Indonesian Everest Team 1997 |
Pada tanggal 26 April 1997, Indonesia
menjadi negara di kawasan tropis pertama, sebagai negara pertama di Asia
Tenggara, sebagai militer ke tiga di dunia (setelah Nepal dan India), menjadi
tim pendaki pertama yang sukses pada musim pendakian ke Everest, 8.848 mdpl,
musim 1997. Indonesia telah memotong
tim Malaysia yang—punya ide jadi yang pertama sejak tahun 1986—sudah ’nongkrong’
beraklimatisasi di base camp Everest
selama 6 bulan.
"Waktu itu kita mendengar bahwa Malaysia
sudah mencanangkan akan mengibarkan bendera kebangsaan mereka pada tanggal 10
Mei 1997. Saya tidak rela bangsa Indonesia, sebagai bangsa 200 juta jiwa, harus
kalah dengan bangsa lain di kawasan kita. Karena mencapai puncak tertinggi di
dunia sudah menjadi salah satu tonggak ukuran prestasi suatu bangsa." tegas
Prabowo dalam buku Di Puncak Himalaya
Merah Putih Kukibarkan. Malaysia mengekori keberhasilan kita pada tanggal 23
Mei 1997, dan M. Magendran dan N. Mohanadas jadi orang Malaysia pertama di puncak Everest.
Tim
Indonesian Everest 1997 terdiri dari anggota Kopassus, Wanadri, FPTI, Mapala UI dan Rakata atas prakarsa KomJend. Kopassus,
MayJend TNI Prabowo Subianto. Ekspedisi dimulai pada tanggal 12 Maret 1997 dari Phakding, Nepal. Indonesia
mengirimkan dua tim, Tim Selatan dan Tim Utara, dilatih dan dipandu oleh the
Ghost of Everest, Anatoly Boukreev (Rusia), juga rekan-rekannya yang juga dari
Rusia, Vladimir Baskirov, Evgenie Vinogradsky (dokter) dan ditambah pelatih
dari Polandia, Richard Pawlosky, untuk memimpin tim utara (gagal 250 meter lagi
menjelang puncak). Serta dipandu oleh Apa Serpha dan Dawa Tashi.
Kesuksesan Tim Selatan ekspedisi itu
juga bisa dikatakan juga mampu mensejajarkan bangsa Indonesia dengan
bangsa-bangsa besar di dunia. Sedang menurut data tahun 1997, Everest memiliki
13 Rute pendakian, ada 165 tim, 2 pendakian solo dari 44 negara dan 686
orang—termasuk 16 pendaki wanita—yang berhasil menjejak di puncaknya. (Data
tahun 2003 sudah ada 1.200 orang—pria dan wanita—dari 63 negara yang berhasil
menjejaki puncak Everest).
Tapi di tulisan ini, saya tak akan
menceritakan kembali prosesi pencapaian tim Indonesian Everest 1997, saat
menggapai puncak Everest, karena di berbagai blog, sudah banyak yang
menulis—apa lagi yang full copas—tentang
keberhasilan tim kita ini. Meski tak apa, karena ini berarti masih banyak
generasi kita mau mengenang sejarah, sekaligus menghargai jerih payah
putera-putera bangsa dalam menggapai puncak tertinggi di bumi itu. Dalam
tulisan ini saya akan lebih banyak cerita dari salah salah satu tokoh utama
yang menyukseskan tim Indonesia Everest, yakni Anatoli Boukreev, sosok pelatih
tim, sekaligus kepala guide tim Indonesia Everest.
Keraguan Sang Hantu Everest
Anatoli
Nikolaevich Boukreev (16 Januari 1958 - 25 Desember 1997) adalah pendaki
profesional Kazakhstan,
Rusia. Ia telah mengantungi tujuh dari 14 puncak 8000-an tanpa bantuan tabung
oksigen. Sepanjang tahun 1989 hingga 1997, ia punya catatan 18 kesuksesan
mendaki puncak-puncak 8.000. Mendapat reputasi sebagai pendaki elit
internasional, untuk pendakian K2 tahun 1993, dan mendaki Everest lewat rute
North Ridge, serta makin terkenal setelah melakukan amazing rescue pada tragedi Everest 1996.
