depositphotos |
Kambing
kecil yang lucu itu kuberi nama Bandot. Bulunya hitam legam. Dengan bercak bulu
putih yang menggelung di kaki kiri depan. Saat kuajak lapangan rumput di
belakang rumah, Bandot tampak gembira. Berlari-lari, melompat-lompat, atau
mengembik bebas. Si Bandot kurawat dengan sungguh-sungguh. Sengaja kubuatkan
kandang yang bagus dan bersih. Kucarikan rumput dan kumandikan ke sungai.
Sesekali kubelikan beberapa suplemen khusus kambing. Aku ingin ia cepat tumbuh
besar, tangguh dan tak terkalahkan.
Makin
hari Bandot kian besar dan gemuk. Saking perhatiannya, Bandot tak pernah aku
gembalakan liar seperti kambing-kambing tetanggaku. Saat kugembalakan selalu ia
kuikat dan kujaga. Segala fasilitas ‘perkambingan’ pun telah kusediakan di
kandang. Dari suplemen, sampo, handuk, sikat gigi, sikat badan, hingga parfum
khusus kambing. Agar BB Bandot tak terlalu menusuk hidung. Bagiku, Bandot itu
bukan kambing daging yang diberi makan, digemukkan, dikawinkan, lalu dipotong.
Bandot adalah kambing aduan. Hingga saat ini, Bandot belum pernah ‘menggauli’
seekor kambing betina pun. Aku tak perduli jika ia mulai birahi dengan lawan
jenis. Agar ia bisa tumbuh besar, ganteng dan kekar. Untuk ukuran kambing, sih!
Kata temanku, biar klop, Bandot harus dikebiri, tapi aku tak tega. Jadi masih
kutunda, yang penting Bandot tak diliarkan dengan kambing-kambing tetangga.
Aku saat
bangga pada Bandot. Karena pada pertarungan perdana, ia berhasil menjatuhkan
lawannya hanya dalam tiga gebrakan. Tanduk lawannya patah, kepalanya pun nyaris
rengkah. Dihajar tanduk Bandot yang besar dan kokoh. Sejak itu, Bandot
menjelajah dari arena satu ke arena aduan lainnya, Bandot selalu dapat
mengungguli lawan-lawannya. Bandot memang membuatku bangga, sekaligus kaya.
Karena hadiah taruhan antri masuk ke pundi-pundi uangku.
Bandot
makin terkenal di antara para ‘pengadu’ kambing. Di se-antero kabupaten. Di
antara pengadu, Bandot dijuluki "Hulk" si Buto Ijo-nya Holywood itu.
Mereka bicara tentang kehebatannya. Tentang bulu hitamnya. Tentang belang
putihnya. Juga tentang tali merah yang di
lehernya. Begitu populernya Bandot, sehingga banyak di antara pengadu
kambing itu ingin membeli atau memiliki kambing seperti Bandot. Minimal dapat keturunan
Bandot. Tapi bukan cara bayi tabung. Tapi dengan cara ‘kloning kampung’ alias
membawa kambing betina untuk disetubuhi Bandot. Jelas aku tak sembarangan
menerima ‘pinangan’ mereka. Tetap harus ada tawar menawar, dong! Ada harga, ada
cara. Siapa yang berani membayar paling tinggi, barulah kambing betinanya yang
bisa "mengencani" si Bandot. Bandot pun dikenal sebagai
"kagolo" alias kambing gigolo yang bertarif mahal. Sialnya, mayoritas mereka tak sanggup
membayar harga yang aku tawarkan. Kalau di bawah standar, jelas kutolak.
Akhirnya Bandot "kulelang", ya, karena ia bibit unggul dan mahal,
Bung!
"Itu
harga wajar, karena harus sesuai dengan modal dan jerih payahku." Begitu
sering kali aku katakan pada mereka. Akhirnya mereka ngeloyor pergi, sambil membawa
kambing betinanya pulang. Aku tak perduli, walau Bandot terlihat gelisah.
Mendengus sambil mengembik tak jelas. Saat memandangi kambing-kambing betina
itu. Mungkin ia sudah kelewat birahi.
Suatu
sore, ada dua kendaraan datang ke rumahku. Satu mobil sedan produk Eropa,
satunya mobil jenis pick up. Di atasnya
ada seekor kambing betina yang kurus. Orang yang terlihat kaya itu didamping
oleh dua orang pembantu. Oh, ternyata, ia juga berniat mengawinkan kambing betina
itu dengan Bandot. Menurutnya, kambing betinanya itu—meski kurus—adalah induk
kambing pilihan. Sekali hamil ia bisa beranak enam hingga tujuh ekor.
"Busyet!
Enak banget dia." Pikirku, "Harus kupatok harga tinggi!"
Ternyata tanpa banyak bicara—maklum orang kaya—ia langsung setuju. Tanpa banyak
pikir, segera kukeluarkan Bandot dari kandang. Tapi anehnya, Bandot tak segera
menaiki kambing betina di hadapan. Melainkan hanya mengembik sambil
meronta-ronta.
