Malam semakin larut. Sesekali
terdengar suara jangkrik atau jeritan burung-burung malam dari kejauhan. Udara
malam terasa semakin dingin membekukan. Membikin orang lebih suka berada di
balik selimut tebal dari pada keluar rumah. Jemari cahaya rembulan menerobos di
antara pucuk-pucuk pepohonan dan bunga-bunga taman sebuah bangunan besar.
Sebuah villa besar dengan halaman serta taman yang cukup luas. Villa itu pasti
milik seorang cukup kaya. Berdiri megah di daerah perbukitan kawasan Puncak,
Jawa Barat. Di keremangan malam itu. Tampak sosok hitam melompati pagar villa,
kemudian disusul oleh dua sosok lainnya. Dengan mengendap-endap ketiga sosok
itu memasuki pekarangan bangunan villa. Mendekat, lalu berhenti di rimbunan taman
bunga, tak jauh dari dinding bangunan. Sambil duduk jongkok ketiga sosok
misterius itu, awas mengamati setiap sudut bangunan. Tak lama kemudian
terdengar suara bisikan tak jelas dari mulut mereka. Sesekali sinar rembulan
memantul berkilat dari benda-benda yang mereka bawa. Ada yang melengkung dan memanjang.
Di samping
sebuah perapian ala rumah orang-orang Eropa, tampak seorang wanita yang sudah
cukup tua sedang membetulkan letak kaca mata yang dipakainya. Di hadapannya ada
sebuah buku tebal. Rupanya ia sedang asyik membaca buku. Tanpa menoleh, ia
mengambil cangkir teh yang ada di sampingnya. Sambil terus membaca, ia menuang
cairan hangat dan manis itu ke dalam mulutnya. Sepertinya ia tak ingin melepas
pandangan dari kalimat-kalimat yang tersusun di dalam buku itu. Separuh dari
seluruh jumlah halaman buku itu telah dibacanya sejak siang tadi.
Tak lama ia melepas kaca mata plusnya. Mengerjap-ngerjapkan kelopak matanya sebentar, lalu meletakkan kaca mata itu ke meja baca. Mungkin matanya sudah terasa lelah atau mulai mengatuk. Ia tutup buku bacaannya seraya menghela nafas panjang. Kemudian ia mematikan lampu bacanya. Seketika ruangan baca itu menjadi remang-remang. Hanya ada curai api perapian yang tak seberapa terang. Cahaya itu bergejolak memantul di wajah wanita tua itu. Cukup jelas, meski sudah dipenuhi keriput, tapi masih menyisakan kecantikannya di masa muda dulu. Wanita tua itu berdiri, menggeliat sebentar, melonggarkan otot-otot tubuhnya yang sering terasa kaku. Setelah itu ia berjalan menuju ke kamarnya. Belum sampai tangan kanannya meraih pegangan pintu kamar, tiba-tiba tubuhnya tersentak ke kanan. Ia kaget dan mengeluarkan suara pekikan tertahan. Sesosok tubuh yang lebih tinggi dari tubuhnya, telah merenggut dan memeluknya dari belakang. Membekap mulutnya sambil menempelkan sesuatu yang dingin dan berkilat ke lehernya. Leher yang mulai keriput itu telah dikalungi sebuah celurit!
Tak lama ia melepas kaca mata plusnya. Mengerjap-ngerjapkan kelopak matanya sebentar, lalu meletakkan kaca mata itu ke meja baca. Mungkin matanya sudah terasa lelah atau mulai mengatuk. Ia tutup buku bacaannya seraya menghela nafas panjang. Kemudian ia mematikan lampu bacanya. Seketika ruangan baca itu menjadi remang-remang. Hanya ada curai api perapian yang tak seberapa terang. Cahaya itu bergejolak memantul di wajah wanita tua itu. Cukup jelas, meski sudah dipenuhi keriput, tapi masih menyisakan kecantikannya di masa muda dulu. Wanita tua itu berdiri, menggeliat sebentar, melonggarkan otot-otot tubuhnya yang sering terasa kaku. Setelah itu ia berjalan menuju ke kamarnya. Belum sampai tangan kanannya meraih pegangan pintu kamar, tiba-tiba tubuhnya tersentak ke kanan. Ia kaget dan mengeluarkan suara pekikan tertahan. Sesosok tubuh yang lebih tinggi dari tubuhnya, telah merenggut dan memeluknya dari belakang. Membekap mulutnya sambil menempelkan sesuatu yang dingin dan berkilat ke lehernya. Leher yang mulai keriput itu telah dikalungi sebuah celurit!
