Genre : Biografi Tokoh Petualang
ISBN : 979-763-190-7Author: Ganezh
Penerbit: Andi Offset - Jogjakarta
Dimensi : 12 x 19cm, 298 hlm
Cetakan : I (2006), Cetakan II (2007)
Gua akan terus berjalan dan lo masih tertarik,
lo pasti akan senang mendengar cerita-cerita gua.
Karena gua sering cerita, orang-orang akan merasa akrab dan tiba saatnya gua mati, gantian orang-orang yang akan cerita tentang gua!
(Norman Edwin)
SINOPSIS:lo pasti akan senang mendengar cerita-cerita gua.
Karena gua sering cerita, orang-orang akan merasa akrab dan tiba saatnya gua mati, gantian orang-orang yang akan cerita tentang gua!
(Norman Edwin)
Siang
itu, 20 Maret 1992, langit tampak mendung serta angin beku berhembus. Di
hamparan salju putih Aconcagua, di ketinggian
6.700 mdpl. Tampak sosok tubuh tinggi besar berambut gondrong, sedang berjuang
melintasi tanjakan kemiringan 40 derajat. Tak lain itu sosok Norman Edwin, sang
Beruang Gunung Indonesia
yang berambisi mendaki Puncak Tujuh Benua. Sekali lagi, kapas esnya menghujami salju beku. Lalu merayap,
dan bertumpu di ujung kapak es yang membenami salju. Sementara kebekuan dan
keletihan terus mendera. Sengatan nyeri frostbite
di ruas jari tengah beberapa hari lalu terus
menyiksa. Namun tekadnya sudah bulat. Ingin mengibarkan Merah Putih dan panji Mapala UI di puncak tertinggi Amerika Selatan
itu. "Ya, puncak Aconcagua tinggal 200
meter lagi!" Semangatnya dalam hati.
Tarikan nafasnya kembali memburu.
Semangatnya terus membara. Namun gerak
tubuhnya kian perlahan. Ayunan lengan kanannya tak segarang kemarin. Makin lemah.
Keletihan membungkam semangatnya. Rasa kantuk pun mulai terasa. Norman sadar hipoksia itu ancaman. Ia tersentak, berusaha
menjaga sadar dengan mengayunkan kapak es. Namun letih dan kantuk itu makin
menghebat. Ia hanya butuh istirahat sejenak. Agar tak melorot ke bawah, tangan
kirinya berusaha mencengkeram bongkah salju yang beku. Lalu tubuh itu pun terdiam.
Puncak
itu sudah dekat, serasa terus memanggil-manggilnya. Sekilas ia teringat Didiek
Samsu—yang letih dan beristirahat—tak jauh di bawahnya. Lalu ia tarbayang wajah
mungil, Melati, anaknya. Karina, isterinya. Wajah-wajah keluarga yang dicintainya.
Terbayang pula wajah para sahabatnya yang menyuruhnya kembali. Ia meringis, “Aku
butuh istirahat sejenak, karena sebentar lagi kugapai puncak!”
Gumamnya. Ya, ia cuma butuh istirahat sebentar, lalu segera mencium puncak.
Namun rasa letih dan kantuk kian membius. Tubuh besar itu masih diam tak bergerak.
Butir salju berterbangan dihembusan angin beku. Menerpa wajahnya, rambutnya dan
menutupi sebagian jaket dan celana biru yang dikenakannya. Suasana
semakin hening. Sepi. Sayup deru angin beku menyelimuti seluruh kawasan Puncak
Aconcagua…
foto koleksi Mapala UI |
Dia Petualang Sejati…
Menjelajahi perut bumi…
Menciumi puncak-puncak bumi…
Mengarungi laut samudera…
Mencumbui jeram-jeram ganas…
Merayapi tebing-tebing cadas…
Jejaknya ditoreh di berbagai belahan benua, Amerika,
Asia, Afrika, Australia, Eropa, hingga Alaska.
Dia Wartawan Alam…
Tajam dalam mengendus berita…
Lugas, tegas, jujur dan apik dalam tulisan…
Dikagumi banyak orang…
Disegani para ‘dedengkot alam’ Indonesia…
Dia sang idola.
Seven Summits adalah obsesinya…
Mengibarkan Merah Putih di Puncak Tujuh Benua…
Carstensz Pyramid, McKinley, Elbrus, Kilimanjaro, Aconcagua dijejakinya…
Namun kendala tetap saja ada. Dia harus mundur,
hingga akhirnya terhenti di kebekuan ‘Gunung Setan’ Aconcagua…
Puncak yang ke lima.
Dialah sang Beruang Gunung…
Vinson Massif dan Everest terdiam merindukan jejaknya…
Para petualang merindukan celotehnya…
Namun jejak memang telah ia tinggalkan…
Berpenggal kenangan ia berikan…
Sosok tegarnya membekas dalam sejarah petualangan Indonesia…
Dialah Norman Edwin.
Ada haru, ada bangga, juga bahagia…
Ada tawa, ada canda, sedih, tangis, juga duka…
Ikuti kisah hidup serta petualangannya di dalam buku:
JEJAK SANG BERUANG GUNUNG, NORMAN EDWIN
By: Ganezh [2002]
memoar yang sangat bagus:)
ReplyDeleteMenjadi pendaki sekaligus menjadi penulis, memang susah juga bang
ReplyDeletePejalan.
ReplyDelete