Bzzz… Bzzz… Seekor serangga terbang lincah
lalu hinggap di sehelai daun bunga taman kota
yang tampak kusam berdebu. Seekor lalat hijau yang gemuk. Lalat itu lalu
menggesek-gesekkan kaki belakang serta kaki depan ke tubuhnya. Konon katanya,
prilaku lalat yang seperti itu menandakan ia sedang membersihkan badannya.
Istilah manusianya: sedang mandi. Ijo, demikian nama lalat gemuk itu biasa
dipanggil ibunya. Sambil bersiul-siul ia terlihat semakin asyik melakukan
aktivitas itu. Tubuhnya yang berwarna hijau itu makin mengkilat. Bzzzzz...
Bzzzzz... Tiba-tiba keasyikkan Ijo terganggu oleh suara dengung kepak serangga
lain yang terdengar bising. Sebuah titik hitam terbang melintas ke arahnya.
Titik hitam itu makin jelas terlihat, ternyata seekor lalat juga. Anehnya,
lalat itu terbang sempoyongan seperti hendak menabrak alias tidak normal
menurut bangsa lalat. Makin lama sosok lalat lain itu makin jelas.
Terlihat perberbedaan yang mencolok bila
dibandingkan dengan Ijo. Lalat yang terbang acak itu terlihat kurus dan kotor.
Memang ada lalat yang bersih? Mata lalat itu terlihat kuyu dan loyo.
Pemandangan miris itu mengusik Ijo untuk menyapanya.
“Hai...!” Lalat itu seperti kaget dan menoleh ke arah Ijo yang
memanggilnya. Lalu ia berusaha manuver, membelokkan tubuhnya menuju kea rah
Ijo.. Bzzz...Bzzz... Dasar lalat loyo, sewaktu ia hendak mendarat, ia
terjungkal beberapa kali baru bisa hinggap di pelataran daun. Ternyata lalat
loyo itu sejenis dengan Ijo. Cuma bedanya lusuh dan kurus. Sayapnya kusam
begitu juga dengan warna hijau tubuhnya.
“Hai, juga. Kamu siapa?” tanya lalat loyo pada Ijo. Nafasnya terlihat
masih ngos-ngosan.
“Saya Ijo, kamu siapa? Sepertinya kamu bukan berasal dari sini?” Ijo
balik bertanya.
“Saya Buluk. Benar, saya bukan lalat sini. Saya migrasi dan baru tiba di
kawasan sini,” kata lalat ijo yang mengaku bernama Buluk itu.
“Migrasi dari mana dan apa kamu sendirian saja? ” tanya Ijo makin
penasaran. Ia makin merasa iba pada Buluk. Dengan menarik nafas yang terihat
begitu berat Buluk baru menjawab pertanyaan Ijo.
“Saya dari negeri seberang. Dulu waktu orang tua saya masih hidup, saya
masih dibimbing buat cari makan. Tapi begitu saya mulai dewasa saya harus
mencari makan sendiri. Hidup di negeri saya itu susah sekali. Bangsa kita
sangat dibenci dan dibasmi dengan sadis,” Buluk menghentikan sejenak ceritanya
yang tragis itu, untuk menarik nafas.
“Kasihan...” tak sadar Ijo bergumam.
“Negeri yang kami tinggal itu dihuni oleh manusia-manusia kejam! Rumah
kami, tempat makan kami selalu saja mereka hancurkan. Disapu, dikubur,
disemprot racun [baca: obat pembunuh
serangga] atau dibakar. Banyak bangsa kita yang mati dan hijrah ke negeri lain.
Tapi, orang tua, saudara-saudara dan serta semua teman-teman saya tewas
dibantai. Saya pun sempat menghirup asap racun yang mereka semprotkan. Tubuhku
makin lemah dan penyakitan” cerita Buluk makin nelangsa. Matanya pun
berkaca-kaca. Ijo pun makin terhanyut mendengar cerita Buluk yang tragis itu.
“Satu lagi, Jo. Teman saya si Manyuk, dari bangsa nyamuk juga dibantai.
Anak-anak mereka, danau-danau mereka dan sarang mereka dihancurkan. Mereka pun
diburu hingga ke pelosok-pelosok. Semuannya hancur dan binasa. Mungkin, cuma
tinggal beberapa ekor saja yang mencoba bertahan. Itu pun hidup dalam tekanan
dan buruan. Tidak ada kenyamanan dan ketenangan hidup di sana.” Kata Buluk
“Manusia memang biadab. Jangankan dengan bangsa kita yang jelas berbeda
seratus persen. Sesama mereka saja mereka saling bunuh dan saling tindas!” kata
Ijo terlihat geram. Buluk pun makin terisak-isak. Mendengar komentar Ijo.