“Jangan
berteriak, kalau ingin selamat!” Ancam sosok tinggi jangkung itu setengah
berbisik. Suaranya terdengar serak dan berat. Wanita tua yang ada dalam
dekapannya itu menghentikan gerakan-gerakan merontanya. Tapi matanya
menyiratkan ketakutan yang amat sangat. Tubuhnya makin gemetaran. Mukanya jadi
pucat seperti mayat dan keringat dingin mengucur dari tubuhnya. Apalagi
ditambah kemunculan dua sosok lain yang mengenakan topeng hitam, menerobos
masuk ke ruang baca itu. Mereka mengenakan topeng yang hanya memperlihatkan
lingkaran di kedua mata saja. Mata-mata merah yang tajam, liar dan penuh
ancaman. Masing-masing bersenjatakan golok. Wanita tua itu sedang dirampok oleh
tiga orang bertopeng!
“Dengar! Kami hanya butuh
barang berharga, tapi kalau kau tak mau bekerja sama, nyawamu yang sudah uzur
itu akan kami ambil juga!” bentak orang yang bertubuh pendek tapi kekar itu sambil
mengacungkan goloknya. Dengan gemetaran wanita tua yang mulutnya masih dibekap
itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Bagus. Temanku itu akan
melepaskanmu. Tapi kalau kau mencoba berteriak, celurit yang menempel di
lehermu itu akan ditarik dan kepalamu akan menggelinding di lantai. Setelah itu
kau akan menyusul pembantumu. Mengerti!” Ancam orang yang bertubuh kekar itu
lagi. Tampaknya ia yang jadi pimpinan kawanan rampok itu. Wanita tua itu
seperti hendak berteriak, mendengar kata-kata pimpinan rampok barusan. Sebut
saja ia Rampok Satu atau Kepala Rampok. Gelagatnya mereka telah menghabisi Mbok
Yem, satu-satunya pembantu di villa mewah itu.
“Jangan coba-coba berteriak
Nenek Tua. Aku tidak main-main!” gertak Kepala Rampok itu sekali lagi. Wanita
tua itu mulai menangis. Ia mengangguk-anggukkan kepalanya lagi. Akibat itu,
lehernya mengeluarkan darah. Terkena sayatan celurit yang ditempelkan oleh
orang yang memeluknya tadi. Sebut saja rampok itu si Rampok Dua. Lalu si Kepala
Rampok memberi kode anggukan kepala padanya. Perlahan-lahan Rampok Dua melepas
cekikan celuritnya dari leher si Wanita Tua, tapi ia masih memegangi rambut
wanita itu.
“Segera berikan semuanya pada
kami, Nenek Tua!” katanya sambil menarik rambut itu. Wanita tua itu terpekik,
menahan sakit di kepalanya. Ia mulai menangis seraya memohon untuk dikasihani.
Perampok ke tiga yang lebih banyak diam itu—sebut saja ia si Rampok
Tiga—menangkap tangan Rampok Dua sambil mengelengkan kepalanya. Sepertinya ia
tak menyukai tindakan kawannya itu. Mata Rampok Dua terlihat tajam menatap ke
arah Rampok Tiga yang mencegah perbuatannya. Ia tak suka bila tindakannya
dicegah orang lain.
“Cepat, Nek!” kata Rampok Tiga
sambil mencekal lengan kanan Perempuan Tua itu. Ia menggantikan posisi Rampok
Dua.
“Ii-iiya… Taa-pi jangan bun-nuh
sa-ya…” ucapnya terbata-bata. Rampok Tiga yang masih memeganginya menganggukkan
kepalanya. Tergopoh-gopoh wanita tua itu masuk ke kamarnya, diikuti oleh ketiga
rampok itu. Wanita tua itu menuju ke arah sebuah lemari besar yang ada di sudut
di kamarnya. Sebuah lemari kayu jati kuno yang indah. Kedua daun pintunya
dipenuhi ukiran dan setiap sisi-sisi sudut lemari itu dibungkus dengan besi
yang berukiran pula. Cantik, klasik dan tampak kokoh. Tapi ketika pintunya
hendak dibuka, tenyata lemari itu dalam keadaan terkunci. Wanita tua itu tampak
gugup. Melihat keadaan itu. Kepala Rampok tampak gusar dan berubah beringas.
“Cepat, Nenek Tua, buka!”
hardiknya keras. Wanita tua itu semakin ketakutan dan gemetaran.
“Cepat! Sebelum kesabaran kami
habis!” tambah si Rampok Dua yang mulai hilang kesabaran juga. Ia mencengkram
bahu kiri perempuan tua itu dengan keras.
“Ssa-saya lu-lupa. Kun-kuncinya
aada di-dimana…” kata Wanita Tua itu terbata dan meringis menahan sakit di
bahunya.
“Apa?! Lupa…?!” Kepala Rampok
itu nyaris tak percaya. Ia makin gusar. Mata merahnya menghujam tajam ke mata
wanita tua yang semakin ketakutan itu.
“Coba ingat-ingat dulu, Nek.
Ditaruh di mana kuncinya!” kata Rampok Tiga membujuknya. Tak mungkin orang
dalam keadaan ketakutan disuruh mengingat-ingat sesuatu. Wanita tua itu hanya
bisa menggigil gemetaran dan mulai menangis terisak. Plaak! Tiba-tiba tangan
kanan si Kepala Rampok melayang keras ke muka keriput si Wanita Tua. Wajah
keriput itu terbuang ke samping, terdengar jeritan tertahan. Lalu ia menangis
terisak, merintih kesakitan. Mulutnya berdarah.