Pada
tahun itu, ada beberapa pendaki dari tim lain yang meninggal sebelum dan
sesudah 10 Mei. Karena banyaknya korban—12 orang—musim pendakian 1996 sering
disebut sebagai “Everest 1996 Dissaster”
atau Tragedi Everest. Peristiwa itu terus menghantui Boukreev yang kini harus
bertanggungjawab penuh atas keselamatan tim Indonesia. Sementara saat tragedi
itu terjadi, ia juga berperan sebagai pemandu di Tim Mountain Madness. Bahkan
ia bertindak secara heroik menembus badai, dan berhasil menyelamatkan beberapa
nyawa, tindakannya ini dikenal sebagai the
Amazing Rescue! Beberapa rekan
pendaki menjulukinya the Ghost of Everest.
Lengkapnya baca: Sang Heroik: Anatoli Boukreev
Melihat
predikat inilah Indonesia
mencoba melobi Boukreev agar bersedia menjadi pelatih sekaligus pemandu utama
tim Indonesia Everest 1997. “Orang-orang
Indonesia
percaya dengan kemampuan saya, selain saya memang lagi butuh uang untuk hidup.
Saya harap, mereka mengakui saya sebagai trainer dan pemimpin dalam tim ini.
Saya butuh ini, karena terus terang, saya sangat tersinggung dengan tulisan
media-media Amerika tentang musibah (yang menewaskan Scott Fischer, Rob Hall, Yosuko
Namba, dan sejumlah pendaki) tahun 1996 yang lalu.” Ungkap Boukreev
di bukunya the Climb, yang ditulisnya bersama Gary Weston
DeWalt. Mungkin ia juga tersinggung dengan buku Into Thin Air, karya Jon Krakauer, yang begitu menyudutkannya.
Jon secara jelas
mempermasalahkan Boukreev yang tidak menggunakan tabung oksigennya, justru
memberikan kepada rekannya, Neal Beidleman, dalam perjalanan summit attack. Akibat tindakan itu menyebabkan
ia harus kembali ke camp terakhir di South
Col, untuk istirahat
dan menghangatkan badan lebih cepat dari kliennya. Selain itu juga, secara subjektif
juga, Jon menyalahkan terjadinya hambatan pendaki di Hillary Step dan the Balcony,
sehingga waktu pendakian banyak yang terbuang. Akibatnya, mayoritas pendaki,
baik dari tim Scott Fischer, Montain
Madness Team, juga tim Rob Hall, Adventure Consultants' Team, baru bisa
mencapai puncak everest, lewat pukul 3 sore. Kecuali Jon, Boukreev dan Andy
Harris, berhasil mencapai puncak Everest pada pukul 13.12 waktu setempat.
Sahabat Boukreev yang berasal
dari Italia, Simone Morro, membela dan mengkritik buku Into Thin Air, menuliskan catatan untuk Jon Krakauer: "Kau tak mengenal siapa Boukreev sebenarnya.
Kau Amerika, dan dia Rusia. Kau pendatang baru di 8000-an, sementara dia di
level terbaik sepanjang masa. Kau adalah pendaki gunung normal, dan dia seorang
atlet hebat dan hantunya survival. Kau memiliki kenyamanan finansial, ia dikenal
selalu kelaparan... Aku pikir kau seperti orang yang baru selesai membaca buku
panduan medis, lalu mengklaim mampu mengajar bagaimana menjadi seorang dokter
ahli bedah paling terampil di dunia... jika kau ingin benar-benar memberi
penilaian tentang keputusannya tahun 1996, ingat ini: Tak ada klien
ekspedisinya yang meninggal." Alangkah kerennya jika ada
penerbit Indonesia, ada yang
mem-publish terjemahan buku the Climb,
agar pembaca Indonesia
mendapat ceritanya dari dua arah.
Selain masih merasa sedih
dengan pemberitaan tragedi Everest 1996, ternyata Boukreev juga sangat meragukan
tim kita, ini memang masuk akal, apa lagi kita dikenal sebagai manusia-manusia
tropis yang tiba-tiba berniat “mengadu jiwa” di ketinggian Everest. Tapi
keyakinan Boukreev kembali muncul setelah beberapa pendaki berkelas
Internasional menyemangatinya.
“Tanpa sokongan dari teman-teman di Eropa, seperti Rolf Dujmovits dan
Reinhold Messner, maka nama saya di mata masyarakat Amerika sangat buruk.
Setelah saya bertemu dengan organisator tim Indonesia
di Kathmandu, saya terbang ke Jakarta
untuk berbicara dengan Prabowo, sebagai Kordinator Pendakian Nasional.”
