Tuesday, January 21, 2014

BANDOT BANDIT

depositphotos
Aku baru saja membeli seekor kambing jantan dari seorang teman yang punya peternakan kambing. Katanya, kambing yang kubeli dengan ‘harga teman’ ini adalah bibit unggul pilihan. Banyak orang bertanya, kenapa aku membeli kambing jantan, dan bukan kambing betina yang bisa beranak pinak? Kujawab,"Aku bukannya mau jadi peternak seperti temanku itu, tapi ingin punya seekor kambing aduan yang tangguh, kuat dan jago di arena aduan." Mereka cuma nyengir mendengarnya.

Kambing kecil yang lucu itu kuberi nama Bandot. Bulunya hitam legam. Dengan bercak bulu putih yang menggelung di kaki kiri depan. Saat kuajak lapangan rumput di belakang rumah, Bandot tampak gembira. Berlari-lari, melompat-lompat, atau mengembik bebas. Si Bandot kurawat dengan sungguh-sungguh. Sengaja kubuatkan kandang yang bagus dan bersih. Kucarikan rumput dan kumandikan ke sungai. Sesekali kubelikan beberapa suplemen khusus kambing. Aku ingin ia cepat tumbuh besar, tangguh dan tak terkalahkan.

Makin hari Bandot kian besar dan gemuk. Saking perhatiannya, Bandot tak pernah aku gembalakan liar seperti kambing-kambing tetanggaku. Saat kugembalakan selalu ia kuikat dan kujaga. Segala fasilitas ‘perkambingan’ pun telah kusediakan di kandang. Dari suplemen, sampo, handuk, sikat gigi, sikat badan, hingga parfum khusus kambing. Agar BB Bandot tak terlalu menusuk hidung. Bagiku, Bandot itu bukan kambing daging yang diberi makan, digemukkan, dikawinkan, lalu dipotong. Bandot adalah kambing aduan. Hingga saat ini, Bandot belum pernah ‘menggauli’ seekor kambing betina pun. Aku tak perduli jika ia mulai birahi dengan lawan jenis. Agar ia bisa tumbuh besar, ganteng dan kekar. Untuk ukuran kambing, sih! Kata temanku, biar klop, Bandot harus dikebiri, tapi aku tak tega. Jadi masih kutunda, yang penting Bandot tak diliarkan dengan kambing-kambing tetangga.

Aku saat bangga pada Bandot. Karena pada pertarungan perdana, ia berhasil menjatuhkan lawannya hanya dalam tiga gebrakan. Tanduk lawannya patah, kepalanya pun nyaris rengkah. Dihajar tanduk Bandot yang besar dan kokoh. Sejak itu, Bandot menjelajah dari arena satu ke arena aduan lainnya, Bandot selalu dapat mengungguli lawan-lawannya. Bandot memang membuatku bangga, sekaligus kaya. Karena hadiah taruhan antri masuk ke pundi-pundi uangku.

Bandot makin terkenal di antara para ‘pengadu’ kambing. Di se-antero kabupaten. Di antara pengadu, Bandot dijuluki "Hulk" si Buto Ijo-nya Holywood itu. Mereka bicara tentang kehebatannya. Tentang bulu hitamnya. Tentang belang putihnya. Juga tentang tali merah yang di  lehernya. Begitu populernya Bandot, sehingga banyak di antara pengadu kambing itu ingin membeli atau memiliki kambing seperti Bandot. Minimal dapat keturunan Bandot. Tapi bukan cara bayi tabung. Tapi dengan cara ‘kloning kampung’ alias membawa kambing betina untuk disetubuhi Bandot. Jelas aku tak sembarangan menerima ‘pinangan’ mereka. Tetap harus ada tawar menawar, dong! Ada harga, ada cara. Siapa yang berani membayar paling tinggi, barulah kambing betinanya yang bisa "mengencani" si Bandot. Bandot pun dikenal sebagai "kagolo" alias kambing gigolo yang bertarif mahal.  Sialnya, mayoritas mereka tak sanggup membayar harga yang aku tawarkan. Kalau di bawah standar, jelas kutolak. Akhirnya Bandot "kulelang", ya, karena ia bibit unggul dan mahal, Bung!

"Itu harga wajar, karena harus sesuai dengan modal dan jerih payahku." Begitu sering kali aku katakan pada mereka. Akhirnya mereka ngeloyor pergi, sambil membawa kambing betinanya pulang. Aku tak perduli, walau Bandot terlihat gelisah. Mendengus sambil mengembik tak jelas. Saat memandangi kambing-kambing betina itu. Mungkin ia sudah kelewat birahi.

Suatu sore, ada dua kendaraan datang ke rumahku. Satu mobil sedan produk Eropa, satunya mobil jenis pick up.  Di atasnya ada seekor kambing betina yang kurus. Orang yang terlihat kaya itu didamping oleh dua orang pembantu. Oh, ternyata, ia juga berniat mengawinkan kambing betina itu dengan Bandot. Menurutnya, kambing betinanya itu—meski kurus—adalah induk kambing pilihan. Sekali hamil ia bisa beranak enam hingga tujuh ekor.

"Busyet! Enak banget dia." Pikirku, "Harus kupatok harga tinggi!" Ternyata tanpa banyak bicara—maklum orang kaya—ia langsung setuju. Tanpa banyak pikir, segera kukeluarkan Bandot dari kandang. Tapi anehnya, Bandot tak segera menaiki kambing betina di hadapan. Melainkan hanya mengembik sambil meronta-ronta.

Sikap Bandot membuat kami bingung. Apa karena kambing betina itu tak cukup ‘cantik dan seksi’ di mata Bandot? Atau Bandot memang tak menyukai pasangan yang langsing? Ini jelas berbeda saat Bandot melihat kambing-kambing betina yang pernah kutolak. Karena tak mampu membayar mahal?

Tiba-tiba Bandot meronta keras. Peganganku di kalungnya lepas. Bandot berlari ke arah kebun belakang. Aku tak segera memburunya, karena si pemilik kambing betina itu marah-marah.

"Bibit unggul apaan? Kok, malah lari? Pasti loyo dan impoten!" Makinya. Jelas aku tersinggung, Bandot itu kambing aduan pilihan dan ia tidak loyo, apa lagi impoten. Aku malah berbalik dengan mengatakan,"Jangan ngomong sembarangan. Jelas kambing kurusmu yang penyakitan!" Alhasil, kesepakatan itu batal total. Malah nyaris ada perselisihan di antara kami. Para pembantunya melerai, mereka pun pergi dengan muka kesal.

Aku malu, tersinggung, sekaligus heran dengan kelakuan Bandot. Dengan perasaan tak menentu kucari Bandot ke arah kebun belakang. Tapi ia tak ada di sana. Aku terus mencari, dan bertanya pada orang-orang yang kutemui di jalan. Kata mereka, Bandot terlihat di lapangan rumput dekat kantor kelurahan. Benar saja, Bandot memang berada di sana.

"Dasar binatang!" Makiku kesal. Rupanya di sana ia sibuk mencumbui dan menaiki kambing-kambing betina yang digembalakan bebas di lapangan itu. Kambing-kambing betina yang masih bau kencur, kotor dan tak jelas siapa pemiliknya. Bahkan jujur, lebih jelek dari kambing betina yang dimiliki orang kaya itu. Dengan geram aku memburu ke arahnya. Tapi rupanya Bandot sudah mencium kedatanganku. Ia menghentikan cumbuannya dan segera berlari menghindar. Saat kupanggil, makin kencang ia berlari meninggalkanku. Dengan nafas terengah aku terus memburunya. Akhirnya ia lolos dari sergapanku.

Aku makin bingung dan heran dengan kelakuan Bandot. Kenapa ia seperti tak mengenaliku sebagai pemiliknya. Padahal sepenuh hati aku mengurusnya. Memenuhi semua kebutuhannya, hingga membersihkan kandang serta memandikannya. Membentuknya hingga ia jadi kambing adu pilihan. Tapi apa yang ia lakukan. Kini ia malah menghindar dan menentangku. Dan, kini ia terus berlari makin kencang. Jauh meninggalkanku. Lalu menghilang ke hutan kecil pinggiran desa. Telah seharian penuh aku mencari-cari jejak Bandot. Malah aku sendiri nyaris tersesat ke dalam hutan. Akhirnya, saat hari beranjak gelap, kuputuskan pulang ke rumah.

Semalaman aku susah tidur, memikirkan Bandot. Akibatnya, jadi bangun kesiangan. Itu pun karena suara gedoran keras di pintu rumahku. Rupanya, tetanggaku yang petani sawi itu. Mukanya tampak marah. Ia katakan bahwa Bandot telah merusak kebun sawinya yang siap panen. Bandot memakan sawi-sawi yang telah susah payah di tanamnya. Lalu ia minta ganti rugi padaku. Tapi aku pun tak langsung percaya. Petani sawi itu mengatakan bahwa tentang bulu hitam serta warna tali merah yang melingkar di leher Bandot. Siapa tahu bandot cuma jadi ‘kambing hitam’. Bukankah banyak warga desa ini yang memiliki kambing berbulu hitam? Aku tetap berusaha membela diri, juga Bandot. Namun, saat ia menyinggung ‘gelang’ bulu putih di kaki kiri Bandot, aku terdiam. Kalau tali merah sih, memang banyak. Tapi ‘gelang’ bulu putih di kaki kiri depan? Rasanya cuma bandot yang punya.

Akhirnya terpaksa kubayar semua kerugian yang diderita petani itu. Aku makin kesal dengan kelakuan Bandot.
“Lihat, aja. Kalau sampai kutangkap, akan kuhajar kau!” Batinku geram. Aku segera berkemas, untuk mencarinya lagi. Di tanganku tergenggam segulung tali yang kurajut seperti sebuah laso. Akan kuseret ia pulang. Namun, belum ada seratus meter aku meninggalkan rumah, ada seorang petani jagung menghampiriku. Ia juga terlihat marah. Dan, lagi. Orang itu bilang kalau Bandot telah melukai istrinya.
“Ini tak masuk akal!” bantahku. Lagi-lagi aku berusaha membela diri, juga Bandot. Namun lagi-lagi aku tak bisa berkelit, saat orang itu menyebutkan ciri-ciri kambing hitam itu. Itu memang Bandot! Untuk meyakinkanku, petani jagung itu menceritakan, bagaimana Bandot menyeruduk pantat istrinya. Bisa kubayangkan, isterinya diseruduk sedang nungging saat menanam bibit jagung. Mungkin pula pantatnya memang montok, jadi mampu mengusik Bandot untuk ‘menciumkan’ tanduknya. Lagi-lagi aku harus membayar ongkos pengobatan pantat isteri petani jagung itu.

Hatiku makin panas. Apakah aku harus membayar para pemburu celeng untuk menyudahi petualangan Bandot? Atau aku akan merelakan kepala Bandot ditembusi mimis senapan? Atau apa aku harus menyewa pembunuh bayaran? Aku makin gelisah. Aku tak tega, akhirnya kuputuskan untuk menangkapnya sendiri. Hanya aku yang boleh menghakimi Bandot! Mau kujadikan kambing guling atau sate itu terserah nanti. Karena akulah yang mengurusnya dengan susah payah. Bandot memang bandit. Ia memang bukan kambing hitam yang dijadikan kambing hitam. Tapi kambing hitam ‘asli’ yang banyak membuat masalah!

Dengan perasaan campur aduk, aku segera memburu ke arah kebun jagung. Kata petani jagung, usai mencium pantat isterinya, Bandot masih lenggang-kangkung di areal kebun jagungnya. Namun sudah nyaris satu jam aku berputar-putar di sana, batang tanduk Bandot belum juga terlihat. Dengan langkah gontai aku keluar dari areal kebun jagung. Entah kemana lagi aku harus mencari Bandot. Apakah aku harus menyebarkan foto-foto Bandot. Seperti para koruptor atau teroris itu?

Selagi perasaanku berkecamuk tak keruan. Aku menyempatkan diri untuk mampir di sebuah kedai minum. Dan, langsung memesan minuman segar. Rupanya para pengunjung kedai itu sedang ngobrol tentang peristiwa kecelakaan yang baru terjadi satu jam lalu. Tabrakan maut itu terjadi di pertigaan jalan aspal perbatasan desa sebelah. Mobil travel ‘adu kambing’ dengan bus antar kota. Tabrakan itu banyak memakan korban. Kata mereka, delapan orang tewas di tempat. Belum lagi ditambah penumpang yang luka parah dan ringan.

“Kecelakaan itu terjadi saat sopir travel menghindari seekor kambing!” Kata salah seorang pengunjung kedai. Ketika mendengar kata ‘kambing’ itu, air yang berada dalam mulutku nyaris melompat keluar. Aku tersedak, dan semua mata menatap ke arahku. Aku tampak gugup dan kikuk. Mereka lalu tertawa, aku pun pura-pura ikut tertawa. Aku makin penasaran saat mereka cerita tentang si kambing.
“Tubuh kambing sumber mala petaka itu hancur digencet kedua kendaraan!” Katanya. Perasaanku jadi tak enak. Rasanya ingin melihat langsung ke lokasi kecelakaan. Aku beranjak dan membayar minuman yang aku pesan. Aku ingin melihat lokasi kecelakaan di pertigaan jalan perbatasan itu. Namun belum jauh aku melangkah, aku sempat mendengar perkataan mereka lagi.
”Warnanya hitam dengan bulu putih di kaki kirinya. Ada kalung merah di lehernya. Pak Kades sedang menanyai warga!” Hegh! Jantung dan langkah kakiku seakan berhenti bareng. Aku berbalik, urung menuju lokasi kecelakaan. Orang-orang di kedai menatapku heran. Aku jelas seperti orang linglung. Seperti tadi, mereka lantas tertawa melihat kelakuanku. Aku tak perduli. Tanpa menoleh aku terus melangkah.
“Siapa kira-kira pemilik kambing hitam itu?” Samar-samar aku sempat mendengar, salah seorang pengunjung kedai bertanya. Aku tak berani menoleh.Semakin mempercepat langkah, sambil membenamkan tali di kantong celanaku. Tali laso untuk menarik Bandot pulang. [end] [ganezh/2004]

No comments:

Post a Comment