“Sudah sekarang kamu tinggal di sini saja. Ini adalah Ibu Kota Negeri.
Manusia-manusia Ibukota Negeri sini lebih ramah [baca: malas hidup bersih] dan
tak perduli. Di sini kamu bisa hidup bahagia dan sagalanya ada di sini. Mau
makan, cari pasangan atau sekedar bersenang-senang, semua bisa kamu dapatkan di
sini. Di sini bangsa kita, bangsa nyamuk, lipas atau tikus bisa hidup bebas dan
bahagia. Lihat tubuhku, kuat dan gemuk kan?”
ujar Ijo sambil memutar tubuhnya dengan bangga. Memperlihatkan bentuk tubuhnya
yang tampak gemuk dan sehat. Buluk menatapnya dengan pandangan cerah dan penuh
harap.
“Sekarang kamu tidak usah larut dalam kesedihan. Mari, saya antar
berkeliling ke Ibukota Negeri!” ajak Ijo penuh semangat. Tawaran Ijo itu
disambut hangat oleh Buluk. Akhirnya kedua serangga bangsa lalat itu pun
terbang bersama. Berkeliling di angkasa belantara Ibukota Negeri yang ‘berkabut
abadi’ asap kendaraan. Selama perjalanan itu tak henti-hentinya Buluk bertanya
tentang ini dan itu. Dengan penuh bangga Ijo menceritakan tentang keadaan
Ibokota Negeri. Si Buluk pun tampak terkagum-kagum.
“Lihat, di mana-mana makanan berlimpah ruah. Sampai tujuhpuluh ribu
turunan pun tak akan habis. Kamu tak akan merasa kelaparan lagi, Luk!” ucap Ijo
sembari menunjuk tumpukan sampah yang berserak di pelbagai penjuru Ibukota
Negeri. Buluk mengangguk seraya terbang secepatnya menuju tumpukan ‘makanan’
itu. Dengan gembira, ia hinggap kesana kemari, menjilati dan memakan semua makanan [baca: sampah] yang berlimpah
ruah itu. Ijo hanya tertawa-tawa melihat kelakuan Buluk yang terlihat sangat
rakus dan kelaparan itu.
“Tapi kamu jangan ke Istana Negeri, hotel, kantor atau rumah sakit, Luk!
Di sana nyaris
tidak ada makanan. Dingin dan berbaunya busuk [baca: harum]. Bahkan,
salah-salah kita bisa dibunuh manusia-manusia itu. Mending kita keliling ke
penjuru Ibukota Negeri.” Ajak Ijo lagi. Buluk yang masih sibuk mengunyah
makanan itu mengangguk setuju.
“Ibukota Negeri sering mengadakan perayaan
besar. Wajah Ibukota Negeri akan lebih semarak dengan lampu-lampu dan makanan
kita makin berlimpah ruah,” Ijo memberi tahu Buluk.
“Asyik sekali!” pekik Buluk melayang kegirangan sambil mengepak-ngepakkan
sayapnya. Lalu kedua bangsa lalat yang makin akrab itu terbang melintas di atas
sebuah sungai yang membelah Ibukota Negeri. Sungai yang makin dangkal akibat
tumpukan sampah. Airnya yang nyaris tak mengalir itu berwarna hitam dan berbau
busuk. Milyaran serangga dan binatang lainnya hidup di situ. Kecuali ikan!
“Kamu lihat itu, Luk? Sungai itu salah satu surga kami di Ibukota Negeri.
Manusia memang memberi sungai itu nama, tapi kami tak pernah perduli. Kami
menamainya Sungai Suci. Karena sungai itu menghidupi kami dan milyaran bangsa
serangga atau binatang lainnya. Cuma bangsa ikan yang tak mampu hidup di sana. Lihat! Airnya bersih dan harum (baca: kotor dan busuk)
baunya. Tapi ini bukan satu-satunya, Luk. Masih banyak sungai-sungai suci
lainnya.”
“Oh ya, Masih banyak yang lain?” Tanya Buluk tak percaya.
“Iya, masih banyak sungai-sungai
suci lainnya. Masih banyak surga-surga yang lain, Luk.” ucap Ijo serius. Buluk
mengangguk-anggukkan kepalanya kegirangan.
