Wednesday, February 5, 2014

One Day

 “Jangan biarkan asamu pecah oleh kerasnya kehidupan, 
tapi biarkan kerasnya kehidupan mengajarkan ketabahan, 
kesabaran, dan menegarkan asamu yang berkilau!” 
[Ganezh/Mei 1998]

Remaja itu berlari ke emper pertokoan di kawasan Jalan Sudirman. Menghindari rintik hujan yang menderas. Memang saat ini cuaca tak menentu. Padahal dua jam yang lalu matahari terik menyengat. Lalu tiba-tiba mendung, hujan gerimis dan sekarang pun deras. Para pejalan kaki lari kalang kabut. Mencari perlindungan ke emper-emper pertokoan. Hanya ada beberapa pejalan kaki yang tetap nekat meneruskan perjalanan. Remaja itu tak lain si Ganes. Berdesakakan di antara para peneduh jalan. Terjebak di kawasan Pasar Baru. Ganes baru beli celana jean dan kaos di Mier Market, dan sekarang berniat ke International Plaza. Ia ingin membeli kaset Kitaro. Koleksi band instrumental asal Jepang itu memang makin memenuhi raknya.

Sudah beberapa minggu, ia tidak ngeceng ke plaza andalan budak-budak Palembang itu. Biasanya, tiap liburnya atau ada uang lebih, ia main game di Time Zone, nongkrong di Food Bazar atau ke toko buku. Kalau tak lagi berniat beli buku, ya, cari bacaan gratis, atau nongkrong di konter kasetnya. Tak jarang si Gokil membikin kesal pramuniaga yang ramah-ramah itu. Tak jarang ia sekedar bertanya seputar lagu-lagu baru, dan dengan ramah pramuniaga itu menjawab pertanyaannya, plus senyum yang manis-manis. Mereka kira si Gokil memang akan membeli. Ternyata mereka salah, usai bertanya-tanya, si Ganes malah cuek ngeloyor pergi, “Makasih lho, Mbak! Atas informasinya. Mbak-mbak semua emang baek!” Begitu ucapnya. Kontan saja para penjaga konter itu ngedumel sebel. Merasa dikerjain begitu.

Hingga saat ini, hujan belum menunjukkan tanda-tanda mau berhenti. Pandangan Ganes tersedot pada beberapa anak lelaki dan perempuan yang asyik berhujan ria. Semua anak-anak itu membawa payung. Bibir mereka membiru dan bergetar kedinginan. Tapi tetap terlihat ceria dan saling bercanda. Merekalah sosok-sosok yang paling bahagia dengan hujan deras segede-gede biji jagung ini.  Karena mereka  anak-anak pengojek payung. Dalam keadaan tubuh menggigil kedinginan. Mereka menawarkan jasa payung, pada orang-orang yang sedang berteduh di emper pertokoan.

Ganes kagum melihat semangat mereka. Melihat anak-anak seusia itu sudah bisa cari uang tambahan sendiri. Rela berhujan-hujan untuk memayungi orang-orang menyeberang atau melintas antar emper pertokoan. Mengharap imbalan uang recehan. Entah sekedar untuk uang jajan, atau bukan tak mungkin cari uang tambahan. Entah untuk membeli buku, uang bayaran sekolah, atau memang membantu orang tua. Sepertinya, mereka tak berasal dari keluarga yang kurang mampu. Kaum marjinal di perkotaan.

Diam-diam Ganes merasa malu pada diri sendiri. Ingat sering minta uang ke orang tua hanya untuk membeli barang-barang sekunder yang kurang perlu. Kini pandangannya beralih pada seorang wanita gemuk dengan kedua anaknya yang gendut. Di tangan kedua anak itu memegang roti yang tampak enak dan berharga lumayan. Di tangan kiri mereka memegang mainan yang masih dalam bungkusan. Tentunya cukup mahal pula harganya. Mungkin ibu muda itu tergolong keluarga borjou. Anak-anaknya itu pasti manja-manja. Yang merengek serta dengan tangisan kecil. Langsung bisa mendapatkan apa-apa yang mereka inginkan. Mending kalo mereka pada pinter. Kalo otaknya jeblok? Cuma perutnya aja yang digendutin! Gumam Ganes dalam hati. Ih, si Gokil su’udzon banget!

