Tuesday, January 21, 2014

MATA ITU MATA NENEKKU

Malam semakin larut. Sesekali terdengar suara jangkrik atau jeritan burung-burung malam dari kejauhan. Udara malam terasa semakin dingin membekukan. Membikin orang lebih suka berada di balik selimut tebal dari pada keluar rumah. Jemari cahaya rembulan menerobos di antara pucuk-pucuk pepohonan dan bunga-bunga taman sebuah bangunan besar. Sebuah villa besar dengan halaman serta taman yang cukup luas. Villa itu pasti milik seorang cukup kaya. Berdiri megah di daerah perbukitan kawasan Puncak, Jawa Barat. Di keremangan malam itu. Tampak sosok hitam melompati pagar villa, kemudian disusul oleh dua sosok lainnya. Dengan mengendap-endap ketiga sosok itu memasuki pekarangan bangunan villa. Mendekat, lalu berhenti di rimbunan taman bunga, tak jauh dari dinding bangunan. Sambil duduk jongkok ketiga sosok misterius itu, awas mengamati setiap sudut bangunan. Tak lama kemudian terdengar suara bisikan tak jelas dari mulut mereka. Sesekali sinar rembulan memantul berkilat dari benda-benda yang mereka bawa. Ada yang melengkung dan memanjang.

            Di samping sebuah perapian ala rumah orang-orang Eropa, tampak seorang wanita yang sudah cukup tua sedang membetulkan letak kaca mata yang dipakainya. Di hadapannya ada sebuah buku tebal. Rupanya ia sedang asyik membaca buku. Tanpa menoleh, ia mengambil cangkir teh yang ada di sampingnya. Sambil terus membaca, ia menuang cairan hangat dan manis itu ke dalam mulutnya. Sepertinya ia tak ingin melepas pandangan dari kalimat-kalimat yang tersusun di dalam buku itu. Separuh dari seluruh jumlah halaman buku itu telah dibacanya sejak siang tadi. 
Tak lama ia melepas kaca mata plusnya. Mengerjap-ngerjapkan kelopak matanya sebentar, lalu meletakkan kaca mata itu ke meja baca. Mungkin matanya sudah terasa lelah atau mulai mengatuk. Ia tutup buku bacaannya seraya menghela nafas panjang. Kemudian ia mematikan lampu bacanya. Seketika ruangan baca itu menjadi remang-remang. Hanya ada curai api perapian yang tak seberapa terang. Cahaya itu bergejolak memantul di wajah wanita tua itu. Cukup jelas, meski sudah dipenuhi keriput, tapi masih menyisakan kecantikannya di masa muda dulu. Wanita tua itu berdiri, menggeliat sebentar, melonggarkan otot-otot tubuhnya yang sering terasa kaku. Setelah itu ia berjalan menuju ke kamarnya. Belum sampai tangan kanannya meraih pegangan pintu kamar, tiba-tiba tubuhnya tersentak ke kanan. Ia kaget dan mengeluarkan suara pekikan tertahan. Sesosok tubuh yang lebih tinggi dari tubuhnya, telah merenggut dan memeluknya dari belakang. Membekap mulutnya sambil menempelkan sesuatu yang dingin dan berkilat ke lehernya. Leher yang mulai keriput itu telah dikalungi sebuah celurit! 

            “Jangan berteriak, kalau ingin selamat!” Ancam sosok tinggi jangkung itu setengah berbisik. Suaranya terdengar serak dan berat. Wanita tua yang ada dalam dekapannya itu menghentikan gerakan-gerakan merontanya. Tapi matanya menyiratkan ketakutan yang amat sangat. Tubuhnya makin gemetaran. Mukanya jadi pucat seperti mayat dan keringat dingin mengucur dari tubuhnya. Apalagi ditambah kemunculan dua sosok lain yang mengenakan topeng hitam, menerobos masuk ke ruang baca itu. Mereka mengenakan topeng yang hanya memperlihatkan lingkaran di kedua mata saja. Mata-mata merah yang tajam, liar dan penuh ancaman. Masing-masing bersenjatakan golok. Wanita tua itu sedang dirampok oleh tiga orang bertopeng!

