Thursday, January 23, 2014

SONGKET EMAK



Gemulai bayu menampar lembut
Mengoyak lamunanku mengerjap
Terkadang kulimbung
Kala ombak menampar haluan 
Di sana…
Biru laut memantulkan jemari perak purnama 
Melantunkan kebesaran Sang Pencipta
Lentera kerlap-kerlip limbung
Nelayan merajut harapan, di antara jala dan ikan
Di sana kumerajut kenangan, di antara pulang dan kepergian
[Antara Merak & Bakauheuni, Ganezh, 2000]

Aku berdesak-desakan di antara ratusan, mungkin ribuan calon penumpang. Di pintu pelabuhan Merak, Banten. Wajar saja, karena saat itu tiga hari jelang Lebaran. Sebelumnya, aku, juga para penumpang sempat berjalan lebih kurang 2 km menuju pelabuhan. Sebab laju kendaraan macet tak bisa masuk ke pelabuhan. Bus-bus mandeg menjelang terminal Merak. Yah, aku terjebak di antara para pemudik. Arus mudik merupakan “eksodus” besar-besaran. Ritual tahunan “kaum desa” yang kerja di kota. Ini memang tradisi masyarakat negeri. Sudah jadi ritual wajib, setelah setahun mengais rejeki di perantauan.
Menurutku, para pemudik ini pejuang, karena tak jarang berjibaku di perjalanan. Terutama bagi yang berkendara di daratan. Statistik kecelakaan selalu meningkat. Ya, mereka memang pejuang bagi keluarga yang menantikan. Karena tak malah jasad si pemudik yang sampai kampung atau kota kelahiran. Sementara aku bukan [belum jadi] pejuang keluarga yang mengais rejeki di kota orang, saat itu aku sedang menggarap proses penulisan buku Jejak Sang Beruang Gunung, Norman Edwin.
Malam itu cukup melelahkan. Berdesakan di antara para penumpang. Hiruk-pikuknya bukan kepalang. Ada yang berteriak kesakitan, terinjak, kepanasan, tiket hilang, hilang barang bawaan atau dompet yang melayang. Aku sempat tak mampu bergerak. Terjepit di kerumunan calon penumpang. Semua bawa barang bawaan. Entah tas slempang, day pack, travel bag, kotak kardus, bahkan kresek dalam ukuran besar-besar. Sampai ada yang dipanggul di atas kepala segala. Ransel merahku yang sarat isi. Tampak membubung tinggi melewati kepala. Menjulang di antara kepala para penumpang lain. Red Ransel dengan setia “menyiksa” kedua pundakku. Jika kubandingkan, usaha untuk mencapai pintu ke pelabuhan, tak jauh beda dengan menapaki pasir Arcopodo, Puncak Mahameru, Semeru. Tak bisa cepa-cepat, susah dan lama. Nyaris dua jam bertahan dalam sumpek, dan berdesakan. Itu juga bukan perjuangan yang gampang. Butuh ketahan fisik, kesabaran dan keyakinan. Juga butuh udara lapang.
Akhirnya bisa masuk juga ke moncong kapal Roro. Aku tergesa memasuki geladak bawah yang menyesakkan akibat asap kendaraan. Terus langsung naiki tangga, menuju geladak tengah. Inilah geladak penumpang. Ada kantin, outlet, toko suvenir dan TV. Harga makanan dan minuman di kantin cukup mengagetkan. Bahkan tak logis! Siaran TVnya sering terganggu. Kadang juga diputerin film-film lawas. Dulu geladak penumpang dibagi dua. Kelas ekonomi dan AC. Kalau mau ke ruang AC, kudu membeli tiket tambahan. Tapi aku lebih suka nongkrong di geladak atas. Memandang laut di waktu malam, yang dihiasi  kerlip lampu-lampu di daratan, juga kerlip bintang di langit yang kelam. Lentera kapal para nelayan pun bergoyang di ayunan ombak. Tapi yang bikin bete, angin laut terasa lengket mengandung uap garam.
