Norman Edwin dan Didiek Samsu |
Tentang Mereka…
Tak kugubris pernah atau tak pernah
Merenda asa dan bernyanyi di tebing cadas
Mencium puncak dan menyapu riaknya jeram
Merambah kelam perut bumi
Atau bahkan, umbar celoteh dengan mereka
Tapi, aku tahu…
Tentang si Beruang
Gunung, Norman Edwin
Tentang si
Samson, Didiek Samsu
Semua kubaca karya dan tentang mereka
Tentang suka duka kala mencumbui bebasnya alam
Kini, tak kan ada lagi tembang celoteh mereka
Mereka ‘tlah direngkuh dalam peluk-Nya, di kebekuan Aconcagua
Aku sedih, semua berduka, kami pun berdoa
Tertunduk mengiring kepergian mereka
Semoga di sisi-Nya, mereka damai tenang
Semangat dan jiwa kebersamaan tetaplah kenangan
Tak pudar bagai putih salju di puncak abadi
Aku, kami yang tertinggal, kan selalu berusaha,
tetap kibarkan panji kita,
Panji Pecinta Alam…
In Memoriam Norman Edwin
Damailah
sanubariku
Ketika berpisah
saat jadi manis
Ketika ia tak menjadi kematian, tapi menjadi
kesempurnaan
Ketika cinta melebur jadi kenangan dari luka menjadi
tembang
Ketika pendakian gunung terakhir dalam keletihan
Langkah kaki menggapai puncak
Ketika sentuhan terakhir dari kakimu
Melembut bagai salju di sekitar kakimu
Berbaringlah damai
Aku menunduk padamu dan, kunyalakan
pemantik untuk menerangi jalanmu.
[Kbr. Br. 040492, Budi Kusnendar]
Jangan Menyerah!
“Jangan menyerah!” kata Didiek.
Hal itu dia buktikan bersama Norman.
Mereka lampaui
batas-batas gunung, batas jurang.
Barang kali saat pendakian pertama yang gagal, lalu
turun disapu badai karena cidera, itulah yang mereka anggap ‘nasib’.
Nasib yang tak pantas memakasa mereka menyerah.
Mereka bersiap untuk pendakian ke dua.
Mereka
berfikir untuk membawa perbekalan lebih, menyediakan waktu cadangan.
Pendakian pun berlangsung lebih seksama.
Tapi, kesulitan kembali muncul.
Pendaki lain bercerita tentang derita kalian.
Lalu
mengapa tidak turun?
Masihkan kalian tidak mau menyerah?
Adakah itu panggilan alam?
Dan ketika jasad kalian diturunkan dari kebekuan
Aconcagua, mereka yang di sekeliling bertanya: Untuk apa semua itu?
Maka, selayaknya kita kembali pada hakikat
pendakian,
di mana resiko pendakian ada di antara pendaki dan
Sang Pencipta.
Kalian agaknya menemukan itu di sana.
Saat itulah, hidup yang kalian genggam harus kalian
lepaskan.
Akhirnya kita harus bertanya kepada Soe Hok Gie,
sang Filsuf Mapala UI. Ia juga, seperti kalian, telah melepaskan genggaman
kehidupan.
‘Hidup adalah soal keberanian, katanya. Menghadapi
tanda tanya, tanpa kita mengerti. Tanpa kita bisa menawar. Terimalah dan
hadapilah. Hidup harus lebih dari sekedarnya. Man, Diek, dan itu telah kalian
dapatkan’
Salam untuk Soe Hok Gie, Idhan Lubis, Hartono
Basuki, Budi Belek dan Tom Sukaryadi.
[Tantyo Bangun, Mei 1992]
In Memoriam
Didiek
Kau dan aku
Kita sama-sama lelaki
Mari, kita tatap jelangnya maut dengan dagu tegak
Setiap pendaki telah teken kontrak mati
Tak perlu sesal
Kau dan aku
Kita sama-sama percaya pada sang Khalik
Kita tak pernah tangisi kematian
Kita orang beriman
Percaya kematian adalah kehidupan
Seperti halnya kelahiran
Kau dan aku
Kita laki-laki ber-Khalik
Antri menunggu panggilan-Nya.
[Stanley]
No comments:
Post a Comment