Saturday, February 15, 2014

Ramadhan


Bulan puasa adalah bulan emasnya umat Islam. Merupakan bulan yang penuh berkah dan ampunan dari Allah SWT. Di bulan itu pula umat Islam diwajibkan untuk berpuasa selama satu bulan penuh. Menjauhi segala perbuatan dosa. Menahan segala hawa nafsu. Pada umumnya orang yang berpuasa itu mulutnya berbau kurang enak. Misalnya temen Ganes yang bernama Abon. Sedang tidak berpuasa aja dia bau, apalagi kalo dia berpuasa. Hiy! Nggak bisa dibayangin. Tapi doi selalu berpegang teguh pada nasehat-nasehat Wak Haji Dulah. Beliau selalu mengatakan bahwa bau mulut orang yang berpuasa akan lebih harum semerbaknya minyak kasturi nantinya. Amin aja, deh! Kalo si Adut lain lagi. Doi lebih seneng puasa kecil. Itu lho, puasa yang waktu berbukanya pas tengah hari. Hehehe.
Terasa emang cukup berat berpuasa sambil bersekolah. Lebih-lebih bagi yang menjalaninya dengan setengah hati. Karena perut dalam keadaan kosong, otaknya dipaksa untuk berpikir terus. Padahal bawaannya ngantuk melulu. Pernah dulu, kakak-kakak kelas Ganes mengajukan usul ke Kepsek. Supaya diperbolehkan membawa bantal ke sekolah. Maksudnya, biar pas waktu istirahat bisa tidur siang sebentar. Tapi usul para murid sableng itu membikin Kepsek mencak-mencak nggak karuan. Meskipun setiap mata pelajaran didiskon lima belas menit setiap jamnya, tidak menyurutkan semangat para siswa untuk bermalas-malas ria. Malah ada yang mengusulkan belajarnya aja yang lima belas menit, sudah itu diperbolehkan pulang. Tapi lagi-lagi sang Kepsek ngamuk-ngamuk mendengarnya. Hihihi. []

Siang itu Ganes terlihat sibuk sekali. Dia membongkar isi lemari kamarnya. Dia sibuk mencari-cari peralatan lukisnya. Cat airnya ketemu, tapi kuas lukisnya nyungsep  entah kemana. Kemana sih, perasaan gue satuin semuanya. Kayaknya ada yang mindahin, nih. Gumam Ganes dalam hati.
“Nis! Aniiis!!”
“Yooaah!” jawab adiknya dari ruang tamu.
“Lo tahu kuas lukis gue nggak?!” Tanya Ganes setengah menjerit
“Apa?… Kue lapis?!” Anis balik bertanya.
“Kuas lukis!” jerit Ganes mulai kenceng.
“Ooo…Udah rusak!”
“Rusak?! Emang elo apain?!” Tanya Ganes makin keras.
“Buat ngecat kuku!”
“Dasar Nenek Lampir lo!” pekik Ganes kesal. Anis Cuma tertawa nyengir mendengarnya.
“Heh! Kenapa sih, kalian teriak-teriak begitu? Ngomong pelan-pelan sedikit kenapa? Kayak di hutan aja!” tegur Ibu melihat kedua anaknya mirip spesies yang paling doyan pisang lagi berkomunikasi begitu.
“Anis sih, Bu. Kuas Ganes dirusaknya.”
“Iya. Tapi jangan bikin gaduh begitu, dong. Kuas Bapak kan ada. Masih cukup baru lagi,” jawab Ibu memberitahukan.
“Yee, Ibu. Itu kan kuas tembok. Yang dirusak itu kuas lukis,” jawab Ganes dengan muka cemberut cucut.
“Oo, kuas lukis. Bisa rusak, memangnya diapain Anis?”