“Dengar! Kami hanya butuh barang berharga, tapi kalau kau tak mau bekerja sama, nyawamu yang sudah uzur itu akan kami ambil juga!” bentak orang yang bertubuh pendek tapi kekar itu sambil mengacungkan goloknya. Dengan gemetaran wanita tua yang mulutnya masih dibekap itu mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Bagus. Temanku itu akan melepaskanmu. Tapi kalau kau mencoba berteriak, celurit yang menempel di lehermu itu akan ditarik dan kepalamu akan menggelinding di lantai. Setelah itu kau akan menyusul pembantumu. Mengerti!” Ancam orang yang bertubuh kekar itu lagi. Tampaknya ia yang jadi pimpinan kawanan rampok itu. Wanita tua itu seperti hendak berteriak, mendengar kata-kata pimpinan rampok barusan. Sebut saja ia Rampok Satu atau Kepala Rampok. Gelagatnya mereka telah menghabisi Mbok Yem, satu-satunya pembantu di villa mewah itu.

“Jangan coba-coba berteriak Nenek Tua. Aku tidak main-main!” gertak Kepala Rampok itu sekali lagi. Wanita tua itu mulai menangis. Ia mengangguk-anggukkan kepalanya lagi. Akibat itu, lehernya mengeluarkan darah. Terkena sayatan celurit yang ditempelkan oleh orang yang memeluknya tadi. Sebut saja rampok itu si Rampok Dua. Lalu si Kepala Rampok memberi kode anggukan kepala padanya. Perlahan-lahan Rampok Dua melepas cekikan celuritnya dari leher si Wanita Tua, tapi ia masih memegangi rambut wanita itu.

“Segera berikan semuanya pada kami, Nenek Tua!” katanya sambil menarik rambut itu. Wanita tua itu terpekik, menahan sakit di kepalanya. Ia mulai menangis seraya memohon untuk dikasihani. Perampok ke tiga yang lebih banyak diam itu—sebut saja ia si Rampok Tiga—menangkap tangan Rampok Dua sambil mengelengkan kepalanya. Sepertinya ia tak menyukai tindakan kawannya itu. Mata Rampok Dua terlihat tajam menatap ke arah Rampok Tiga yang mencegah perbuatannya. Ia tak suka bila tindakannya dicegah orang lain.

“Cepat, Nek!” kata Rampok Tiga sambil mencekal lengan kanan Perempuan Tua itu. Ia menggantikan posisi Rampok Dua.

“Ii-iiya… Taa-pi jangan bun-nuh sa-ya…” ucapnya terbata-bata. Rampok Tiga yang masih memeganginya menganggukkan kepalanya. Tergopoh-gopoh wanita tua itu masuk ke kamarnya, diikuti oleh ketiga rampok itu. Wanita tua itu menuju ke arah sebuah lemari besar yang ada di sudut di kamarnya. Sebuah lemari kayu jati kuno yang indah. Kedua daun pintunya dipenuhi ukiran dan setiap sisi-sisi sudut lemari itu dibungkus dengan besi yang berukiran pula. Cantik, klasik dan tampak kokoh. Tapi ketika pintunya hendak dibuka, tenyata lemari itu dalam keadaan terkunci. Wanita tua itu tampak gugup. Melihat keadaan itu. Kepala Rampok tampak gusar dan berubah beringas.

“Cepat, Nenek Tua, buka!” hardiknya keras. Wanita tua itu semakin ketakutan dan gemetaran.

“Cepat! Sebelum kesabaran kami habis!” tambah si Rampok Dua yang mulai hilang kesabaran juga. Ia mencengkram bahu kiri perempuan tua itu dengan keras.

“Ssa-saya lu-lupa. Kun-kuncinya aada di-dimana…” kata Wanita Tua itu terbata dan meringis menahan sakit di bahunya.

“Apa?! Lupa…?!” Kepala Rampok itu nyaris tak percaya. Ia makin gusar. Mata merahnya menghujam tajam ke mata wanita tua yang semakin ketakutan itu.

“Coba ingat-ingat dulu, Nek. Ditaruh di mana kuncinya!” kata Rampok Tiga membujuknya. Tak mungkin orang dalam keadaan ketakutan disuruh mengingat-ingat sesuatu. Wanita tua itu hanya bisa menggigil gemetaran dan mulai menangis terisak. Plaak! Tiba-tiba tangan kanan si Kepala Rampok melayang keras ke muka keriput si Wanita Tua. Wajah keriput itu terbuang ke samping, terdengar jeritan tertahan. Lalu ia menangis terisak, merintih kesakitan. Mulutnya berdarah.