Sikap
Bandot membuat kami bingung. Apa karena kambing betina itu tak cukup ‘cantik
dan seksi’ di mata Bandot? Atau Bandot memang tak menyukai pasangan yang
langsing? Ini jelas berbeda saat Bandot melihat kambing-kambing betina yang
pernah kutolak. Karena tak mampu membayar mahal?
Tiba-tiba
Bandot meronta keras. Peganganku di kalungnya lepas. Bandot berlari ke arah
kebun belakang. Aku tak segera memburunya, karena si pemilik kambing betina itu
marah-marah.
"Bibit
unggul apaan? Kok, malah lari? Pasti loyo dan impoten!" Makinya. Jelas aku
tersinggung, Bandot itu kambing aduan pilihan dan ia tidak loyo, apa lagi
impoten. Aku malah berbalik dengan mengatakan,"Jangan ngomong sembarangan.
Jelas kambing kurusmu yang penyakitan!" Alhasil, kesepakatan itu batal
total. Malah nyaris ada perselisihan di antara kami. Para pembantunya melerai,
mereka pun pergi dengan muka kesal.
Aku malu,
tersinggung, sekaligus heran dengan kelakuan Bandot. Dengan perasaan tak
menentu kucari Bandot ke arah kebun belakang. Tapi ia tak ada di sana. Aku
terus mencari, dan bertanya pada orang-orang yang kutemui di jalan. Kata mereka,
Bandot terlihat di lapangan rumput dekat kantor kelurahan. Benar saja, Bandot
memang berada di sana.
"Dasar
binatang!" Makiku kesal. Rupanya di sana ia sibuk mencumbui dan menaiki
kambing-kambing betina yang digembalakan bebas di lapangan itu. Kambing-kambing
betina yang masih bau kencur, kotor dan tak jelas siapa pemiliknya. Bahkan
jujur, lebih jelek dari kambing betina yang dimiliki orang kaya itu. Dengan
geram aku memburu ke arahnya. Tapi rupanya Bandot sudah mencium kedatanganku.
Ia menghentikan cumbuannya dan segera berlari menghindar. Saat kupanggil, makin
kencang ia berlari meninggalkanku. Dengan nafas terengah aku terus memburunya.
Akhirnya ia lolos dari sergapanku.
Aku makin
bingung dan heran dengan kelakuan Bandot. Kenapa ia seperti tak mengenaliku
sebagai pemiliknya. Padahal sepenuh hati aku mengurusnya. Memenuhi semua
kebutuhannya, hingga membersihkan kandang serta memandikannya. Membentuknya
hingga ia jadi kambing adu pilihan. Tapi apa yang ia lakukan. Kini ia malah
menghindar dan menentangku. Dan, kini ia terus berlari makin kencang. Jauh
meninggalkanku. Lalu menghilang ke hutan kecil pinggiran desa. Telah seharian
penuh aku mencari-cari jejak Bandot. Malah aku sendiri nyaris tersesat ke dalam
hutan. Akhirnya, saat hari beranjak gelap, kuputuskan pulang ke rumah.
Semalaman
aku susah tidur, memikirkan Bandot. Akibatnya, jadi bangun kesiangan. Itu pun
karena suara gedoran keras di pintu rumahku. Rupanya, tetanggaku yang petani
sawi itu. Mukanya tampak marah. Ia katakan bahwa Bandot telah merusak kebun
sawinya yang siap panen. Bandot memakan sawi-sawi yang telah susah payah di
tanamnya. Lalu ia minta ganti rugi padaku. Tapi aku pun tak langsung percaya.
Petani sawi itu mengatakan bahwa tentang bulu hitam serta warna tali merah yang
melingkar di leher Bandot. Siapa tahu bandot cuma jadi ‘kambing hitam’.
Bukankah banyak warga desa ini yang memiliki kambing berbulu hitam? Aku tetap
berusaha membela diri, juga Bandot. Namun, saat ia menyinggung ‘gelang’ bulu
putih di kaki kiri Bandot, aku terdiam. Kalau tali merah sih, memang banyak.
Tapi ‘gelang’ bulu putih di kaki kiri depan? Rasanya cuma bandot yang punya.
Akhirnya terpaksa
kubayar semua kerugian yang diderita petani itu. Aku makin kesal dengan
kelakuan Bandot.
“Lihat,
aja. Kalau sampai kutangkap, akan kuhajar kau!” Batinku geram. Aku segera
berkemas, untuk mencarinya lagi. Di tanganku tergenggam segulung tali yang
kurajut seperti sebuah laso. Akan kuseret ia pulang. Namun, belum ada seratus
meter aku meninggalkan rumah, ada seorang petani jagung menghampiriku. Ia juga
terlihat marah. Dan, lagi. Orang itu bilang kalau Bandot telah melukai
istrinya.
“Ini tak
masuk akal!” bantahku. Lagi-lagi aku berusaha membela diri, juga Bandot. Namun
lagi-lagi aku tak bisa berkelit, saat orang itu menyebutkan ciri-ciri kambing
hitam itu. Itu memang Bandot! Untuk meyakinkanku, petani jagung itu
menceritakan, bagaimana Bandot menyeruduk pantat istrinya. Bisa kubayangkan,
isterinya diseruduk sedang nungging saat menanam bibit jagung. Mungkin pula
pantatnya memang montok, jadi mampu mengusik Bandot untuk ‘menciumkan’
tanduknya. Lagi-lagi aku harus membayar ongkos pengobatan pantat isteri petani
jagung itu.
Hatiku
makin panas. Apakah aku harus membayar para pemburu celeng untuk menyudahi
petualangan Bandot? Atau aku akan merelakan kepala Bandot ditembusi mimis senapan?
Atau apa aku harus menyewa pembunuh bayaran? Aku makin gelisah. Aku tak tega, akhirnya
kuputuskan untuk menangkapnya sendiri. Hanya aku yang boleh menghakimi Bandot!
Mau kujadikan kambing guling atau sate itu terserah nanti. Karena akulah yang
mengurusnya dengan susah payah. Bandot memang bandit. Ia memang bukan kambing
hitam yang dijadikan kambing hitam. Tapi kambing hitam ‘asli’ yang banyak membuat
masalah!
Dengan
perasaan campur aduk, aku segera memburu ke arah kebun jagung. Kata petani
jagung, usai mencium pantat isterinya, Bandot masih lenggang-kangkung di areal
kebun jagungnya. Namun sudah nyaris satu jam aku berputar-putar di sana, batang
tanduk Bandot belum juga terlihat. Dengan langkah gontai aku keluar dari areal kebun
jagung. Entah kemana lagi aku harus mencari Bandot. Apakah aku harus
menyebarkan foto-foto Bandot. Seperti para koruptor atau teroris itu?
Selagi
perasaanku berkecamuk tak keruan. Aku menyempatkan diri untuk mampir di sebuah
kedai minum. Dan, langsung memesan minuman segar. Rupanya para pengunjung kedai
itu sedang ngobrol tentang peristiwa kecelakaan yang baru terjadi satu jam
lalu. Tabrakan maut itu terjadi di pertigaan jalan aspal perbatasan desa
sebelah. Mobil travel ‘adu kambing’ dengan bus antar kota. Tabrakan itu banyak memakan
korban. Kata mereka, delapan orang tewas di tempat. Belum lagi ditambah
penumpang yang luka parah dan ringan.
“Kecelakaan
itu terjadi saat sopir travel menghindari seekor kambing!” Kata salah seorang
pengunjung kedai. Ketika mendengar kata ‘kambing’ itu, air yang berada dalam
mulutku nyaris melompat keluar. Aku tersedak, dan semua mata menatap ke arahku.
Aku tampak gugup dan kikuk. Mereka lalu tertawa, aku pun pura-pura ikut
tertawa. Aku makin penasaran saat mereka cerita tentang si kambing.
“Tubuh
kambing sumber mala petaka itu hancur digencet kedua kendaraan!” Katanya. Perasaanku
jadi tak enak. Rasanya ingin melihat langsung ke lokasi kecelakaan. Aku beranjak
dan membayar minuman yang aku pesan. Aku ingin melihat lokasi kecelakaan di pertigaan
jalan perbatasan itu. Namun belum jauh aku melangkah, aku sempat mendengar perkataan
mereka lagi.
”Warnanya hitam dengan bulu putih di kaki kirinya. Ada kalung merah di lehernya. Pak Kades sedang menanyai warga!” Hegh! Jantung dan langkah kakiku seakan berhenti bareng. Aku berbalik, urung menuju lokasi kecelakaan. Orang-orang di kedai menatapku heran. Aku jelas seperti orang linglung. Seperti tadi, mereka lantas tertawa melihat kelakuanku. Aku tak perduli. Tanpa menoleh aku terus melangkah.
”Warnanya hitam dengan bulu putih di kaki kirinya. Ada kalung merah di lehernya. Pak Kades sedang menanyai warga!” Hegh! Jantung dan langkah kakiku seakan berhenti bareng. Aku berbalik, urung menuju lokasi kecelakaan. Orang-orang di kedai menatapku heran. Aku jelas seperti orang linglung. Seperti tadi, mereka lantas tertawa melihat kelakuanku. Aku tak perduli. Tanpa menoleh aku terus melangkah.
“Siapa
kira-kira pemilik kambing hitam itu?” Samar-samar aku sempat mendengar, salah
seorang pengunjung kedai bertanya. Aku tak berani menoleh.Semakin mempercepat
langkah, sambil membenamkan tali di kantong celanaku. Tali laso untuk menarik
Bandot pulang. [end] [ganezh/2004]
No comments:
Post a Comment