Hujan masih turun dengan deras. Pandangan Ganes beralih ke Gadis kecil pengojek payung. Di antara yang lainnya dia yang paling kecil. Mungkin kalau sekolah baru kelas satu. Bibirnya yang mungil sibuk menawarkan jasa payungnya. Tapi tak ada yang mau. Mungkin karena payungnya itu paling jelek dan butut. Dibanding payung-payung yang lain. Eh, tubuhnya belum kuyup! Mungkin tak ada yang mau menyewa jasanya. Mungkin juga gara-gara payungnya yang butut itu. Tak lama ia tampak termenung di bawah pohon Angsana. Persis di depan wanita gemuk dengan kedua anaknya yang gendut itu. Tatapan gadis kecil tertuju pada kedua sebayanya itu. Matanya menjilati ke makanan dan mainan mereka. Entah apa yang sedang dipikirkannya saat itu. Mata bening itu menyiratkan rasa keinginan yang besar.

Mungkin dia kepingin banget, ya? Gumam Ganes merasa tersentuh. Melihat pemandangan kontras di hadapannya. Di satu sisi, anak-anak yang selalu dimanja oleh kekayaan orang tuanya. Satu sisi lagi, anak-anak yang harus berjuang di tengah guyuran hujan deras. Dengan tubuh kedinginan tanpa alas kaki. Mengharapkan uang recehan dari orang-orang yang berteduh. Selagi asyik memperhatikan pemandangan itu, tiba-tiba sebuah Volvo Silver masuk dan berhenti di parkiran. Dekat pohon Angsana. Gadis kecil terkejut. Ia bergeser dari tempatnya berdiri. Dari dalam sedan itu ke luar remaja sebaya Ganes. Ia membawa payung menghampiri wanita gemuk. Yang entah mungkin maminya itu. Di mata Ganes, gaya pemuda itu tampak pongah, sok kece! Padahal jauh. Tak lama mereka bergegas memasuki sedan silver itu. Sedan itu bergerak mundur, setengah memutar, dan Crrieeett!! Ban mobilnya mendecit, dan Praass!! Ban mobil itu berputar deras memercikkan gengangan air hujan. Tak sengaja mengenai si Gadis kecil pengojek payung. Gadis kecil terpekik kaget. Bajunya cukup basah. Mendadak Ganes geram sendiri. Spontan dia berteriak...
“Heiiiiy!!” Orang-orang yang ada di dekatnya terkejut dan heran. Melihatnya remaja di dekat mereka tiba-tiba membentak nyaring. O-ow! Ganes tersadar dan malu sendiri. Untuk mengurangi rasa malu, ia mengacungkan jari tengahnya ke arah sedan silver yang melesat pergi. Gadis kecil itu mengusap-usap bagian bajunya yang basah. Ganes merasa makin iba melihatnya.
Dek, sini!” Panggilnya melambaikan tangan. Gadis kecil mendekat dengan sorot mata berbinar. Namun belum sampai ke dekat Ganes, tiba-tiba tiga anak laki-laki berhasil memotong langkahnya. Memburu ke arah Ganes.
“Payung, Bang! Payung, Bang!” Tawar mereka. Langkah Gadis kecil terhenti. Wajahnya tampak kecewa.
“Nggak!” Bentak Ganes galak. Ternyata bukan cuma bis dan oplet aja yang main serobot! Rutuk Ganes dalam hati. Melihat wajah Ganes yang tak bersahabat, mereka langsung ngeloyor pergi.
“Dek, sini!” Panggilnya lagi. Wajah Gadis kecil kembali cerah. Dengan setengah berlari ia menghampiri Ganes.
“Payung, Bang?” Tawarnya.