Duduk geladak memang asyik, bikin pikiran melayang. Mencoba memasuki kehidupan orang-orang seperjalanan. Saat melihat kesenjangan sosial di antara penumpang. Saat melihat kuli-kuli angkut pelabuhan. Saat menatap anak-anak laut pemburu recehan, juga lihat para pedagang asongan. Saat melihat mbok dan mbak jamu sliweran menjajakan cairan khasiat. Kadang aku berkhayal jadi mereka. Batin bertanya, bagaimana jika aku hidup seperti mereka? Namun imaji khayalku berhamburan, saat rintik hujan menerpa geladak. Tergesa aku menyingkir memasuki ruang geladak ekonomi yang padat. Beruntung masih dapat satu bangku kosong.
Jamune Mas, ben sehat?” Mbok jamu itu menawarkan. wajahnya sumringah ramah. Aku menolak halus. Dia pun bergeser menawarkan dagangan ke lain penumpang. Tapi ekor mataku terus mengikutinya. Mbok jamu itu sepertinya sebaya Emak. Baik keriput wajah, juga bentuk tubuhnya. Langkahnya terseok memanggul bakul. Ya, wanita tua itu memang mirip Emak. Sama-sama wanita gigih yang selalu bergerak. Penuh aktivitas dan tak pernah mau berhenti berusaha. Malah protes jika dilarang. Bedanya Emak tak menjual jamu, tapi menjual makanan kripik telo [singkong], rengginang, dan kue kampung. Dagangan yang dititipkan ke warung emperan.
Emak yang buta huruf memang bukan selebritis, tapi terkenal hingga di empat kampung, bahkan lebih. Itu karena Emak sering membantu orang melahirkan. Ketika satu keluarga tak sanggup membayar bidan atau rumah sakit, mereka panggil Emak. Tak ada batasan waktu, entah siang, sore, malam, dinihari, atau subuh. Pintu rumah kerap digedor orang yang butuh pertolongan kelahiran. Emak segera datang tanpa keluh kesah. Meski mata sembab karena kaget dibangunkan. Bahkan, waktu kami masih SD, sering kesal pada orang-orang, karena "memaksa" Emak harus ke luar malam-malam. Kami khawatir dengan kesehatan Emak. Bahkan kadang seperti langganan, ada orang dibantu Emak hingga lahiran anak yang ke empat.
Pernah ada kejadian unik, saat Emak dimaki-maki seorang bidan. Dia dianggap Emak mencampuri urusannya. Sebab selain memanggil Emak, ternya keluarga yang istrinya hendak melahirkan itu sudah memanggil bidan. Rupanya si bayi sungsang dalam kandungan. Jadi meski sudah disuntik tenaga, itu orok tak juga mau ke luar. Emak bicara sebentar dengan sang bidan. Minta waktu membetulkan posisi bayi di kandungan. Setelah diurut sebentar, orok itu pun ke luar dengan lancar. Bidan itu pun terdiam. Dengan kalem Emak menasehatinya.
“Harusnya kita kerja sama untuk menyelematkan nyawa si ibu dan anak. Bukannya bertengkar, atau marah-marah. Jangan berpikiran, saya akan merebut pekerjaanmu. Niat saya hanya membantu. Sukarela tanpa bayaran.” Kata Emak pelan. Dengan muka memerah, sang bidan membungkuk minta maaf. Merasa tak enak sendiri. Emak memang tak pernah minta bayaran. Kadang mereka memberi Emak sebakul beras, dua sisir pisang, telur atau seekor ayam. Karena itulah masyarakat kampung, menganggap Emak seperti orang tua sendiri. Ya, Emak itu memang akeh putune! [banyak cucunya]. Tapi sekarang sudah tak PD untuk menolong melahirkan. Apa lagi untuk memotong tali puser. Pengaruh usia katanya. Tapi masih sering mengurus wanita pasca melahirkan. Sekarang Emak lebih sering membantu memandikan mayat. Menolong orang yang keseleo atau salah urat. Membantu betangas [mandi rempah orang yang mau nikah]. Membantu di acara-acara selamatan kampung, dan tentunya masih jualan kripik telo dan rengginang.