“Katanya buat ngecat kuku!” jawab Ganes pendek langsung ngeloyor pergi.  Ibu melongo mendengar jawaban Ganes. Untung Ibu memberinya uang untuk membeli kuas lukis yang baru. []

Ganes dan Togar berkumpul di rumah Adhie. Mereka terlihat sibuk menggunting serta melipat lembaran-lembaran kertas. Rupanya Mereka bertiga punya niat membikin serta menjual kartu lebaran.Adhie melukis pemandangan serta kaligrafi. Ganes melukis gambar karikatur serta menuliskan kata-kata indah di dalamnya. Togar yang emang rada minus seni itu terlihat sibuk membuat amplop-amplopnya. Lukisan Adhie memang bagus. Kombinasi warnanya terkesan hidup. Gambaran karikatur bikinan Ganes juga lucu-lucu. Semua gambarnya serlalu berhubungan dengan ketupat. Misalnya gambar orang yang sedang main bola, bolanya diganti dengan ketupat. Ada juga climber yang lagi memanjat dinding ketupat raksasa. Itu khusus dibikin untuk penggemar bola kaki dan panjat tebing. Kalo buat orang yang doyan nelpon gimana, Nes? Gampang aja. Digambarnya orang yang lagi nelpon, tapi telponnya diganti dengan ketupat. Hihihi… Norak banget, ya!
Lusanya mereka sudah pada siap untuk menjualnya. Mereka menjual kartu-kartu lebaran itu di kantin sekolah yang memang tidak dibuka selama bulan puasa. Tidak disangka si Togar mempunyai bakat besar untuk menjadi tukang obat eh, jadi sales promotion man. Dia pandai mengumbar kata-kata rayuan. Biar teman-temannya tertarik untuk membeli.
“Ayoo, teman-teman! Mumpung lebaran masih jauh. Kalian boleh menimbun kartu lebaran sebanyak-banyaknya. Itu sangat kami anjurkan dan tidak ada yang melarang seperti menimbun sembako! Ayoo, kartunya cantik, lucu dan unik! Buruan, beli satu bakal dapat bonus!” pekik Togar penuh semangat.
“Bonusnya apaan, Gar?” tanya Tami penasaran.
“Amplop!” jawab Togar singkat. Dengan cuek tanpa dosa dia kembali berkicau menawarkan barang dagangannya. Tami melotot dongkol mendengar jawaban Togar barusan. Ganes dan Adhie tersenyum geli melihatnya. Begitu bel sekolah menjerit, semua bergegas memasuki kelasnya. Mereka bertiga sibuk mengemasi barang-barang dagangannya.  Tak disangka usaha Mereka bertiga cukup lancar. Sebab selain menggelar dagangan di kantin, mereka menjualnya secara friend to friends juga.
“Beli dong, Dut!” Suatu ketika Ganes menawarkan dagangannya ke Adut yang dikenal paling jago ngirit itu. Adut melirik sebentar ke arah kartu-kartu yang ditawarkan Ganes.
“Ogah, ah! Gue udah beli banyak di pasar.”
“Eh, kartu-kartu kami kan laen, Dut. Unik dan nggak ada di pasaran,” tukas Ganes hendak merayunya.
“Jelas aja nggak ada. Habis norak sih, gambarnya,” cibir Adut kemudian.
“Dasar nggak tahu seni! Ini, coba lihat gambar ini. Dia membawa ransel yang penuh ketupat buat doinya yang doyan naek gunung,” kata Ganes serius sambil menunjukkan kartu lebaran yang bergambar seorang pemuda yang sedang memanggul ransel besar. Adut mulai tertarik. Dia memperhatikan kartu itu, tapi kelihatan bingung sambil membolak balik kartu itu.
“Apa yang elo cari, Dut? Gambarnya ini, di muka,” Ganes menjelaskan.
“Iya, tapi mana gambar ketupatnya, Nes?” tanya Adut penasaran.
“Yee, elo. Ketupatnya kan udah di-packing dalam ransel. Jadi nggak kelihatan lagi, dong.” Adut berfikir sejenak. Kemudian manggut-manggut. Entah mengerti atau sok mengerti. Hihihi.
“Beli ya, Dut,” rayu Ganes lagi.
“Iya, deh. Gue ambil yang ini. Ketimbang gue dengerin rengekkan elo terus,” ujar Adut menyerah.