“He-eh, eh! Entar dulu.” Ganes mengangguk, lalu ia membuka tas yang di bawanya. Mengambil kresek gede pembungkus pakaian yang baru dibelinya tadi. Ia bagian tengah dasar kresek dan sudut kiri-kanannya. Olala! Ternyata dia membuat sebuah rain coat darurat buat si Gadis kecil. Gadis kecil itu tak mengerti apa yang sedang Ganes bikin. Itu pelindung hujan darurat kalau Ganes mendaki gunung, dan kehilangan rain coat. Tapi biasanya yang ia pakai trash bag.
“Lain kali. Kalo mau ngojekin payung. Kamu bikin sendiri, ya. Biar nggak basah kehujanan!” Ucap Ganes sambil memakaikannya. Gadis kecil itu masih kelihatan bingung tapi diam saja. Semua memperhatikan tingkah Ganes yang terlihat “aneh” di mata mereka.
“Eh, itu adiknya, ya? Kok, disuruh ngojek payung, sih?” Dua cewek ABG mencoba menggodanya. Ganes tak menggubrisnya. Hanya memelototkan mata ke arah mereka. Kedua cewek centil itu langsung mengkeret. Lalu Ganes menaruh kresek di kepala Gadis kecil. Jadilah sebuah topi. Beberapa orang yang memperhatikannya jadi tersenyum sendiri.
“Makasih ya, Bang!” Ucap Gadis kecil itu tulus. Ganes mengangguk seraya tersenyum.
“Yuk!” Ajaknya. Ganes membuka payung butut itu. Lalu melangkah bersisian dengan si Gadis kecil.  Walah! Ternyata  payungnya memang sudah kadaluwarsa. Sudah banyak yang bolong di sana-sini. Ganes kebocoran . Hihihi.
“Nama adek, siapa?”
“Intan, Bang.”
“Ooo… Intan udah sekolah?” Mendengar itu wajah Intan berubah. Diam sesaat.
“Belum. Bang. Emak nggak sanggup nyekolahin Intan.”
“Kok Emak, Bapak ke mana?” Mendengar pertanyaan itu Wajah Intan berubah murung. Ganes merasa tidak enak. Tapi penasaran.
“Kata Emak, Bapak meninggal waktu Intan masih dalam kandungan.” Jawabnya polos. Ganes terdiam sesaat. Dia tak mengiranya sama sekali. Ternyata gadis kecil ini sudah tak punya ayah sejak lahir. Ganes memperlambat langkah. Mengimbangi langkah Intan yang kecil-kecil.
“Jadi, Emak yang kerja?”
“Iya, Emak jual kantong kresek di pasar! Kalo hujan gini, Intan ngojekin payung. Biar bisa jajan Intan. Kalo dapet banyak, Intan juga ngasih Emak juga!” Jawab Intan polos dan lugu.
“Oh! Gitu. Itu keren!” Ujar Ganes tersenyum. Hati kecilnya tersentuh. Mendengar pengkuan Intan yang polos. Anak sekecil ini sudah punya pikiran begitu. Masa kecilnya tersita oleh kerasnya hidup. Intan salah satu dari sekian banyak anak yang didewasakan oleh kerasnya kehidupan ini.
“Intan, udah makan?” Tanya Ganes saat mereka menuruni jembatan penyeberangan yang membelah Jalan Sudirman. Intan tampak ragu.
“Udah, tapi—tadi pagi.” Jawabnya agak malu-malu. Ganes tersenyum.
“Intan punya saudara?” Gadis kecil itu menggelengkan kepala. Ganes berbelok ke arah martabak HAR. Ia membeli dua bungkus martabak. Usai menerima dan membayarnya. Mereka berjalan kembali menuju gerbang mall International Plaza.
“Nah, sampai sini, aja. Ini bayaran Abang—dan ini bonus buat Intan.” Ganes memberikan martabak itu, juga uang dua puluh ribu. Sepertinya budget  untuk beli kaset Kitaro itu akan berkurang. Lo serius, Nes?
“Beneran, Bang? Ini semua buat Intan?” Tanya Intan belum percaya. Ganes mengangguk tersenyum.
“Wah, uangnya gede banget! Intan nggak punya kembaliannya?”
“Ini semua buat Intan. Jadi nggak perlu kembalian!”
“Semuanya?” Tanyanya lagi belum percaya.