“Sangat berbeda dengan daerah negeri saya dahulu. Sungainya berair kotor [baca:
jernih], tidak berbau dan mengalir deras. Baunya tidak harum semerbak [baca:
busuk] seperti Sungai Suci ini. Airnya berwarna tidak menarik dan tidak banyak
makanan [baca; sampah] yang mengapung-apung di atasnya!” ujar Buluk dengan
wajah serius.
“Begitu
ya? Wah, susah sekali hidup di negerimu itu,” tukas Ijo bergidik.
“Kalau kamu ingin tahu, Luk. Di sungai ini tak hanya makanan yang diberikan
[baca: dibuang] manusia. Tapi daging
segar (baca: bangkai) pun ada di sini,” tambah Ijo lagi.
“Daging segar?” ulang Buluk tak percaya. Memang untuk ukuran bangsa
lalat, si Buluk ini memang termasuk lalat udik, lugu dan kampungan. Sedangkan
Ijo adalah lalat kota yang penuh gemerlap kota besar. Ia pun meniru gaya hidup kota
besar yang penuh trik serta kelicikan.
“Iya, kamu mau apa. Daging anjing, kucing, atau daging manusia?”
“Daging manusia? Kamu tidak bohong, Jo? Aku belum pernah makan daging
manusia!” tanya Buluk dengan mata berbinar. Lagi-lagi ia dikagetkan oleh cerita
Ijo.
“Buat apa saya membohongimu, Luk. Kamu bisa
membuktikannya sendiri nanti. Di Sungai Suci ini sering ada daging manusia yang
dibunuh atau bayi yang dibuang. Tak hanya di sungai, tapi di selokan, jalanan,
mobil, gedung dan di segenap penjuru Ibukota Negeri ini.”
“Wah, seram juga. Manusia itu saling bunuh, dibunuh atau juga membuang
bayinya?” tak sadar Buluk mengulangi kata-kata Ijo.
“Sadis. Enakan kita ya, Jo. Kalau berkelahi tak sampai mati dan kita juga
tak tak pernah membuang bayi” gumam Buluk bergidik. Ijo Cuma tersenyum sembari
mengangguk-anggukan kepalanya.
“Oh, ya. Surga lainnya apa, Jo?” tambah Buluk lagi. Tampaknya ia masih
penasaran, tentang sorga-sorga bangsa serangga lainnya.
“Banyak sekali kalau mau diceritakan satu persatu, Luk. Salah satunya
adalah Gunung Suci [baca: tempat
pembuangan sampah akhir]. Suatu saat, saya ajak kamu ke sana,” kata Ijo menjanjikan.
“Benar, ya. Nanti ajak saya ke sana,”
ujar Buluk penuh harap.
“Iya, tenang saja, Luk. Tapi perlu kamu ketahui kalau di Gunung Suci kita
akan bersaing dengan para pemulung. Begitu juga kalau di jalanan kota atau Gudang Makanan [baca: tong sampah] yang
penuh sesak, kita akan bersaing dengan para gembel, pengemis atau manusia yang
gila,” terang Ijo pada Buluk.
“Pemulung atau pengemis itu manusia juga?” Tanya Buluk kurang mengerti.
“Iya. Mereka manusia juga. Tapi nasibnya kurang beruntung untuk hidup di
Ibukota Negeri ini. Terkadang mereka menyerobot jatah kita. Akhirnya mereka
dianggap sampah oleh manusia yang lain. Tapi kamu tidak usah khawatir, Luk.
Meski jumlah mereka banyak dan tersebar di penjuru Ibukota Negeri, kita tak
akan kehabisan makanan yang berlimpah ruah di Ibukota Negeri,”
“Sekali lagi, enakan jadi kita ya, Jo. Tidak ada lalat yang jadi
pemulung, gembel, pengemis atau gila. Hahaha!” kata Buluk tertawa.
“Iya, kamu benar. Juga tak ada lalat yang saling membunuh. Hahaha!”
tambah Ijo kemudian ikut tertawa terbahak-bahak.
Kemudian dua ekor lalat itu terus terbang kian kemari mengelilingi
Ibukota Negeri. Mereka saling bercerita. Buluk bercerita tentang kebersihan dan
keteraturan kota
negerinya yang dianggap seperti neraka. Ijo bercerita tentang kekotoran,
kemacetan serta kesemerawutan Ibukota Negeri yang merupakan surga bagi mereka.