“Dasar, sudah bau tanah!
Menyusahkan saja. Mau mati, ya?!” tambah Rampok Dua sambil merenggut piyama
yang dikenakan wanita tua itu. Si Kepala Rampok tampak semakin gusar dan
gelisah. Rampok Tiga yang sedang memegangi wanita tua itu juga terlihat gugup.
Ia terlihat mulai gelisah.
“Kita Congkel saja, Bang!”
Tiba-tiba ia mengeluarkan usul pada Kepala Rampok. Kepala Rampok yang
dipanggilnya ‘abang’ itu masih terlihat gelisah dan bingung. Ia mencoba
berpikir, kalau perempuan tua itu langsung dibunuh, mereka masih harus
membongkar lemari kuno itu. Mungkin akan makan waktu agak lama, membongkar
lemari kuno yang tampak kokoh itu, tapi kalau dibiarkan hidup, siapa tahu ia
masih ingat letak kunci itu dan makin mudahlah pekerjaan mereka.
“Baik, biar kami yang congkel.
Kau urus Nenek Peot itu! Paksa dia supaya ingat pada kunci lemarinya. Kalau ia
tak mau bekerja sama, habisi dia!” kata Kepala Rampok itu memberi perintah.
Tanpa mengangguk atau mengiyakan perintah itu. Rampok Tiga segera membawa
wanita tua itu kembali ke ruang baca. Ketika ia sudah keluar kamar, Rampok Dua
berbisik pada pimpinannya.
“Bang, kenapa Bang Usin ajak
Gagas dalam aksi kita kali inil. Dia kan
tak pernah turun ke lapangan. Gayanya ‘aneh’. Sepertinya masih mengasihani pada
obyeknya,” bisik Rampok Dua selagi berusaha mencari celah, untuk mencongkel
pintu lemari kuno. Rupanya Rampok Tiga itu bernama Gagas. Sebuah nama yang tak
cocok untuk seorang perampok. Memang benar. Sikap serta gaya bicaranya tak mencerminkan seorang
perampok tulen. Ia juga masih terlihat lebih ‘sopan’ dibanding rekan-rekannya
yang lain.
“Memang ia tak pernah turun ke
lapangan. Tapi kita kurang orang, Din. Kau tahu, tak mudah cari teman yang
seperti kita. Apalagi yang pintar seperti dia. Kimung sudah koit di-dor
petugas, Jali sudang dikandangin, Burik buron entah kemana. Itu kenapa,
karena kita sering grasa-grusu tidak karuan dalam operasi. Tapi lihat
akhir-akhir ini, semenjak Gagas bergabung dengan kita. Beberapa kali operasi
kita sukses dan mulus. Karena ia punya strategi. Ia pintar cari target dan ia
cukup sabar kalau lagi mengintai dan tahu saat yang tepat untuk melakukan
operasi. Dia memang jago baca situasi. Harus kita akui, ia memang lebih pintar
dibanding kita. Kita bisa masuk ke villa ini dengan mulus juga berkat strategi
dia. Lagian, katanya ia butuh duit lebih buat kuliahnya. Jadi ia ikut langsung
ikut terjun ke lapangan. Nanti kalau sudah sering, ia jadi terbiasa juga dan
selama itu tak mengganggu jalannya operasi, biarkan saja. Ingat, aku masih
butuh otaknya yang memang lebih encer dibanding otakmu.” Jelas Kepala Rampok
yang dipanggil Usin itu serius sembari terus berusaha mencongkel-congkel daun
pintu lemari dengan linggis pendek yang dibawanya.
“Tapi, Bang…” Rampok Dua yang
bernama Didin itu berusaha untuk protes, karena dikatakan otaknya kalah encer
dibanding Gagas. Anak bau kencur dan baru sekali ikut merampok itu. Gagas
memang baru sekali itu ikut dalam operasi dan merupakan anggota ‘bungsu’ dalam
komplotan itu, tapi sebenarnya ia berandil besar dalam setiap operasi
perampokan. Sebab dia yang mencari target, mengawasi dan menentukan ‘hari baik’
untuk melancarkan operasi. Beberapa kali operasi perampokan itu sukses dan
mulus.
“Sudah, jangan banyak bacot lagi!
Sekarang yang harus kita lakukan adalah bagaimana membuka lemari sialan ini
dengan cepat!” potong Usin sambil melotot. Melihat itu, Didin langsung
mengkeret. Ia cukup tahu dengan perangai pimpinannya itu kalau terus dibantah.
Buru-buru ia melanjutkan pekerjaannya. Sialnya, lemari kuno itu memang kokoh.