“Iya, semuanya. Mungkin buat tambah-tambh beli payung baru. Biar bisa membantu Emak lagi!” Gadis kecil itu terdiam. Wajah masih tampak ragu.
“Nggak usah, Bang. Nanti Emak kira Intan nyolong, lagi!” katanya pelan. Ganes tertawa sambil mengucek-ucek rambutnya.
“Nanti Intan bilang ke Emak, kalo uang ini dikasih Bang Ganes!” Ganes meyakinkannya.
“Nanti Emak nggak percaya?” katanya masih ragu.
“Intan pernah nyuri?” Ganes balik tanya. Buru-buru Intan menggeleng.
“Nggaklah, Bang! Emak bilang itu dosa!” Jawabnya dengan mimik wajah lucu.
“Kalo bohong?” Gadis itu menggelengkan kepala lagi.
“Nah, kalo nggak pernah nakal, Emak pasti percaya sama Intan!” kata Ganes tertawa lagi. Intan terdiam sesaat, lalu mengangguk.
“Makasih banget ya, Bang! Abang baek—horeee! Intan bisa beli payung baru. Payung ini sudah butut!” Ucapnya girang. Ganes tersenyum melihatnya.
“Makasih, Bang! Intan mau pulang aja!” Ucapnya sekali lagi. Ganes mengangguk. Lalu gadis kecil itu pergi dengan langkah-langkah kecilnya yang ceria. Ganes menatapnya sebentar, lalu melangkah memasuki pintu gerbang IP yang selalu penuh oleh ABG nongkrong, serta kaum grunge kampungan yang biasa mangkal di situ. []
Wah, rame banget! Ganes menebarkan pandangan ke seluruh ruangan Food Bazar. Bangku-bangkunya sudah terisi penuh. Ada yang bersama keluaga, pacar dan tak ketinggalan para kaum gondrong and the gank. Yang sudah jadi penduduk tetap di situ. Ada satu bangku kosong, tapi di meja couple. Bangku satunya di isi oleh seorang pria berambut gondrong. Duh! Tampangnya seram amat. Tampak kusam dengan bekas luka di kening, lalu menikung ke arah pipi kanannya. Gayanya cool banget. Asyik merokok dengan minuman kaleng-kaleng yang berserakkan di mejanya. Ganes mendekat.
“Maaf, Bang. Abang lagi menunggu teman?” Tanyanya hati-hati. Pria gondrong itu menatap tajam ke arahnya.
“Nggak. Emang kenapa?” jawabnya dengan suara berat. Ganes jadi deg-degan.
“Gue boleh duduk di sini?”
“Boleh,” jawabnya cuek.
“Makasih, Bang.” Hatinya Ganes berasa sedikit lega. Kemudian dia memesan bakso dan minuman. Hujan-hujan makan bakso hangat dan the panas, sepertinya enak. Tak lama pesanannya sudah datang.
“Mari makan, Bang,” Ganes menawarinya.
“Ya, makasih!” jawabnya dingin. Ganes mulai menyantap bakso itu. Sesekali dia melirik ke arah pria itu. Pandangan pria itu tampak menerawang jauh. Entah apa yang lagi dipikirkannya. Setelah selesai makan, Ganes mengusap bibirnya dengan bandananya.
“Rokok?” Tiba-tiba Pria itu menawarinya.
“Makasih, Bang. Saya nggak merokok.” Tolaknya sambil tersenyum.
“Baguslah kalo begitu. Nama elo siapa?”
“Ganes, Bang. Abang?” kata Ganes balik bertanya.
“Jack, panggil gue Jack!” Ia mengulurkan tangan mengajak salaman. Ganes buru-buru menyambutnya.
“Masih sekolah?” tanyanya lagi. Ternyata pria bertampang seram ini cukup ramah. Ganes jadi tertarik untuk mengajaknya ngobrol.
“Masih, Bang. Kelas dua SMU. Bang Jack, kuliah?” Jack tak langsung menjawab pertanyaan itu. Malah mengisap rokoknya dalam-dalam. Kemudian menghembuskan asap yang mengepul ke mana-mana. Ganes mengerutkan keningnya.