“Cuma satu?”
“Lho, emang harus berapa?” Tanya Adut bingung.
“Gimana elo mau balesin Eca, Ruri dan Tami, kalo Cuma beli satu. Eh, kemarin mereka beli banyak lho, ama gue. Mereka juga nyebut-nyebut nama elo juga, Dut.”
“Elo jangan bohong, Nes.Batal puasa elo nanti,” tukas Adut serius. Tapi wajahnya menyiratkan rasa keingintahuan yang besar.
“Suer, gue nggak bohong. Ambil, ya?” Mendengar rayuan itu akhirnya Adut membeli tiga buah kartu lebaran lagi. Setelah ia membayar semuanya…
“Bener ya, Nes. Elo nggak bohong?” tanya Adut belum merasa yakin.
“Iya gue serius. Nama elo emang disebut-sebut. Kalo bukan mau kirim kartu ya, kemungkinan besar mau nagih buku catetan mereka yang elo pinjem,” jawab Ganes nyengir meninggalkan Adut. Adut terdiam sesaat.
“Kemungkinan besar? Berarti gue… Eh, Nes! Dasar gokil lo!” pekik Adut kesal. Dia telah terjebak pada perangkap penjualan Ganes. Ganes melambaikan tangan dengan wajah penuh kebahagiaan. Gila si Gokil, puasa-puasa masih ngerjain orang juga. Tapi dia berkata jujur. Memang sewaktu Mereka membeli kartu lebaran pada Ganes, Mereka menyebut-nyebut nama Adut. Cuma kurang jelas mau mengirim kartu atau mau menagih buku catatan pada Adut. Adut aja yang keburu GR. Gitu kan Nes, ceritanya.
Ketika para pembeli di sekolah mulai sepi. Mereka berniat menjualnya ke pasar. Hari itu adalah hari pertama mereka berjualan di emper pertokoan di ruas jalan utama Sudirman. Rupanya berjualan di pasar lebih banyak godaannya ketimbang pembelinya. Belum lagi saingannya yang bejibun banyak. Mereka juga bertemu dengan rekan-rekan sesama pecinta alam yang berjualan kartu lebaran juga. Baik yang masih pelajar maupun yang sudah mahasiswa. Mereka semakin ramai jadinya. Di antara para pejalan kaki, banyak yang ndablek juga. Mereka cuek ngemilin makanan, ngerokok di jalanan. Sama sekali tidak menghargai orang yang sedang menunaikan ibadah puasa.
“Ih, bagusnya. Lucu-lucu!” pekik serobongan gadis remaja ketika melihat kartu lebaran yang dipajang Ganes dan adhie. Si Togar belum kelihatan batang hidungnya. Melihat mereka wajah Ganes langsung berseri-seri.
“Iya, Neng. Ini nggak ada lho, di pasar ikan,” tukas Ganes tersenyum nyegir.
“Terang, dong. Berapa duit, nih?” tanya yang pakai baju biru.
“Cuma seribu. Murah kan?” jawab Adhie kalem.
“Tiga?” tanya yang berbaju putih sambil menarik alisnya ke atas.
“Walah! Satu dong, Neng,” jawab Ganes serius.
“Mahal banget, sih!”
“Iya. Kan ama kita-kita,” ujar yang berbaju warna pink mengerling nakal.
“Wah, itukan udah murah banget dibandingin dengan harga TV,” ujar Ganes dengan muka lucu. Si Baju biru mendelikkan mata mendengarnya. Alhasil mereka membeli tujuh buah kartu. Tak lama setelah itu Togar muncul. Dengan senyumnya yang khas dia menghampiri kedua sahabatnya itu.
Sorry guys. Aku ada kerjaan tadi. Bagaimana lancar?” tanya Togar sambil menepuk bahu Adhie dan Ganes.
“Baru aja pembeli pertama berlalu, Gar. Mereka beli tujuh biji!” jawab Adhie cerah. Setengah jam kemudian dua orang gadis yang cukup dewasa datang melihat-lihat kartu lebaran mereka. Satu di antaranya mulai menanyakan harganya.