Nyaris tak ada celah di kedua daun pintunya yang mengatup rapat. Meski sudah
banyak lecet dan tergores akibat congkelan linggis, daun pintu itu tak juga mau
memberikan celah, apalagi mau terbuka. Bukan itu saja, lemari kuno itu juga
beratnya minta ampun, tak bergeming sedikitpun ketika mereka hendak
menggesernya. Mereka memaki-maki lemari kuno itu.
“Tenang, Nek. Tarik nafas dulu.
Lalu coba ingat-ingat di mana kunci lemari itu, Nenek letakkan,” Gagas bersikap
manis. Ia berharap wanita tua itu bisa ingat kembali pada kunci lemarinya. Tapi
kata-kata lembut itu tak juga membikin wanita tua itu tenang.
“Jaa-ngan…jangan ssakitin
sayaa,” Mohon wanita tua itu terbungkuk-bungkuk sambil melindungi mukanya. Ia
menangis sesenggukan. Bibirnya yang ditampar Usin tadi masih mengalirkan darah.
Entah bibirnya pecah atau mungkin giginya yang tinggal satu-satu itu ada yang
copot.
“Tidak, Nek. Meski saya kawanan
mereka, tapi saya bukanlah mereka. Asal, Nenek mau diajak bekerja sama,” ujar
Gagas berusaha membujuknya.
“Ta-api…ta-tadi kkau di-disuruh
menghabisiku…” kata Wanita Tua terbata-bata. Gagas seakan tersentak mendengar
kata-katanya barusan. Ia tercenung. Memang perintah Usin tadi, kalau wanita tua
ini tak mau diajak bekerja sama, ia harus membunuhnya. Ia merasa bingung dan
gelisah. Ia bisa jadi rampok, tapi tak mau jadi pembunuh. Meski secara tidak
langsung ia begitu. Karena aksi Usin dan kawanannya telah beberapa kali
membunuh korbannya. Memang ia belum tahu bagaimana proses sebuah aksi
perampokan. Yang ia tahu hanya mendapat bagiannya saja, meski lebih kecil
dibanding yang lainnya. Sebab selama ini, ia hanya jadi pencari serta mengawasi
targetnya. Sekarang ia disuruh membunuh, hal yang yang tak pernah terlintas
dibenaknya. Ia memang terpaksa jadi kawanan rampok dan benci pada orang-orang
kaya, karena dulunya ia memang tersingkir dari keluarganya yang kaya. Ia anak
tiri dari seorang pengusaha kaya raya dan disisihkan sejak usia sepuluh tahun,
kala ibunya meninggal dunia diserang kanker ganas. Papanya kembali ke isteri
tua dan anak-anaknya. Ia tak penah diperhatikan apalagi diberi uang.
Saudara-saudara ibunya juga tak mau mengakui keberadaannya. Karena waktu muda,
ibunya dikenal suka bergaul bebas dan kemudian menjadi isteri muda seorang
pengusaha kaya. Hanya neneknya yang mau mengasuh dan menyayanginya. Janda tua
yang tinggal di kampung itulah yang mau mengurusnya hingga bisa kuliah di salah
satu universitas negeri di kota Bandung.
Mendekati semester akhir, neneknya sakit dan akhirnya meninggal dunia. Saudara-saudara ibunya mulai berdebat dan meributkan soal warisan. Ia sangat terguncang menghadapi cobaan itu. Merasa tak tahan dan ia memilih menyingkir jauh-jauh. Sekali ia berusaha menghubungi papanya di Jakarta. Tapi hanya caci maki dan hinaan dari papa serta keluarga Ibu Tua-nya yang ia dapat. Ia sangat kecewa dan membenci papanya, ia juga benci saudara-saudara ibunya yang cukup berada tapi rakus harta. Akhirnya, ia berusaha untuk mempertahankan hidupnya sendiri. Ia tetap kost di Bandung dan mau bekerja apa saja demi menyelamatkan sisa kuliahnya di ilmu politik.
Pernah kerja jadi kuli, jualan aksesories, jadi tukang parkir dan akhirnya kenal dengan Usin, seorang gembong kawanan rampok. Usin cukup baik dan sudah menganggapnya seperti seorang adik. Tanpa ia sadari, Gagas telah bergabung dan sering ikut dalam sebuah perencanaan operasi perampokan. Otaknya yang memang encer sering mengeluarkan ide-ide brilian bagi kawanan rampok amatir itu. Akhirnya, jadilah ia semacam penasihat komplotan itu. Kemudian jadi pemburu dan pengintai target rampokan. Menjelang akhir kuliah ia butuh biaya yang lebih besar. Niatnya, ia harus lulus dulu. Bila sudah sarjana ia akan berhenti jadi seorang perampok. Ia ingin jadi orang baik-baik. Hanya sekali ini dan tinggal beberapa bulan lagi. Tapi untuk mendapat bagian yang sama besar, ia harus ikut terjun langsung dalam sebuah operasi perampokan. Lalu ia meminta pada Usin agar dilibatkan operasi kali ini dan ini telah menjadi kenyataan. Gagas, seorang mahasiswa ilmu politik tingkat akhir menjadi seorang perampok. Dan sekarang ia bakal menjadi seorang pembunuh!