“Kuliah—itu cuma kata idaman dulu,” jawabnya tertawa hambar.
“Memangnya kenapa?” Pancing Ganes.
“Ceritanya panjang. Emang mau dengerin?”
“Kalo Abang nggak keberatan. Boleh aja!” jawab Ganes sambil membetulkan posisi duduknya.
“Elo lucu, Nes. Banyak orang yang belum gue. Pasti males bicara ama gue. Mungkin keburu ngeri lihat muka gue yang serem. Mungkin mereka kira gue ini bandit yang suka makan orang. Nah, elo malah nyamperin?!” Pujinya sambil tertawa. Ganes tersenyum nyengir mendengarnya. Jack menyodorkan minuman kaleng kepadanya.
“Dulu, waktu gue masih sekolah, dari SD, SMP hingga SMA. Gue selalu dapet rangking di kelas. Baik rangking satu, dua atau tiga. Berarti gue termasuk anak yang gak bego-bego amat kan. Tapi sayang, waktu ujian kelulusan. Nilai gue anjlok. Gara-gara gue dapet musibah.” Jack menghentikan ceritanya sejenak. Meneguk minumannya, serta menyalakan sebatang rokok lagi.
“Musibah? Musibah  apa, Bang?” tanya Ganes penasaran.
“Pas ngadepin ujian. Bokap masuk rumah sakit. Gara-gara levernya bengkak. Gue merasa sedih. Konsentrasi gue buyar! Akibatnya mempengaruhi konsentrasi belajar gue. Masih untung gue bisa lulus dengan nilai pas-pasan. Pengumuman kelulusan berbarengan dengan khabar dari rumah sakit. Bahwa bokap, meninggal dunia,” katanya lirih. Wajahnya menggambarkan kesedihan mendalam.
“Sejak bokap gue meninggal. Cita-cita gue melayang jauh. Perasaan sedih, kecewa dan putus asa. Gue udah coba melamar pekerjaan ke sana ke mari, semuanya menolak. Kita mesti punya koneksi. Malah ada yang minta uang pelicin segala. Akhirnya gue nggak bisa apa-apa lagi. Selain kerja serabutan. Lama-lama harta peninggalan bokap udah habis terjual buat makan. Akhirnya sebagai pelariannya, gue jadi budak pasar. Yang kerjanya cuma nongkrong sana-sini. Gue juga mulai kenal narkoba. Ngompasin angkot-angkot yang lewat. Ngebentuk gank pasar. Bentrok sama gank-gank lain. Untuk ekspansi kawasan. Hingga akhirnya gue harus mendekam di penjara. Gara-gara menggorok pimpinan gank Hero sampai mati. Ibu sangat kecewa dengan sepak terjang gue. Untunglah sejak keluar dari penjara. Gue sedikit insyaf dan sadar. Begitu juga teman-teman gue dulu. Nggak ngompasin orang-orang lagi. Tapi bergabung dalam bisnis keamanan. Sekarang kami sudah pegang beberapa kawasan pertokoan di Sudirman. Hingga pada suatu malam. Gue dapet kenangan ini,” katanya menunjuk ke bekas luka di kening dan pipinya itu.
“Abang, berantem lagi?” Ia mengangguk.
“Satu malam, kami bertiga sedang berkeliling ke daerah jagaan. Kami memergoki tujuh orang bertopeng. Mereka spesialis pembobol ruko. Kami memergoki mereka dan terjadi pertarungan. Walau dengan tubuh penuh luka. Kami berhasil mengalahkan mereka. Dua dari tujuh perampok itu tewas di tempat. Yang lima kami lumpuhkan dan kami serahkan pada polisi. Teman gue ada yang kehilangan tangan dan jari. Sedang gue mendapat luka codet ini,” katanya tertawa kecut. Ganes bergidik mendengar ceritanya yang penuh pertarungan berdarah itu.