Emak memang doyan cerita. Apa lagi tentang masa kecilnya di jaman Jepang. Bisa begadang kita dibuatnya. Tak hanya "ngetop" di kalangan keluarga, tapi Emak juga di kenal dengan para sispala, mapala di UNSRI, Univ. Muhammadiyah, bahkan beberapa orang FPTI daerah. Sebab mereka yang mengenalku, semua pasti kenal Emak. Apa lagi bagi yang pernah “dibetulin” badannya oleh Emak. Saat mereka jatuh waktu mendaki gunung atau memanjat tebing. Mereka sudah menganggap Emak sebagai ibu angkat. Mereka juga memanggilnya Emak. Ya, Emak memang wonder woman! :)
Sistem pedagang di geladak ekonomi ini memang unik. Para pedagangnya teratur bergantian satu persatu saat menjajakan dagangan. Ternyata memang ada aturannya agar tak rebutan. Yang paling unik itu penjual obat, karena sambil menyuguhkan atraksi debus. Terakhir rombongan penjual kain songket, entah itu songket dari mana. Motifnya tak sama dengan songket Palembang. Tebakku, itu songket Lampung [maaf kalau salah]. Tiba-tiba saja, aku berniat membelikan Emak. Tapi mendadak ragu, uang cuma cukup untuk pulang doang. Sekali lagi kulirik uang di dompet. Tinggal 90 ribu plus recehan. Dan, kutebak harga songket itu pasti cukup mahal. Iseng aku tanya penjualnya.
“Yang merah itu berapa, Bang?”
“Yang ini 65 ribuan, Mas! Mau?” Ufs! Lumayan juga, tapi nanti apa aku bisa sampai ke Palembang? Dengan ragu aku menawarnya, siapa tahu bisa kurang. Alhasil, kesepakatan harga, sekitar 45 ribu rupiah. Namun waktu dilipat si penjual, tiba-tiba seorang ibu masih menawarnya juga. Tampaknya ia juga tertarik. Bahkan berani bayar melebihi tawaranku. Walah! Bikin cemas, jangan-jangan si pedagang tergiur dengan rayuannya.
“Maaf, Bu. Sudah dibeli Mas itu!” Kata si pedagang. Aku pun bisa bernafas lega. Ternyata ini pedagang profesional juga. Ibu itu memandangku. Ternya songket merah itu memang stok terakhir.
“Saya suka motifnya dan warnanya. Kamu ambil yang lain aja, ya?” Katanya. Jelas aku menolaknya dengan halus.Karena aku juga suka yang warna merah.
“Atau saya beli ke kamu aja. Mau?” Tawar ibu yang penampilannya cukup berada itu. Aku bergeming. Tetap mempertahankan songket itu. Ibu itu menghela nafas.
“Kalau boleh tahu, itu nanti buat siapa?” Tanyanya penasaran.
“Buat Emak, Bu!” Ibu itu terdiam. Lalu mengangguk-anggukkan kepala. Beberapa saat ia menatapku. Aku jadi kiku. Jangan-jangan karena penampilanku yang lecek, lusuh, bawa ransel gede lagi. Pokoknya masih PA banget waktu itu. Ia mengangguk-anggukkan kepala.
“Ya, ya. Semoga Emak senang menerimanya, ya.” Katanya seraya tersenyum ramah. Aku mengangguk. Lalu kumasukkan songket itu ke ransel. Akhirnya ibu itu membeli songket berwarna hijau pupus.
Ternyata hujan itu semalaman. Memaksaku tetap berada di geladak ekonomi. Pas jam tiga subuh, aku sahur di kapal. Membeli nasi kotak berlabel nasi ayam. Ternya hanya berisi kepala ayam. Akhirnya cuma kumakan bihun dan sambelnya doang. Lumayanlah, buat sahur.

Kapal merapat ke dock Bakauheuni. Lagi-lagi para penumpang berdesak-desakkan. Ingin cepat-cepat ke luar kapal. Belum lagi buruh angkut yang berlompatan ke geladak atau buritan. Padahal kapal belum merapat ke dock. Berjibaku sekali mereka, andai saja perhitungannya meleset. Bisa saja mereka jatuh, dan terjepit antara lambung kapal dan dock. Memang tak jarang itu terjadi. Selagi berdesakan, pandanganku tertarik pada seorang wanita muda. Ia juga terjepit di antara para penumpang. Wanita itu sendirian, dan hamil. Ya, Allah! Di mana keluarga atau suaminya? Apa lagi dia membawa dua tas. Ukuran besar dan sedang. Ia kerepotan menjaga perut dan barang bawaan. Aku merasa kasihan. Perlahan kudekati.