Mendekati semester akhir, neneknya sakit dan akhirnya meninggal dunia. Saudara-saudara ibunya mulai berdebat dan meributkan soal warisan. Ia sangat terguncang menghadapi cobaan itu. Merasa tak tahan dan ia memilih menyingkir jauh-jauh. Sekali ia berusaha menghubungi papanya di Jakarta. Tapi hanya caci maki dan hinaan dari papa serta keluarga Ibu Tua-nya yang ia dapat. Ia sangat kecewa dan membenci papanya, ia juga benci saudara-saudara ibunya yang cukup berada tapi rakus harta. Akhirnya, ia berusaha untuk mempertahankan hidupnya sendiri. Ia tetap kost di Bandung dan mau bekerja apa saja demi menyelamatkan sisa kuliahnya di ilmu politik.
Pernah kerja jadi kuli, jualan aksesories, jadi tukang parkir dan akhirnya kenal dengan Usin, seorang gembong kawanan rampok. Usin cukup baik dan sudah menganggapnya seperti seorang adik. Tanpa ia sadari, Gagas telah bergabung dan sering ikut dalam sebuah perencanaan operasi perampokan. Otaknya yang memang encer sering mengeluarkan ide-ide brilian bagi kawanan rampok amatir itu. Akhirnya, jadilah ia semacam penasihat komplotan itu. Kemudian jadi pemburu dan pengintai target rampokan. Menjelang akhir kuliah ia butuh biaya yang lebih besar. Niatnya, ia harus lulus dulu. Bila sudah sarjana ia akan berhenti jadi seorang perampok. Ia ingin jadi orang baik-baik. Hanya sekali ini dan tinggal beberapa bulan lagi. Tapi untuk mendapat bagian yang sama besar, ia harus ikut terjun langsung dalam sebuah operasi perampokan. Lalu ia meminta pada Usin agar dilibatkan operasi kali ini dan ini telah menjadi kenyataan. Gagas, seorang mahasiswa ilmu politik tingkat akhir menjadi seorang perampok. Dan sekarang ia bakal menjadi seorang pembunuh!
Tiba-tiba tedengar suara gaduh dari dalam
kamar wanita tua itu. Mungkin Usin dan Didin sedang berusaha keras mendobrak
pintu lemari kuno itu. Suara itu juga yang menyadarkan pikiran Gagas. Ia segera
teringat apa yang ditugaskan padanya.
“Cepat sedikit, Nek. Sebelum
kawan-kawan saya yang memaksa Nenek untuk bicara!” gertak Gagas sambil
mengguncang-guncang bahu perempuan tua itu. Tapi perempuan itu belum juga mau
memberi tahu di mana letak kunci lemari itu. Entah takut atau ia memang lupa,
sebab ia sudah cukup tua. Orang sepertinya tak gampang untuk mengingat-ingat
sesuatu. Apalagi dalam kondisi ketakutan dan dibawah tekanan. Semua orang tak
akan bisa berpikir dengan jernih. Gagas semakin gemas. Tangannya keras
mencengkeram bahu perempuan tua itu, lalu tangan kanannya terangkat ke atas…
“Ja-jaangan bun-nuh sayaa…
Jangaan bun-ukh! Aakh!… akh!” Tiba-tiba perempuan itu mengeluarkan suara
seperti tercekik. Sambil memegangi dada kirinya. Tubuhnya menggelosoh ke
lantai. Matanya membeliak sebentar. lalu berkedip-kedip. Gagas terbengong
sesaat, lalu tampak gugup dan bingung. Ia belum melakukan apa-apa, tapi wanita
tua itu sudah kelojotan di lantai.
“Nek?! Nenek, kenapa?! Nenek
sa-sakit aa-pa?!” tanya Gagas gugup. Ada
nada cemas di bicaranya. Ia malah memangku kepala wanita tua itu. Berusaha
mendengar apa yang hendak dikatakan perempuan itu. Ia tak mengerti tak jelas,
suara wanita tua itu seperti mendesah dan mendesis saja.
‘’Ob-ob…aat dd-di mej…!”
Mendengar itu Gagas buru-buru meletakkan kepala wanita tua itu dan memburu ke
meja baca yang ditunjuk-tunjuknya tadi. Dalam keremangan api perapian itu Gagas
melihat sebuah botol minuman, gelas kosong dan cangkir teh, tapi tak ada obat
di sana! Ia
menoleh ke arah wanita tua itu. Ia masih menunjuk ke arah meja di hadapan
Gagas. Ia menyapu permukaan meja itu dengan kedua tangannya. Tiba-tiba
tangannya menabrak sebuah botol kecil. Tapi botol itu malah terjatuh.
Bergemericik suara obat di dalamnya. Botol itu menggelinding entah kemana.