“Dasar, sudah bau tanah! Menyusahkan saja. Mau mati, ya?!” tambah Rampok Dua sambil merenggut piyama yang dikenakan wanita tua itu. Si Kepala Rampok tampak semakin gusar dan gelisah. Rampok Tiga yang sedang memegangi wanita tua itu juga terlihat gugup. Ia terlihat mulai gelisah.

“Kita Congkel saja, Bang!” Tiba-tiba ia mengeluarkan usul pada Kepala Rampok. Kepala Rampok yang dipanggilnya ‘abang’ itu masih terlihat gelisah dan bingung. Ia mencoba berpikir, kalau perempuan tua itu langsung dibunuh, mereka masih harus membongkar lemari kuno itu. Mungkin akan makan waktu agak lama, membongkar lemari kuno yang tampak kokoh itu, tapi kalau dibiarkan hidup, siapa tahu ia masih ingat letak kunci itu dan makin mudahlah pekerjaan mereka.

“Baik, biar kami yang congkel. Kau urus Nenek Peot itu! Paksa dia supaya ingat pada kunci lemarinya. Kalau ia tak mau bekerja sama, habisi dia!” kata Kepala Rampok itu memberi perintah. Tanpa mengangguk atau mengiyakan perintah itu. Rampok Tiga segera membawa wanita tua itu kembali ke ruang baca. Ketika ia sudah keluar kamar, Rampok Dua berbisik pada pimpinannya.

“Bang, kenapa Bang Usin ajak Gagas dalam aksi kita kali inil. Dia kan tak pernah turun ke lapangan. Gayanya ‘aneh’. Sepertinya masih mengasihani pada obyeknya,” bisik Rampok Dua selagi berusaha mencari celah, untuk mencongkel pintu lemari kuno. Rupanya Rampok Tiga itu bernama Gagas. Sebuah nama yang tak cocok untuk seorang perampok. Memang benar. Sikap serta gaya bicaranya tak mencerminkan seorang perampok tulen. Ia juga masih terlihat lebih ‘sopan’ dibanding rekan-rekannya yang lain.

“Memang ia tak pernah turun ke lapangan. Tapi kita kurang orang, Din. Kau tahu, tak mudah cari teman yang seperti kita. Apalagi yang pintar seperti dia. Kimung sudah koit di-dor petugas, Jali sudang dikandangin, Burik buron entah kemana. Itu kenapa, karena kita sering grasa-grusu tidak karuan dalam operasi. Tapi lihat akhir-akhir ini, semenjak Gagas bergabung dengan kita. Beberapa kali operasi kita sukses dan mulus. Karena ia punya strategi. Ia pintar cari target dan ia cukup sabar kalau lagi mengintai dan tahu saat yang tepat untuk melakukan operasi. Dia memang jago baca situasi. Harus kita akui, ia memang lebih pintar dibanding kita. Kita bisa masuk ke villa ini dengan mulus juga berkat strategi dia. Lagian, katanya ia butuh duit lebih buat kuliahnya. Jadi ia ikut langsung ikut terjun ke lapangan. Nanti kalau sudah sering, ia jadi terbiasa juga dan selama itu tak mengganggu jalannya operasi, biarkan saja. Ingat, aku masih butuh otaknya yang memang lebih encer dibanding otakmu.” Jelas Kepala Rampok yang dipanggil Usin itu serius sembari terus berusaha mencongkel-congkel daun pintu lemari dengan linggis pendek yang dibawanya.

“Tapi, Bang…” Rampok Dua yang bernama Didin itu berusaha untuk protes, karena dikatakan otaknya kalah encer dibanding Gagas. Anak bau kencur dan baru sekali ikut merampok itu. Gagas memang baru sekali itu ikut dalam operasi dan merupakan anggota ‘bungsu’ dalam komplotan itu, tapi sebenarnya ia berandil besar dalam setiap operasi perampokan. Sebab dia yang mencari target, mengawasi dan menentukan ‘hari baik’ untuk melancarkan operasi. Beberapa kali operasi perampokan itu sukses dan mulus.

“Sudah, jangan banyak bacot lagi! Sekarang yang harus kita lakukan adalah bagaimana membuka lemari sialan ini dengan cepat!” potong Usin sambil melotot. Melihat itu, Didin langsung mengkeret. Ia cukup tahu dengan perangai pimpinannya itu kalau terus dibantah. Buru-buru ia melanjutkan pekerjaannya. Sialnya, lemari kuno itu memang kokoh. Nyaris tak ada celah di kedua daun pintunya yang mengatup rapat. Meski sudah banyak lecet dan tergores akibat congkelan linggis, daun pintu itu tak juga mau memberikan celah, apalagi mau terbuka. Bukan itu saja, lemari kuno itu juga beratnya minta ampun, tak bergeming sedikitpun ketika mereka hendak menggesernya. Mereka memaki-maki lemari kuno itu.