“Sekarang gue ngerti. Gue nggak perlu lagi mengenang cita-cita yang sudah melayang jauh. Sekarang gue harus menjalani kehidupan yang udah jadi dunia gue. Walau keras penuh resiko, yang penting halal! Serta nggak nyusahin Ibu atau orang lain lagi,” ucapnya mantap. Ganes mengangguk-anggukan kepala.
“Elo penegen tahu cita-cita gue dulu, Nes?” Ganes menggelengkan kepala.
“Gue pengen jadi Arsitek. Gak tahunya jadi arsitek jalanan. Hehehe,” Jack tertawa sendiri saat mengatakannya. Ganes jadi ikut tertawa.
“Elo sering ke sini, Nes?”
“Kalo ada perlu atau cuma pengen cari hiburan aja, Bang!”
“Bagus kalo gitu. Elo musti rajin sekolah. Biar jadi orang yang berhasil. Apa pun yang terjadi, selesaikan pendidikan lo. Soalnya itu penting. Nah, elo lihat mereka.” Jack menunjuk ke sekelompok pemuda gondrong lainnya. Mereka melambaikan tangan ke arah Jack.  Jack hanya menganggukkan kepala.
“Mereka rata-rata anak orang yang kaya. Bahkan ada anaknya pejabat. Tapi mereka bego semua, Nes! Seharusnya mereka bisa memanfaatkan waktu sebaik-baiknya. Mumpung orang tua mereka mampu. Masih kerja dan berduit. Punya waktu untuk sekolah atau kuliah sebaik-baiknya. Bukan cuma menghambur-hamburkan duit bokapnya di sini. Menyia-nyiakan waktunya di sini. Mendewakan istilah broken home yang mereka ciptakan sendiri. Mungkin karena mereka sudah susah untuk dinasehati. Memilih bebas yang tak berarah…” Ujarnya sambil menghela nafas. Ganes menatap ke arah pemuda-pemuda gondrong itu.
“Kadang gue heran juga. Ada orang yang kepingin banget kuliah atau sekolah. Tapi tak mampu biaya. Sementara yang lahir dari keluarga berada. Malah tak ada keinginan serius sekolah atau kuliah. Menyia-nyiakan sekolah dan kuliahnya demi hura-hura. Apa itu emang udah hukum alam atau apa ya?” katanya menutup pembicaraannya. Ganes tersenyum nyengir sambil melirik jam tangannya. Dia terkejut.
“Iya, Bang. Manusia terkadang tak pernah merasa puas.”
“Iya juga, mencari kebahagiaan semu di jalanan…” Ganes mengangguk setuju. Tak lama Ganes melirik jam di tangannya.
“Wah, udah jam empat! Maaf, Bang, Ganes udah harus pulang!”
“Ya, ya, makasih. Elo udah dengerin curhatan gue yang nggak penting.” kata Jack tertawa kecil.
“Seharusnya Ganes yang berterima kasih. Abang udah ngasih nasehat ke gue. Mari, Bang.” Jack mengangguk sambil melambaikan tangannya. []
Ganes tak melewati pintu utama plaza. Karena pengunjungnya makin bejibun. Lebih-lebih hari minggu seperti ini. Apa lagi ditambah hujan! Dia melewati pintu samping. Ternyata di situ juga banyak orang yang nongkrong. Bergerombol di mulut pintu ke luar. Entah bagaimana ceritanya, secara tak sengaja Ganes menginjak kaki salah satu dari lima pemuda gondrong. Buru-buru ia meminta maaf. Tapi mereka malah membentak keras.
“Ngehek! Enak aja lo minta maaf! Elo belum tahu tau siapa gue, ya!”
“Maaf, Bang. Nggak sengaja.” Firasatnya mengatakan harus waspada. Benar saja usai berkata begitu. Wess! Si Gondrong malah melayangkan tinjunya. Reflek Ganes menundukkan kepala. Lalu mundur beberapa langkah. Namun dia malah mendapat tendangan dari arah kanan. Ganes berkelit ke kiri, sambil melancarkan serangan balik. Menyapu ke arah kaki lawan. Tak ayal lagi—bruuk! Pembokong tadi jatuh terjengkang ke belakang. Melihat kejadian itu. Empat orang rekannya jadi kalap. Mereka mengeroyok Ganes. Ganes terdesak hebat. Entah sudah berapa pukulan mendarat di tubuhnya. Walau punsesekali berusaha membalas. Dia tetap jadi bulan-bulanan para pengeroyoknya. Banyak yang melihat kejadian itu. Tapi tak seorang pun yang berusaha melerai mereka.