Sial! Makinya dalam hati. Gagas meraba-raba tombol lampu baca dan
menyalakannya. Lalu ia mencari arah suara botol obat terjatuh tadi. Suara yang
keluar dari mulut wanita tua itu semakin membikinnya gugup. Ia masih
mencari-cari botol obat itu dan dapat! Secepat kilat ia mengambilnya dan
mendekati wanita tua itu. Ia memasukkan butiran pil itu ke dalam mulut wanita
tua itu. Buru-buru mengambil botol minuman dan gelas di atas meja. Lalu kembali
memangku kepala wanita tua itu dan perlahan serta hati-hati ia memberinya
minum.
“Minumnya pelan-pelan, Nek.”
bisik Gagas pelan. Setelah air itu masuk ke tenggorokannya, Wanita itu
memejamkan matanya. Meringis seperti menahan sakit sambil berusaha mengatur pernapasannya.
Butiran-butiran keringat berhamburan di wajahnya. Gagas memandangi wajah
keriput dihadapannya. Wajah yang penuh keteduhan. Sungguh tak pantas ia
diperlakukan dengan kejam. Wanita tua itu membuka matanya perlahan. Lalu mata
teduh itu menghujam tepat ke mata Gagas. Mata… Mata itu mirip mata nenek. Mata
yang penuh keteduhan dan jutaan rasa kasih sayang. Gagas tak kuasa melawan
pandangan mata itu, tapi mata itu benar-benar membiusnya. Memberinya perasaan
aneh dan sentimentil. Ia ingin membuang perasaan itu jauh-jauh. Lalu Bibir yang
berdarah itu menyunggingkan senyum.
“Nenek tahu kau anak baik.
Matamu yang bicara padaku, tapi kenapa kau berteman dengan perampok?” tanya
wanita tua itu perlahan. Suaranya masih terdengar serak. Bagai tersengat petir
Gagas mendengar kata-kata itu. Ia tak kuasa menjawab. Ia hanya membisu, lalu
membuang muka. Memandang ke perapian. Sepasang mata dibalik topeng hitam itu
masih berkilat tapi tak tampak liar lagi. Mata itu tampak sendu dan
berkaca-kaca. Memantulkan api perapian. Tanpa ia sadari, tangan wanita tua
dipangkuannya itu, menyentuh pipinya yang dibalut topeng hitam dan
membimbingnya untuk melihat ke arahnya.
“Tapi Nenek yakin, kau punya
alasan kuat untuk menjadi seperti ini,” ucapnya lagi dengan lembut. Gagas tak
tahan mendengar semua itu.
“Cukup, Nek. Jangan berbicara
macam-macam lagi!” potong Gagas dengan suara makin tergetar. Sentuhan di
pipinya itu memberikan sengatan kasih sayang yang pernah ia rasakan dari
belaian neneknya dahulu. Ia tak berusaha menepis tangan itu dari pipinya.
“Aku seorang perampok dan
nyaris jadi pembunuh!” sentak Gagas lagi. Nafasnya makin serak dan tersendat.
Gagas beranjak berdiri dan mundur ke belakang.
“Perampok dan pembunuh itu tak
punya perasaan, tapi kau…?!” ujar wanita tua itu menggeleng sambil tersenyum.
Gagas makin tersurut ke belakang. Ia menutupi kedua telinganya sambil
mengeleng-gelengkan kepala. Nafasnya tak teratur. Ia benar-benar tak tahan
mendengar kalimat-kalimat dari mulut wanita tua itu. Ia tersentak ketika ada
bentakan cukup keras.
“Ada apa ini? Kenapa belum juga kau bunuh
Nenek Peot ini!?” Tiba-tiba ada suara hardikan. Ternyata Usin dan Didin telah
keluar dari kamar itu. Masing-masing di tangan mereka membawa satu kotak yang
cukup besar dan terlihat indah. Mungkin kotak-kotak perhiasan. Rupanya mereka
telah berhasil mendobrak lemari kuno itu.
“Dasar, goblok! Biar aku saja
yang melakukannya, Bang!” Didin
meletakkan kotak yang dibawanya. Lalu berjalan mendekat ke arah Wanita Tua.
Wanita itu beringsut-ingsut ke belakang. Memohon agar tidak dibunuh. Suaranya
terdengar sangat menyedihkan. Ia ketakutan, gemetaran dan wajah makin pucat
pasi. Didin mendekat seraya menghunus celuritnya. Tiba-tiba…
“Jangan! Jangan sakiti Nenek
itu. Bang! Bukankah kita sudah mendapatkan apa yang kita inginkan. Sebaiknya
kita segera pergi dari sini, Bang!” potong Gagas penuh harap. Didin menoleh ke
arah Gagas.
“Kita? Kau tidak melakukan
apa-apa kali ini!” ujar Didin menyeringai. Ia semakin mendekati perempuan tua
itu. Yang sudah tak bisa mundur lagi ke belakang karena tubuhnya sudah
membentur dinding tembok.