“Tenang, Nek. Tarik nafas dulu. Lalu coba ingat-ingat di mana kunci lemari itu, Nenek letakkan,” Gagas bersikap manis. Ia berharap wanita tua itu bisa ingat kembali pada kunci lemarinya. Tapi kata-kata lembut itu tak juga membikin wanita tua itu tenang. 

“Jaa-ngan…jangan ssakitin sayaa,” Mohon wanita tua itu terbungkuk-bungkuk sambil melindungi mukanya. Ia menangis sesenggukan. Bibirnya yang ditampar Usin tadi masih mengalirkan darah. Entah bibirnya pecah atau mungkin giginya yang tinggal satu-satu itu ada yang copot.

“Tidak, Nek. Meski saya kawanan mereka, tapi saya bukanlah mereka. Asal, Nenek mau diajak bekerja sama,” ujar Gagas berusaha membujuknya.

“Ta-api…ta-tadi kkau di-disuruh menghabisiku…” kata Wanita Tua terbata-bata. Gagas seakan tersentak mendengar kata-katanya barusan. Ia tercenung. Memang perintah Usin tadi, kalau wanita tua ini tak mau diajak bekerja sama, ia harus membunuhnya. Ia merasa bingung dan gelisah. Ia bisa jadi rampok, tapi tak mau jadi pembunuh. Meski secara tidak langsung ia begitu. Karena aksi Usin dan kawanannya telah beberapa kali membunuh korbannya. Memang ia belum tahu bagaimana proses sebuah aksi perampokan. Yang ia tahu hanya mendapat bagiannya saja, meski lebih kecil dibanding yang lainnya. Sebab selama ini, ia hanya jadi pencari serta mengawasi targetnya. Sekarang ia disuruh membunuh, hal yang yang tak pernah terlintas dibenaknya. Ia memang terpaksa jadi kawanan rampok dan benci pada orang-orang kaya, karena dulunya ia memang tersingkir dari keluarganya yang kaya. Ia anak tiri dari seorang pengusaha kaya raya dan disisihkan sejak usia sepuluh tahun, kala ibunya meninggal dunia diserang kanker ganas. Papanya kembali ke isteri tua dan anak-anaknya. Ia tak penah diperhatikan apalagi diberi uang. Saudara-saudara ibunya juga tak mau mengakui keberadaannya. Karena waktu muda, ibunya dikenal suka bergaul bebas dan kemudian menjadi isteri muda seorang pengusaha kaya. Hanya neneknya yang mau mengasuh dan menyayanginya. Janda tua yang tinggal di kampung itulah yang mau mengurusnya hingga bisa kuliah di salah satu universitas negeri di kota Bandung. 

Mendekati semester akhir, neneknya sakit dan akhirnya meninggal dunia. Saudara-saudara ibunya mulai berdebat dan meributkan soal warisan. Ia sangat terguncang menghadapi cobaan itu. Merasa tak tahan dan ia memilih menyingkir jauh-jauh. Sekali ia berusaha menghubungi papanya di Jakarta. Tapi hanya caci maki dan hinaan dari papa serta keluarga Ibu Tua-nya yang ia dapat. Ia sangat kecewa dan membenci papanya, ia juga benci saudara-saudara ibunya yang cukup berada tapi rakus harta. Akhirnya, ia berusaha untuk mempertahankan hidupnya sendiri. Ia tetap kost di Bandung dan mau bekerja apa saja demi menyelamatkan sisa kuliahnya di ilmu politik. 
Pernah kerja jadi kuli, jualan aksesories, jadi tukang parkir dan akhirnya kenal dengan Usin, seorang gembong kawanan rampok. Usin cukup baik dan sudah menganggapnya seperti seorang adik. Tanpa ia sadari, Gagas telah bergabung dan sering ikut dalam sebuah perencanaan operasi perampokan. Otaknya yang memang encer sering mengeluarkan ide-ide brilian bagi kawanan rampok amatir itu. Akhirnya, jadilah ia semacam penasihat komplotan itu. Kemudian jadi pemburu dan pengintai target rampokan. Menjelang akhir kuliah ia butuh biaya yang lebih besar. Niatnya, ia harus lulus dulu. Bila sudah sarjana ia akan berhenti jadi seorang perampok. Ia ingin jadi orang baik-baik. Hanya sekali ini dan tinggal beberapa bulan lagi. Tapi untuk mendapat bagian yang sama besar, ia harus ikut terjun langsung dalam sebuah operasi perampokan. Lalu ia meminta pada Usin agar dilibatkan operasi kali ini dan ini telah menjadi kenyataan. Gagas, seorang mahasiswa ilmu politik tingkat akhir menjadi seorang perampok. Dan sekarang ia bakal menjadi seorang pembunuh!