Ketika bertemu Mayjend. Prabowo, Boukreev mengatakan segala sesuatu tentang sebuah
ekspedisi Everest. Baik tentang kemungkinan keberhasilan dan kegagalannya.
Mount Everest |
Wah! Ternyata Boukreev
memang benar-benar pesimis dengan kemampuan para pendaki kita. Bahkan ia
mengusulkan agar tim Indonesia
berlatih selama satu tahun penuh. Melakukan training mendaki gunung-gunung
tinggi sekaligus beraklimitasi. Tapi usul Boukreev itu ditolak dengan tegas!
“Tradisi saya dalam olahraga ini adalah mengutamakan pemiikiran yang
sehat, bukan dengan cara “Rusian Roulette” Ungkapnya dengan nada kecewa.
Russian Roulette adalah permainan mematikan menggunakan pistol putar dengan
satu peluru.
“Kematian seorang anggota ekspedisi, selalu jadi pukulan berat yang mampu
menghancurkan semangat untuk mencapai puncak. Di gunung dengan ketinggian lebih
dari 8.000 meter, tingkat keselamatan pendaki amatir akan menurun, tak peduli
ia dalam kondisi stamina super sekali pun. Saya tak bisa menjamin keselamatan
orang-orang yang minim atau sama sekali tidak berpengalaman di gunung-gunung
tertinggi di dunia!” Tegas Boukreev lagi. Tapi orang-orang kita berusaha
terus untuk melobi kesediaannya. Berulang kali pula Boukreev mengingatkannya.
“Orang Indonesia
bisa membeli dan mempelajari pengalaman saya. Nasehat saya, dan tugas saya sebagai
pemimpin pendakian sekaligus tim penyelamat. Kalau ingin ke puncak Everest,
mereka harus menanggung sendiri akibat dari kesombongan mereka nanti, karena
mereka sangat tidak berpengalaman!” Tegas Boukreev lagi. Memang, relatif
para pendaki sipil yang pernah mendaki gunung-gunung salju di Himalaya,
Amerika dan Eropa. Sementara para pendaki Kopassus
belum.
“Jendral Prabowo meyakinkan saya, bahwa orang-orang mereka punya motivasi
dan mampu. Mereka bersedia mempertaruhkan jiwa mereka, untuk mencapai tujuan
ini. Sebuah jawaban jujur yang membuat saya syok!” Ungkap Boukreev jujur
sekaligus salut. Untuk itu ia akan seletif memilih tim pendukung ekspedisi ini.
Ia butuh pelatih yang sangat menguasai teknik dan berpengalaman di gunung-gunung
tinggi. Mampu berperan sebagai penasehat, sekaligus sebagai tim penyelamat. Baik
saat aklimatisasi maupun saat mendaki puncak.
“Konsep tentang sebuah tim penyelamat sangat penting bagi saya, itu saya
tekankan dengan jelas. Saya juga tak bersedia memberi garansi ke jendral
Prabowo akan keberhasilan ekspedisi ini. Saya juga tak akan melanjutkan
ekspedisi ini, walaupun kita sudah dekat puncak, jika terjadi situasi yang
tidak menguntungkan bagi keselamatan tim.” Tegas Boukreev. Menurutnya, Jendral
Prabowo juga dituntut mengerti tentang kondisi para pendaki ketika hendak ke
puncak, juga keadaan cuaca yang bisa saja membatalkan rencana summit attack.
“Semua saya yang menentukan. Dia harus mengerti, di ketinggian 8000 meter,
bahkan tim penyelamat terbaik dunia pun tak akan bisa memberi garansi 100%.
Andai hal yang tak diinginkan terjadi, saya akan melakukan usaha penyelamatan dengan resiko keselamatan saya.” Tegas Boukreev pada Jend. Prabowo. Itulah komitmen antara Boukreev dan Prabowo. Menurut Boukreev, masalah terbesar adalah masalah komunikasi. Bukan hanya perbedaan bahasa yang membuat frustasi, tapi juga tidak lengkapnya alat komunikasi. Waduh!
Andai hal yang tak diinginkan terjadi, saya akan melakukan usaha penyelamatan dengan resiko keselamatan saya.” Tegas Boukreev pada Jend. Prabowo. Itulah komitmen antara Boukreev dan Prabowo. Menurut Boukreev, masalah terbesar adalah masalah komunikasi. Bukan hanya perbedaan bahasa yang membuat frustasi, tapi juga tidak lengkapnya alat komunikasi. Waduh!