“Bang! Kumohon…” pinta Gagas
lagi. Usin seperti terpaku sebentar tapi ia menggelengkan kepalanya. Gagas
mendengus kesal.
“Aku tak keberatan, bila tak
diberi bagian, tapi jangan ganggu Nenek itu!” Nada bicara Gagas berubah, dari
memohon jadi seakan mengancam.
“Apa maksudmu, Gas? Kau ingin
membela Nenek Peot ini? Kau ingin melindunginya?!” tanya Usin mulai gusar. Ia
pun sudah memanggil nama anak buahnya itu. Sebuah tindakan yang ‘haram’ dalam
sebuah aksi kejahatan. Lebih-lebih kalau masih ada orang lain, baik korban
apalagi saksi lainnya.
“Tidak, Bang. Beri ia
kesempatan hidup. Ia tak tahu siapa kita. Jadi untuk apa lagi kita
membunuhnya,” Gagas berusaha untuk memberikan penjelasan. Didin menoleh sejenak
ke arah Usin. Seperti yang sudah diperkirakan Didin, Usin menganggukkan
kepalanya.
“Cukup, Din. Jangan sakiti
Nenek itu!” usai berkata begitu. Gagas meraih kursi meja baca dan melempar
bangku itu ke arah Didin. Mendapat serangan tiba-tiba dan tak disangka-sangka
itu, Didin telat menghindar. Beruntung hanya lengannya yang terserempet kursi
yang dilempar oleh Gagas. Ia meraung kesakitan. Suara kursi yang terpelanting
itu terdengar gaduh di lantai. Wanita tua itu menjerit-jerit tak jelas. Gagas
langsung memburu ke arah Didin yang terduduk kesakitan sambil memegangi
lengannya. Ia melayangkan tendangan ke arah muka Didin. Buru-buru Didin
bergulingan menghindari serangan itu. Tiba-tiba Gagas sudah berdiri
membelakangi wanita tua itu. Entah mendapat bisikan malaikat dari mana. Ia
malah berbalik melindungi wanita itu. Meski harus mempertaruhkan nyawa atau
melawan teman-temannya sendiri.
“Bangsat! Apa yang telah kau
lakukan, Gas!?” Bentak Usin murka. Ia tak menyangka keadaannya jadi begini.
Gagas yang dianggapnya seperti adik sendiri kini berbalik melawannya.
“Pakai otakmu, sebelum aku berubah pikiran. Ia
bukan nenekmu!” katanya sambil mendekat ke arah Gagas. Matanya yang angker
memancar jelas dari balik topeng hitam yang dikenakannya. Gagas tak menjawab.
Ia telah putus asa, nekad dan ada perasaan aneh yang telah menyelimuti
benaknya.
“Nenekmu sudah dimakan cacing,
Gas!” tambah Didin pula. Gagas mendengus mendengar perkataan Didin barusan.
Gagas tak pernah mengampuni orang yang berani menghina almarhumah neneknya. Ia
melabrak ke arah Didin.
“Dasar anak tak tahu diuntung!
Hih!” Hardik usin sambil melayangkan tinju kanannya. Memotong serangan Gagas.
Gagas berusaha menyambut pukulan Usin dengan tangkisan tangan kirinya. Dug!
Wajah Gagas terbuang ke kanan, tenyata itu serangan tipuan sebab tinju yang
mendarat telak pipi kiri Gagas adalah tangan kiri Usin. Bukan tinju kanan yang
dilayangkannya tadi. Gagas terhuyung ke belakang. Mukanya terasa nyeri dan
pandangannya jadi kunang-kunang. Belum hilang pengaruh pukulan Usin tadi,
tiba-tiba ia mendapat serangan dari Didin. Sebuah tendangan keras mendarat di
pinggang kirinya. Ia jatuh membentur meja baca yang ada diselah kananya. Tapi
ia segera berdiri kembali. Rasa nyeri, ngilu di kepala dan tubuhnya seperti tak
ia rasakan.
“Aku tak takut mati!” kata
Gagas sambil mencabut golok yang terselip di pinggang kirinya. Matanya terlihat
angker. Entah ia menjadi begitu nekad dan sepertinya otak dikepalanya sudah tak
mau diajak berpikir jernih lagi.
“Baiklah, Gas. Jangan salahkan
aku jika kau harus jadi mayat!” kata Usin seraya mencabut goloknya juga. Didin
sudah menghunus celuritnya juga. Tiga kawanan rampok itu akhirnya saling serang
satu sama lainnya. Dua lawan satu. Sebuah pertarungan yang tak seimbang.
Perempuan Tua itu tak mampu menggerakkan dirinya. Ia terduduk di sudut ruangan.
Ia hanya bisa menutupi mukanya sambli berteriak-teriak tak jelas. Seharusnya ia
berlari keluar dan berteriak minta pertolongan orang lain. Ia tak tampu berbuat
apa-apa cuma hati kecilnya berharap agar pemuda yang membelanya itu
selamat.