Hingga, tiba-tiba ada seseorang masuk ke arena perkelahian. Dan, mereka membela Ganes! Mendapat bantuan itu, Ganes bisa bangkit untuk melakukan perlawanan lagi. Dia mengincar orang yang terinjak kakinya tadi. Mungkin itu pimpinan mereka. Swiing—buk! Dia berhasil melayangkan tinju kerasnya. Tepat mendarat ke muka orang itu. Orang itu terjengkang ke belakang. Si Penolong yang terlihat mahir berkelahi itu pun, sudah membikin keok lawan-lawannya.
“Bangsat! Kalian udah mau jadi jagoan, ya?!” Orang itu membentak keras. Kelima pengeroyok itu terkejut. Ternyata si Penolong itu, Bang Jack!
“Jef, elo nggak tahu siapa yang elo keroyok tadi!” Bentaknya sengit pada orang yang kena tinju Ganes tadi. Bibir serta hidungnya berdarah. Tangan Ganes pun terasa sakit. Mungkin kena giginya si Jef! Gumam Ganes dalam hati.
“Ma—maaf, Bang. Kami, kami…,” si Jef berkata gugup sambil memegangi mulutnya yang berdarah. Ia tampak ketakutan. Tak lama kemudian beberapa orang yang tak kalah seram mendatangi mereka.
“Ada apa Jack?” tanya orang yang berkepala botak. Mereka teman-teman Jack.
“Si Jefri ini. Mulai bertingkah di kawasan sini!”
“Ooo—sini, lo!” Bentak si Botak. Jefri mendekat ragu-ragu. Plaak! Botak menampar muka Jefri dengan keras. Dia berteiak mengaduh sambil merintih kesakitan. Kasihan juga melihatnya.
“Emang kalo gue perhatiin. Elo mulai bertingkah! Kalian hadapin kami dulu!” Bentaknya lagi.
“Nggak, Bang. Kami benar-benar minta maaf.”
“Betul, Bang. Nggak mungkin kami berani.” Tambah teman Jef lagi.
“Elo nggak apa-apa?”
“Iya, Bang. Nggak apa-apa,” jawab Ganes meringis. Padahal telinganya masih berdenging. Kena tinju para pengeroyok tadi.
“Hehehe. Diem-diem lo jago berantem juga. Muka Jefri lo bikin bonyok begitu!” kata Botak sambil tertawa terkekeh-kekeh. Ganes meringis, antara sakit atau tersenyum bangga dipuji begitu.
“Sekarang kalo ada apa-apa ama keponakan gue ini. Kalian lah yang bakal gue cari. Ngerti!” kata Jack serius.
“Iya, Bang kami ngerti,” jawab mereka tertunduk.
“Sekarang minta maaf, cepat! Udah itu pergi dari sini!” timpal si Botak pula. Mereka minta maaf pada Ganes. Setelah itu mereka ngeloyor pergi.
 “Sekarang lo boleh pulang, Nes!” Jack menganjurkan. Usai mengucapkan terima kasih sama Jack dan Botak, ia melangkah pergi meninggalkan kawasan IP. Telinga masih sempat mendengar bisikan si Botak pada Jack.
“Eh, sejak kapan elo punya keponakan, Jack?”
“Sejak tadi,” jawab Jack santai. Lalu disambut tawa teman-temannya. []

Dalam angkot kosong itu Ganes duduk sendirian di belakang. Ia menyandarkan kepalanya yang terasa nyeri di beberapa tempat. Kalo nggak ada Bang Jack tadi. Pasti gue udah bonyok. Gumamnya dalam hati. Tiba-tiba angkot berhenti. Sepasang remaja naik ke atas angkot. Mereka duduk bersebelahan dengan Ganes. Ganes melirik sebentar. Mereka pasangan yang serasi. Sama-sama ganteng dan cantik. Tapi kenapa cemberut dan kikuk begitu? Pasti mereka lagi marahan. Bodo, ah! Itu urusan mereka! Gumam Ganes dalam hati. Ia memejamkan mata, tapi telinganya masih mendengar pembicaraan mereka.