Para Pendamping Yang Hebat
Untuk
mengurangi rasa keraguan dan pesimistisnya. Boukreev mengumpulkan beberapa sahabat
dan rekan seperjalannya dalam membimbing tim Indonesia menggapai Everest. Boukreev
menarik dua pendaki terkenal asal Rusia yakni Vladimir Bashkirov dan Dr. Evgeni
Vinogradski. Bashkirov yang saat itu berusia 45 tahun, punya pengalaman 15
tahun dalam mengkoordinir ekspedisi di daerah yang sulit, dan mengenal rute
Pamir dan Kaukasus. Berhasil mendaki 6 gunung diatas 8000 meter, termasuk dua
antaranya adalah Gunung Everest. Suatu keuntungan dia mau berkerja sama dengan
kami. Menurut Boukreev, sosok Bashkirov itu dia pendiam, diplomatis, supel
bergaul dan fasih berbahasa inggris. Di Rusia ia terkenal sebagai
kameraman-petualangan dan produser film. Dia yang menjadi film maker di ekspedisi ini.
Sementara
“Sang Garuda Tua” Dr. Evgeni Vinogradski 50 tahun, punya prestasi 7 kali juara
panjat tebing Rusia, dan 25 tahun berpengalaman sebagai pelatih pendaki gunung
sekaligus dokter olah raga. Evgeni adalah teman baik Boukreev. Mereka pernah
mendaki bareng saat menjejaki Kanchenjunga
pada tahun 1989. Evgeni adalah telah mendaki lebih dari 20 gunung berketinggian
7000 metr, dan mengkoleksi 8 gunung berkentinggian lebih dari 8000 meter,
termasuk 2 pendakian Everest, salah satunya sebagai pimpinan ekspedisi.
Ang
Tshering, dari Asian Trekking di Kathmandu, bertugas mengurusi logistik dan
mencari sherpa untuk ekspedisi. Mereka
juga bersyukur, karena mendapatkan Sherpa Apa von Thami, 37 tahun, sudah 7 kali
mencapai puncak Everest sebagai Sirdar—pemimpin
Sherpa pendaki—dan First Climber Sherpa
(Sherpa yang ikut ke puncak) juga bergabung dengan Boukreev. Para sherpa berada dibawah komando Ang
Tshering dan staf dari Indonesia.
Keraguan Terkikis
Tim
Indonesian Everest 1997, berangkat menuju Nepal pada akhir Desember 1996.
Setelah beberapa hari beristirahat di Kathmandu,
mereka langsung mengikuti latihan yang sekaligus merupakan seleksi tim yang
akan diikutsertakan dalam pendakian Everest pada bulan Aprill 1997. Seleksi I dilakukan
di Paldor Peak, 5. 928 mdpl. Seleksi II di Island Peak,
6.189 mdpl. Para pendaki itu belajar mengenal
gunung es dan mempelajari teknik mendakinya. Mereka orang-orang tropis yang
sangat jarang, bahkan ada yang belum pernah ketemu salju, tampak gembira saat
melihat hamparan es dan menginjak butir-butir salju. Sangat tak berlebihan jika
banyak pendaki asing yang mencibir, sambil melontarkan pertanyaan sinis; Benarkah orang-orang seperti ini akan
mendaki Everest?
Bashkirov
dan Evgeni memimpin Training ke Paldor
Peak, Ganesh Himal, yang
dimulai pada tgl 15 Desember 1996. Seluruh pendaki berjumlah 34 orang. Separuh dari
mereka tak punya pengalaman pendakian gunung tinggi. Berusaha mencapai Puncak
Paldor, 5.900 meter. Ternyata 17 orang berhasil sampai ke puncak, dan bertahan selama
21 hari dan mencoba beraklimatisasi dengan cuaca musim dingin.
Pada
Januari dan Februari 1997, ke-34 pendaki mulai melakukan training yang ke dua, mendaki
Island Peak,
6.189 meter. Ada
16 orang pendaki yang berhasil mencapai puncak. Mereka berada di sana selama 20 hari. Dibawah
temperatur minus 40 derajat Celcius, serta terjangan badai musim dingin yang
ganas. Selama tiga hari tiga malam berada di ketinggian 6.000 meter, dengan
keadaan cuaca yang sangat berat mereka harus mendaki dan turun dengan rentang
ketinggian 1.000 meter dalam waktu kurang dari lima jam.