   Tiba-tiba tedengar suara gaduh dari dalam kamar wanita tua itu. Mungkin Usin dan Didin sedang berusaha keras mendobrak pintu lemari kuno itu. Suara itu juga yang menyadarkan pikiran Gagas. Ia segera teringat apa yang ditugaskan padanya.

“Cepat sedikit, Nek. Sebelum kawan-kawan saya yang memaksa Nenek untuk bicara!” gertak Gagas sambil mengguncang-guncang bahu perempuan tua itu. Tapi perempuan itu belum juga mau memberi tahu di mana letak kunci lemari itu. Entah takut atau ia memang lupa, sebab ia sudah cukup tua. Orang sepertinya tak gampang untuk mengingat-ingat sesuatu. Apalagi dalam kondisi ketakutan dan dibawah tekanan. Semua orang tak akan bisa berpikir dengan jernih. Gagas semakin gemas. Tangannya keras mencengkeram bahu perempuan tua itu, lalu tangan kanannya terangkat ke atas…

“Ja-jaangan bun-nuh sayaa… Jangaan bun-ukh! Aakh!… akh!” Tiba-tiba perempuan itu mengeluarkan suara seperti tercekik. Sambil memegangi dada kirinya. Tubuhnya menggelosoh ke lantai. Matanya membeliak sebentar. lalu berkedip-kedip. Gagas terbengong sesaat, lalu tampak gugup dan bingung. Ia belum melakukan apa-apa, tapi wanita tua itu sudah kelojotan di lantai.

“Nek?! Nenek, kenapa?! Nenek sa-sakit aa-pa?!” tanya Gagas gugup. Ada nada cemas di bicaranya. Ia malah memangku kepala wanita tua itu. Berusaha mendengar apa yang hendak dikatakan perempuan itu. Ia tak mengerti tak jelas, suara wanita tua itu seperti mendesah dan mendesis saja.

‘’Ob-ob…aat dd-di mej…!” Mendengar itu Gagas buru-buru meletakkan kepala wanita tua itu dan memburu ke meja baca yang ditunjuk-tunjuknya tadi. Dalam keremangan api perapian itu Gagas melihat sebuah botol minuman, gelas kosong dan cangkir teh, tapi tak ada obat di sana! Ia menoleh ke arah wanita tua itu. Ia masih menunjuk ke arah meja di hadapan Gagas. Ia menyapu permukaan meja itu dengan kedua tangannya. Tiba-tiba tangannya menabrak sebuah botol kecil. Tapi botol itu malah terjatuh. Bergemericik suara obat di dalamnya. Botol itu menggelinding entah kemana. Sial! Makinya dalam hati. Gagas meraba-raba tombol lampu baca dan menyalakannya. Lalu ia mencari arah suara botol obat terjatuh tadi. Suara yang keluar dari mulut wanita tua itu semakin membikinnya gugup. Ia masih mencari-cari botol obat itu dan dapat! Secepat kilat ia mengambilnya dan mendekati wanita tua itu. Ia memasukkan butiran pil itu ke dalam mulut wanita tua itu. Buru-buru mengambil botol minuman dan gelas di atas meja. Lalu kembali memangku kepala wanita tua itu dan perlahan serta hati-hati ia memberinya minum.

“Minumnya pelan-pelan, Nek.” bisik Gagas pelan. Setelah air itu masuk ke tenggorokannya, Wanita itu memejamkan matanya. Meringis seperti menahan sakit sambil berusaha mengatur pernapasannya. Butiran-butiran keringat berhamburan di wajahnya. Gagas memandangi wajah keriput dihadapannya. Wajah yang penuh keteduhan. Sungguh tak pantas ia diperlakukan dengan kejam. Wanita tua itu membuka matanya perlahan. Lalu mata teduh itu menghujam tepat ke mata Gagas. Mata… Mata itu mirip mata nenek. Mata yang penuh keteduhan dan jutaan rasa kasih sayang. Gagas tak kuasa melawan pandangan mata itu, tapi mata itu benar-benar membiusnya. Memberinya perasaan aneh dan sentimentil. Ia ingin membuang perasaan itu jauh-jauh. Lalu Bibir yang berdarah itu menyunggingkan senyum.