“Berapaan, nih?”
 “Seribu satu, Mbak.”
“Idih mahal banget. Lima ratus, ya?”
“Wah, belon bisa, Mbak,” jawab Togar tersenyum. Kedua gadis itu mengerutkan dahi. Kemudian bertanya lagi.
“Jadi kapan bisanya?”
“Nanti. Sehari sudah Lebaran, Mbak,” jawab Ganes yang dari tadi diam saja. Mendengar jawaban itu. Tanpa ba-bi-bu lagi mereka langsung ngeloyor pergi. Togar dan Adhie melongo melihatnya.
“Ah, kau, Nes! Suka kali kau asbun begitu. Mereka tidak jadi membeli.”
“Habis mereka kelewatan, sih. Lima ratus jaman sekarang dapet apa,” ujar Ganes menjawab perkataan Togar. Adhie cuma tertawa nyengir mendengarnya.
“Sudah. Sekarang kau diam saja. Biar aku yang melayani calon pembeli,” kata Togar lagi. Ganes cuma angkat bahu mendengarnya. Menjelang sore, dagangan mereka makin laris. Laris ditawar gitu, lho! Hihihi. Menjelang beduk maghrib. Mereka segera berkemas.
“Kita lesehan, Nes?”
“Iya. Tapi yang pahe aja ya, gimana?”
“Oke. Yang penting berbuka,” jawab Togar mantap. Mereka bertiga berjalan di emper pertokoan. Mencari tempat berbuka yang pas. Tiba-tiba pandangan Ganes tersita pada seorang anak kecil yang sedang menangis. Mereka anak-anak jalanan yang berada di daerah jembatan penyeberangan. Usia anak itu sekitar tiga tahunan. Tangisannya begitu memelas. Mungkin kelaparan.
“Gar, Dhie, gimana mulai besok kita sisihkan sedikit keuntungan kita buat mereka?” kata Ganes tiba-tiba. Adhie dan Togar mengerutkan dahinya. Belum mengerti maksud Ganes.
“Buat mereka siapa, Nes?” tanya Adhie.
“Tuh!” Ganes menunjuk ke arah anak-anak itu.
“Katanya kalo gemar bersedekah. Bikin rejeki bertambah,” tambah Ganes lagi.
“Bener juga kau, Nes!” jawab Togar setuju. Diiringi anggukan kepala Adhie. Diam-diam Ganes memperhatikan suasana di sekelilingnya. Melihat para pedagang yang melaksanakan ibadah puasa juga. Puasa yang terasa begitu berat godaannya. Berbuka dengan makanan ala kadar pula. Dengan sepotong roti dan secangkir es tebu giling di pinggir jalan. Malah ada yang berbuka dengan hanya meminum air putih saja. Tanpa makanan yang enak-enak dan bermacam-macam. Dalam hati Ganes timbul rasa malu. Jika teringat puasanya di tahun-tahun kemarin. Dia pernah uring-uringan, gara-gara Ibu tidak membuatkannya makanan berbuka. Memang sebenarnya yang diambil dari puasa itu nilai ibadahnya. Bukan makanan berbukanya.
“Heh, Nes! Kok, jadi ngelamun begitu, sih?!” Adhie mengejutkan lamunan Ganes.
“Mikirin siapa kau, si Katrin?” tanya Togar menggodanya. Ganes tampak gelagapan, kemudian tertawa nyengir.
“Udah. Buruan kita sholat Magrib!” ajak Adhie mengingatkan. Usai berbuka mereka langsung menuju masjid yang berada di depan Dika Shoping Centre. Mereka melaksanakan sholat magrib di sana. []
Malam itu, seusai pulang sholat tarawih, Ganes langsung merebahkan badannya ke pembaringannya.  Ceramah Wak Haji Nudin sebelum sholat tarawih tadi, mengenai zakat serta orang-orang yang patut diberi zakat. Seakan menyentuh hati serta pikirannya. Hatinya seakan baru terbuka di bulan ramadhan tahun ini. Dia berjanji dalam hati. Akan berusaha keras merampungkan puasanya. Tidak seperti ramadhan-ramadhan tahun lalu. Puasanya mirip saringan teh. Puasanya banyak yang bolong-bolong tidak karuan. Semoga aja niat baik kamu itu terkabul ya, Nes!
