapain malam-malam gini ke rumah? Tapi buru-buru Dimie menyisir rambutnya, merapikan bajunya. Aneh! Tidak ada lagi rasa kesal atau benci. Ketika mendengar nama si Minus itu disebut. Nama orang yang pernah dibencinya setengah mati. Malah sekarang hanya ada debar-debar aneh di dadanya. Dengan perasaan tak menentu dia menuju ruang tamu. Egy tersenyum melihatnya.
“Ada apa, Gy?” tanya Dimie agak gugup.
“Aa—ada yang harus, gue sampein ke elo, Mie.” kata Egy tak kalah gugup. Dimie mempersilahkannya masuk. Mereka duduk berhadap-hadapan di sofa.
 “Mo nyampein apa, Gy?” tanya Dimie berdebar. Egy diam sesaat. Terlihat kikuk sekali sekali.
“Tapi lo, jangan marah ya. Gue mau jujur ama lo. Kalo gue... gue bener-bener suka ama elo. Cinta ama lo, Mie...” kata Egy perlahan. Cukup lancar ia ungkapkan semua. Matanya yang sendu menatap tajam ke bola mata Dimie. Dimie melongo mendengar perkataan Egy barusan. Secepat itu? Dimie kikuk tak langsung menjawab. Ia juga tak berani membalas tatapan Egy. Jantungnya berdebar tak karuan. Wajah Egy pun kelihatan pucat. Mungkin sama-sama untuk yang pertama kalinya, ya? Dua-duanya kelihatan kaku begitu.
“Maaf ya, Mie. Mungkin waktunya gak tepat. Tapi gue gak akan tenang. Kalo belum ngomonginnya. Gue juga minta maaf. Udah neror elo dengan puisi-puisi kacangan gue” ujar Egy lagi.
“Nggak apa-apa, Gy. Tapi gue, gue gak bisa ngasih jawaban sekarang ya,” jawab Dimie pelan dengan wajah tertunduk. Egy mengangguk tersenyum.
“Iya, gak apa-apa, gue ngerti. Lo gak usah takut. Nerima atau nggak jawaban lo nanti, gue terima dengan lapang dada. Yang penting gue udah ngomong sejujur-jujurnya, Mie.” kata Egy serius. Dimie mengangguk setuju. Sesaat mereka kembali terdiam.
“Eh! Iya, lo mau minum apa, Gy?” kata Dimie tersentak. Baru ingat belum menyuguhinya minuman. Dia berdiri, namun Egy mencegahnya.
“Gak usah repot-repot, Mie. Gue permisi, ya.”
“Lho, kok, buru-buru, Gy? Maaf ya, gue gak nyuguhin apa-apa.” Dimie merasa tak enak dan tak mengira Egy akan pulang secepat itu.
“Gak apa-apa, Mie. Udah malem aja. Lo juga pasti udah ngantuk. Tolong bilangin ke Mama kalo gue pamit pulang,” Egy berdiri dari tempat duduknya. Dimie tak bisa menahan kepergiannya.
“Iya, entar gue sampein. Lo hati-hati di jalan, ya.” Dimie mengantarnya sampai ke teras depan. Egy menatapnya sebentar lalu tersenyum manis. Terbias kebahagiaan di wajahnya yang pucat.
“Gy, lo kelihatan pucat. Lo sakit, ya?” tanyat Dimie saat menatap wajahnya. Egy menggelengkan kepala sambil tersenyum. Memakai helm serta melambaikan tangan, lalu melesat pergi dengan sepeda motornya. Menerobos kegelapan malam. []

Setelah Egy pulang, Dimie langsung masuk kamar dan rebah di pembaringannya. Dia merenung sambil menatap langit-langit kamarnya. Hingga larut malam, matanya tak mampu terpejam. Memikirkan kata-kata Egy tadi. Gila Egy bener-bener nekat. Akhirnya doi berani ngomong langsung ke gue. Terima nggak, ya? Kayaknya Egy sungguh-sungguh, waktu menyatakannya tadi. Tapi—nanti apa kata yang lain, ya? Lebih-lebih si Riska? Gue bakal dikatain habis-habisan. Tapi gue juga merasakan perasaan aneh kalo deket dia? Bodo, ah! Besok gue minta pertimbangan Riska sekali lagi. Akhirnya Dimie tertidur pulas dibuai oleh gelisahnya sendiri. []