“Nenek tahu kau anak baik. Matamu yang bicara padaku, tapi kenapa kau berteman dengan perampok?” tanya wanita tua itu perlahan. Suaranya masih terdengar serak. Bagai tersengat petir Gagas mendengar kata-kata itu. Ia tak kuasa menjawab. Ia hanya membisu, lalu membuang muka. Memandang ke perapian. Sepasang mata dibalik topeng hitam itu masih berkilat tapi tak tampak liar lagi. Mata itu tampak sendu dan berkaca-kaca. Memantulkan api perapian. Tanpa ia sadari, tangan wanita tua dipangkuannya itu, menyentuh pipinya yang dibalut topeng hitam dan membimbingnya untuk melihat ke arahnya.

“Tapi Nenek yakin, kau punya alasan kuat untuk menjadi seperti ini,” ucapnya lagi dengan lembut. Gagas tak tahan mendengar semua itu.

“Cukup, Nek. Jangan berbicara macam-macam lagi!” potong Gagas dengan suara makin tergetar. Sentuhan di pipinya itu memberikan sengatan kasih sayang yang pernah ia rasakan dari belaian neneknya dahulu. Ia tak berusaha menepis tangan itu dari pipinya.

“Aku seorang perampok dan nyaris jadi pembunuh!” sentak Gagas lagi. Nafasnya makin serak dan tersendat. Gagas beranjak berdiri dan mundur ke belakang.

“Perampok dan pembunuh itu tak punya perasaan, tapi kau…?!” ujar wanita tua itu menggeleng sambil tersenyum. Gagas makin tersurut ke belakang. Ia menutupi kedua telinganya sambil mengeleng-gelengkan kepala. Nafasnya tak teratur. Ia benar-benar tak tahan mendengar kalimat-kalimat dari mulut wanita tua itu. Ia tersentak ketika ada bentakan cukup keras.

“Ada apa ini? Kenapa belum juga kau bunuh Nenek Peot ini!?” Tiba-tiba ada suara hardikan. Ternyata Usin dan Didin telah keluar dari kamar itu. Masing-masing di tangan mereka membawa satu kotak yang cukup besar dan terlihat indah. Mungkin kotak-kotak perhiasan. Rupanya mereka telah berhasil mendobrak lemari kuno itu.

“Dasar, goblok! Biar aku saja yang melakukannya, Bang!”  Didin meletakkan kotak yang dibawanya. Lalu berjalan mendekat ke arah Wanita Tua. Wanita itu beringsut-ingsut ke belakang. Memohon agar tidak dibunuh. Suaranya terdengar sangat menyedihkan. Ia ketakutan, gemetaran dan wajah makin pucat pasi. Didin mendekat seraya menghunus celuritnya. Tiba-tiba…

“Jangan! Jangan sakiti Nenek itu. Bang! Bukankah kita sudah mendapatkan apa yang kita inginkan. Sebaiknya kita segera pergi dari sini, Bang!” potong Gagas penuh harap. Didin menoleh ke arah Gagas.

“Kita? Kau tidak melakukan apa-apa kali ini!” ujar Didin menyeringai. Ia semakin mendekati perempuan tua itu. Yang sudah tak bisa mundur lagi ke belakang karena tubuhnya sudah membentur dinding tembok.

“Bang! Kumohon…” pinta Gagas lagi. Usin seperti terpaku sebentar tapi ia menggelengkan kepalanya. Gagas mendengus kesal.

“Aku tak keberatan, bila tak diberi bagian, tapi jangan ganggu Nenek itu!” Nada bicara Gagas berubah, dari memohon jadi seakan mengancam.

“Apa maksudmu, Gas? Kau ingin membela Nenek Peot ini? Kau ingin melindunginya?!” tanya Usin mulai gusar. Ia pun sudah memanggil nama anak buahnya itu. Sebuah tindakan yang ‘haram’ dalam sebuah aksi kejahatan. Lebih-lebih kalau masih ada orang lain, baik korban apalagi saksi lainnya.