“Nes... Nes!” Suara adiknya memanggil.
“Yaa...!” Dia bangkit dari pembaringan. Anis masuk ke kamarnya.
“Heh, besok Anis sama Ibu mau beli baju baru. Elo mau ikut nggak?” kata Anis dengan wajah cerah. Ganes diam saja. Wajahnya kelihatan datar. Tanpa ekspresi sama sekali. Anis jadi  heran melihatnya.
“Kok, bengong. Mau ikut nggak? Kalo nggak nanti nggak dibeliin baju baru, lho!” kata Anis lagi.
“Ya, nggak apa-apa,” jawab Ganes santai. Anis melongo bloon mendengar jawaban abangnya barusan. Biasanya dia antusias banget. Kalau diajak belanja beli baju baru buat Lebaran nanti.
“Elo kenapa sih, Nes. Sakit?” tanya Anis sambil meraba kening abangnya. Ganes cuma menggelengkan kepalanya ditanya begitu. Anis makin bingung. Heran dengan perubahan diri Ganes yang lain dari biasanya itu.[]
Seperti biasanya, sepulang sekolah mereka bertiga kembali menjual kartu-kartu lebaran di pasar. Sayangnya belum lama menggelar dagangan Mereka. Langit mulai mendung dan langsung diiringi hujan rintik-rintik. Semua pedagang emperan berkemas untuk menyelamatkan barang dagangannya. Agar tidak terkena guyuran air hujan. Ganes, Adhie dan Togar segera berkemas dan berteduh. Mereka bertiga duduk tercenung di emper pertokoan. Mungkin mereka memikirkan betapa sulitnya jadi pedagang emperan. Mesti kalang kabut menyelamatkan dagangannya kalau turun hujan. Harus kepanasan kalau matahari lagi bersinar garang. Kalau ada angin yang berhembus kencang, semua barang dagangan yang termasuk barang ringan bakal berterbangan ke segala arah. Itu baru dari faktor alamnya. Belum lagi kalau ada para petugas penertiban kota. Mereka bakal kalang kabut lari menghindar kalau tidak ingin disita. Eh, sudah susah begitu, masih juga dibebani oleh pajak retribusi pasar. Jadi pedagang emperan juga mesti sabar, gigih dan ulet. Sabar menghadapi calon pembeli yang terkadang cerewet. Sabar menerima pendapatan yang tidak pernah tetap. Harus gigih meski terkadang barang dagangannya tidak laku. Wah, pokoknya berat! Tapi mesti begitu, rata-rata pedagang emper itu baik-baik, lho! Rasa persatuan dan kebersamaan Mereka kuat. Mereka saling bantu.
“Dhie, Gar. Gue punya ide. Kalian setuju nggak?” Tiba-tiba Ganes berkata memecah lamunan mereka.
“Ide? Ide apaan, Nes?” tanya Adhie bingung. Dia memang suka punya ide yang mendadak. Kadang ide baik, kadang ide busuk juga. Hihihi.
“Begini, kalian setuju nggak. Kalo Wanacala mengadakan kegiatan sosial. Maksud gue, kita mengumpulkan pakaian bekas yang layak pakai atau sumbangan apa pun. Kalo sudah terkumpul, malam Lebaran nanti, kita serahin ke panti asuhan. Gimana?” tanya Ganes penuh semangat.
“Setuju. Tapi... gimana caranya. Itu pekerjaan serius lho. Nes?” tanya Adhie serius. Togar mengerutkan dahinya, seperti lagi memikirkan perkataan Ganes.