Celurit di genggaman Didin itu nyaris
menghujam ke wajah Gagas. Beruntung ia bisa menghindar ke samping. Didin tampak
kesulitan menarik ujung celuritnya yang tertancap di meja kayu. Melihat keadaan
itu Gagas mendorong tubuh Didin yang berada di atas tubuhnya, seraya
melayangkan goloknya ke arah leher Didin. Crass! Didin terpelanting ke
belakang. Ia kena sabetan golok Gagas dan celuritnya masih tertinggal di meja
kayu. Belum sempat Gagas melihat hasil serangannya pada Didin. Bet! Usin
membabat ke arahnya. Ia melihat lambungnya berdarah. Tubuhnya terhuyung. Belum
hilang keterkejutannya satu tusukan lagi mengarah ke dadanya. Reflek Gagas
menghindar, dadanya selamat tapi lengan kirinya berhasil ditusuk Usin. Disusul
satu tendangan menghujam dadanya. Ia jatuh ke belakang dan ia tak kuasa untuk
bangun lagi, akibat serangan Usin yang bertubi-tubi itu. Luka di lambung dan
lengannya mengucurkan darah segar. Dadanya pun terasa sangat sesak. Usin memang
terkenal jago berkelahi. Gagas pasrah ia tak bisa berbuat apa-apa lagi. Ia tak
bisa melindungi wanita tua itu lagi. Sekilas ia masih sempat melihat Usin
berjalan ke arah wanita tua itu.
“Ini semua gara-gara kau, Nenek
Peot! Kau benar-benar harus mati!” bentaknya garang. Wanita tua itu menjerit
dan memohon agar dikasihani. Tangan Usin terangkat ke atas dan siap menebas
kepala wanita tua yang malang
itu. Tiba-tiba terdengar jeritan keras yang cukup panjang. Tubuh Usin
terbanting ke samping. Gagas menubruknya dari belakang seraya menusukkan golok
sekuat-kuatnya. Dengan sisa-sisa tenaga terakhir yang dimilikinya. Usin jatuh
ke muka, nyaris menimpa wanita tua itu. Tubuhnya tampak berkelojotan di lantai.
Dadanya tertembus golok yang ditusukkan Gagas dari belakang. Darahnya segar
menyembur dari luka di dada dan punggungnya. Darah-darah itu membasahi lantai
ruangan. Tiba-tiba tubuh Usin tidak bergerak-gerak lagi. Akhirnya kepala rampok
itu tewas di tangan Gagas, anak buahnya dan sudah dianggapnya seperti adiknya
sendiri. Gagas berusaha berdiri tapi tubuhnya semakin lemah dan ia jatuh
terkulai di lantai. Di antara genangan darah itu, ia beringsut-ingsut berusaha
mendekati wanita tua itu. Gerakannya itu meninggalkan tanda merah yang
memanjang.
“Neek…” panggilnya
terbata-bata. Wanita tua itu membuka tangan yang menutupin mukanya. Ia melihat
orang yang melindunginya tadi terkapar seraya beringsut ke arahnya. Ia mendekat
serta memangku kepala Gagas. Seperti yang dilakukan Gagas terhadapnya tadi.
Pelan-pelan wanita tua itu membuka topeng yang dikenakan Gagas. Tampaklah wajah
seorang pemuda gagah dan cukup tampan. Memang sesuai dengan namanya. Namun
wajah itu tampak meringis menahan sakit dan semakin pucat.
“Maa-maafkan kaa-kami, Neek…”
Gagas berusaha berbicara. Nafasnya makin tersengal dan berat. Wanita tua yang
memangkunya itu tak mampu menjawab kata-kata Gagas. Ia hanya menganggukkan
kepalanya. Ia juga mulai terisak. Menangisi keadaan Gagas. Air mata wanita tua
itu jatuh menetesi wajah Gagas.
“Jaa-jangaan me-enangis, Neek.
Ma-mataa Neneek, sseperti mmata nennekuu…” tangan Gagas berusaha menyentuh
wajah wanita tua itu, tapi tangan itu jatuh terkulai. Wanita itu meraih dan
menempelkan tangan Gagas yang penuh darah itu ke pipinya.
“Ma-mataa Neneek… Mmaa-mata…
nen-nekuu.” Sekali lagi ia mengulangi kata-kata itu. Wanita tua itu menanggukan
kepalanya lagi. Tangisnya makin pecah. Ia terenyuh mendengar perkataan pemuda
yang sedang sekarat itu. Gagas berusaha tersenyum, lalu matanya menatap kosong.
Tangannya jatuh terkulai. Tubuh Gagas semakin dingin dan bisu. Tiba-tiba wanita
tua itu menjerit-jerit histeris sambil memeluk erat kepala Gagas yang
dipangkunya. Ia merasa seperti kehilangan seorang yang sangat dikasihinya. ***
[ganezh/palembang/22Juli2004]
Hobi ya bikin oraang nangis :(
ReplyDeleteNggak hobi Ra, cm belajar menyentuh kalbu :P
Delete