Senin pagi di gerbang SMU 501, Dimie berjalan terburu-buru. Ia hendak mencari Riska. Ketika ketemu, Dimie langsung menyeretnya ke sudut kelas. Ternyata Riska juga sudah menunggunya sejak tadi. Sepertinya ada yang hendak dibicarakannya. Tapi Riska tak diberinya kesempatan bicara. Malah Dimie yang banyak bicara.
“Ris, semalam Egy dateng. Dia nembak gue—secara langsung, Ris! Matanya kelihatan—”
“Tapi, Mie—” Potong Riska.
“Jangan potong gue dulu dong, Ris! Matanya, Ris. Matanya, kelihatan begitu tulus. Walaupun wajahnya pucat. Ternyata dia gentle juga. Menurut lo gimana? Gue terima apa nggak?” tanya Dimie dengan hati berbunga-bunga. Riska makin kelihatan bingung. Melihat wajah sahabatnya begitu. Dimie bertanya heran.
“Kenapa elo begitu, Ris? Elo nggak setuju, ya?”
“Dia—dia semalam, nemuin elo, Mie?” Riska gugup. Meski heran, Dimie mengangguk.
“Jam berapaan?” tanyanya lagi.
“Duh, gue lupa pastinya! Mungkin sekitar jam delapanan gitu, deh. Eh, emangnya kenapa sih, Ris? Muka lo kayak orang bloon gitu?” tanya Dimie kebingungan.
“Elo, nggak lagi ngimpi kan, Mie?” tanya Riska makin melotot.
“Mimpi? Nggak, Nek, asli! Doi datang sendiri, kenapa lo melotot gitu, Ris? Mau nakut-nakutin gue apa?!” tanya Dimie mulai kesal.
“Elo, sih! Nggak ngasih kesempatan gue ngomong! Nyerocos mulu. Lo nggak tahu kalo Egy, kalo Egy, malam Minggu kemarin kecelakaan. Beritanya baru diterima sekolah pagi ini.”
“Hah?! Malam minggu? Malam minggu dia nganterin gue pulang, Ris! Ini gak mungkin. Elo main-main kan?” tanya Dimie belum percaya.
“Main-main apaan! Dia tabrakan dengan mobil travel sekitar jam sebelasan gitu!” kata Riska serius. Mendengar itu jantungnya Dimie terasa mau berhenti berdetak. Kalo kecelakaannya jam sebelas, malam Minggu. Berarti kejadiannya setelah dia nganterin gue?! Tanya Dimie dalam hati.
“Ini seriusan, Ris?”
“Aduh, Dimie! Gue dikabari temennya. Mereka sekelas udah pada mau ngelayatin Egy!”
“Nge—ngelayat? Berarti—berarti…” Dimie tak bisa melanjutkan kata-katanya. Jadi yang semalam datang siapa? Mukanya pucat seperti kapas. Jangan-jangan yang datang semalam itu han—han—bruuk! Dimie tak sanggup meneruskan kata-kata hatinya lagi. Pandangannya mendadak gelap. Dia jatuh pingsan. Melihat Dimie begitu, Riska  menjerit-jerit panik memanggil teman-temannya yang lain. []

Dimie pulang diantar oleh Riska. Ketika sampai rumah, Dimie langsung masuk ke kamarnya. Dia menangis sejadi-jadinya. Hatinya sedih dan kecewa. Mamanya sampai kebingungan. Riska mencoba untuk menceritakan semuanya. Kenapa gue malam itu harus ketemu Egy di emper pertokoan? Kenapa Egy harus nganterin gue pulang? Itu awal kecelakaan itu terjadi. Tuhan. Kenapa Kau renggut Egy secepat itu. Ketika gue mulai menyukainya. Ketika benih-benih cinta pertama gue mulai tumbuh untuknya? Di saat Dimie dilanda kesedihannya. Sayup terdengar senandung lagu dari tape rumah tetangga sebelah. Lagu yang mengiris-ngiris hatinya. [end]
 "Ada yang hilang mengisi relung hati,
 Mengharap pagi membawamu kembali,
Hariku sepi..."
[Bungaku Hilang - Pay][Nezh/ 4 Mei 1999]

No comments:

Post a Comment