“Kita bentuk panitianya. Bikin proposal ke Kepsek atau guru pembimbing kita. Bahwa kita ingin mengadakan kegiatan sosial. Pakaian bekas atau sumbangan itu kita dapatkan dari seluruh murid sekolah kita. Tapi kalo ada orang luar yang mau ikut menyumbang tetap kita terima. Tempat pengumpulannya ya, di sekretariat Wanacala kita. Gimana, ok?” Adhie dan Togar manggut-manggut setuju.
“Betul juga. Cemerlang kali ide kau, Nes. Dapet dari mana kau?” tanya Togar cerah.
“Dari sini. Tempat kita berjualan ini.” Mereka melongo mendengar jawaban Ganes. Seusai perundingan kilat itu, hujan pun berhenti. Mereka bisa berjualan lagi. Dagangan mereka masih cukup ramai dikerumuni pembeli.[]
Mereka memberitahu Rere, Ketua umum Wanacala, tentang ide mereka kemarin. Dan Rere juga mendukung rencana kegiatan itu. Pulang sekolah para anggota Wanacala mengadakan rapat kilat untuk membahasnya. Mereka segera membentuk panitianya. Membuat proposal dan mengajukannya ke Kepsek serta pembimbing ekskul mereka. Sudah pasti Kepsek dan para guru mendukung usul ide positif anak-anak didiknya itu. Dengan kegiatan itu pula mereka bisa mengangkat citra anak pecinta alam juga. Bahwa anak-anak PA itu tidak hanya bisa mendaki gunung atau jalan-jalan ke alam saja. Tapi ikut peduli dan ikut memikirkan urusan sosial juga. Mereka segera mempersiapkan segala sesuatunya. Kepsek juga mengumumkan kegiatan itu kepada seluruh guru dan siswa-siswi SMUN 2000. Agar menyumbangkan pakaian bekas layak pakai. Dan dari hari ke hari, sumbangan murid-murid SMUN 2000 makin bertambah. Entah sudah beberapa potong pakaian, celana, sepatu bekas layak pakai serta uang yang disetorkan ke sekretariat Wanacala. Panitia dari Wanacala dan OSIS makin bersemangat. Melihat antusiasnya sambutan dari siswa-siswi sekolah mereka. []
Sepulang sekolah, Ganes tampak sibuk membongkar-bongkar lemari pakaiannya. Mencari pakaian dan celananya yang sudah lama tidak dipakainya lagi. Ganes tidak menyadari kalau diam-diam Anis mengintip dari celah pintu kamarnya yang terbuka sedikit.
“Bu... sini!” Anis setengah berbisik memanggil ibunya.
“Heh! Mulai mau jahil lagi kamu?!” tegur Ibu melihat Anis mengintip-intip begitu.
“Ssst... sini, Bu...” katanya lagi. Ibu jadi penasaran dan ikut mengintip ke dalam. Ganes lagi sibuk membentang baju dan celana bekasnya.
“Ini masih bagus. Ini juga...” Dia bergumam sendiri. Ibu dan Anis terus mengawasi tingkah lakunya.
“Mau apa si Gokil dengan pakaian-pakaian lama itu, Bu?” tanya Anis berbisik pada Ibu. Ibu menggeleng tidak tahu.
“Apa mau dijualnya juga?” timpal Ibu pula. Setelah berkata begitu Ibu menarik Anis ke ruang tengah.
“Puasa tahun ini, dia agak lain ya, Bu. Dia tidak ribut soal baju baru.. Soal makanan berbuka atau THR dari Bapak. Dia kelihatan adem ayem toto tentrem begitu,” kata Anis lagi kepada Ibu.
“Mungkin dia mulai berfikir dewasa. Nggak seperti kamu lagi,” kata Ibu sambil mencubit hidung Anis dengan lembut.
“Dewasa? Perasaan, dia masih gokil begitu,” kata Anis masih belum percaya.
“Anis, jangan panggil abangmu begitu. Ibu nggak suka tahu!” tukas Ibu hendak menjewer telinganya. Anis tertawa menghindar. Lari masuk ke kamarnya. Selang beberapa menit kemudian...
“Nis... Anis!”