Namun selagi asyik terbang dan bercerita, tiba-tiba Ijo tersentak kaget. Ada suara halus yang
memanggil namanya, disertai suara dengung kepak sayap yang berbeda.
Nguuung…nguung! Bunyi kepak sayap seekor nyamuk.
“Luk, itu teman saya, si Aides. Mari saya perkenalkan padanya!” ujar Ijo
sembari terbang manuver menuju asal suara itu. Ternyata itu sahabat kecil Ijo.
Namun meski kecil, bangsa mereka cukup disegani oleh bangsa serangga lainnya.
Bahkan oleh para manusia.
“Hai, Des! Kenalkan teman baru saya, si Buluk dari Kota Seberang,” Ijo
memperkenal Buluk pada Aides.
“Hai, saya Aides!”
“Saya Buluk, senang kenal denganmu!” kata Buluk berbasa-basi. Tak lama
kemudian ketiga bangsa serangga itu terlibat obrolan yang hangat. Hingga
akhirnya obrolan itu mulai agak serius. Tentang Ibukota Negeri yang sering
kebanjiran.
“Ibukota Negeri sering dilanda banjir. Setelah itu kita-kita berpesta
pora merayakan Pesta Pasca Banjir dan bisa membalas dendam pada para manusia.
Cuma kasihannya si Kutis sama Mesut ikut kebanjiran,” Ijo tersenyum
menceritakan temannya si Kutis dari bangsa tikus dan Mesut dari bangsa semut.
“Ia ternyata Kutis jago berenang juga, ya,” timpal Aides sembari tertawa.
“Iya, kalau Mesut cuma bisa bergerombol lalu
hanyut dibawa air. Tapi kalau Pilas sudah punya sayap. Jadi ia bisa terbang
bebas seperti kita. Tapi kalau mereka juga mati jadi makanan kita, Luk. Hehehe”
Ijo tertawa sambil menceritakan tentang Pilas, temannya dari bangsa lipas.
“Huh, Dasar! Bangsamu memang rakus!” maki Aides pada Ijo yang makin
tertawa tergelak. Buluk jadi ikut-ikutan tertawa. Tapi tak lama kemudian…
“Sebentar teman-teman, saya agak merasa bingung dengan kata balas dendam.
Balas dendam pada manusia, memangnya bisa?” Ijo dan Aides melongo mendengar
pertanyaan Buluk barusan.
“Ya, bisa, dong!” potong
Aides dengan muka serius.
“Betul, Luk. Di Ibukota Negeri, usai Pesta Pasca
Banjir, ada kalanya kami membalas dendam pada manusia. Biasanya setelah musim
hujan atau banjir. Baru-baru ini bangsa Aides mengadakan serangan besar pada
manusia-manusia Ibukota Negeri. Puluhan hingga ratusan orang yang mati. Bahkan
bangsa Aides yang di daerah-daerah pun serentak melakukan serangan yang
membabi-buta. Memang para manusia itu balik menyerang tapi mereka terlambat.
Akibatnya banyak manusia yang sakit, sekarat lalu mati. Perlu kamu ketahui,
Luk. Bangsa Aides memang sangat dibenci tapi juga disegani sekaligus ditakuti
para manusia itu,” panjang lebar Ijo menceritakan tentang kejayaan bangsa Aides
atau bangsa nyamuk. Wajah Aides tampak berseri-seri sambil mengibas-ngibas
tubuh langsingnya dan warna loreng hitam putih di tubuhnya makin berkilat.
Menandakan ia sedang berbangga diri. Buluk pun menatapnya penuh kekaguman.
“Ya, kami memang barusan merayakan Pesta Demam Berdarah,” ujar Aides
masih terlihat bangga.
“Wah, asyiknya! Kapan bisa Pesta Pasca Banjir lagi?” kata Buluk penuh
harap. Ijo dan Aides tertawa mendengarnya.
“Tenang saja, Luk. Selama keadaan Ibukota Negeri tetap terjaga [baca: tetap kotor] seperti ini, kita akan terus
merayakan Pesta Pasca Banjir itu. Bahkan juga merayakan Pesta Kolera, Pesta
Pes, Pesta Muntaber, Pesta Malaria serta pesta-pesta meriah bangsa kita
lainnya!” ucap Ijo penuh keyakinan. Disambut teriakan gembira oleh Aides dan
Buluk. Cihuuuy!
[ganezh/depok/25/06/2004]
No comments:
Post a Comment