“Kenapa elo percaya ama gosip gituan sih, Vi?” Si cowok berkata serius. Diam-diam Ganes membuka matanya dan melirik penuh minat. Dasar usil!
“Percaya. Emang gitu kan kejadiannya!” jawab Si cewek ketus. Wih! Cantik-cantik galak!
“Sebenarnya siapa sih, yang ngomporin elo. Rita, Yeni atau Lia?” Mendengar pertanyaan cowoknya, Si cewek diam saja malah membuang muka.
“Oke. Sekarang elo lebih percaya gue. Apa biang-biang gosip itu?”
“Udah, Den. Lo nggak usah bohong. Nggak apa-apa, kok. Yang penting gue udah tau siapa elo. Sebenarnya gue nggak ingin percaya. Tapi—semuanya udah jelas!” kata cewek itu serius. Wah ini masalah perselingkuhan tenyata. Cowok itu diam saja.
“Yang gue sesalin. Kenapa ini mesti terjadi. Elo kan tahu kalo hubungan kita udah lama, dan gue setia. Tapi elo...” Si cewek tak sanggup meneruskan kata-katanya makin terdengar serak itu. Gadis itu memainkan tali tasnya. Matanya mulai merah, tuh! Kayak di sinetron aja! Gumam Ganes.
“Jadi lo nggak percaya ama gue lagi?” Si cowok mulai terlihat kesal. Ceweknya diam tak menjawanya. Matanya memandang keluar jendela angkot. Tiba-tiba, teeet! Angkot berhenti mendadak. Cowok itu turun dan—blaam! Ganes terlonjak kaget. Cowok itu membanting pintu angkot dengan keras. Mas sopir menggerutu. Dia membayar ongkos. Lalu tanpa kata-kata dia meninggalkan ceweknya sendirian. Angkot melaju kembali. Entah sudah berapa kali Si cewek menoleh ke belakang. Melihat cowoknya yang masih berdiri mematung di trotoar jalan. Tampak rasa kesal dan menyesal membias di wajahnya yang cantik. Makanya,  jangan mudah percaya ama gosip, Non. Cobalah saling terbuka. Lacak siapa penyebar dan kebenaran gosip itu. Sekarang elo sendiri yang blingsatan. Eh, tapi gue juga nggak tahu siapa yang benar di antara kalian berdua. Kalo cowok itu benar berselingkuh, berarti goblok! Menyia-nyiakan ceweknya yang kelihatan setia ini.  Kata Ganes ngomong sendiri dalam hati. []
Sampai di rumah. Ganes langsung mandi dan sholat Ashar. Kemudian tidur-tiduran di kasurnya. Badannya terasa pegal-pegal semua. Akibat perkelahian tadi tadi. Matanya menerawang jauh. Menatap langit-langit kamarnya. Mengenang  berbagai kejadian yang baru di alaminya hari ini. Dari pertemuannya dengan Intan. Gadis kecil Pengojek payung, yang telah didewasakan kehidupan. Bertemu sama Jack. Sang bromocorah yang sudah insyaf. Yang selalu gigih menghadapi cobaan di dunia kekerasan. Dan jadi Dewa penolongnya dari keroyokan Jefri Cs. Hingga kisah cinta sepasang remaja di angkot tadi. Cinta yang lagi dilanda gosip perselingkuhan. Ganes menghela nafas. Tersenyum sendiri setelah melihat, mendengar dan mengalami, beberapa babak cerita yang meramaikan kehidupan ini. Meramaikan pentas dunia ini. Yah, dapat tiga cerita dalam satu hari! Entah berapa lama ia tercenung sendiri. Lalu tak ingat apa-apa lagi. Tertidur pulas—dan ngiler! [end—some parts are true stories, Mei 1998/Nezh]



No comments:

Post a Comment