Ternyata
hasil latihan ini, perlahan-lahan mulai mengikis keraguan Boukreev terhadap tim
Indonesia,
“Training ini sangat optimal. Saya
sendiri menggelengkan kepala: Paldor, Island Peak, Everest. Sebagai training,
program ini bukan untuk sembarangan orang!” ungkap Boukreev kagum.
Di
penyaringan terakhir, hanya ada 10 anggota Kopasus
dan 6 orang sipil pendaki. Tim Boukreev sempat mengusulkan satu tim rute
pendakian melalui Jalur Selatan,
Nepal, namun ditolak.
Tim Indonesia ingin membentuk tim ke dua yang akan menembusnya dari jalur Utara, Tibet.
Tim selatan terdiri dari 10 pendaki, 2 pendukung, 3 pelatih dan 20 sherpa. Sedangkan tim utara terdiri dari
6 pendaki, 2 pendukung, 1 pelatih, yakni Rischard Pavlowski, 44 tahun, asal Polandia,
dan 15 sherpa. Dengan dua tim dari
dua jalur yang berbeda, peluang keberhasilan Indonesia menjadi lebih terbuka.
Tapi
mulai ada masalah seperti yang diungkap Boukreev dalam bukunya itu, “… ada masalah struktur organisasi kami. Sherpa
tidak berada dibawah komando saya. Tugas mereka hanya menolong di pekerjaan
tertentu, seperti memasang tali, membangun camp dan transport logistik. Padahal
yang harus dikerjakan sebenarnya banyak, karena kami yang pertama di rute ini,
tanpa ada pertolongan dari sherpa karena secara structural, sherpa harus
tinggal di belakang seusai melakukan tugas mereka. Pertolongan sherpa tidak
bisa mengimbangi team pendaki yang selalu bergerak menuju ke tempat yang lebih
tinggi. Sirdar Apa juga sedih melihat orang-orangnya yang kurang kemampuan dan
pengalaman, yang mengakibatkan pendakian ini tersendat.”
Pada
tgl 21 April, tim kembali ke base camp,
untuk melakukan seremoni dan berdoa. Mirip para sherpa yang saban pagi memberi kurban untuk gunung. “Orang-orang Indonesia selalu mengingat Tuhan. Saya sangat respek
pada kepercayaan mereka. Wajah-wajah pendaki dan seluruh anggota tim nampak
serius khusyuk selama acara seremoni.” Ungkap Boukreev serius. Di hari-hari
terakhir itu, para anggota segera bersiap menjelang summit day. Selama menunggu
hari pendakian mereka semua terlihat tegang. Bersambung ke 1st Indonesian Everest 1997 (Bag. 2)
foto 1 (kopassus) foto 2 (cuppakopi*com) foto 3 (wikipedia*org)
foto 1 (kopassus) foto 2 (cuppakopi*com) foto 3 (wikipedia*org)
Menunggu dimanakah Frank Fischbeck Weathers yang terganggu penglihatannya ketika summit attack menuju puncak EVEREST bersama kelompok Rob Hall dari Adventure Consultants dan kelompok Scoot Fischer dari Mountain Madness?
ReplyDeletehttp://reretaipan88.blogspot.com/2018/07/asiataipan-taipanqq-taipanbiru-5.html
ReplyDeleteTaipanbiru
TAIPANBIRU . COM | QQTAIPAN .NET | ASIATAIPAN . COM |
-KARTU BOLEH BANDING, SERVICE JANGAN TANDING !-
Jangan Menunda Kemenangan Bermain Anda ! Segera Daftarkan User ID terbaik nya & Mainkan Kartu Bagusnya.
Dengan minimal Deposit hanya Rp 20.000,-
1 user ID sudah bisa bermain 8 Permainan.
• BandarQ
• AduQ
• Capsasusun
• Domino99
• Poker
• BandarPoker
• Sakong
• Bandar66
Kami juga akan memudahkan anda untuk pembuatan ID dengan registrasi secara gratis.
Untuk proses DEPO & WITHDRAW langsung ditangani oleh
customer service kami yang profesional dan ramah.
NO SYSTEM ROBOT!!! 100 % PLAYER Vs PLAYER
Anda Juga Dapat Memainkannya Via Android / IPhone / IPad
Untuk info lebih jelas silahkan hubungi CS kami-Online 24jam !!
• WA: +62 813 8217 0873
• BB : E314EED5
Daftar taipanqq
Taipanqq
taipanqq.com
Agen BandarQ
Kartu Online
Taipan1945
Judi Online
AgenSakong
bagus sekali yah keren kak
ReplyDeleteoriflameindonesia