“Mbak, sabar dulu, nanti terjepit!” Tegurku ramah. Wanita itu kaget menoleh dan bingung. Pastinya curiga dengan keramahanku. Dia acuh tak menyahut. Krik-krik! Serasa ada jangkrik di kepalaku.
“Saya bantu bawain, Mbak?” Lagi-lagi ia hanya menatap tajam. Aku tahu arti tatapan itu. Ia masih ragu, curiga, bahkan takut.
“Nggak usah, Mas. Makasih!” Tolaknya gugup.
“Mbak, aku cuma ingin membantu. Kalau nanti aku macam-macam, Mbak tinggal teriak. Orang-orang sepelabuhan ini pasti akan menggebukiku. Aku juga tak akan bisa lari, karena ranselku juga berat. Gimana?” Kataku tersenyum. Wanita itu kaget mendengarnya. Ia terdiam sesaat, lalu mengangguk. Miris memang ketika niat baik dicurigai. Pengaruh tampang kali :p Aku membawakan tasnya yang paling besar. Lumayan berat, apa lagi Red Ransel nemplok di punggungku. Wanita itu mengekoriku. Kami berjalan perlahan sampai ke koridor pelabuhan yang agak lapang, aku mencoba bertanya lagi.
“Mbak sendirian?” Dia mengangguk pelan.
“Kok, nggak minta ditemani. Mbak, kan lagi hamil?”
“Nggak apa-apa, Mas. Saya masih bisa, kok!” Jawabnya gelisah. Jelas wajahnya menggambarkan sesuatu yang ditutup-tutupi. Aku pun tak mau bertanya lebih dalam. Itu urusan pribadinya. Aku mengangguk.
“Mbak, mau kemana? Aku mau ke Tanjung Karang. Kalau sama, bareng aja?”
“Saya dekat sini, Mas. Makasih, bantuannya, ya.”
“Sama-sama, Mbak. Semoga Mbak selamat sampai tujuan!” Jawabku tersenyum. Dia mengangguk sambil memandangiku. Kami berpisah persis mulut koridor pelabuhan. Aku mencari kendaraan untuk melanjutkan perjalanan ke Stasiun KA. Tanjung Karang.
Sampai di stasiun kereta api loket masih tutup. Tapi stasiun sudah cukup ramai. Aku segera masuk stasiun. Duduk di dekat loket. Untuk membunuh kejenuhan, kubeli koran, niatku setelah melalap beritanya akan kujadikan alas tidur di kereta.
Ada satu yang mengganjal hati, apa uangku masih cukup untuk membeli tiket? Karena tiap menjelang lebaran semua ongkos transportasi mengalami tuslah! Sekali lagi, aku mendekati loket mencari informasi harga tiket. Tapi tak ada. Makin gelisah aku dibuatnya. Terbersit ide jadi penumpang gelap, tapi hati tak bisa, apa lagi aku puasa. Bisa batal semua. Duh, makin bingung dan gelisah. Sampai seseorang berpakaian dinas biru muda itu, entah di bagian apa, mendekatiku.
“Mau pulang, Mas?”
“Iya, Pak.” Aku sempat heran ini orang ramah sekali. Hati-hati, pekik batin mengingatkanku!
“Mau ke mana? Berapa orang?” Tanya lagi. Wajah itu tampak tenang dan kalem.
“Kertapati, Pak. Sendirian. Oh ya, berapa ongkos sekarang, Pak?” Aku meberanikan diri bertanya.
“Memangnya uang Mas, ada berapa?” Lha? Kok, dia malah nanya jumlah uangku? Aku menatapnya tajam. Nih, orang patut dicurigai.
“Saya bisa bantu, Mas pakai tiket keluarga saya!” Tiket keluarga? Memangnya ada? Aku masih ragu.
“Kalau Mas, ragu saya tawarkan yang lain.”
“Nanti, kalau diperiksa, gimana, Pak!” Potongku cepat. Takut hilang kesempatan.
“Kamu bilang keluarga saya. Ini nama saya!” Ia menunjuk name tag di dadanya. Perlahan aku pun mulai percaya. Akhirnya lewat kebaikan Bapak itu, aku bisa naik kereta pagi dengan harga 36 ribu rupiah. Ia memberi kertas yang bertuliskan namanya. Ketebelece itu akan jadi “jimatku” di sepanjang perjalanan kereta. Aku disuruh duduk di gerbong belakang. Ternyata di sana sudah banyak keluarga dadakan pegawai tersebut. Tak lama kereta pun melaju. Di hadapanku duduk seorang pria dewasa yang ramah. Memiliki banyak cemilan, minuman dan rokok.
“Silahkan cicip, Dek. Ambil aja.” Tawarnya ramah. Aku mengangguk tersenyum. Oh, Mak, meski ramah, pria ini tanpa malu-malu, makan, minum, nyemil dan ngerokok. Apa dia tak puasa? Apa ia benar-benar merasa musafir? Atau dia memang non-muslim. Kalau memang begitu, jelas aku harus menghargainya. Jujur, aroma makanan dan minumannya menampar-nampar hidungku. Ada setan ngeplak-ngeplak kepalaku menyuruh batal puasa. "Kau kan musafir, udah batal aja lah, Tuhan-mu pasti maklum," rayunya terus menerus. Tapi aku cuekin!
“Aku perhatikan dari tadi, Adek makan nggak, minum nggak, atau ngerokok juga nggak. Atau Adek puasa?” Tanyanya memastikan.
“Kebetulan iya, Kak. Insya Allah.” Jawabku.
“Mmm, pantes dari tadi bau surga! Hihihi” Dia tertawa, aku tersenyum kecut, diledek begitu. Ternyata dia muslim. Dia bilang musafir kan boleh tak puasa. Biar saja begitu. Menurutku, kalau memang sanggup kenapa nggak dicoba? Tak lama aku pun mulai merasa ngantuk. Lalu dengan cuek aku menyusun koran yang kubeli tadi ke bawah kursi penumpang. Aku butuh meluruskan badanku. Di bawah kursi, dan di antara kaki-kaki para penumpang aku tertidur. Maklum sejak dari Depok aku tak tidur. Sangat lelap. Bangun-bangun sudah nyaris sampai stasiun Kertapati di Palembang.
Sampai memasuki kota Palembang sudah magrib. Aku juga berbuka dengan permen dan air mineral. Perjalanan kulanjutkan naik angkot.
“Eh, Anak Lanang pulang!” Itu sambutan yang selalu Emak ucapkan--usai menjawab salamku--saat menyambutku pulang. Entah pergi kerja, jalan-jalan, atau mendaki gunung.
Selanjutnya seperti biasa, Emak selalu minta diceritain kisah perjalananku. Aku juga meminta maaf, karena belum bisa membelikan apa-apa, kecuali kain songket murahan itu. Kukatakan itu bukan songket mahal. Hanya kubeli dari pedagang di kapal. Aku juga minta maaf belum bisa membelikan yang terbaik buat Emak. Tapi Emak berterima kasih dan haru menerimanya. Aku makin kehilangan kata-kata. Apa lagi hingga saat ini, songket itu jadi andalan Emak. Selalu dipakai untuk ke berbagai acara selamatan dan kondangan.
Hampir sebelas tahun, selalu songket itu dan itu. Aku merasa konyol dan tolol, kurang memperhatikan itu. Jujur nafasku sesak, haru, terutama malu pada Emak. Karena tak bisa membelikan emak kebaya atau songket yang baru. Meski Emak tak pernah meminta ini-itu. Aku tahu, orang tua selalu tulus pada anaknya. Pemberian kecil kita akan selalu dihargainya dengan besar. Terkadang seperti berlebihan. Mungkin memang tak perlu yang besar kalau hanya rencana, cukup kecil namun nyata.
“Orang tua itu menilai perhatiannya, ketimbang harganya. Itulah yang paling mahal,” kata Emak. Tapi tetap saja, aku merasa terharu dan malu pada Emak! [end]
[draft naskah buku Catatan Kembara Kecil/ Ganezh/ 2012]         

No comments:

Post a Comment