“Tidak, Bang. Beri ia kesempatan hidup. Ia tak tahu siapa kita. Jadi untuk apa lagi kita membunuhnya,” Gagas berusaha untuk memberikan penjelasan. Didin menoleh sejenak ke arah Usin. Seperti yang sudah diperkirakan Didin, Usin menganggukkan kepalanya.

“Cukup, Din. Jangan sakiti Nenek itu!” usai berkata begitu. Gagas meraih kursi meja baca dan melempar bangku itu ke arah Didin. Mendapat serangan tiba-tiba dan tak disangka-sangka itu, Didin telat menghindar. Beruntung hanya lengannya yang terserempet kursi yang dilempar oleh Gagas. Ia meraung kesakitan. Suara kursi yang terpelanting itu terdengar gaduh di lantai. Wanita tua itu menjerit-jerit tak jelas. Gagas langsung memburu ke arah Didin yang terduduk kesakitan sambil memegangi lengannya. Ia melayangkan tendangan ke arah muka Didin. Buru-buru Didin bergulingan menghindari serangan itu. Tiba-tiba Gagas sudah berdiri membelakangi wanita tua itu. Entah mendapat bisikan malaikat dari mana. Ia malah berbalik melindungi wanita itu. Meski harus mempertaruhkan nyawa atau melawan teman-temannya sendiri.

“Bangsat! Apa yang telah kau lakukan, Gas!?” Bentak Usin murka. Ia tak menyangka keadaannya jadi begini. Gagas yang dianggapnya seperti adik sendiri kini berbalik melawannya.

 “Pakai otakmu, sebelum aku berubah pikiran. Ia bukan nenekmu!” katanya sambil mendekat ke arah Gagas. Matanya yang angker memancar jelas dari balik topeng hitam yang dikenakannya. Gagas tak menjawab. Ia telah putus asa, nekad dan ada perasaan aneh yang telah menyelimuti benaknya.

“Nenekmu sudah dimakan cacing, Gas!” tambah Didin pula. Gagas mendengus mendengar perkataan Didin barusan. Gagas tak pernah mengampuni orang yang berani menghina almarhumah neneknya. Ia melabrak ke arah Didin.

“Dasar anak tak tahu diuntung! Hih!” Hardik usin sambil melayangkan tinju kanannya. Memotong serangan Gagas. Gagas berusaha menyambut pukulan Usin dengan tangkisan tangan kirinya. Dug! Wajah Gagas terbuang ke kanan, tenyata itu serangan tipuan sebab tinju yang mendarat telak pipi kiri Gagas adalah tangan kiri Usin. Bukan tinju kanan yang dilayangkannya tadi. Gagas terhuyung ke belakang. Mukanya terasa nyeri dan pandangannya jadi kunang-kunang. Belum hilang pengaruh pukulan Usin tadi, tiba-tiba ia mendapat serangan dari Didin. Sebuah tendangan keras mendarat di pinggang kirinya. Ia jatuh membentur meja baca yang ada diselah kananya. Tapi ia segera berdiri kembali. Rasa nyeri, ngilu di kepala dan tubuhnya seperti tak ia rasakan.

“Aku tak takut mati!” kata Gagas sambil mencabut golok yang terselip di pinggang kirinya. Matanya terlihat angker. Entah ia menjadi begitu nekad dan sepertinya otak dikepalanya sudah tak mau diajak berpikir jernih lagi.

“Baiklah, Gas. Jangan salahkan aku jika kau harus jadi mayat!” kata Usin seraya mencabut goloknya juga. Didin sudah menghunus celuritnya juga. Tiga kawanan rampok itu akhirnya saling serang satu sama lainnya. Dua lawan satu. Sebuah pertarungan yang tak seimbang. Perempuan Tua itu tak mampu menggerakkan dirinya. Ia terduduk di sudut ruangan. Ia hanya bisa menutupi mukanya sambli berteriak-teriak tak jelas. Seharusnya ia berlari keluar dan berteriak minta pertolongan orang lain. Ia tak tampu berbuat apa-apa cuma hati kecilnya berharap agar pemuda yang membelanya itu selamat.    

   Celurit di genggaman Didin itu nyaris menghujam ke wajah Gagas. Beruntung ia bisa menghindar ke samping. Didin tampak kesulitan menarik ujung celuritnya yang tertancap di meja kayu. Melihat keadaan itu Gagas mendorong tubuh Didin yang berada di atas tubuhnya, seraya melayangkan goloknya ke arah leher Didin. Crass! Didin terpelanting ke belakang. Ia kena sabetan golok Gagas dan celuritnya masih tertinggal di meja kayu. Belum sempat Gagas melihat hasil serangannya pada Didin. Bet! Usin membabat ke arahnya. Ia melihat lambungnya berdarah. Tubuhnya terhuyung. Belum hilang keterkejutannya satu tusukan lagi mengarah ke dadanya. Reflek Gagas menghindar, dadanya selamat tapi lengan kirinya berhasil ditusuk Usin. Disusul satu tendangan menghujam dadanya. Ia jatuh ke belakang dan ia tak kuasa untuk bangun lagi, akibat serangan Usin yang bertubi-tubi itu. Luka di lambung dan lengannya mengucurkan darah segar. Dadanya pun terasa sangat sesak. Usin memang terkenal jago berkelahi. Gagas pasrah ia tak bisa berbuat apa-apa lagi. Ia tak bisa melindungi wanita tua itu lagi. Sekilas ia masih sempat melihat Usin berjalan ke arah wanita tua itu.

“Ini semua gara-gara kau, Nenek Peot! Kau benar-benar harus mati!” bentaknya garang. Wanita tua itu menjerit dan memohon agar dikasihani. Tangan Usin terangkat ke atas dan siap menebas kepala wanita tua yang malang itu. Tiba-tiba terdengar jeritan keras yang cukup panjang. Tubuh Usin terbanting ke samping. Gagas menubruknya dari belakang seraya menusukkan golok sekuat-kuatnya. Dengan sisa-sisa tenaga terakhir yang dimilikinya. Usin jatuh ke muka, nyaris menimpa wanita tua itu. Tubuhnya tampak berkelojotan di lantai. Dadanya tertembus golok yang ditusukkan Gagas dari belakang. Darahnya segar menyembur dari luka di dada dan punggungnya. Darah-darah itu membasahi lantai ruangan. Tiba-tiba tubuh Usin tidak bergerak-gerak lagi. Akhirnya kepala rampok itu tewas di tangan Gagas, anak buahnya dan sudah dianggapnya seperti adiknya sendiri. Gagas berusaha berdiri tapi tubuhnya semakin lemah dan ia jatuh terkulai di lantai. Di antara genangan darah itu, ia beringsut-ingsut berusaha mendekati wanita tua itu. Gerakannya itu meninggalkan tanda merah yang memanjang.

“Neek…” panggilnya terbata-bata. Wanita tua itu membuka tangan yang menutupin mukanya. Ia melihat orang yang melindunginya tadi terkapar seraya beringsut ke arahnya. Ia mendekat serta memangku kepala Gagas. Seperti yang dilakukan Gagas terhadapnya tadi. Pelan-pelan wanita tua itu membuka topeng yang dikenakan Gagas. Tampaklah wajah seorang pemuda gagah dan cukup tampan. Memang sesuai dengan namanya. Namun wajah itu tampak meringis menahan sakit dan semakin pucat.

“Maa-maafkan kaa-kami, Neek…” Gagas berusaha berbicara. Nafasnya makin tersengal dan berat. Wanita tua yang memangkunya itu tak mampu menjawab kata-kata Gagas. Ia hanya menganggukkan kepalanya. Ia juga mulai terisak. Menangisi keadaan Gagas. Air mata wanita tua itu jatuh menetesi wajah Gagas.

“Jaa-jangaan me-enangis, Neek. Ma-mataa Neneek, sseperti mmata nennekuu…” tangan Gagas berusaha menyentuh wajah wanita tua itu, tapi tangan itu jatuh terkulai. Wanita itu meraih dan menempelkan tangan Gagas yang penuh darah itu ke pipinya.

“Ma-mataa Neneek… Mmaa-mata… nen-nekuu.” Sekali lagi ia mengulangi kata-kata itu. Wanita tua itu menanggukan kepalanya lagi. Tangisnya makin pecah. Ia terenyuh mendengar perkataan pemuda yang sedang sekarat itu. Gagas berusaha tersenyum, lalu matanya menatap kosong. Tangannya jatuh terkulai. Tubuh Gagas semakin dingin dan bisu. Tiba-tiba wanita tua itu menjerit-jerit histeris sambil memeluk erat kepala Gagas yang dipangkunya. Ia merasa seperti kehilangan seorang yang sangat dikasihinya. ***

[ganezh/palembang/22Juli2004]

2 comments: