Wednesday, January 29, 2014

Kepada Beruang - Samson



Norman Edwin dan Didiek Samsu

Tentang Mereka…
Tak kugubris pernah atau tak pernah
Merenda asa dan bernyanyi di tebing cadas
Mencium puncak dan menyapu riaknya jeram
Merambah kelam perut bumi
Atau bahkan, umbar celoteh dengan mereka
Tapi, aku tahu…
Tentang si Beruang Gunung, Norman Edwin
Tentang si Samson, Didiek Samsu
Semua kubaca karya dan tentang mereka
Tentang suka duka kala mencumbui bebasnya alam
Kini, tak kan ada lagi tembang celoteh mereka
Mereka ‘tlah direngkuh dalam peluk-Nya, di kebekuan Aconcagua
Aku sedih, semua berduka, kami pun berdoa
Tertunduk mengiring kepergian mereka
Semoga di sisi-Nya, mereka damai tenang
Semangat dan jiwa kebersamaan tetaplah kenangan
Tak pudar bagai putih salju di puncak abadi
Aku, kami yang tertinggal, kan selalu berusaha, tetap kibarkan panji kita,
Panji Pecinta Alam…
[Palembang 2002, Ganezh]
  
In Memoriam Norman Edwin
Damailah sanubariku
Ketika berpisah saat jadi manis
Ketika ia tak menjadi kematian, tapi menjadi kesempurnaan
Ketika cinta melebur jadi kenangan dari luka menjadi tembang
Ketika pendakian gunung terakhir dalam keletihan
Langkah kaki menggapai puncak
Ketika sentuhan terakhir dari kakimu
Melembut bagai salju di sekitar kakimu
Berbaringlah damai
Aku menunduk padamu dan, kunyalakan pemantik untuk menerangi jalanmu.
[Kbr. Br. 040492, Budi Kusnendar]

Jangan Menyerah!
“Jangan menyerah!” kata Didiek.
Hal itu dia buktikan bersama Norman. 
Mereka lampaui batas-batas gunung, batas jurang.
Barang kali saat pendakian pertama yang gagal, lalu turun disapu badai karena cidera, itulah yang mereka anggap ‘nasib’.
Nasib yang tak pantas memakasa mereka menyerah.
Mereka bersiap untuk pendakian ke dua. 
Mereka berfikir untuk membawa perbekalan lebih, menyediakan waktu cadangan.
Pendakian pun berlangsung lebih seksama.
Tapi, kesulitan kembali muncul.
Pendaki lain bercerita tentang derita kalian. 
Lalu mengapa tidak turun?
Masihkan kalian tidak mau menyerah?
Adakah itu panggilan alam?
Dan ketika jasad kalian diturunkan dari kebekuan Aconcagua, mereka yang di sekeliling bertanya: Untuk apa semua itu?
Maka, selayaknya kita kembali pada hakikat pendakian,
di mana resiko pendakian ada di antara pendaki dan Sang Pencipta. 
Kalian agaknya menemukan itu di sana.
Saat itulah, hidup yang kalian genggam harus kalian lepaskan.
Akhirnya kita harus bertanya kepada Soe Hok Gie, sang Filsuf Mapala UI. Ia juga, seperti kalian, telah melepaskan genggaman kehidupan.
Hidup adalah soal keberanian, katanya. Menghadapi tanda tanya, tanpa kita mengerti. Tanpa kita bisa menawar. Terimalah dan hadapilah. Hidup harus lebih dari sekedarnya. Man, Diek, dan itu telah kalian dapatkan
Salam untuk Soe Hok Gie, Idhan Lubis, Hartono Basuki, Budi Belek dan Tom Sukaryadi.
[Tantyo Bangun, Mei 1992]

In Memoriam Didiek
Kau dan aku
Kita sama-sama lelaki
Mari, kita tatap jelangnya maut dengan dagu tegak
Setiap pendaki telah teken kontrak mati
Tak perlu sesal
Kau dan aku
Kita sama-sama percaya pada sang Khalik
Kita tak pernah tangisi kematian
Kita orang beriman
Percaya kematian adalah kehidupan
Seperti halnya kelahiran
Kau dan aku
Kita laki-laki ber-Khalik
Antri menunggu panggilan-Nya.
[Stanley]

No comments:

Post a Comment