“Yaa...?!” jawab Anis mendengar panggilan Ganes. Ternyata dia lagi sibuk mencoba pakaian barunya untuk lebaran nanti. Ganes masuk dan duduk di tepi pembaringan adiknya.
“Nis, baju-baju elo yang udah nggak dipake lagi. Masih ada nggak?”
“Masih ada. Kenapa? Mau dibisnisin juga. Seperti kartu lebaran?” tanyanya penuh selidik.
 “Heh! Gue nggak se-matrek yang elo kira, Nek!” jawab Ganes sambil menarik hidung Anis.
“Habis buat apaan?” tanyanya lagi. Lalu Ganes menceritakan semua rencana kegiatan sosial mereka. Kemudian Anis menanyakan tentang perubahan abangnya di bulan Ramadhan tahun ini. Ganes menjawab pertanyaan adiknya itu dengan panjang lebar.
“Makanya. Gue nggak mau ribut lagi soal baju baru atau makanan berbuka puasa…”
“Kalo THR dari Bapak?” Tanya Anis lagi.
“Kalo itu sih, tetep gue arepin. Hihihi.” Ganes tertawa kecil. Anis mencibir.
“Nggak juga, sih. Sekarang dikasih syukur, nggak juga nggak bakalan ngambek, deh. Kayaknya gue mulai berpikir. Dengan keadaan kita sekarang ini, ternyata kita sangat jauh lebih beruntung dibanding Mereka, anak- anak jalanan. Mereka yang tidak punya ayah ibu lagi atau mereka-mereka yang masih juga kekurangan. Meski sudah bekerja membanting tulang setengah mati untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Jangankan buat beli baju baru. Buat yang layak pakai aja mereka sudah susah. Lalu coba kita lihat anak-anak di panti asuhan. Mereka haus kasih sayang dari orang tua. Tidak seperti kita yang terkadang selalu merasa kekurangan dan kurang puas dengan kasih sayang orang tua kita. Selalu menuntut macam-macam dari mereka. Membikin pusing Mereka. Jadi kalo bisa, ramadhan tahun ini gue kepingin berubah. Meski baru sedikit-sedikit yang penting tidak seperti tahun kemarin. Nah, begitu,” Ganes mengakhiri ceritanya yang cukup panjang lebar itu. Anis diam membisu mendengar kata-kata abangnya tadi.
“Lantas ini...?” tanyanya pelan sambil menunjukkan baju baru yang baru dicobanya tadi. Ganes tertawa sambil mengucek rambut depan adiknya yang semata wayang itu.
“Ya, nggak apa-apa. Itu memang punya elo. Elo nggak perlu merasa bersalah. Gue kan cuma mau jelasin, kenapa gue rada berubah pada ramadhan tahun ini. Tidak begitu cerewet lagi. Itu aja.” Kata Ganes tersenyum. Melihat wajah adiknya begitu. Namun Anis masih terdiam. Sambil memandangi baju barunya itu.
“Heh, udah jangan kelewat dipikirin. Kalo udah tiba saatnya nanti. Elo pasti punya pemikiran kayak gue. Abang lo yang ganteng ini. Sekarang elo kan masih kecil. Masih anak SMP, aduh!” Ganes memekik kesakitan. Perutnya keburu dicubit Anis.
“Aduh, ampun! Ya deh, udah gede... tapi masih baru! Eit!” Ganes belingsatan menghindari cubitan adiknya yang gemas digoda begitu. Tak lama kemudian mereka berdua sudah sibuk membongkar lemari pakaian Anis. Sesekali terdengar teriakan Anis yang dijahili Ganes. Ketika dia menemukan old-underwearnya Anis. Hihihi. Ternyata tanpa sepengetahuan keduanya. Diam-diam Ibu telah mencuri dengar segala perkataan Ganes tadi. Ibu menjadi bangga sekaligus haru dan bersyukur. Anak laki-lakinya yang terkadang bandel itu mulai memiliki pikiran yang sudah mengarah ke kedewasaan.[]
Malam yang ditunggu-tunggu pun telah tiba. Usai sholat magrib di akhir Ramadhan. Suara gema takbir membahana dimana-mana. Anak-anak Wanacala serta OSIS SMUN 2000 berangkat menuju ke panti asuhan “Doa Ibu”. Panti itu terletak di sudut kota Palembang. Mereka menggunakan mobil Katrin, Donna dan beberapa diantaranya berkendaraan motor. Selama di perjalanan, mereka banyak berdiam diri. Entah apa saja yang ada di benak mereka. Di jalanan sudah ramai sejak siang tadi. Suasana makin marak dengan adanya konvoi kendaraan yang panjang. Mengangkut orang-orang yang ingin takbir keliling kota. Belum lagi orang-orang yang sibuk belanja di pusat-pusat pertokoan. Para Polisi sibuk mengatur arus lalu lintas yang mulai macet dan semerawut.
Civic merah Katrin dan Baleno biru Donna berjalan tersendat diantara kendaraan-kendaraan lainnya. Ganes, Togar, Abon dan Adhie mengendarai motor. Mereka timbul tenggelam diantara kendaraan yang berjejer padat. Di antara keramaian itu, lagi-lagi pandangan Ganes tersita pada para pengemis yang seakan tak pernah perduli akan keramaian di sekeliling mereka. Seakan tak perduli bahwa besok hari Lebaran atau hari apa. Cuma satu yang ada di benak mereka. Mengharap belas kasihan orang lain. Pada mereka yang bernasib lebih beruntung. Mengharap orang-orang itu rela melemparkan uang receh ke dalam kaleng-kaleng rombeng mereka. Mungkin sebenarnya di dalam hati mereka yang paling dalam, memiliki keinginan seperti orang lain juga. Untuk bisa bersuka ria bersama keluarga tercinta dalam menyambut hari raya. Namun takdir-Nya yang telah menentukan dan itu tak bisa ditawar lagi.
Terlihat juga para pekerja Dinas Kebersihan Kota yang di malam takbiran ini masih terlihat sibuk. Mengeruk sampah-sampah yang telah meluap penuh dari tempatnya. Mereka tak sempat mendampingi keluarga mereka di malam takbiran. Masih berbaur dengan limbah sampah-sampah kota ini. Sementara keluarga-keluarga yang lain lagi sibuk mondar-mandir di pusat-pusat perbelanjaan. Shoping besar! Buat menyambut hari raya esok. Sebuah pemandangan yang kontras banget. Sangat menggetarkan hati.
Rombongan SMUN 2000 telah tiba di panti asuhan “Doa Ibu”. Mereka disambut dengan ramah oleh pihak pengelola serta seisi panti asuhan. Penyerahan itu berjalan sangat mengharukan. Banyak di antara mereka yang tidak mampu menahan air mata. Menangis, ketika melihat cara warga panti asuhan mengucapkan rasa terima kasihnya. Ada yang memeluk erat sambil menangis sesenggukan seperti tak ingin melepaskan lagi. Sungguh mulia sekali ajaran Islam yang selalu mengajarkan umatnya. Untuk selalu mengingat orang-orang seperti mereka. Mewajibkan para umatnya yang lebih beruntung. Agar menyisihkan sebagian hartanya untuk diberikan kepada mereka yang berhak dan membutuhkan. Baik lewat zakat, sedekah dan infaq. Tak lain bertujuan untuk mejauhkan umatnya dari sifat sombong, kikir, dan serakah. Memperkecil jurang pemisah serta kesenjangan sosial dalam kehidupan masyarakat. Agar membagi kebahagiaan dengan orang-orang yang lebih kekurangan. Lebih menderita dari pada kehidupan kita.
Dan dalam diri pribadi Ganes muncul kebahagiaan di hatinya. Dia berhasil merampungkan puasanya sebulan penuh. Bisa membayar zakat dari uang keringatnya sendiri. Hasil dari jualan kartu lebaran. Yang pasti ramadhan tahun ini telah memberikan sesuatu yang baru baginya. Untuk mulai memikirkan nasib orang-orang lain di sekitarnya. [end] [Ganezh/19sep99]

3 comments: