Tuesday, February 11, 2014

Survival [Bagian 1]



Liburan habis caturwulan pertama datang lagi. Banyak para pelajar yang sudah punya rencana buat mengisi liburannya. Pergi bersama keluarga atau bersama gank sekolahnya. Liburan memang obat penenang bagi orang-orang yang selalu dipenuhi aktivitas harian. Tak terkecuali bagi para pelajar. Di mana mereka diembat pelajaran saban hari. Anak-anak sispala Wanacala SMUN 2000 juga sudah sibuk menjalankan rencana pendakian bersama ke Gunung Rinjani, 3.726 mdpl, di Lombok, NTB. Tapi liburan kali ini benar-benar tak asyik bagi Ganes. Karena ia tak bisa bergabung dengan pendakian Rinjani. Karena harus mengantar sekaligus menemani Anis liburan ke Bandung, ke rumah Om Handri.
Masih terngiang di telinga saat bapaknya ngomong kemarin. “Sekali-kali liburan nggak naek gunung kan nggak apa-apa, Nes. Liburan ke Bandung juga asyik, kok. Bisa ketemu Om-Tante, juga keponakan-keponakanmu. Terus apa kamu tega ngeliat adikmu pergi sendirian?” Ujar Bapak serius. Yaah, mau bagaimana lagi. Mau tak mau Ganes harus menuruti kemauan orang tuanya. Meski harus mengorbankan obsesinya untuk mendaki Gunung Rinjani bareng rekan-rekan pencinta alamnya. []
Siang itu, di sekret Wanacala, Ganes dan teman-temannya sibuk briefing perihal rencana pendakian Rinjani. Melakukan check list peralatan dan logistik perjalanan. Sekretariat itu terlihat apik dan bersih. Di depannya penuh dengan tanaman bunga berwarna-warni yang ditata begitu alami. Di dalam ruangannya penuh dengan foto-foto alam serta gunung-gunung yang pernah mereka daki oleh mereka dan pendahulu mereka.
“Nes, kau betul-betul tak bisa ikut ke Rinjani?” Entah sudah yang ke berapa kali Togar menayakan hali ini. Sepertinya ia sedikit tak rela jika Ganes tak bisa bergabung. Ada nada pengharapan dalam kalimatnya.
“Iya, Nes! Kita-kita ngarepin elo bisa ikut. Rasanya nggak asyik, kalo lo nggak ikut!” kata Abon terus terang. Ganes menghela napasnya beberapa kali. Ia menatap wajah teman-temannya.
“Sejujurnya, guys! Gue pengen banget ikut, tapi gue juga nggak bisa nolak permintaan bokap gue. Gue harus nemenin Anis liburan ke rumah Om gue di Bandung. Kalo gue ngotot, takutnya cuma nyusahin diri gue sendiri. Bakal susah dapet permit mendaki entar, kan itu lebih gawat! Yah, kadang-kadang kita harus ngorbanin keinginan kita demi orang tua. Tapi itu juga nggak salah, kan?” kata Ganes tertawa hambar. Mereka terdiam mendengar perkatan Ganes barusan. Hening. Tiba-tiba Ganes jadi merasa tak enak.
“Udah, ah. Kok jadi serius gini. Yang penting kita berdoa agar pendakian Rinjani sukses lancar, tanpa halangan apa pun, oke?!” Ucap Ganes penuh semangat. Disambut tawa serta toast teman-temannya.[]
Rumah besar bergaya kuno itu belum berubah sama sekali. Masih terlihat apik, bersih, dan nyaman. Penuh dengan tanaman bunga yang terawat rapi. Mereka disambut ramah oleh Tante Cici yang bervokal cemprang dan terkadang terlalu perhatian itu. Detail and jlimet! Itu kata Ganes.
“Aduh! Keponakan-keponakan Tante yang manis udah nyampe? Kenapa nggak nunggu di terminal Leuwi Panjang aja? Kan Rani ama Reni ngejemput, ateuh! Kumaha? Apa nggak pada ketemu, ya?” Sambut Tante Cici cerah. Kedua kakak-adik itu menyalami serta mencium tangan Tantenya.
“Bisnya datang lebih awal, Te. Jadi kita nyampe duluan. Kayaknya kami selisihan jalan deh?!”
“Iya, Te.” Anis menambahkan.
“Kok, nggak nelpon aja, sebelumnya. Biar nggak ribet?”
“Gak papa, Te. Sekalian jalan-jalan. Kan udah lama nggak ke Bandung.” Jawab Ganes basa-basi. Disusul anggukan kepala Anis mendukungnya.
“Oh, ya, udah kalo gitu. Ayuk masuk!” ajak Tante Cici. Ganes dan Anis masuk ke ruang tamu yang cukup besar itu. Semua tersusun sempurna. Meja, kursi, benda-benda keramik dan lukisan dipajang rapi. Jelas itu karena Tante Cici yang super rapih.
“Aduh, Ganes! Kamu tambah gede aja, persis Bapak kamu dulu waktu masih bujangan. Tapi—kenapa rambut kamu gitu? Coba dirapikan lagi. Eh, ini apa lagi. Tali begitu diiketin di tangan. Buat apaan, sih?! Lebih pas kalo cuma jam tangan aja. Bukannya tali jemuran begituan!” Nah, mulai deh, penyakit Tante Cici. Hal-hal kecil gitu aja diributin. Tali Prusik yang melingkar di tangan Ganes jadi sasarannya. Anis tersenyum geli melihat wajah kakaknya berubah masam begitu.
“Kamu juga Nis, potongan rambutnya kependekan gitu. Kayak cowok, aja. Coba dipanjangin sepinggul, pasti kamu makin cantik. Makin geulis! Entar jangan dipotong lagi, ya?!” Ucapnya sambil mencubit lembut pipi Anis. Anis diam mendengarnya.
“Baik. Sekarang kalian mandi dulu, gih! Udah itu makan dan istirahat. Tante mau nelpon orang tua kalian dulu. Mau ngabarin kalo kalian udah sampai.”
“Ya, Te!” jawab Ganes dan Anis bareng. Mereka melangkah menuju ke belakang. Mereka beranjak sambil mengangkat bawaan mereka. Mereka membawakan paket pempek oleh-oleh buat keluarga di Bandung.
Sekitar lima belas menit kemudian dari teras depan terdengar suara kegaduhan. Dua gadis kembar tergesa masuk ke rumah. Mereka berteriak mencari mama mereka.
“Ma! Mama!”
“Iya?” Jawab Tante Cici buru-buru kembali ke ruang depan.
“Ma, bisnya udah nyampe, tapi mereka nggak ada?!”
“Iya, Ma. Jangan-jangan mereka nyasar?!” Cecar mereka. Tapi Tante Cici tersenyum melihat kedua puterinya itu.
“Nyasar? Nggak lah, ya!” Tiba-tiba ada suara sahutan dari belakang mereka, seketika kedua gadis kembar membalikan badan, mereka menjerit girang.
“Waaa! Anis!” pekik mereka langsung memeluk Anis bergantian. Disusul sunpikaki ala Anis.
“Ih, Anis meuni geulis? Kumaha damang?” tanya Rani.
“Duh, makasih. Kabar baek. Kabar Ra-Ren gimana?” Anis balik tanya. Ia selalu memanggil saudara kembarnya itu dengan pangilan Ra-Ren. Disingkat dari dari pangkal nama Rani dan Reni. Tante Cici juga tersenyum melihat keceriaan ketiga gadis remaja itu. Tak lama ia kembali masuk ke dapur, menemani Mak Ijah untuk menyiapkan makan siang mereka.
“Baek-baek juga, Nis, Eh, si Gokil mana?” tanya Reni.
“Entah, dia belum keluar dari kamar dari tadi. Jangan-jangan malah langsung tidur!” kata Anis nyengir. Tante Cici terkejut mendengarnya.
“Langsung tidur? Coba kalian lihat ke dalam!” perintahnya kemudian. Ketiga gadis itu melangkah tergesa ke kamar yang ditempati Ganes. Pintunya tak dikunci. Benar saja dia memang sedang molor. Masih berpakaian seperti ketika ia datang. Bahkan ia masih mengenakan kaos kakinya. Wajahnya tampak pulas dan lugu.
“Hey! Nes, bangun. Mandi dulu, gih!” Rani membangunkannya.
“Iya nih anak. Jorok banget. Bau tau! Nes, bangun—mandi! Ganti baju dulu!” Reni mengguncang-guncang bahunya.
“Ehmm...pphhep. Kenapa sih? Eh Ra-Ren. Iya, ntar. Sekarang gue ngantuk!” Jawab Ganes dengan mata serta muka yang sepet. Dia berbalik menelungkup. Melanjutkan tidurnya lagi.
“Ganes! Elo tuh, belum mandi. Buruan mandi, ganti baju, makan. Baru bobo lagi! Eh, cepetan!” Anis memencet hidung Ganes kuat-kuat.
“Aduh! Kalian kenapa, sih? Gue ngantuk!” jawabnya pelan. Matanya masih setengah terpejam. Sepertinya ketiga gadis itu agak kewalahan membangunkan si Gokil. Akhirnya Tante Cici masuk kamar, dan ikut ambil bagian.
“Ganes bangun! Mandi dulu! Nanti badannya gatal-gatal! Buruan, atuh!” Ganes nyerah dikeroyok empat wanita itu. Hihihi...
“Iya, Tante, iya. Entar Ganes mandi. Tapi, sekarang tidur dulu sebentar, ya,” jawabnya dengan wajah memelas. Rani dan Reni tersenyum melihat wajah Ganes yang culu.
“Eh, eh, kumaha nih anak. Nggak boleh entar-entar! Om kamu ngebela-belain pulang dulu, lho, dari kantor. Ia ingin makan siang bareng-bareng kita.” kata Tante cici serius.
“Iya, Te.” Ganes beranjak malas. Masih dengan setengah merem, dia mengambil handuk lalu berjalan menuju kamar mandi. Bletaakk!
“Aduh!” Ia menjerit kesakitan. Jidatnya kejeduk pinggiran pintu kamar mandi. Rasa kantuknya serasa lenyap seketika.
“Syukur! Rasain!” Sorak Anis, Rani dan Reni tertawa. Tante Cici ikut tersenyum sambil geleng-geleng kepala. Buru-buru Ganes menutup pintu kamar mandi. Dasar cewek-cewek bawel! Rutuknya Ganes dalam hati. Byur! Byur! Ganes bergedik kedinginan.[]
Om Handri termasuk pengusaha yang sukses. Bergerak di bidang konveksi. Anaknya cuma dua, si kembar Rani dan Reni. Tante Cici istrinya, adalah adik dari Bapaknya Ganes. Walau kelihatan cerewet, Tante Cici itu tante yang baik hati. Selalu menyayangi mereka seperti anak-anaknya sendiri.
“Gimana kabar Ayah dan Ibu, Nes?”
“Baik-baik aja, Om! Mereka titip salam buat keluarga di sini.”
“Oh, ya. Kami juga udah berencana berkunjung ke Palembang.” Jawab Om Handri serius. Wajah Rani dan Reni mendadak cerah.
“Bener, Pa? Awas kalo ya, bohong!” ancam Rani serius.
“Iya, Pa. Kami juga udah kanget liat Jembatan Ampera dan Sungai Musi!” timpal Reni. Om Handri mengangguk. Tante Cici juga mengangguk ikut meyakinkan. Tak lama mereka makan siang bersama. Hingga makan siang selesai. Obrolan mereka masih berlanjut. Mungkin karena sudah lama tak bertemu. Tak lama kemudian Om Handri pamit untuk kembali ke kantornya. Sementara Rani dan Reni mengajak mereka JJS (jalan-jalan sore) untuk berkeliling di Kota Bandung. Tentu saja Anis setuju. Tak lupa mereka juga mengajak Ganes.
“Makasih deh, tawarannya. Soale, gue udah mau pergi, kok.” Jawabnya kurang tertarik.
“Emang mo pergi kemana, Nes? Ke rumah temen elo yang di sini?” tanya Rani penasaran.
“Nggak kok, orang mau pegi tidur!” jawabnya enteng. Sambil melangkah menuju kamar tidur. Rani dan Reni menatapnya gemas. Anis cuman tersenyum.
“Makanya, lo bedua kudu ati-ati kalo ngomong ama Gokil!” Anis tertawa melihat wajah saudara-saudarnya begitu.[]
Tapi begitu sampai kamar, Ganes malah tak bisa memejamkan mata. Pikirannya tertuju pada teman-temannya yang lagi menjejaki Gunung Rinjani. Lagi ngapain mereka , ya? Moga-moga aja nggak ada halangan dan rintangan. Gumamnya dalam hati. Eh, di Bandung kan, ada teman gue. Idang, ya, Idang Gopak! Idang dari Bhuanapala, SMU 99 Bandung. Mereka berkenalan waktu Idang hendak mendaki Gunung Dempo, 3.159 mdpl, di Pagar Alam, Sumsel. Idang juga pernah menemani Ganes mendaki Gunung Gede Pangrango. Buru-buru Ganes membuka dompet bututnya. Mencari buku mini phone booknya! Setelah dapat. Ia keluar dari kamar. Tampak Rani, Reni, dan Anis sudah bersiap hedak ber-JJS ria.
“Eh, katanya mau tidur. Kok, masih keluyuran?” tanya Reni saat melihat Ganes keluar.
“Gue, pinjem telpon bentar ya, Ren.”
“So’ atuh di ruang depan. Mo nelpon siapa, Nes?” tanya Reni lagi.
“Teman gue yang di sini.” Untung Idang lagi ada di rumah. Mereka berbincang-bincang sebentar via telepon. Idang sepakat akan datang dan menjemputnya. Ganes beralih ke taman depan. Duduk sambil memperhatikan kolam ikan Koi milik Om Handri. Selang beberapa saat, Feroza hitam memasuki halaman rumah Om handri, Ganes segera menyambutnya. Itu si Idang. Ia datang sendiri. Tak lama keduanya mengobrol dengan hangat. Idang pun mengajak Ganes nongkrong ke daerah Dago. Ia pun setuju.[]

     Sudah lima hari Ganes berada di Bandung. Perasaan bosan mulai menjangkiti otaknya. Kerjanya cuma JJS, nyuciin mobil Om Handri, main playstation, atau nemenin Tante Cici belanja. Sesekali juga ke Jatayu dan ke toko buku. Sore itu ia, Anis dan kedua ponakannya tengah asyik nonton film Die Hard yang dibintangi Bruce willis. Ganes nonton sambil rebahan ia memeluk bantal sofa.
     “Nes, lo udah dapet kecengan belon di sini?” tanya Rani tiba-tiba.
     “Iya, kalo belon entar kita cariin. Teman Ra-Ren cantik-cantik, lho!” tambah Anis. Diiringi anggukan kepala Reni.
     “Iya. Kalo lo dapet cewek Bandung, bakalan sering ke sini, deh!” Reni menambahkan. Sambil mengerling pada Anis dan Rani. Tapi Ganes tak bereaksi sedikit pun.
     “Nes, lo budek, ya? Diajak ngomong diem aja!” Anis mulai keki. Diomongi begitu Ganes tetap diem. Masih cuek bebek. Mereka bertiga makin keki. Mereka mendekati Ganes. Oalaah! Ternyata ia tertidur pulas. Dengan wajah tanpa dosa. Dengan gemas ketiga gadis itu menggelitiki dan mencubit hidung Ganes.
     “Eh, aduh! Apa-apaan ini? Eh, kalian udah gila semua, ya? Eh, aduh!” pekik Ganes gelagapan dipermak habis begitu.
     “Dasar Gokil! Diajak ngomong malah tidur!” Ucap Rani sambil tertawa.
     “Makanya, kalo mau tidur ngomong dulu. Jadi kita nggak susah-susah nanyain tau!” tambah Rani.
     “Apa urusannya, kalo mau tidur musti nglapor kalian! Suka-suka gue dong, mau tidur kapan aja!” jawabnya sewot. Sambil bergeser mencari posisi tidur lagi.
     “Elo emang gitu, Nes. Kalo lagi kumat tidur. Di WC pun lo bisa tidur!” Anis mencibirnya. Ketiga gadis itu kembali ke posisinya. Ada yang rebah di sebelah Ganes juga di sofa. Setengah kemudian, telepon di ruang tengah berbunyi. Tergesa Reni menghampiri dan mengangkatnya. Ternyata telpon dari teman Ganes. Reni membangunkan Ganes yang tertidur kembali.
     “Nes, bangun! Ada telpon!”
     “Aduh, apa lagi sih, Ren?! Gue ngantuk, nih!” rutuknya merasa terganggu lagi.
     “Heh! Ada telpon, tuh!”
     “Kelpon? Taruh aja. Entar gue makan!”
     “Heh! Telpon bukan kelpon! Aduh, gimana nih, anak? Lo punya teman namanya Idang nggak?” Terang Reni sedikit sewot. Melihat adegan itu, Rani dan Anis tersenyum.
     “Aa-pa, udang?” tanya Ganes. Matanya setengah terbuka.
     “Idaaang!” pekiki Reni hesteris. Mendengar teriakan itu Ganes terlojak kaget. Rani dan Anis ngakak melihatnya.
     “Ooo, Idang. Mana?” Tanyanya mulai sadar.
     “Tuh! Cepatan di telepon!” kata Reni kesal.
     “Kenapa nggak bilang dari tadi?!” ujar Ganes buru-buru menuju telepon. Mendengar itu wajah Reni berubah ungu menahan kesal.
     “Dasar gokil!” pekik Reni dongkol. Rani dan Anis makin tertawa melihat wajah Reni berganti warna. Ternyata Idang mengabari Ganes, bahwa ada tiga orang siwa SMU Trunajaya Bandung hilang di Gunung Gede. Kabarnya mereka sudah hilang dua hari. Tim SAR sispala Idang akan segera dibentuk dan diberangkatkan. Mereka berniat ikut andil dalam operasi pencarian. “Gila, mimpi apa gue semalam? Gue diajak Idang bergabung ke tim Bhuanapala.” Ganes bersorak dalam hati. Wajahnya tampak berseri-seri.
     “Kenapa senyum-senyum sendiri? Wah, gawat gokilnya kumat!” Rani heran melihatnya Ganes mendekat dengan wajah sumringah.
     “Ran, kapan Om pulang?” tanyanya serius.
     “Bentar lagi. Emang kenapa?” tanya Rani masih heran melihat perubahan Ganes.
     “Gue diajak ke Gede.” Mereka bengong mendengar jawaban Ganes barusan.
     “Gunung Gede?” Reni memastikan.
     “Mau ngedaki? Awas, gue kasih tau Bapak!” ancam Anis serius.
     “Mendaki apaan? Daser bawel!” sahut Ganes kesal. Anis langsung mengkeret. Kedua saudaranya pun terkejut melihat wajah Ganes berubah galak.
     “Mau ngapain, Nes? Elo kan udah pernah ke sana?” tanya Reni hati-hati.
     “Gabung ama tim SARnya Idang. Ada orang hilang. Kabarnya tiga orang.” Mendengar itu mereka terdiam. Benar saja, ketika Om dan tantenya pulang, Ganes langsung membicarakannya. Dia minta ijin untuk bergabung dengan tim SAR Idang. Meski ditanggapi keberatannya Tante Cici, ia tetap ngotot ingin pergi. Akhirnya mau tak mau Om Hendri mengijinkannya untuk pergi.
     “Lho kok, Diijinin, Pa? Nanti gimana kalo Bang Sastra ama Kak Tantri tanya?” protes Tante Cici kurang setuju. Ia khawatir kalau kedua orang tua Ganes tanya.
     “Tenang aja, Ma. Ganes kan sudah sering ke gunung. Kali ini kan bukan buat naik gunung, doang, tapi bergabung dengan tim SAR. Ikut dalam usaha pencaraian dan penyelamatan nyawa orang. Kita doakan aja, mereka semua selamat. Nanti biar Papa yang bicara ama mereka.” Tante Cici tidak bisa berkata apa-apa lagi setelah mendengar perkataan suaminya. Wajar saja Om Handri setuju, karena waktu muda ia juga seorang petualang di mapala kampusnya. Ganes mengangguk dengan wajah cerah.
“Eh, tapi jangan senang dulu. Kamu juga harus minta ijin ama Bapak dan Ibu kamu ya!” Ganes mengangguk setuju. Memang proses mendapatkan ijin dari Bapak dan Ibu itu cukup alot. Terutama Ibunya. Untung Om Handri membantunya, jadi dengan sedikit berat hati Ganes pun diperbolehkan juga. Sore harinya Idang menjemput Ganes. Semua peralatan dan logistiknya disuplai oleh Bhuanapala. []
Tim Bhuanapala dan Ganes menuju Cibodas. Akan bergabung dengan dengan para mapala, sispala dan tim SAR yang berada di pos Kandang Badak, ketinggian sekitar 2.200an mdpl, yang jadi OSC (On Search Commander) operasi pencarian rute Cibodas. Sepertinya tim SAR ada juga yang bergerak dari jalur Gunung Putri, Selabintana dan Situ Gunung. Sekitar pukul empat sore, mereka disambut rama oleh para mapala dan sispala yang sudah lebih dulu bergabung dalam operasi itu. Sebelumnya mereka briefing untuk mendapat pengarahan dan informasi mengenai data para korban dan sistem pencarian yang diterapkan. Mereka dipadu oleh Kang Jack, utusan dari kelompok penempuh rimba yang cukup terkenal di Kota Bandung. Dialah korlapnya. Mereka menginap di Pos Kandang Badak, dan besok pagi akan disebar melakukan pencarian.
     “Besok kita mulai bergerak. Sekarang kita bentuk SRU (Search Rescue Unit)-nya. Masing-masing SRU berisi lima orang, maksimal tujuh orang. Setiap SRU dipimpin oleh satu koordinator!” Jelas Kang Jack. Selanjutnya mereka membubarkan diri untuk beristirahat. Agar besoknya memiliki tenaga yang cukup. Mereka adalah orang-orang terbaik yang diutus oleh mapala dan sispala mereka. []

Rabu, pukul 11.00 WIB.
Formasi tim Bhuanapala tak berubah. Beranggotakan Idang, Jajang, Bobby, Luki dan Ganes. Mereka menjadi tim SRU 7. Tim ini dikomandoi Idang. Mereka menyisir ke timur jalur pendakian. Aroma basah merambah rongga hidung dan embun yang menempel di dedaunan membasahi pakaian mereka. Cuacanya tak secerah saat mereka meninggalkan Pos Kandang Badak. Dari kejauhan Puncak Gede tampak diselubungi awan hitam. Mereka bergerak lambat dan hati-hati. Melakukan penyisiran sambil menebarkan pandangan secermat mungkin.
     “Hati-hati,gusy! Jalur ini banyak jurang semaknya!” Idang mengingatkan anggota timnya. Sudah tiga jam mereka menyisir daerah itu tapi belum menemukan yang bisa dijadikan petunjuk. Mereka beristirahat sebentar sambil minum kopi plus ngemilin roti biskuit. Meski letih mereka tetap kelihatan ceria dan hangat.
     “Dari kordinat ini, kalo kita maju lagi kita akan menjumpai pedataran landai kemudain lembah curam serta satu punggungan, entah butuh berapa lama untuk mencapai ke sana.” Kata Ganes sambil menunjuk peta kontur Gunung Gede.
     “Kita sisir lagi sampai ke sana. Jika memungkinan dataran landai itu, kita jadikan base camp!” ucap Idang. Setelah berkemas, mereka kembali bergerak. Cuaca mulai menujukkan tanda-tanda akan turun hujan. Udaranya terasa makin lembab dan basah. Diiringi kabut yang melayang-layang rendah di atas tanah. Membatasi jarak pandang. Kaki–kaki mereka seakan menginjak permadani putih yang lembut. Lebih kurang tiga jam, dataran landai itu baru mereka temukan. Daerah itu memang bagus untuk dijadikan base camp. Karena cuaca yang kurang mendukung mereka memutuskan menghentikan usaha penyisiran. Usai mendirikan tenda, gerimis mulai turun. Mereka menghubungi OSC Kandang Badak untuk melaporkan posisi tempat mereka bermalam. Sekaligus melaporkan jalannya penyisiran, hasil temuan dan area kordinat yang telah dijelajahi, dan briefing team, mereka makan malam. Setelah mengobrol sebentar mereka pun beranjak tidur. Semua merasa keletihan.[]
     Ganes bertemu seorang gadis yang belum dikenalnya. Rambutnya dipotong pendek. Dia tengah asyik berjalan di sebuah taman bunga. Tiba-tiba ia menoleh dan menatap Ganes. Lihat sunset itu. Indah sekali. Kita lihat sama-sama, yuk! Ajaknya seraya melambaikan tangan ke arah Ganes. Remaja itu penasaran dan mengikutinya. Dia terkejut setengah mati, ternyata taman itu dipagari jurang gelap yang menganga! Gadis itu terus berjalan. Ganes berteriak-teriak mengingatkannya, tapi gadis itu tak mendengarkan teriakannya. Terus saja ia melangkah. Awaass! Pekik Ganes keras. Ia berusaha memburu dan hendak meraih tangan gadis itu. Sayangnya gadis misterius itu sudah keburu jatuh ke dalam jurang itu. Suara teriakannya melengking panjang.       Ganes ikut menjerit lantang.
Dia tersentak dan terbangun. Dadanya berdebar serta napasnya memburu. Sompret! Mimpi gue mimpi serem amat!. Makinya dalam hati. Dia melihat semua rekan-rekannya masih tertidur pulas di dalam sleeping bag mereka. Ganes melihat jam tangannya, baru jam tiga pagi. Ia meraih peples, meneguk air yang ada di dalamnya. Hiiy, dingin banget! Katanya menggelijang. Perlahan Ganes ke luar tenda. Gokil berasa mau buang air kecil. Ia meraih senter dan bayonet yang biasanya selalu terselipkan di pinggang tiap melakukan pendakian. Suasana di luar sangat gelap dan udaranya dingin menusuk tulang. Api unggun tinggal baranya saja. Ketika hendak masuk ke tenda kembali. Ganes tersentak menoleh ke belakang. Samar-samar ia mendengar suara rintihan minta tolong. Perlahan ia menebarkan sorot lampu senternya. Darahnya mendesir cepat. Bulu kuduknya berdiri tegang. Tanpa sadar ia meraba hulu bayonetnya.
Suara siapa? Apakah cuma perasaan gue? Aduh! Ganes mencubit pipinya dan teras sakit. Ini bukan mimpi. Sepertinya dari arah sana. Kenapa berlawanan dengan tujuan kami? Hatinya bertanya-tanya. Dia merasa bimbang, membangunkan yang lain atau melanjutkan tidur. Kalo ngebangunin, ternyata ini cuma sekedar halusinasi gue, hanya bikin malu aja. Perlahan Ganes mendekati bodybag dan memakainya. Entah sudah terbius perasaannya sendiri ia ingin memeriksa area sekitar tenda. Ya, sekitaran tenda aja. Gumamnya memastikan diri. Dengan perlahan namun pasti, ia mulai melangkah berputar sekitaran tenda. Ingin mencari sumber suara. Suara rintihan itu kembali muncul. Dari arah barat. Timbul tenggelam terbawa semilir angin dingin. Membius Ganes untuk terus melangkahkan kaki. Medanya mulai menurun. Tak disadarinya Ganes melangkah mulai menjauhi tenda. Sudah hampir setengah jam lebih berjalan tanpa sadar masuk ke rimba Gunung Gede. Anak bodoh! []
     Kabut turun makin tebal. Cahaya senternya hanya mampu menembus satu meter ke depan. Gila, kabutnya tebal baget, aduh! Gabrukkh! Ganes jatuh terjerembab senternya terlepas. Kakinya tersangkut akar pohon. Dia meringis kesakitan sambil memegangi tulang keringnya. Aduuuh... Hah! Astaghfirullah! Kenapa gue jadi bego gini? Kenapa nggak ngebangunin yang lain? Ganes baru menyadari kecerobohannya. Tergesa ia berdiri mengambil senternya. Menebarkan pandangannya. Berputar-putar sebentar. Apa gara-gara suara itu? Bodoh! Ganes memaki-maki dirinya sendiri. Ia berusaha menemukan jalan untuk kembali. Oh Tuhan, sekarang gue benar-benar nggak tahu di mana.
     Kompas! Gue musti berbalik ke timur! Ganes membuka bodybag-nya. Tapi cuma ada tiga batang coklat, minyak angin, pil kina, obat diare, permen, korek matches, serta vicky—pisau lipatnya. Lho, kemana kompasnya? Dia berusaha mengingat-ingantnya. Ternyata kompasnya tertinggal di base camp. Sepertinya masih ada di tenda. Dipakai saat briefing tadi. Dia kecewa. Sekarang mulai merasa benar-benar tersesat. Tenang, Nes, jangan panik. Berpikirlah dengan jernih! Batinnya berbisik menasehatinya. Kemudian dia duduk tercenung memikirkan apa yang musti dia lakukan.
Ganes mengarahkan senternya ke sekeliling. Sepertinya pohon itu bagus buat bivak! Ganes mendekati pohon tumbang yang membentuk goa akar itu. Ia memeriksanya sebentar. Memastikannya aman dan jauh dari hewan-hewan berbisa. Setelah yakin, ia masuk ke dalamnya. Ganes melirik jam tangannya. Baru jam setengah lima subuh. Brrrh... Dinginnya minta ampun! Ganes merapatkan jaket parasutnya. Tetap saja ia merasa kedinginan. Ganes mengeluarkan koreknya. Ia berusah membakar ranting-ranting kecil yang berserakan di sekitarnya. Makin lama makin banyak. Perapian itu cukup untuk menghangatkan tangannya. Ganes memakan coklatnya separuh, kemudian meminum air dari peples.
Sekarang gue benar-benar tersesat. Jangan-jangan gue bakal masuk daftar orang yang hilang di Gunung gede? Bodoh! Ganes masih menyesali kelalaiannya sendiri. Tapi gue nggak boleh putus asa!Sebentar lagi matahari terbit, gua bisa tahu arah timur. Semoga besok cuacanya cerah! Doanya dalam hati. Tapi alam berkata lain, mejelang pagi langit tampak mendung diselubungi awan hitam pekat. Jangankan sunrise, garis lembayungnya pun tak kelihatan. Ganes merasa sedih, kesal, dan kecewa. []

Kamis, pukul 6.00 WIB.
Base camp SRU 7 jadi heboh. Mereka kehilangan Ganes. Mereka berteriak-teriak memanggil serta berputar-putas ke sekeliling tenda. Namun sampai serak suara mereka, tak ada sahutan sama sekali. Ganes bagai lenyap ditelan bumi. Semuanya merasa cemas.
“Gimana, Dang? Apa kita laporin ke Badak?” tanya Jajang khawatir. Suaranya parau karena habis teriak. Idang terdiam.
“Mungkin ia cari air, karena nggak bawa apa-apa. Kompas, peta, ranselnya juga ada!” tambah Bobby pula.
“Kita tunggu aja lagi sebentar. Tapi jangan mengubungi Badak dulu. Bikin heboh nanti. Kita tunggu sampai jam dua belas. Mudah-mudahan ia akan muncul. Sebab tiap jalur yang kita lewati, udah kita beri tanda marka yang cukup jelas. Semoga ia tak mengalami apa-apa.” Ujar Idang berusaha tenang, meski hatinya cemas.
“Dang. Ganes bawa senter, berarti dia bergerak waktu gelap!” Tukas Luki yang sedari tadi diam saja. Idang membenarkannya.
“Iya, body bag yang dipakenya juga nggak ada, Dang?” Timpal Bobby. Idang menatap ke arahnya. Tapi tanpa kata-kata.
“Sori, Dang. Apa Ganes suka pergi sendiri kayak gini?” Tanya jajang hati-hati. Idang menghela nafas sebentar.
“Ganes emang gokil. Tapi dia orangnya baek dan supel. Rasa kebersamannya juga gede. Di Wanacala, ia termasuk anak yang diandalin. Setahu gue ia nggak pernah bertindak konyol seperti ini!” jawab Idang serius. Ketiga rekannya itu terdiam.
“Dia tahu apa yang boleh atau tidak boleh dilakuin,” tambah Idang lirih.
“Jam sebelas, kita harus menghubungi Badak!” kata Jajang mengejutkan. Memang tiap jam mereka harus melaporkan pergerakan SRU ke OSC Badak. Walau belum menemukan tanda apa pun.
“Ya, tapi jangan menyinggung soal Ganes dulu. Entar biar gue sendiri yang menjelaskan,” jawab Idang pelan. Jajang mengontak Badak tanpa menyinggung masalah Ganes. []
Gue harus bikin marka di jalur yang gue lalui. Ganes mematahkan ranting-ranting itu. Tanpa disadarinya, ia sudah kembali ke timur lagi. Nah! Kayaknya ini jalur yang gue lewati semalam. Moga-moga aja! Ganes mencoba mengingat-ingat jejaknya semalam. Cacing-cacing di perutnya Ganes mulai memainkan musik keroncong. Ia meringis menahan perih. Ganes berhenti untuk menggigit coklat sisanya semalam. Air minum gue habis, gue musti cari air. Tubuhnya mengigil kedinginan. Lalu di hadapanya ada tanjakan yang cukup panjang. Hatinya masih terus berpikir. Kenapa ia bisa bertindak sefatal ini. Ganes terus berdoa dan berharap bisa bertemu dengan SRU lainnya. Sesekali juga ia berteriak berharap Tim Bhuanapala bisa mendengarnya. Tapi tak ada suara sahutan sama sekali.
Menjelang tengah hari, Ganes mendengar suara gemercik air mengalir. Alhamdulillah ada air! Pekiknya girang. Dengan terperosok-prosok, Ganes berhasil mencapai parit kecil itu. Minum sepuas-puasnya, lalu mengisi penuh peples-nya. Selagi asyik mengisi wadah air. Tiba-tiba terdengar suara guntur menggelegar. Ganes mendongak. Lewat celah-celah kanopi hutan ia melihat langit tampak mendung. Cuaca kembali gelap. Gerimis sebentar dan—byuuurr! Hujan turun dengan deras. Ganes sembpat kebingunan mau berteduh di mana. Ia berlari mencari perlindungan. Celananya jadi basah. Masih untung jaketnya terbuat dari bahan water proof. Lumayan ia menemukan lubang tanah yang terbongkar akibat akar pohon yang tumbang. Tergesa ia masuk ke celah itu. Duduk jongkok berteduh di situ. Di tempat itulah Ganes mengalami penderitaan lahir batin. Dingin yang tak terlukiskan, letih dan lapar serta luka lecet yang memedihkan. Kabut tebal pun turun, ikut meramaikan penderitaannya. [] Bersambung ke Survival [Bagian 2]

No comments:

Post a Comment